NovelToon NovelToon

Danum Mahesa [KLITIH]

Urip Iku Urup

...Selamat datang dan selamat membaca....

• • •

Menjalani kehidupan sebagai pemuda yang usianya hampir 19 tahun. Terkadang membuat Danum Mahesa ingin lebih mengenal banyak hal, bukan juga ingin menjadi pemuda bengal, yang suka keluyuran tanpa modal.

Tapi ada sesuatu yang mengusik hatinya, tentang hal mengenali jati diri.

Kenapa banyak dari kawula muda seperti dirinya, ingin memahami apa yang dimaksud jati diri. Sampai-sampai ada yang berbuat anarkisme, demi mendapat pengakuan tentang kehebatannya.

Seperti yang santer diberitakan, soal klitih.

(Klitih) atau yang memiliki kepanjangan Kliling Golek Getih (Keliling Cari Darah) adalah salah satu fenomena kejahatan jalanan yang terjadi di DIY sekitarnya. Bahkan semakin hari semakin meresahkan masyarakat.

Definisi Klitih berasal dari bahasa Jawa, yang berarti aktivitas berkeliling keluar rumah tanpa tujuan yang jelas untuk mengisi waktu luang. Ada juga yang menyebut klitih merupakan penyebutan terhadap Pasar Klitikan Yogyakarta di mana artinya adalah melakukan aktivitas yang tidak jelas dan bersifat santai sambil mencari barang bekas dan Klitikan.

Sementara istilah nglitih digunakan untuk menggambarkan kegiatan jalan-jalan santai.

Pada awalnya, klitih hanyalah berupa kegiatan perundungan antar geng sekolah yang terjadi di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, semakin lama, klitih berkembang menjadi kegiatan perampokan yang dilakukan oleh sekelompok geng (premanisme) yang targetnya berkembang dari geng musuh menjadi masyarakat awam. Yang paling umum, klitih dilakukan di tempat sepi dan terjadi pada malam hari.

Kasus klitih pada dasarnya merupakan fenomena anak muda di Yogyakarta yang ingin mencari jati diri atau pengakuan terutama dari lingkungan persahabatan mereka (geng sekolah). Untuk membuktikan itu, terkadang mereka membutuhkan barang bukti berupa barang milik geng pesaing atau setidaknya melakukan perundungan terhadap geng pesaing.

Bukankah jati diri tidak hanya tentang pertarungan atau hanya ingin sekedar di anggap jagoan?

Sebenarnya apa itu jati diri?

Danum pernah membaca mengenai filosofi Jawa yang mengatakan seperti ini.

"Urip Iku Urup."

[Urip Iku Urup “Hidup itu Nyala”. makna filosofi ini luar biasa, bahwa kita dilahirkan di dunia ini bukan untuk berdiri sendiri, berkuasa dan semua hanya untuk diri sendiri, akan tetapi kita lahir untuk saling memberi, saling menolong dan saling membantu sesama tanpa ada rasa pamrih. Semua agama banyak mengupas hal ini bahwasannya manusia sebagai makhluk sosial harus saling interaksi dan menolong kepada sesama, bahwa kita hidup di dunia ini hanyalah sebuah ujian untuk mendapatkan kehidupan yang kekal dan lebih baik di kehidupan berikutnya.]

Yah kata filosofi Jawa memang selalu bisa menjadi magnet dalam menjalani kehidupan sebagaimana manusia memanusiakan manusia.

Jikalau soal asmara, Danum sendiri enggan untuk berkomentar, tak ambil pusing. Ia lebih sibuk mengerjakan hal-hal yang bermanfaat untuk masa depannya, pengalaman hidup dan asmara sang Kakak (Damar) sebelum bertemu dengan istrinya yang bernama Wulan sudah cukup menjadi landasannya, agar tidak gegabah soal percintaan.

Biarlah waktu yang akan menjawab siapa jodohnya..

Menjadi anak yatim sejak usia delapan tahun, membuat Danum menjadikan sang Kakak adalah pahlawan dalam hidupnya. Dimana ketika di sekolah sewaktu SD, dia di ejek karena pakai sepatu yang sobek, maka sang Kakak akan menjadi garda terdepan untuk menjadi sang pembela baginya.

Sepeninggal sang Ayah, Danum sangat dekat dengan Ibu dan juga Kakak laki-laki satu-satunya.

