Dua Dimensi : Pangeran Yang Kabur Terobsesi Padaku
Suara-suara berisik tertangkap oleh rungunya. Wanita, pria dan beberapa bunyi mesin yang pelan. Bunyi bip yang teratur seperti musik pengantar tidur yang sangat buruk. Dia mencoba membuka matanya, namun terasa sangat berat.
Dia bisa merasakan ujung jarinya, tapi kenapa matanya terasa begitu sulit dibuka?
"Dia bangun! Akhirnya dia bangun! Hubungi keluarganya!"
Suara berisik itu perlahan mereda. Hanya bunyi bip pelan dan beberapa suara sepatu yang bergesekan dengan lantai keramik.
"Elliana? Kamu bisa mendengar saya?"
Seorang wanita remaja yang terbaring dengan beberapa alat terpasang ditubuh kurusnya, melirik kerah suara yang menyapanya. Namun belum sempat ia merespon, dengungan suara lain memasuki rungunya, membuat ia bingung dan diserang rasa sakit yang hebat dikepalanya.
"Apa kepalamu sakit?"
Remaja bernama Elliana itu menutup matanya. Dia tidak menjawab pria berpakaian putih itu. Tapi dia bisa mendengar dia mengintruksikan pada yang lain untuk memberikannya obat anti nyeri.
Lewat beberapa menit, keheningan yang pekat selain bunyi bip pelan di sisi kirinya membuat Elliana terdiam, dia membuka matanya lagi, lalu melirik sisi kanan dimana pria tadi duduk sendirian disisinya.
Lagi-lagi suara dengungan pria itu terdengar saat Elli menatap matanya. Seperti bergumam pelan tapi menggema. Membuat hentakan rasa sakit dikepalanya kembali tapi tidak separah tadi.
"Kamu bisa mendengar saya? Saya dokter Edo, saya adalah dokter bedah yang menangani kamu." katanya.
Elliana memberikan isyarat dengan matanya. Mengatakan bahwa dia mendengar perkataan dokter itu.
"Syukurlah kamu akhirnya bangun, kamu telah koma selama 2 tahun karena kecelakaan."
Elliana lagi-lagi mendengar suara pria itu meski bibirnya tertutup, berbicara pada dirinya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang penuh kekhawatiran. Tapi Elliana tidak ingat, dia menunjukkan ekspresi kebingungan. Meski begitu, suara-sura mirip dokter itu yang didengarnya membuat ia tersenyum dalam hati.
'Dia dokter yang baik.' puji Elli dalam hati.
Dia hendak membuka bibirnya untuk menjawab, namun suara-suara berisik lain terdengar dari luar pintu. Benar saja, dua orang masuk disusul seorang petugas medis dibelakangnya.
"Elli, kamu sudah bangun? Syukurlah kamu sadar, Nak!" Seorang wanita yang memasuki usia kepala empat. Dia adalah Ibu Elliana, Ela.
"Syukurlah kamu akhirnya sadar, Kami sangat khawatir dan terus menunggumu." Seorang pria yang lebih muda dari ibunya, dia adalah ayah tiri Elli, Aril.
Elli menatap bingung ke arah mereka, karena dia tidak mengenali mereka. Terutama pada wanita yang melabeli dirinya sendiri sebagai ibu Elli. Ibu itu terlihat sangat sedih. Tangan kanannya digenggam erat.
Elli melirik dokter tadi, yang tampak terharu melihat mereka. Elli masih mendengar suara berisik dokter itu kala mereka bertatapan mata. Dari suara itulah Elli tahu identitas kedua pasangan suami istri ini. Meski bingung, dia menerimanya dengan tenang. Elli berpikir mungkin suara dikepalanya itu adalah efek samping kerusakan dari otaknya.
Sayangnya perkiraan itu menjadi sebuah keraguan besar saat dia bertatapan dengan mata ayah tirinya, Aril. Suara pria itu terdengar sangat marah dikepalanya meski wajahnya tersenyum dan bibirnya tidak bergerak sedikitpun.
'Sialan! Sialan! Kenapa dia bangun sekarang!'
Umpatan-umpatan dan kalimat ketidak sukaan terdengar dikepala Elli. Saat dia beralih pada ibunya, suara Aril tidak terdengar lagi. Meski begitu, suara tidak nyata ibunya mulai terdengar juga meski bibir ibunya mengeluarkan perkataan yang berbeda.
