17

Ketika mereka sampai, Evan sedang memegang dadanya dengan napas tersengal-sengal. Ana dan Jefri sudah tidak bisa melakukan apapun. Tampa aba-aba Alvaro menarik tangan Elli dan menyatukannya dengan tangan Evan.

Alih-alih membaik, Evan kehilangan kesadarannya. "Sebenarnya apa yang kamu lakukan! Ayo bawa dia kerumah sakit! Bagaimana bisa hanya memegang tangannya!" kesal Elli setelah sejak tadi dia membujuk Alvaro untuk ke rumah sakit.

"Tenanglah, tidak apa-apa. Jangan melepas tangannya sampai aku beri intruksi. Kamu bisa duduk disampingnya, atau berbaring disana jika lelah. Tolong jangan tanyakan apapun. Saat ini kamu harus melakukan hal ini, aku harus pergi kesuatu tempat untuk mengambil sesuatu."

"Apa? Apa maksudmu!" teriak Elli ketika Alvaro kembali berlari keluar dengan wajah panik. "Kenapa tidak dibawa kerumah sakit! Bagaimana kalau terjadi hal buruk?"

Ana bertukar pandang dengan Jefri. Mereka tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi pada akhirnya Ana yang bersuara untuk menenangkan Elli.

"Tuan tidak bisa dibawa kerumah sakit. Nona, saat ini kami bergantung pada Nona Elli. Tolong tetap disisi Tuan sampai Tuan Alvaro kembali."

"Sungguh tidak masuk akal! Sebenarnya ada apa dengan orang-orang dirumah ini!"

Ana dan Jefri segera menghadap kearah lain untuk menghindari pandangan Elli yang kini mengarah pada mereka.

'Apa ini? Kenapa aku merasa mereka menghindari mataku? Apa mereka menyadari kemampuanku?' tanya Elli dalam hati.

Dia beralih pada Evan dan segera menepis pikiran tadi. 'Orang sepintar ini saja tidak sadar, apalagi dua orang yang sudah renta itu.' katanya meyakinkan diri sendiri.

Seiring berjalannya waktu, Elli tertidur. Pagi-pagi dia terbangun dalam keadaan masih memegang tangan Evan. Tidak seperti sebelumnya dia tidur sambil duduk, tadi malam dia memilih masa bodoh dan berbaring disamping Evan yang masih tak sadarkan diri.

"Nona sudah bangun?" sapa Ana.

"Hmm? Ya." sahutnya setengah sadar. Dia hendak melepaskan tangannya ketika akan duduk, namun teringat pesan Alvaro.

"Tadi Tuan Alvaro tiba pagi-pagi sekali untuk memeriksa keadaan Tuan, katanya keadaan Tuan sudah stabil. Nona cukup memegang tangan Tuan pagi dan malam selama dua jam untuk selanjutnya. Tuan Alvaro bilang tidak boleh kurang dari itu."

"Apa? Lalu dimana dia sekarang?"

"Beliau melakukan sesuatu yang penting. Karena semalaman Nona sudah memegang tangan Tuan, Nona bisa bersiap-siap untuk kuliah. Jefri akan mengantar Anda untuk sementara, dia juga akan menunggu Anda sampai selesai."

"Apa? Tidak! Jangan menungguku. Jadwalku sedikit padat hari ini. Bagaimana bisa aku membiarkan orang yang sudah setua itu menungguku." tolak Elli.

"Tidak apa-apa, Nona. Saya mungkin tua tapi..."

"Tidak perlu, aku akan memesan taksi saja. Sampai jumpa!"

Elli buru-buru pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap. Tadinya dia tidak ingin merepotkan Jefri yang sudah tua, tapi setibanya diluar, seorang pria muda yang tidak dikenalnya menunggu di samping mobil yang biasa digunakan mereka tepat di halaman rumah.

"Kamu siapa?" tanya Elli saat pria itu menyambutnya dan segera membukakan pintu.

"Dia orang yang akan mengantarkan Nona. Karena Nona tidak suka merepotkan orang tua, jadi kami mencarikan yang lebih muda." kata Ana dengan senyum lebarnya.

Elli tidak tidak bisa berkata apapun lagi. Dia hanya masuk kedalam mobil dan duduk dibelakang. "Kamu mirip Kakek Jefri, apa kamu cucunya?" tanya Elli, entah kenapa muncul rasa penasarannya.

"Bisa dibilang begitu." jawab pemuda itu. "Panggil saya Jefri saja." lanjutnya dengan ramah.

"Ya, terima kasih telah mau mengantarkanku."

"Ini sudah tugas saya."