Membuat Danum terkadang ingin kembali menjalani masa kanak-kanak meski susah ada rasa rindu dimana sebelum mengenal begitu kejamnya dunia. Disaat Mas Damar belum sesukses menjalankan bisnis sebagai Presdir Cilok dan menikahi seorang wanita bernama Nawang Wulan. Serta ketika belum mengetahui keluarga mendiang sang Ayah yang kemudian Danum sebut Kakek dan Nenek.

Dimana pada saat itu, Mas Damar. Begitu Danum memanggil Kakaknya selalu merengek saat minta mainan mobil-mobilan seperti teman-teman sebayanya yang selalu pamer punya mainan mobil baru, saat itu Mas Damar hanya menjawabnya seperti ini.

"Jika Mas sudah dapat uang, nanti Mas belikan. Tapi kamu jangan minta sama Ibu, kasihan Ibu. Kalau kita merengek minta mainan sama Ibu, terus Ibu beli mainan buat kita, nanti Ibu ndak bisa buat beli beras sama bayar listrik, kamu mau kita beli mainan tapi kita ndak bisa makan sama tidur gelap gulita?"

Danum kecil menggeleng, dia berpikir dengan otaknya yang kadang berfungsi dengan baik dan kadang tidak berfungsi.

Alhasil karena tidak punya uang dan juga tidak bisa mainan. Mas Damar membuatkan mainan dari sandal bekas yang dibuat bulat-bulat sebagai roda, lalu botol plastik sebagai body mobil. Lalu jadilah mobil manual yang bisa buat menampung kerikil dan di tarik pakai tali rapiah.

Saat itu, Danum kecil tidak tahu kenapa Mas Damar memutuskan untuk berhenti sekolah. Alasan Mas Damar selalu saja klasik.

"Mas ndak pa-pa, ndak sekolah. Asalkan kamu sekolah sampai sarjana dan mendapatkan pekerjaan yang layak."

Sampai suatu saat Danum tahu jawabannya. Dia mengerti, bahwa perekonomian keluarganya sangat pas-pasan sepeninggal almarhum Bapak Gusli.

Ibu bekerja sebagai tukang cuci gosok, dan Mas Damar bekerja serabutan. Bukan hanya itu, Mas Damar harus rela melepaskan sekolahnya demi untuk membantu perekonomian keluarga yang karut marut.

Danum masih ingat dengan sangat jelas. Jikalau Mas Damar ingin ia menjadi seseorang yang bermanfaat bagi sesama manusia, terutama bagi Agama, Nusa dan Bangsa.

Entah terwujud atau tidak, yang pasti ia akan berusaha semaksimal mungkin..

Ketika memikirkan semua persoalan yang memutari isi kepalanya laksana bumi yang memutari matahari suara sang Kakak membuyarkan segala persoalan di kepalanya. Danum menoleh melihat Mas Damar yang berdiri di teras rumah.

"Aku lihat sejak kamu memarkirkan motor, kamu melamun saja, apa ada masalah?" Damar berjalan menuju teras rumah, dilihatnya adiknya itu menggendikkan pundak.

"Mana ada aku melamun, Mas Damar tuh kalau lihat jangan sebelah mata," sanggah Danum memasang mimik wajah datar.

"Sebelah mata?" Damar mengangkat satu alisnya, masih memperhatikan setiap gerakan adiknya yang mulai berjalan menjauh dari motor bergerobak dagangan kue leker. "kenapa kamu ndak sekalian aja bilang kalau aku melihat mu pakai sebelah lubang hidung?!"

Danum menghentikan langkahnya, kemudian ia mencuci tangan di kran samping tanaman hias. Ia membalas perkataan Damar asal-asalan. "Kalau lubang hidung bisa buat ngeliat, nanti upil-upilnya ikutan ngintip dong, Mas?"

"Lha ni bocah, malah di terusin!" sahut Damar ogah, sepintas atensinya melihat gerobak kue leker dan kembali melihat Danum. "Gimana dagangan kue leker mu hari ini, Num?"

"Kenapa tanya toh Mas?" Danum menjawabnya malas, langkah kakinya kembali berjalan menuju teras, sejak tadi atensinya sudah tercuri oleh bayi gemoy yang di gendong Damar.

"Memang ndak boleh aku tanya?" tanya Damar.

"Mas kan lebih tau," sahut Danum.

"Terus?" tukas Damar tidak mengerti.

"Embul...." seru Danum sumringah memanggil keponakannya dengan sebutan Embul bisa jadi Gembul dikarenakan bentuk tubuh keponakan itu memang gemoy. Lantas segera bergegas menghampiri bayi yang bernama Adam Mangkulangit. Danum selalu tak sabaran dan ingin segera menggendong gembul yang sejak tadi sudah tersenyum padanya. Tapi sebelum tangannya mendarat di tubuh gembul keponakannya, ia menghentikan aksinya saat Damar kembali bersuara.

"Apa kamu udah nyerah dagangan? Lalu udah seberapa tipis kesabaran mu saat ini, apa sudah setipis tisu?" Damar melihat Danum yang sudah mendekat dengan sedikit membungkukkan badannya ke arah Adam.

"Bukan lagi setipis tisu, tapi sekecil daun kelor!" cetus Danum asal, netranya melirik Damar sepintas, lantas mengambil alih Adam.

"Embul bul bul bul bul!" begitulah bunyinya acap kali Danum menimang nimang Adam.

Bayi ini pun merespon dengan tersenyum di sambung dengan tawa kecil.

"Keponakan Ahjusi seng paling guanteng, koyo Ahjusi Danum," kelakar Danum selalu saja seperti ini ketika sudah menggendong keponakannya.

Damar tak jadi duduk di kursi kayu, netranya menatap Danum dan Adam bergantian, dahinya mengerut mendengar panggilan yang kerap kali Danum ucapkan. *"Opo kui Ahjusi?"

*[Apa itu Ahjusi]

"Yo Paman toh Mas," sahut Danum enteng.

*"Bahasa seko ngendi kuwi?!" tanya Damar masih tidak mengerti sembari duduk di kursi kayu.

*[Bahasa darimana itu]

"Dari Korea," celetuk Danum menyusul duduk di kursi kayu memanjang depan Damar.

"Lhe kamu itu bagaimana sih Num, bahasa kita sendiri itu lebih baik. Paman, Bibi. Kenapa koh kamu malah senang pakai bahasanya orang lain?"

"Memang kenapa toh Mas, itu kan hanya sekedar panggilan?" enteng Danum bertanya, karena biasanya Damar tak pernah mempermasalahkan panggilan tersebut.

"Ahjusi, iku kurang macem. Seolah-olah kita mengikuti budaya mereka dan mulai melupakan budaya kita. Kita itu harusnya nguri-uri budoyo kita dan melestarikannya. Ingat NKRI," jelas Damar bersemangat.

"Yo jelas toh Mas, NKRI harga mati!" sahut Danum mantap.

"Lancar toh sekolahmu, ndak terhalang meskipun kamu jualan, Num?" tanya Damar lagi.

"Alhamdulillah lancar, Mas," Danum diam sejenak. Ia mengelus dadanya, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang kurang baik dalam dirinya bukan karena sakit, tapi ada yang mengusik ketenangan hatinya akhir-akhir ini.

Melihat adiknya hanya diam, Damar menepuk pundak Danum. "Kamu kenapa sih, Num? Ndak biasanya kamu diam kayak gini pas lagi ngobrol?"

Danum terhenyak, ia menoleh mendapati bahwa pandangan matanya nampak lain menatap Mas Damar. "Nganu Mas?"

"Anu apa Num?" Damar bertanya menyelidik, ia tahu persis jikalau sang adik sedang ada masalah pasti tiba-tiba jadi pendiam.

Danum masih meraba dadanya, kembali terhenyak saat Adam yang masih dalam pangkuannya bergerak-gerak.

"Bicara saja sama Mas mu ini, sebenarnya ada apa. Biasanya kan kamu pasti cerita," Damar mendesak agar adiknya ini mau berbagi cerita.

"Mas, kenapa perasaanku ndak enak," ungkap Danum, ia menatap wajah Damar yang nampak ngeblur.

"Nggak enak kenapa?" Damar semakin penasaran.

"Aku mimpi aneh dan perasaan ku seperti diintai oleh seseorang, tapi dia seperti ndak berwujud. Dia seperti memakai pakaian adat Jawa Surjan," ujar Danum mengenai hal kejadian mistik beberapa hari belakangan ini.