Kalimat yang mirip dengan Aril namun tidak ada umpatan-umpatan. Elliana merasa lelah atas banyaknya suara yang tumpang tindih, dia melirik dokter Edo yang langsung menangkap ketidaknyamanan diwajahnya.
"Pak Aril dan Bu Ela, Elliana baru saja sadar, kondisinya belum stabil. Saya berharap Anda berdua mengerti dan bisa membiarkannya istirahat saat ini. Ada yang perlu saya sampaikan juga pada Anda sekalian tentang kondisi Elliana." kata Edo.
Setelah kepergian merekanya, ruangan itu kembali hening. Hanya ada suara bip dan suara pelan dari gesekan pena dikertas dari seorang perawat jaga yang mencatat sesuatu dimeja di ujung ruangan.
.
Situasi yang sama berulang setiap Elliana menatap mata seseorang. Meski ingatannya terganggu, dia sudah bisa membuka mulutnya keesokan paginya sehingga pemeriksaan menyeluruh bisa dilakukan.
Dua hari berlalu, banyak orang yang datang menjenguknya setelah ia dipindahkan keruang rawatan biasa. Hal yang membuat banyak orang kebingungan ketika Elliana tampak tidak mengenali mereka.
"Elli, kami sudah lulus. Karena kamu koma 2 tahun, kita jadi tidak bisa lulus bersama."
"Benar, padahal kita sudah janji akan kemping setelah wisuda."
"Kami membatalkannya."
Sahut-sahutan dari mereka seolah ingin mengajari Elli dengan semua yang terjadi selama dua tahun ini. Tapi tidak ada satupun sahutan dari Elli. Bukan karena tidak mau, tapi karena Elli fokus pada suara-suara lain dari dalam kepala mereka.
'Ini sangat tidak masuk akal. Ini bukan penyakit, itu sungguh suara mereka. Isi kepala mereka.'
Elli akhirnya mendapatkan kesimpulan dari pengamatannya sejauh ini. Terutama saat isi kepala orang yang ia dengar dilakukan oleh mereka. Seperti saat mereka mengatakan ingin buang air dikepalanya, setelahnya orang itu minta izin ke kamar mandi, atau ketika perawat melakukan apa yang dia dikte dalam kepalanya.
'Bagaimana bisa aku mendengar isi kepala mereka? Ini sungguh gila.'
"Elli?"
"Elli kamu kenapa?"
Elli tersadar ketika tangannya disentuh seseorang untuk menyadarkannya. ketika dia menatap mata perempuan yang saat ini menarik kembali tangannya, Elli bisa mendengar kekawatiran dikepala perempuan ini.
"Aku hanya sedikit sakit kepala." jawab Elli. "Tapi... Sebenarnya kalian semua siapa?" tanya Elli, akhirnya menunjukkan bahwa dia tidak bisa mengingat mereka.
"Apa?"
Seketika keterkejutan memenuhi ruangan itu. Seseorang keluar dan memanggil perawat ketika yang lain mencoba menyebutkan nama mereka dan meminta Elli mengenalnya. Tapi Elli hanya Menununjukkan wajah kebingungan.
.
Ela dan Aril berdiri di depan pintu kamar Elliana. Mereka berdua sedang mendengarkan hasil pemeriksaan yang beberapa saat lalu dilakukan lagi mengenai ingatan Elli. Pemeriksaan dilakukan lagi dibawah pegawasa dokter Edo dan seorang Psikolog bernama Rizal.
"Jadi maksud Anda, Elli kehilangan ingatannya?" tanya Ela.
"Apa itu akan selamanya?" tanya Aril, keduanya tampa sangat khawatir.
"Kita belum tahu apakah akan selamanya atau tidak. Tapi sebaiknya Elli menjalani terapi." ujar Rizal.
Aril dan Ela masuk ledakan ruangan rawatan setelah selesai bicara dengan dokter. Keduanya menatap Elli dengan isi pikiran yang sama. Lega dan sangat senang.
'Wajah palsu itu sangat menakutkan.' kata Elli dalam hati.
Sejauh ini Elli tahu keduanya tidak khawatir sama sekali padanya. Hal itu membuat Elli bertanya-tanya seperti apa kehidupan yang ia jalani bersama mereka selama ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments