LITTLE NANNY
Angin malam yang berhembus kencang menembus kaos oblong abu-abu pendek yang Tisha gunakan. Bukan angin sepoi-sepoi yang berhembus, melainkan angin pengantar hujan yang kurang nyaman bila dirasakan.
Rintik hujan mulai berjatuhan membasahi bumi yang selama seminggu ini kering kerontang karena hujan tak kunjung datang.
Hal ini membuat orang-orang yang berada di sana mendongak untuk memastikan apakah air yang jatuh dari atas memang air hujan atau bukan. Begitu juga dengan Tisha.
Sebagian orang berlari dari pinggir danau menuju tenda para penjual makanan untuk berteduh. Sebagian lagi tetap duduk dengan santai. Mereka yang tetap duduk mungkin menunggu rintik berubah menjadi deras, barulah mereka mau meneduh. Bisa jadi juga karena mereka menganggap bahwa rintik itu tidak lama lagi akan hilang dan tidak akan berubah menjadi hujan. Seperti hari-hari sebelumnya.
Tisha, gadis berusia sembilan belas tahun itu tetap pada posisinya. Dari mimik wajahnya tidak ada kekhawatiran jika rintik yang telah jatuh menembus kaosnya sebentar lagi akan berubah menjadi hujan besar yang siap mengguyur badannya.
"Ibu menerima tawaran Bu Karti untuk kerja di laundry cabang miliknya. Mungkin semingguan lagi berangkat ke sana."
Ingatan Tisha terus berputar pada percakapan antara dirinya dengan ibunya tadi sore.
"Kenapa diterima Bu, bukannya laundry cabang itu jauh? Beda pulau loh, Bu!"
Tisha merasa terkejut dengan keputusan ibunya yang bersedia menerima tawaran itu.
"Ibu tidak punya pilihan lain, Ti. Bapakmu meninggal dengan meninggalkan beban hutang seratus juta untuk kita. Seratus juta itu bukan uang yang kecil, Ti. Dari mana ibu bisa mendapatkan uang segitu banyaknya jika tidak nekat untuk merantau? Itu pun ibu juga tidak tahu harus berapa lama ibu mengumpulkan uang sebanyak itu."
Tisha memijit pelipis kepalanya yang terasa berdenyut saat mengingat percakapan itu.
"Kamu juga harus lanjut kuliah dan adikmu harus lanjut sekolah. Masa depan kalian masih panjang. Ibu harus berjuang demi kalian!"
Tisha merasa sedih dengan nasib keluarganya.
Tiga minggu yang lalu bapaknya meninggal. Siapa sangka seminggu yang lalu ada hal yang mengejutkan baginya dan keluarganya.
Tenyata bapaknya meninggalkan hutang sebesar seratus juta tanpa diketahui mengutang uang sebanyak itu digunakan untuk apa semasa hidupnya.
Keadaan tersebut semakin miris karena jika dalam waktu seminggu keluarga Tisha tidak mampu mengembalikan hutang tersebut, maka rumah mereka yang akan disita.
Tisha bingung dan terus berusaha waras dalam menghadapinya. Hujan yang semakin deras ia abaikan begitu saja. Rambut sepinggang berwarna hitam yang ia kuncir kuda sudah basah diguyur hujan.
Matanya terpaku melihat air mancur yang terus berganti dan terus membentuk formasi warna di tengah danau tersebut.
Cantik sekali batin Tisha. Tetapi sayangnya ia tidak bisa menikmati air mancur tersebut dengan hati yang riang.
Tisha terkejut saat ada yang menarik tangan kirinya dengan cepat.
Gerimis yang langsung berubah menjadi hujan deras itu menghalangi dirinya untuk melihat siapa yang telah menarik tangannya.
"Papi bilang tidak boleh main hujan saat malam hari, nanti bisa sakit!" teriakan itu berusaha menandingi berisiknya air hujan.
Pandangan Tisha beralih melihat tangan mungil yang terus berusaha menariknya.
Akhirnya Tisha bersedia mengikuti ke mana tangan kecil itu menariknya.
Kaki kecilnya yang telah berlari untuk membawa Tisha berteduh itu berhenti di bawah tenda kuning milik pedagang gulali.
Tisha langsung menyeka wajah dan rambutnya yang basah. Ia juga melanjutkan dengan mengibaskan kaos dan rok selutut yang basah miliknya.
Anak kecil itu terlihat mendongak mengamati apa yang sedang Tisha lakukan.
