NovelToon NovelToon

LITTLE NANNY

Pertemuan Pertama

Angin malam yang berhembus kencang menembus kaos oblong abu-abu pendek yang Tisha gunakan. Bukan angin sepoi-sepoi yang berhembus, melainkan angin pengantar hujan yang kurang nyaman bila dirasakan.

Rintik hujan mulai berjatuhan membasahi bumi yang selama seminggu ini kering kerontang karena hujan tak kunjung datang.

Hal ini membuat orang-orang yang berada di sana mendongak untuk memastikan apakah yang jatuh dari atas memang benar air hujan atau yang lainnya. Begitu juga dengan yang Tisha lakukan.

Sebagian orang berlari dari pinggir danau menuju tenda para penjual makanan untuk berteduh. Sebagian lagi tetap duduk santai. Mungkin mereka menunggu rintik berubah menjadi deras, barulah mereka berteduh. Mungkin juga mereka menganggap bahwa rintik itu tidak lama lagi akan hilang, seperti hari-hari sebelumnya.

Tisha, gadis berusia sembilan belas tahun itu tetap pada posisinya. Dari mimik wajahnya tidak ada kekhawatiran jika rintik yang telah jatuh menembus kaosnya sebentar lagi akan berubah menjadi hujan besar yang siap mengguyur badannya.

"Ibu menerima tawaran Bu Karti untuk kerja di laundry cabang miliknya. Mungkin semingguan lagi berangkat ke sana."

Ingatan Tisha terus berputar pada percakapannya dengan ibunya sore tadi.

"Kenapa diterima Bu, bukannya laundry cabang itu jauh? Beda pulau loh, Bu!" jawab Tisha tadi sore yang terkejut dengan keputusan ibunya yang ingin bekerja dengan jarak yang cukup jauh.

"Ibu tidak punya pilihan lain Ti. Bapakmu meninggal dengan meninggalkan beban hutang seratus juta untuk kita. Seratus juta itu bukan uang yang kecil Ti. Darimana ibu bisa mendapatkan yang segitu banyaknya jika tidak nekat untuk merantau? Itu pun ibu juga tidak tahu harus berapa lama ibu mengumpulkan uang sebanyak itu." jeda ibu Tisha, lalu memijit pelipis kepalanya yang terasa berdenyut.

"Kamu juga harus lanjut kuliah dan adikmu harus lanjut sekolah. Masa depan kalian masih panjang. Ibu harus melanjutkan semuanya!" lanjut ibu Tisha.

Sudah tiga minggu bapak Tisha meninggal dan sejak seminggu yang lalu ada hal yang mengejutkan baginya dan keluarga.

Bapaknya meninggalkan hutang sebesar seratus juta tanpa diketahui mengutang sebanyak itu digunakan untuk apa semasa hidupnya.

Utang sebesar itu jika dalam waktu seminggu keluarga Tisha tidak bisa mengembalikan, maka rumah mereka yang akan disita.

Pikirannya bingung dan terus berusaha waras dalam menghadapinya. Hujan yang semakin deras diabaikan begitu saja olehnya. Rambut sepundak berwarna hitam yang ia kuncir kuda sudah basah diguyur hujan.

Matanya terpaku melihat air mancur yang terus berganti dan terus membentuk formasi warna di tengah danau tersebut.

Cantik sekali batin Tisha, tapi sayangnya ia tidak bisa menikmati air mancur tersebut dengan hati yang riang.

Tisha terkejut saat ada yang menarik tangan kirinya dengan cepat. Gerimis yang berubah menjadi hujan yang cukup deras itu menghalangi dirinya untuk melihat siapa ora yang telah menarik tangannya dengan jelas.

"Papi bilang tidak boleh main hujan saat malam hari, nanti bisa sakit!" teriakan itu berusaha menandingi berisiknya air hujan.

Pandangan Tisha beralih kepada tangan mungil yang terus berusaha menarik tangannya.

Dengan terpaksa Tisha berdiri dan mengikuti ke mana tangan kecil itu membawanya. Tisha merasa percaya karena dia masih kecil. Andai saja dia orang dewasa, pasti ada upaya penolakan darinya.