"Hah.. yang benar kamu, Num?" Damar merinding mendengar pengakuan adiknya. Guna-guna ilmu hitam yang pernah datang padanya membuat Damar waspada. "sejak kapan hal ini kamu rasakan, dan kamu ingat-ingat apa penyebabnya?" sambungnya mengkhawatirkan adiknya. Jangan sampai adik satu-satunya juga terkena mantra sihir. Nauzubillah!

"Nggak ingat Mas," Danum menggelengkan kepalanya, lantas menerawangkan pandangannya menatap keseluruhan halaman rumah. Samar dari kejauhan ia melihat seorang pria yang memakai pakaian adat Jawa dari kejauhan, tak berselang lama sesosok itu menghilang.

"Danum kamu baik-baik aja kan, kamu nggak lagi kesambet kan? Ayo sekarang Mas antar kamu ke rumah Ustadz Umar, jangan sampai apa yang terjadi sama Mas beberapa bulan lalu juga terjadi padamu," tukas Damar, ia mengambil alih baby Adam, lantas menarik tangan sang adik.

Danum melihat Mas Damar nampak sangat mengkhawatirkannya, ia tak ingin menambah kekhawatiran sang Kakak yang beberapa bulan lalu terlepas dari mantra pelet yang dikirim oleh seseorang. Danum lebih memilih menyanggah apa yang baru saja dilihatnya.

"Aku baik-baik saja Mas," kilah Danum. Dilihatnya dahi Kakaknya ini masih mengerut.

Damar mengamati wajah Danum, yang tersenyum tapi seperti dipaksakan.

"Tapi aku melihatmu ndak nampak baik-baik saja, kamu terlihat pucat. Kamu sakit, atau kamu sedang demam?" racau Damar khawatir, telapak tangannya memeriksa kening adiknya.

Danum tersenyum serta menggelengkan kepalanya. "Tenanglah Mas Damar, apa yang ku bilang tadi cuma halusinasi ku aja, ndak beneran. Sumpah!"

Dari dalam datang seorang wanita yang memakai daster, siapa lagi jika bukan istri Damar. Nawang Wulan, selentingan ia mendengar apa yang sedang dibahas suami dan adiknya.

"Lagi bahas apaan sih, kenapa pakai acara sumpah segala?" Wulan berjalan mendekati Damar, netranya melihat suami serta adik iparnya secara bergantian.

Damar dan Danum langsung menatap Wulan yang berjalan mendekati mereka. Menaruh piring berisikan kue nagasari.

"Bukan apa-apa Mbak," balas Danum melihat Kakak iparnya telah duduk di sebelah Damar.

...•••...

Bersambung...

Notes author:

Diupayakan update setiap hari.

Terimakasih atas segala bentuk dukungan mu, kawan.

...••••••••••...

Firasat

Tiga hari kemudian...

Saat mengendarai motornya dengan kecepatan rendah, seorang pembeli melambaikan tangan.

"Mas beli kue leker nya satu yah," seorang pembeli berkata pada pedagang kue leker keliling yang selalu di nantinya saban sore setelah pulang kerja.

"Iya Mbak, rasa apa?" jawab Danum. Dilihatnya wajah wanita yang sudah lumayan lama menjadi pelanggan kue leker nya.

"Rasa cintaku padamu, Mas Danum," canda si pembeli kepada sang penjual kue leker keliling yang masih nampak muda berpostur tubuh tinggi.

Danum tersenyum saat ada pembeli yang menggodanya dengan kata-kata guyonan seperti itu. Bisa dikatakan sudah biasa baginya.

"Siap Mbak," balas Danum sembari tersenyum ramah, ia sudah mengerti apa yang dimaksud pelanggan yang satu ini. Kue leker yang berisi toping cokelat keju yang cukup tebal dengan harga seporsi sepuluh ribu.

Danum kemudian sibuk, memanaskan teflon, sebenarnya tak jauh berbeda dalam pembuatan adonan kue martabak. Hanya saja kue leker adonan tepungnya lebih tipis lebih krispy, sedangkan permukaan kue leker di beri toping sesuai pesanan. Harga perporsi juga tergantung dari banyak atau sedikitnya toping.

Menu dan harga yang ditawarkan pun beragam. Mulai dari dua ribuan yang biasa di beli anak-anak kecil sampai sepuluh ribu.

Pernah suatu ketika, seorang pembeli Ibu-ibu yang berkata seperti ini.

"Mas Danum, kamu kan masih muda, ganteng lagi. Memangnya kamu nggak malu jualan keliling kayak gini?"

Danum menggeleng tipis. "Enggak,"

"selama saya nggak merugikan orang lain. Dan nggak malu-maluin orang tua." Danum menjawabnya saat itu.

Mendengar jawaban bijak Danum, Ibu ini tersenyum dan mengangkat jempolnya. Kemudian beralih melihat anak laki-lakinya yang sedang ia gandeng. Berharap anaknya bisa membuat bangga.

Danum berpikir mungkin karena khalayak ramai berpendapat, dominan anak muda pemalu dan tak jarang pula jika bersandingan dengan gengsi. Apalagi jika hanya berjualan keliling seperti dirinya. Dalam benak Danum untuk apa malu, toh ia tidak melanggar ketertiban umum, dan tidak merugikan orang lain dan tidak juga membuat orang tuanya malu.

Sedari kecil terbisa hidup dengan kehidupan sederhana. Pemuda yang delapan bulan lalu ini lulus SMA tidak pernah malu dalam menjajakan barang dagangannya. Di samping ia berjualan kue leker, Danum Mahesa merupakan seorang mahasiswa.

Danum bukan hanya berjualan kue leker. Sebelumnya, Danum juga pernah membantu usaha sang Kakak dalam berjualan cilok yang dijajakan keliling. Akan tetapi pada saat sang Kakak berhasil mengembangkan cilok pabrikan, maka Danum memutar otaknya, ia ingin juga sukses menurut passion nya sendiri.

Beberapa kali mencoba usaha lain seperti halnya berjualan cilor.

Jajanan anak-anak sekolahan aci dan telor. Lalu pada saat serba-serbi dagang cilor menemui kendala pasang surut.

Danum menyadari namanya juga dagangan apalagi jajanan anak-anak, kadang sepi kadang ramai, kadang ada yang bosan kadang ada yang masih stay. Apalagi jika sekarang ini banyak pedagang jajanan.

Sang Kakak (Damar) pernah menawarkan untuk bekerja saja di pabrik, tapi Danum belum berniat untuk menerima tawaran Kakaknya dengan dalih ingin sukses dengan jerih payahnya sendiri.

Pada saat Danum merasa dagangan cilornya benar-benar menemui kebuntuan, dia beralih ke kue leker.

Idenya ini berawal....

Pada saat itu, sang Kakak meminta untuk membelikannya martabak.

Danum membeli kue martabak dan mengamati cara pedagang martabak dalam membuatnya, sejak saat itu pulalah, Danum memiliki ide, bagaimana caranya agar adonan martabak yang tebal itu menjadi lebih tipis tapi teksturnya lebih krispy dan tetap lembut di makan, soal topingnya tak jauh berbeda dari martabak.

Dan Alhamdulillah, ada pelanggan yang sabar menunggu kedatangannya untuk membeli kue leker yang dia pikirkan masak-masak apa saja topingnya agar pembeli tidak bosan.

Sudah hampir setahun Danum menggeluti bisnis kuliner kue leker nya. Tapi cilor juga masih tetap berjalan, hanya kadangkala saja.

Dari masih berstatuskan Kelas tiga SMA sampai sekarang ini sudah lulus, ia masih keliling dengan sepeda motor butut yang sudah di modif dan berpikir suatu saat akan membeli atau menyewa sebuah lapak, jadi tidak perlu lagi berkeliling.

Dikarenakan sang Ibu yang selalu mengkhawatirkannya karena pulang malam, terlebih saat-saat ini sedang marak terjadi pembegalan atau biasa masyarakat sekitar DIY menyebutnya klitih.

Lamanya Danum memikirkan dari mana Awal kisah nya dan bagaimana bisa ia menemukan ide-ide jualannya. Kue leker pesanan Mbak Wati telah siap.

"Nah sudah siap Mbak," Danum memberikan kantung plastik bening kepada pelanggannya.

Mbak Wati menerima kantung plastik dengan senang hati. "Ini uangnya Mas Danum,"

Danum menerima uang dua puluh ribu, lalu merogoh tas kecil guna mengambil kembalian sepuluh ribu. "Ini Mbak kembaliannya, terimakasih ya Mbak'e,"

"Sama-sama Mas Danum." Mbak Wati mengambil kembalian sepuluh ribuan dari tangan Danum.