Sesaat setelah Tisha selesai dari kesibukannya, ia lalu menoleh kepada pahlawan kecil yang berdiri di sampingnya. Tisha melempar senyuman kepada anak kecil tersebut yang tingginya hanya seperut Tisha.
"Terima kasih, ya!" ucap Tisha mengawali percakapan mereka.
Anak kecil laki-laki itu tidak membalas senyuman Tisha justru menatap Tisha dengan tatapan yang tajam. Ekspresi datar dan bentuk wajah yang tegas walaupun masih kecil itu membuat dia tampak berkharisma walaupun dia masih anak-anak.
Tisha tidak munafik, dalam hatinya juga mengakui jika anak kecil di sampingnya ini memang tampan.
Tisha melambaikan tangan sambil tersenyum menampakkan deretan giginya yang gingsul kepada anak kecil yang tak kunjung membalas senyuman dan ucapan terima kasih darinya.
"Padahal sudah besar. Sudah tahu sedang turun hujan bukannya berteduh malah hujan-hujanan." ucap anak kecil itu dengan suara pelan, tapi tegas.
Tisha terkesiap mendengarnya. Senyum di bibirnya langsung pudar. Lihatlah dia sedang dimarahi anak kecil di depannya ini.
"Seperti anak kecil saja!" lanjut anak kecil tersebut dengan ketus.
Tisha langsung memalingkan wajahnya ke depan. Tisha memang masih dalam mode terkejut, tapi dia mati-matian menahan tawa saat mendengar perkataan terakhir anak kecil itu.
"Astaga, aku dibilang seperti anak kecil oleh anak kecil," batin Tisha sambil menahan tawa.
"Papi bilang kalau sedang turun hujan itu sebaiknya berteduh, apalagi kalau malam hari. Seperti orang yang tidak punya kesibukan saja hujan-hujanan malam hari," ucapnya lagi tampak semakin ketus.
Tisha tersenyum lalu menoleh kepadanya. "Kamu kenapa sendirian?" tanya Tisha.
"Kakak kenapa hujan-hujanan saat malam hari? Orang-orang lainnya berteduh tapi kenapa Kakak malah hujan-hujanan?"
Bukannya menjawab pertanyaan dari Tisha, justru anak itu balik bertanya kepada Tisha.
Tisha tertawa kecil mendengarnya.
"Papi bilang kalau sedang bersedih itu cerita ke orang yang kakak percaya, bukannya hujan-hujanan seperti itu!" ucap anak kecil itu dengan bijak.
Tisha tergelak. "Lucu banget sih sok dewasa. Anak siapa sih ini?" batin Tisha dalam hati merasa gemas dengan bocil yang berlagak dewasa di sampingnya ini.
Tisha memutar posisi badannya menghadap anak kecil itu.
"Anak yang pintar. Pasti papi mu selalu mengajarkan hal baik kepadamu!" puji Tisha sembari tersenyum kepadanya.
Anak itu hanya diam.
"Kalau Kakak ceritanya ke kamu boleh nggak?" tanya Tisha dengan iseng.
Tidak disangka, anak itu mengangguk dengan serius dan membuat Tisha tidak bisa menyembunyikan tawanya.
"Hehe, aku aja bingung harus mulai dari mana kalau mau cerita ke orang lain," batin Tisha ditengah tawanya.
"Kamu jangan niru Kakak, ya. Kamu nggak boleh hujan-hujanan saat malam hari. Nanti bisa masuk angin dan sakit!" Tisha mencoba menasehati anak kecil tersebut.
"Iya, papi juga bilang begitu!" jawabnya.
Sedari tadi cara bicara anak kecil ini cenderung tegas dan ketus.
Tisha melihat sekeliling. Rupanya orang-orang juga menumpang untuk berteduh di tenda-tenda penjual makanan dan aksesoris. Hujan memang turun sangat lebat.
Tisha sering pergi ke danau ini untuk sekedar duduk, merenung, atau mengerjakan tugas kuliahnya.
Anak kecil itu membawa Tisha berteduh di tenda kuning milih penjual permen gulali yang bisa dibentuk-bentuk.
Ada bentuk kucing, naga, bunga, buah, dan bentuk lainnya yang lucu. Bentuk lucu sedemikian rupa, sangat sayang jika harus dimakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Praised94
terima kasih
2024-04-09
0
Narimah Ahmad
menarik ☺️
2024-03-14
1
Bilal Khan
bab satu udah bikin menarik ceritanya,
2024-03-10
1