Kaki kecilnya yang berlari dan diikuti oleh Tisha berhenti tepat di bawah tenda berwarna kuning milik pedagang gulali.

Tisha langsung menyeka wajah dan rambutnya yang basah saat sampai di bawah tenda tersebut. Ia juga melanjutkan dengan mengibas-ibaskan kaos dan rok selutut yang basah miliknya.

Namun, berbeda dengan anak kecil tersebut, dia justru fokus mendongak melihat Tisha yang sedang sibuk sendiri.

Sesaat setelah Tisha selesai dari kesibukannya, ia lalu menoleh ke arah sebelah kiri dari tempat dia berdiri. Tisha melempar senyuman kepada anak kecil yang tingginya hanya seperut Tisha.

"Terima kasih, ya," ucap Tisha mengawali percakapan mereka.

Anak kecil berjenis kelamin laki-laki itu tidak membalas senyuman Tisha justru menatap Tisha dengan tatapan yang tajam. Ekspresi datar dan bentuk wajah yang tegas walaupun masih kecil itu membuat dia terlihat berkharisma walaupun masih kecil.

Tisha tidak munafik, dalam hatinya juga mengakui jika anak kecil di sampingnya ini tampan.

Tisha melambaikan tangan sambil tersenyum menampakkan deretan giginya yang gingsul kepada anak kecil yang tak kunjung membalas senyuman dan ucapan terima kasih darinya.

"Padahal sudah besar, sudah tahu sedang turun hujan bukannya berteduh malah hujan-hujanan," ucap anak kecil itu dengan suara pelan dan tegas.

Tisha tergelak mendengarnya. Senyumnya langsung pudar. Lihatlah dia sedang dimarahi anak kecil di depannya ini.

"Seperti anak kecil saja!" lanjut anak kecil tersebut.

Tisha langsung memalingkan wajahnya ke depan. Tisha memang masih dalam mode terkejut, tapi dia mati-matian menahan tawa saat mendengar perkataan terakhir anak kecil itu

"Aku dibilang seperti anak kecil oleh anak kecil," batin Tisha sambil menahan tawa.

"Papi bilang kalau sedang hujan itu berteduh apalagi kalau malam hari. Seperti orang yang tidak punya kesibukan saja hujan-hujanan malam hari," ucapnya lagi.

Tisha tersenyum lalu menoleh kepadanya. "Kamu kenapa sendirian?" tanya Tisha.

"Kakak kenapa hujan-hujanan saat malam hari? Orang-orang lainnya berteduh tapi kenapa Kakak malah hujan-hujanan?" Bukannya menjawab pertanyaan Tisha, justru anak itu balik bertanya kepada Tisha.

Tisha tertawa kecil mendengarnya.

"Papi bilang kalau sedang bersedih itu cerita ke orang yang kakak percaya, bukannya hujan-hujanan seperti itu!" ucap anak kecil itu dengan bijak.

Tisha tergelak. Dia memutar posisi badannya menghadap anak kecil itu.

"Anak pintar. Pasti papi mu selalu mengajarkan hal baik ke kamu!" jawab Tisha kepadanya.

Anak itu hanya terdiam.

"Kalau cerita ke kamu boleh?" tanya Tisha dengan iseng.

Tidak disangka, anak itu mengangguk dengan serius dan membuat Tisha tidak bisa menyembunyikan tawanya.

"Aku aja bingung harus mulai dari mana kalau mau cerita ke orang lain," batin Tisha ditengah tawanya.

"Masalahku terlalu berat, tapi aku masih bisa tertawa seperti ini," batinnya lagi.

"Kamu jangan niru kakak ya, nggak boleh hujan-hujanan malem-malem, nanti masuk angin terus sakit!" Tisha mencoba menasehati anak kecil tersebut.

"Iya, papi juga melarang kalau hujan-hujanan!" jawabnya.

Sedari tadi cara bicara anak tersebut terkesan tegas tapi juga ketus.

Tisha melihat sekeliling, rupanya orang-orang numpang berteduh di tenda-tenda penjual makanan dan aksesoris di tempat ini.

Tisha sering pergi ke danau ini untuk sekedar duduk-duduk, merenung, atau mengerjakan tugas kuliahnya.

Rupanya anak itu membawa Tisha berteduh di tenda kuning milih penjual permen gulali yang bisa dibentuk-bentuk.

Ada bentuk kucing, naga, bunga, buah, dan bentuk lainnya yang lucu-lucu. Rasanya sayang jika harus dimakan karena lucu.

Namanya Ocean

Tisha mengamati dia yang sedang terpaku menatap sesuatu. Karena penasaran dia sedang melihat apa, lalu Tisha mengikuti arah pandangnya. Rupanya dia terpaku pada permen gulali yang sudah tertata rapi dengan batang permen yang terbuat dari bambu itu tertancap pada pada tempatnya.

"Kamu mau?" tanya Tisha membuyarkan pandangannya.

Dia menggeleng sambil membuang pandangannya ke arah lain dan enggan melihat permen gulali itu lagi.

Tisha tersenyum dan langsung meraih tangan kecil itu, menggandengnya dan mengajak mendekati penjual permen gulali tersebut.

Setelah sampai di depan penjual permen gulali, "Kamu mau yang bentuk apa?" tanya Tisha.

"Tidak," jawabnya singkat.

"Nggak papa, pilih aja yang mana!"

"Aku tidak punya uang untuk membelinya!" ujarnya dengan pelan.

"Lagi pula pasti papi juga tidak mengizinkan untuk makan sembarangan begini," lanjutnya lagi.

Tisha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Udah sampai di sini malu kalau nggak jadi beli," bisik Tisha pelan ditelinga kanannya sambil membungkuk menyesuaikan dengan tinggi badannya.

"Habis ini langsung dimakan aja, jangan bilang-bilang Papi kamu!" lanjut Tisha.

Anak itu hanya diam saja.

"Kamu mau yang bentuk apa?" tanya Tisha lagi.

Anak itu tampak berpikir. Lalu dia mendongak menatap Tisha dengan penuh keraguan.

"Pilih aja!" ucap Tisha dengan yakin.

Anak itu mengangguk, lalu sibuk memilih bentuk yang ia inginkan. Tidak menunggu waktu lama pilihannya jatuh pada bentuk kucing.

Anak itu menunjukkan bentuk mana yang dia pilih kepada Tisha dengan mata berbinar.

Sejenak Tisha mengagumi wajah berbinarnya. Tampak sekali jika dia senang dengan permen gulali yang ia pilih.

Tisha mengangguk lalu berkata pada pedagangnya, "Kak, yang bentuk kucing dua ya!"

"Berapa, Kak?" sambung Tisha bertanya harga.

"Sepuluh ribu ya, Kak!" jawab pedangan permen gulali tersebut.

Tisha segera mengambil dompet dari dalam tas selempang berwarna hijau berbahan kanvas miliknya.

Di dalam dompet tersebut tampak uang pecahan sepuluh ribu dan seratus ribu.

"Pas, ada uang sepuluh ribu!" batin Tisha sembari mengambil uang tersebut.

Setelah membayar dan Tisha menerima dua permen gulali berbentuk kucing, Tisha memberikan salah satu permen gulali tersebut kepada anak kecil yang tampak tidak sabar menunggu.

"Satu kucing untuk anak baik dan satu lagi untuk kakak!" ujar Tisha sambil menyerahkannya satu permen gulali berbentuk kucing kepada anak tersebut.

Anak itu tampak girang saat menerimanya.

"Walaupun dia tampak dewasa dari perkiraan umurnya, tapi tetap saja dia masih kecil!" batin Tisha saat melihat sisi kekanakan anak tersebut karena tampak girang saat menerima permen berbentuk kucing.

Lalu Tisha mengajaknya untuk duduk di kursi plastik milik penjual permen gulali tersebut. Kebetulan ada dua kursi plastik yang tidak dipakai. Tisha juga sudah meminta izin untuk duduk di sana.

Hujan juga belum reda. Jadi Tisha berencana akan numpang berteduh di tenda ini sampai hujannya reda.

Saat Tisha baru saja duduk di kursi plastik, anak kecil yang masih berdiri itu tiba-tiba menjulurkan tangannya kepada Tisha.

"Cean," ucapnya sambil tersenyum.

Tisha mengerutkan dahinya karena bingung.

"Namaku Ocean, bisa dipanggil Cean. Nama Kakak siapa?" ulangnya lagi memperkenalkan diri dan tampak menggemaskan.

Tisha mengutuk dirinya yang otaknya sering lemot.

"Oh, namanya Cean ya. Nama Kakak---,"

"Cean!" terdengar teriakan seorang pria.

Belum sempat Tisha melanjutkan memperkenalkan diri, tiba-tiba ada dua pria dewasa yang datang ke arahnya.

Sontak Tisha langsung berdiri karena dua pria itu berteriak memanggil nama Cean. Berarti mereka berdua sedang mencari anak yang sedang bersamanya saat ini.

"Kamu kemana aja, kalau hilang bagaimana?" Salah satu dari mereka menarik tangan Cean agar mendekat dengan pria tersebut.

Cean ditarik oleh pria yang wajahnya mirip sekali dengan Cean. Bak pinang dibelah dua. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, alisnya tebal, tatapannya tajam dengan bulu mata yang lentik, dan bibirnya tipis.

Tampan, Tisha tidak munafik untuk mengakui di dalam hatinya jika Cean dan pria dewasa di depannya ini tampan.

Namun, di sampingnya juga ada pria dewasa yang tidak kalah tampan. Hidungnya juga mancung, tatapannya tajam, alisnya tebal, namun bibirnya lebih tebal. Pria ini memegang satu payung hitam besar yang tadi dipakai untuk berdua.

Kemeja biru dongker lengan panjang yang dilipat sampai siku yang ia kenakan juga tampak basah di bagian pundak kiri.

Perbedaan dua pria dewasa ini juga terletak pada kumis dan jambang halus yang dimiliki keduanya. Pria yang berwajah mirip Cean tidak memiliki kumis atau jambang. Wajahnya mulus sekali.

Sedangkan satunya berkumis tipis dan dihiasi jambang-jambang halus yang membuatnya terlihat lebih berkharisma menurut Tisha.

Keduanya memiliki postur yang sama-sama tinggi dan kekar. Namun, yang wajahnya mirip Cean terlihat lebih tinggi sedikit. Kira-kira tinggi badan mereka diatas 180 cm.

"Papi," panggil Cean kepada pria yang berwajah mirip dengannya. Pria itu menggunakan kemeja abu-abu lengan panjang yang dilipat sampai siku itu adalah papinya Cean.

Kemejanya dimasukkan ke dalam celana kain berwarna hitam. Tidak lupa juga dengan ikat pinggang dan sepatu pantofel hitam miliknya.

"Papi kan sudah bilang Cean jangan bermain jauh-jauh. Papi sudah cari-cari Cean dari tadi. Papi panik, apalagi sekarang sedang hujan!" pria itu memang tampak panik.

Tisha hanya diam saja sambil mengamati interaksi keduanya.

Namun, Tisha langsung mengalihkan pandanganya kepada pria yang satunya karena Tisha merasa pria itu memandanginya sedari tadi.

Pria itu langsung melempar senyuman kepada Tisha dan Tisha pun membalasnya.

"Kakak, terima kasih permen gulali nya ya. Besok kalau bertemu lagi, Cean pasti mengganti uangnya," ucap Cean membuat pandangan Tisha kembali beralih kepada Cean.

Papinya Cean juga ikut memandangi Tisha saat mendengar perkataan anaknya.

"Nggak usah diganti gapapa kok!" jawab Tisha sambil tersenyum kikuk karena tiga pria ini semuanya fokus melihatnya.

"Terima kasih sudah menemani anak saya," ucap papinya Cean dengan wajah datar.

"Kami pamit dulu," lanjutnya pamit kepada Tisha.

Lalu papinya Cean mengambil payung hitam dari tangan kiri pria yang sedang bersamanya. Papinya Cean mengandeng tangan kanan anaknya dan mengajaknya pergi menembus hujan dengan payung hitam besar. Cean dan papinya meninggalkan pria yang satunya.

"Dadah Kak, nanti kita ketemu lagi ya!" Teriak Cean sambil melambaikan tangan kiri yang sedang memegang permen gulali sambil tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang rapi.

"Dadah Cean!" jawab Tisha sambil tersenyum dan menampilkan deretan giginya yang gingsul.

Pria satunya yang masih tertinggal di situ menyerahkan uang seratus ribu yang membuat Tisha terkejut.

"Gantinya uang permen punya Cean!" ucap pria itu dengan suara yang sedikit serak.

"Eh, nggak usah Om, nggak usah diganti!" tolak Tisha.

"Ambil saja, terima kasih sudah menjaga Cean." Pria itu masih kekeh memberikan uang seratus ribu kepada Tisha.

"Aduh, Om, saya nggak punya uang kembaliannya. Udah nggak papa, ambil aja!"

"Ambil aja semuanya!" ucap pria itu.

"Jangan Om, harganya cuma lima ribu. Kalau saya ambil semuanya kebanyakan." Tentu saja Tisha menolak.

"Atau kalau Om beneran mau ganti, uang lima ribu ada nggak? Jadi nggak perlu pakai kembalian!" sambung Tisha karena om-om di depannya ini terkesan memaksa.

Padahal Tisha benar-benar ikhlas membelikan Cean permen gulali walaupun uangnya di dompet tadi sisa seratus sepuluh ribu.

Sedangkan saldo di rekeningnya tersisa seratus ribu. Itu pun sebentar lagi saldo sebesar seratus ribu miliknya akan dipotong biaya administrasi. Seratus ribunya tidak akan utuh lagi.

Pria itu meraih tangan kanan Tisha karena tangan kiri Tisha sedang memegang permen gulali.

Pria itu meletakkan uang seratus ribu di telapak tangan Tisha.

"Ambil saja, saya permisi." Setelah meletakkannya, pria itu berlalu pergi.

"Eh, Om!" panggil Tisha karena dia kaget dengan uang seratus ribu yang diberikan kepadanya.

"Ya udah, makasih deh Om!" teriak Tisha karena pria itu sudah berjalan sedikit jauh darinya.

Pria itu menoleh lalu tersenyum kepada Tisha, lalu melanjutkan langkahnya untuk pergi.

Setelah pria itu hilang dari pandangannya, Tisha kembali duduk di kursi plastik yang sebelumnya ia duduki sambil memandang permen gulali di tangan kirinya dan uang seratus ribu di tangan kanannya.

Tisha menghembuskan napasnya dalam.

"Ternyata emang anaknya orang kaya. Semoga hidupmu selalu beruntung, ya, Cean!" ucap Tisha pelan.

"Andaikan uang seratus ribu ini adalah uang seratus juta. Pasti hutangnya langsung lunas dan nggak pusing lagi kayak sekarang!" batin Tisha yang kembali mengingat masalah hidupnya yang berat.

Tetapi dibalik itu semua, dia bersyukur karena dapat rezeki uang kaget menurutnya. Keluar uang sepuluh ribu untuk beli permen gulali, eh, dapat ganti seratus ribu. Tisha bersyukur akan hal ini walaupun masih merasa tidak enak dengan mereka.

Tapi ya sudah lah, lagi pula pertemuan mereka kali ini mungkin jadi pertemuan pertama dan terakhir. Mereka tidak akan bertemu lagi ke depannya.

Tisha memilih menunggu hujannya reda di sini. Setelah reda nanti dia akan pulang. Uang yang ia dapat tadi akan ia gunakan untuk belanja sayur untuk makan bersama ibu dan adiknya beberapa hari ke depan.

Bertemu Lagi

"Papi, tadi Cean belum tahu nama kakak permen!" ujar Cean saat mereka sudah berada di dalam mobil.

Papinya melirik ke arah Cean. "Lain kali jangan jajan sembarangan seperti itu!" ucapnya dengan suara pelan tapi tegas.

"Kamu kan tidak tahu itu bersih atau tidak. Bagaimana orangnya membuat, bahannya apa, dan apakah yang jual bisa menjaga kebersihannya," lanjutnya.

Cean cemberut dan langsung memeluk erat permen gulali di tangannya karena takut direbut lalu dibuang oleh papinya.

"Jangan dimakan!" pinta papinya dengan tegas.