"Mbak Wati, mungkin saya enggak berjualan keliling lagi," ujar Danum, ia memberitahukan hal ini bukan hanya kepada Mbak Wati, tapi kepada pelanggan yang sudah lebih dulu di temuinya.

Mbah Wati terkejut. "Hah, kenapa? Memangnya Mas Danum mau kemana toh?"

Danum tersenyum ramah, reaksi Mbak Wati sama seperti pelanggan lainnya. "Saya nggak kemana-mana,"

"Terus?" Mbak Wati menuntut jawaban.

" Saya berniat mangkal," jawab Danum, dan kini dilihatnya reaksi Mbak Wati tidak begitu terkejut seperti sebelumnya.

"Oh kirain," jawab Mbak Wati lega, dikarenakan ia merasa tidak ada kue leker yang seenak ini dengan harga masih terjangkau. "terus dimana mangkalnya?"

"Jalan Kertopati, tidak jauh dari pedestrian," jawab Danum.

"Oh, oke. Nanti aku yang bakalan ke sana, nanti aku ajak temen-temen ku juga," kata Mbak Wati mengusulkan.

"Makasih Mbak." balas Danum senang.

Wanita yang masih memakai seragam PNS itupun pergi dari hadapannya. Danum merasa sedikit lega, meskipun ada pelanggan yang keberatan karena tak berjualan keliling lagi, tapi juga tak sedikit yang antusias ingin datang ke lapaknya mangkal.

°°

Malam menjelang, selesai menunaikan sholat isya di salah satu musholla. Danum keluar dari dalam musholla, lantas berdiri di pelataran. Tatapannya memandangi bias bintang yang terlihat di langit sana.

Tanpa terasa ia mengusap dadanya, entah kenapa ada sesuatu hal yang membuat perasaannya tak enak.

"Ahh kenapa perasaanku nggak enak, apa kurang bumbu penyedap?"

Danum menggelengkan kepalanya, segera menepis perasannya yang tak mengenakkan ini.

Di lanjutkan kembali perjalanannya untuk berkeliling dan berharap sebelum jam sembilan malam dagangan kue leker nya habis terjual.

Danum mencoba mangkal di pinggir jalan tak jauh dari pedestrian, dan alhamdulillah dalam waktu setengah jam, dagangannya habis terjual, senyuman tersungging di kedua sudut bibirnya tatkala melihat wadah yang berisi adonan kue leker hanyalah tinggal sisa-sisa yang menempel di dalam wadah.

"Saatnya aku pulang."

Danum teringat peringatan Ibunya, jikalau habis berdagang jangan keluyuran.

Yah, Danum juga tidak ingin membuat Ibunya cemas. Bukan karena ia anak manja, terkadang kelalaian disebabkan melalaikan nasehat. Dan Danum tidak ingin kejadian yang tidak diinginkan terjadi, kecuali memang sudah kehendak dari sang Ilahi.

Danum menyusuri jalanan yang nampak lengang di jam setengah sembilan malam.

"Ni malem sepi amat ya?" gumamnya lirih. atensinya melihat ke sekeliling jangkauan mata bisa melihat.

"Mungkin karena bukan hari weekend jadi terasa agak sepi." lanjutnya dalam hati.

Setelah beberapa saat, Danum melihat kaca spion dan melihat ada dua pengendara motor tepat di belakangnya.

Firasat yang semula tidak enak, kembali menyeruak, karena motor di belakangnya persis seperti membuntutinya dan semakin memepetnya.

"Mau apa mereka?" monolognya dalam hati.

Tiba-tiba saja gerobaknya di seruduk dari belakang.

"Astaghfirullah!" pekik Danum terperangah, saat ia dan motornya terhempas ke jalanan beraspal.

BRAK!!!

Dua pengendara motor yang masing-masing berboncengan menghampiri seseorang yang sudah terjatuh bersama motor bergerobak.

°°°

Bersambung

Notes author: Jangan lupa tinggalkan like dan komen. Terimakasih

Penyerangan Klitih

"Kipli, ambil tas nya, sebelum ada motor yang lewat!" seorang pria bermasker memberi titah kepada temannya yang lain.

Meskipun masih dalam keadaan perasaan terkejut karena terhempas di jalanan bersama dengan motor dan gerobaknya. Tapi segenap pikiran waras serta perasaan waspada, Danum yang masih tengkurap di atas jalan beraspal melihat kaki bercelana panjang berada tepat di depan wajahnya.

Seorang yang bernama Kipli lantas membungkuk dan hendak mengambil tas korbannya. Akan tetapi tanpa di nyana si korban ini menjegal kakinya.

Mata Kipli yang merah membelalak menatap sang calon korban yang tengkurap, lalu berkata dengan suara ganas. "Heh, kalau mau nyawa mu selamat, cepat serahin tas nya!"

"Eghh!" Danum menarik kaki si preman dengan tenaga yang kuat, hingga menyebabkan preman ini jatuh terjengkang.

"Arghh!" erang Kipli saat pantatnya menghantam kerasnya aspal.

Danum segera berdiri, dan melihat preman yang baru saja ia tarik kakinya. Kemudian beralih melihat ketiga preman yang masing-masing memakai slayer penutup wajah. Salah seorang diantaranya berambut kriwil mengingatkan Danum pada pekan lalu. Entah orang yang sama atau itu orang yang memiliki gaya rambut yang sama.

"Nyawaku bukan di tangan kalian, bangsat!" hardik Danum emosional. Sekelebat ingatan pekan lalu saat dua orang melakukan penyerangan terhadap dirinya.

"Alah banyak bacot!" seorang pria sebut saja Jamal berjalan dengan langkah jenjang mendekati korbannya yang dirasa telah menantang. Ia mengepalkan tangannya hendak melayangkan tinju pada sang calon korban.

Dengan gerakan gesit, Danum menghalau bogeman preman itu. Bahkan ia menendang perut si preman. Dilihatnya, preman itu mundur terhuyung-huyung. Danum bersyukur bisa belajar ilmu bela diri dari Bokir yaitu rekan kerja Kakaknya.

"Arghh!" erang Jamal yang mendapat tendangan keras di perutnya, hingga menyebabkannya oleng dan mundur beberapa langkah.

Kedua teman Jamal, sebut saja Zaki dan Togi melihat wajah yang tak asing. Keduanya mengingat si calon korban yang pekan lalu sempat akan menjadi korbannya, namun Togi dan Zaki dapat dikalahkan dengan mudah.

Kipli kembali bergabung bersama ketiga teman lainnya, begitu juga dengan Jamal yang bersusah payah kembali berdiri.

"Dia yang sudah menghajar kita pekan lalu!" Zaki berbisik di telinga Togi.

Togi menegaskan rahangnya, atensinya nyalang menatap seorang pemuda yang mengalahkannya pekan lalu.

"Hajar!" Togi berteriak sangar.

Danum telah siap dengan gerakan yang sudah dipelajarinya saat berlatih ilmu bela diri bersama dengan Bokir. Sebenarnya ini bukan yang pertama baginya dalam menghadapi persoalan di jalanan, terhitung sudah dua kali dia berhadapan dengan kelompok klitih yang sebenarnya usia kelompok klitih ini tak jauh berbeda darinya.

Bukan sok jagoan, bukan pula ingin menguji kemampuan. Hanya saja Danum ingin memberi pelajaran bagi para kelompok klitih yang semakin meresahkan masyarakat sekitar DIY. Apalagi kelompok ini, selalu menyerang pengguna jalan yang tidak ada kaitannya dengan kelompok klitih bahkan tak segan kelompok ini akan bertindak kejam dengan membawa senjata tajam dan melukai korbannya.

Keringat sudah pasti membasahi tubuhnya, namun Danum tak ingin lengah. Meskipun ia harus melawan empat orang itu seorang diri.

Perkelahian semakin sengit, Danum melawan empat anggota klitih. Berbagai jurus kaki dan tangan mampu menepis tendangan serta hantaman yang siap menyerang tubuhnya dari berbagai arah.

"Arghh, bangsat!" kembali erangan menguar dari mulut Zaki yang berdarah.

Sejauh ini, Danum tak melihat mereka membawa senjata tajam. Meskipun begitu, ia tak bisa lengah begitu saja, nafasnya semakin memburu. Keringat mengucur deras.

"Arghh..." satu bogeman tak dapat Danum elakkan. Ia mendapat tinju di wajahnya hingga menyebabkan rasa sakit juga ngilu.

Danum menggelengkan kepalanya yang rasanya seperti ketiban batu besar. Ia kembali menyerang, dan sekali tarikan tangan, Danum berhasil membuka slayer penutup wajah salah seorang preman. Nampaklah wajah kelompok klitih ini.