"Tapi jangan dibuang!" gumam Cean tapi masih bisa terdengar jelas.

"Asal tidak menimbulkan semut!" jawab papinya singkat lalu sibuk dengan iPad nya.

Cean melirik papinya yang duduk di sebelah kirinya sekilas. Dua manusia beda generasi ini sedikit perang dingin karena permen gulali.

Cean tetap memeluk permen gulali itu dengan sepenuh hati. Takut jika sewaktu-waktu papinya akan membuangnya.

Tak lama kemudian, pria yang satunya masuk ke dalam mobil tepatnya di kursi kemudi. Bajunya basah karena dia tidak menggunakan payung.

"Om Andre, kakak permen tadi namanya siapa?" tanya Cean dari belakang karena dia duduk di kursi baris kedua.

Ternyata pria itu bernama Andre. Dia yang sedang sibuk ingin menyalakan mobil sontak menoleh ke belakang.

Andre tersenyum kepada Cean. "Belum kenalan, besok kalau udah kenalan, om kasih tau ya!"

"Jangan menjanjikan sesuatu yang tidak pasti!" sahut papinya Cean sambil tetap fokus dengan iPad nya.

Andre langsung mengangguk sambil menahan tawa, "Siap salah, Pak Nizar!"

"Om Andre suka ya sama kakak permen?" celetuk Cean.

Setelah berkata demikian Cean langsung terkikik sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan sampai pundak nya bergetar.

Andre mengerutkan dahi bingung. Kenapa Cean membicarakan hal seperti ini.

"Cean juga suka kok sama kakak permen tadi!" lanjut Cean.

Andre terkekeh. Rupanya kakak permen telah merebut hati Cean.

"Jangan bicarakan sesuatu yang tidak penting!" sahut papinya Cean dengan dingin dan tegas.

Andre langsung berekspresi datar dan kembali fokus pada tugasnya untuk mengendarai mobil.

"Ih, papi nggak asyik!" gumam Cean pelan.

Andre menahan tawa sambil mengemudikan mobilnya.

***

"Kamu gimana sih Ti, ibu ini semangat kerja karena ingin kamu tetap lanjut kuliah. Kenapa malah kamu yang ingin berhenti kuliah?"

"Titi mau kerja aja, Bu. Hutang kita banyak. Titi mau bantu ibu cari uang!" jawab Titi.

Ibunya yang sedang menggoreng tempe memutar posisinya menghadap Tisha yang sedang duduk di lantai memotong buncis.

"Ibu nggak setuju!" tegas ibunya.

Tisha menghembuskan napasnya dalam. Setelah menyelesaikan potongan buncis terakhir, ia berdiri lalu menuju wastafel untuk mencuci buncis di dalam kotak plastik yang sudah dipotong-potong.

Setelah itu ia meletakkan buncis di dalam kotak plastik yang sudah bersih di dekat kompor tempat ibunya menggoreng tempe.

"Bu," panggil Tisha dengan suara yang lembut. Ia berdiri tepat di samping ibunya dan mereka berdua saling berhadapan.

"Titi janji, Titi akan melanjutkan kuliah. Setelah Titi dapat kerja, bisa punya uang, dan sudah berusaha untuk membantu ibu melunasi hutang, Titi janji akan melanjutkan kuliah, Bu!" jelasnya.

Ibunya hanya diam sambil mencerna apa yang anaknya katakan.

"Titi janji Bu. Titi akan membanggakan ibu dengan jadi sarjana nanti. Lagipula Titi masih sampai semester tiga. Perjalanan Titi masih panjang untuk kuliah!"

"Kalau Titi nggak bisa bantu melunasi hutang, setidaknya Titi bisa membantu untuk membiayai biaya sehari-hari dan biaya sekolahnya Yudha. Jadi gaji ibu kerja bisa dikumpulkan untuk membayar hutang!" jelas Tisha.

"Ibu percaya ya sama Titi!" ucap Tisha memohon.

Sang ibu tercekat mendengar penjelasan anak pertamanya. Tidak ada ibu yang ingin anaknya mengorbankan pendidikannya demi membantu perekonomian keluarga.

"Ti, ibu minta maaf tidak bisa memberikan hak mu sebagai anak!" Ibunya meminta maaf sambil matanya berkaca-kaca.

Tisha tersenyum sambil menggenggam kedua tangan ibunya.

"Titi janji akan membantu Ibu!" ucapnya dengan yakin.

"Yudha mau kerja juga, nggak usah lanjut sekolah!" Adik Tisha yang sedari tadi sembunyi dari balik gorden penyekat dapur dan ruang keluarga keluar.

"Enggak, kamu harus lanjut sekolah!" bantah Tisha.

"Aku kan juga mau bantu Ibu, Kak!"

"Kamu sekarang kelas dua SMA. Terus mau berhenti sekolah buat kerja, kamu mau kerja apa? Kamu mau jadi apa?"

"Kakak juga berhenti kuliah terus mau kerja apa?" tanya Yudha serius.

Tisha terdiam. Sebenarnya ia juga belum tahu mau kerja apa dan di mana. Tapi dia akan berusaha mencari pekerjaan. Pekerjaan apapun rela ia lakukan asalkan pekerjaan yang baik.

"Kamu harus lanjut sekolah, Dek. Kamu harus lanjut kuliah dan jadi orang sukses. Kamu harus bisa banggain ibu dan kakak!" ucap Tisha dengan pelan.

Yudha menghembuskan napasnya kasar dan berlalu pergi.

Sore harinya Tisha memutuskan untuk berkeliling mencari lowongan pekerjaan. Tisha juga sudah bertanya kepada teman-temannya dan memanfaatkan media sosial untuk mencari informasi lowongan pekerjaan.

Tisha akan memasukkan surat lamaran pekerjaan ke tempat-tempat dari informasi yang dia dapatkan. Ada lowongan pekerjaan sebagai kasir toko swalayan, waiters di cafe, pelayan toko baju, dan di kantor-kantor kecil yang menerima ijazah SMA untuk bekerja di sana.

Tisha berharap setidaknya salah satu dari mereka ada yang bisa menerimanya, kerena Tisha sangat membutuhkan pekerjaan saat ini.

Tisha memutuskan berhenti di mini market karena ia haus. Motor matic berwarna hitam yang sudah menemani Tisha sejak SMA ia parkirkan dengan rapi di depan mini market yang kebetulan tidak ramai.

Hanya ada dua motor dan satu mobil selain milik Tisha.

Sebenarnya terbesit niat untuk menjual motornya. Di rumahnya ada dua motor, yang satunya milik Yudha untuk bersekolah.

Akan tetapi Tisha bimbang karena jika ia menjual motor miliknya, maka di rumahnya hanya ada satu motor.

Kasihan Yudha jika fasilitas untuk sekolah miliknya diganggu. Tisha tidak ingin mengganggu kelancaran adiknya dalam bersekolah.

Saat Tisha sudah berada di dalam mini market, ia langsung menuju showcase untuk mengambil air mineral dingin.

Sesampai dia di depan showcase dan bersiap untuk mengambil minuman, tiba-tiba ada tangan lain yang juga ingin mengambil minuman di dalamnya.

Secara reflek Tisha menoleh kepada orang yang juga ingin mengambil minuman dingin yang sedang berdiri di sisi kanannya.

Setelah melihat orang tersebut, Tisha melemparkan senyum lalu kembali melihat depan untuk mengambil air mineral dingin.

"Kamu yang kemarin kan?" Orang di samping Tisha berkata demikian.

Tentu saja Tisha kembali menoleh ke orang tersebut. Tisha bingung apa maksud perkataan orang tersebut.

"Kalau saya tidak salah orang, kamu yang bersama Cean semalam kan?"

"Wah, suatu kebetulan kita bisa bertemu lagi," sambungnya.

Tisha langsung melotot. Tidak lama kemudian dia tersenyum lebar menampakkan giginya.

"Om, yang semalam itu kan? " tanya Tisha dengan antusias. Rupanya dia sudah ingat dengan orang itu.

"Iya, perkenalkan nama saya Andre!" ucapnya sambil menjulurkan tangan.

Tisha tertawa kecil sambil menjabat tangannya.

"Saya Tisha!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!