"Sialan!" sergah Zaki kala wajahnya tak lagi memakai slayer.

"Hoo jadi wajahnya seperti ini, akan aku ingat!" Danum merekam wajah dari preman berambut kriwil dalam ingatannya, agar suatu saat ketika bertemu di siang hari ia dapat melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Togi melihat pemuda itu lengah, ia tak membuang waktunya percuma. Karena pemuda itu juga telah melihat wajah Zaki. Togi mengambil pisau dari jok motornya, secara langsung ia menikam sang korban di bagian perut.

Danum membelalakkan matanya tatkala merasakan benda tajam menerjang perutnya. Lantas mengulurkan tangannya dan meraba perut yang tertusuk, saat menarik tangannya dari sana, mata yang mulai memerah melihat telapak tangannya telah berlumuran darah.

Perlahan Danum jatuh tersungkur di jalan beraspal. Menahan gejolak lara yang semakin menikam.

"Arhh..." Danum merintih kesakitan.

Ketiga teman Togi terpekur, melihat temannya itu menusuk sang calon korban. Karena mereka membawa senjata tajam hanya untuk menakuti-nakuti calon korbannya. Bukan secara membabi buta melakukan penikaman.

Tak di sangka, bahwa Togi benar-benar menusuk sang calon korban hingga terdengar rintihan lirih dari korbannya.

"Togi!" seru Jamal pada temannya. "bahaya Gi, bahaya!" sambungnya panik, melihat ke kanan dan ke kiri.

Kipli dan Zaki melihat keadaan situasi sekitarnya. Seolah memeriksa jika tidak ada yang melihat kejadian ini.

Nafas Danum mulai tersengal-sengal, ia menahan sakit yang teramat sangat dalam di perutnya, bahkan rasa sakit kian menjalari seluruh tubuhnya.

Tiba-tiba terdengar deruman knalpot segerombolan pemotor datang dari arah kejauhan. Zaki, Jamal, Kipli menyadari atas keberadaan segerombolan pemotor itu, dan hal ini akan berdampak buruk jikalau mereka tertangkap. Pasalnya mereka pasti akan jadi amukan massa dan lebih parahnya masuk penjara.

Dalam setengah kesadarannya yang masih tersisa, sayup-sayup Danum mendengar suara seseorang berteriak dari kejauhan.

"Woi!" salah seorang dari segerombolan pemotor berteriak lantang.

"Cabut woi, cabut!" tangan Zaki melambai pada teman-temannya, guna meninggalkan tempat.

Jamal dan Zaki langsung berlari ke tempat motor mereka terparkir. Sedangkan Kipli melihat Togi yang masih terpekur melihat pemuda yang ditusuknya. Kipli melihat segerombolan pemotor itu mulai mendekati mereka.

"Eh Togi, ayo cabut!" Kipli segera menarik tangan Togi dan berlari secepat kilat menyalakan mesin motor.

Kipli dan Togi tancap gas sekencang mungkin menyusul Jamal dan Zaki yang telah lebih dulu pergi.

"Kejar mereka!" salah seorang anggota pemotor meneriaki temannya guna mengejar klitih yang kabur.

Tiga anggota pemotor mengejar, yang mereka duga adalah kelompok klitih yang kian meresahkan masyarakat, terutama pengguna jalan pada malam hari yang sepi.

"Juna, ada orang pingsan!" seorang anggota pemotor melihat pemuda yang sudah pingsan di jalanan.

Seseorang yang bernama Juna segera melihat, lalu memegang punggung seorang pemuda yang di duga telah menjadi korban dari kekejaman klitih.

Juna membalikkan tubuh pemuda ini, dan baru ia tahu jikalau pemuda ini adalah adik dari temannya. Juna membelalakkan matanya dan berseru. "Danum!"

"Apa, Danum?" teman Juna bernama Rizal berseru terkejut.

"Bukankah dia adiknya Damar?" Firli tahu betul jikalau pemuda yang telah menjadi korban klitih adalah adik temannya.

"Cepat telpon ambulans!" kata Juna cemas. Ia gemetar saat melihat tangannya berlumuran darah Danum.

°°°

Bersambung

Notes author: Jangan lupa tinggalkan like dan komen. Terimakasih

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!