'Apa ini karena permintaan perlindungan? Ana dan Jefri terlihat kawatir ketika aku meminta untuk tidak diantar tadi. Meskipun semua urusan telah selesai, tapi Ayah tiri dan Ibu bisa saja melakukan sesuatu.' pikir Elli.

.

Elliana tidak menemukan Arsen dimanapun. Ini seperti hal yang selalu terjadi. Pria itu tidak masuk dan tidak bisa dihubungi. Dalam beberapa bulan ini, Arsen sudah kehilangan absen terlalu banyak. Elli sungguh tidak tahu mengapa dia masih aman-aman saja seolah para dosen tidak mempermasalahkannya. Begitu juga anak-anak lain yang tak bertanya sama sekali. Seolah keberadaannya sangat samar.

Karena Elli terbiasa sendirian, dia juga tidak berusaha berteman dengan siapapun. Sejauh ini, hanya Lilia yang berbicara secara pribadi denganya diluar pembahasan kuliah, itupun sangat jarang dalam satu minggu karena mereka hanya bertemu di kampus.

Sepulang kuliah, Jefri tua telah menunggunya. Dengan wajah lelah, dia segera masuk dan melempar tasnya ke kursi samping.

"Saya pikir cucu Kakek masih menunggu." kata Elli, sekarang dia cukup nyaman berbincang dengan Ana dan Jefri selain Alvaro dirumah itu.

"Ya, dia baru saja pulang karena ada sesuatu." jawab Jefri seadanya. "Nona kelihatan lelah. Tapi saya akan minta maaf karena setelah mandi dan makan malam Nona harus menemui Tuan."

"Ah... Benar, aku masih harus duduk disana dua jam." sahut Elli dengan suara letihnya.

"Bersabarlah Nona, setelah Tuan bangun, dia akan sehat sepenuhnya."

"Kakek terdengar sangat yakin. Memangnya orang koma tampa diobati begitu bisa bangun? Aku heran kenapa kalian tidak membawanya ke rumah sakit, jika terjadi sesuatu bagaimana? Kalian semua sangat aneh. Bahkan Alvaro kemarin bertindak seolah dia seorang dokter yang memahami penyakit Senior."

'Ah.. Ya ampun! Aku tidak menyangka aku masih punya tenaga untuk bicara sepanjang ini.' lanjut Elli dalam hati.

"Tuan Alvaro pernah membantu penyembuh dan dekat dengannya. Jadi dia memang memahami..."

"Penyembuh? Maksudmu dokter?"

Jefri meringis tampa suara karena telah menggunakan kata yang salah. "Ya, Nona. Maksud saya dokter."

"Bagaimanapun juga cara kalian sangat aneh, dokter mana yang mengintruksikan hanya membiarkan orang koma dan memegang tangannya dua jam?" lalu Elli menyadari sesuatu, tentang bangaimana bisa hanya dirinya yang melakukan hal itu.

"Tunggu, kenapa hanya aku?"

"Apa maksud Nona?"

"Yang memegang tangannya, bukankah ada kalian yang lebih dekat? Apapun jenis pengobatan aneh kalian tapi jika hanya memegang tangannya..."

"Ah.. Itu? Karena hanya Nona yang bisa. Kami tidak bisa."

"Apa maksudmu?"

"Itu... Seperti pengobatan yang menggunakan kekuatan supranatural. Hmm... Maksud saya, ada energi yang cocok dan tidak cocok."

"Kalian gila!" tiba-tiba Elli meluruskan duduknya, dia menatap belakang kepala Jefri dengan berang. Logikanya terasa dipermainkan. "Dia itu koma! Penyakitnya saja tidak diketahui! Paranormal? Dukun? Kalian percaya hal tidak masuk akal seperti itu?" kesal Elli. Saat ini dia sungguh-sungguh kawatir pada Evan.

"Bukan seperti dukun... Saya tidak bisa menjelaskannya. Tolong lakukan saja perintah Tuan Alvaro, Tuan Evan juga yang memerintahkan kami melakukan hal ini." Jefri nyaris putus asa dan cemas saat Elli marah.

Elli bertekat tidak akan melakukannya lagi. Segera setelah dia sampai dirumah, dia segera membersihkan diri dan berbicara Ana dan Jefri. Bersikeras tidak akan melakukan hal konyol memegang tangan seperti intruksi Alvaro dan ingin membawa Evan kerumah sakit.

"Maafkan saya Nona, tapi kami terpaksa akan menghalangi Nona dengan tegas. Ini perintah Tuan Evan sendiri." kata Ana untuk kesekian kalinya berdebat sejak lima belas menit yang lalu.

"Apa menurut kalian masuk akal?"

"Tentu saja tidak jika menggunakan pemahaman Nona dan orang lain yang tidak mengerti. Tapi kita tetap harus melakukan perintah Tuan. Nona, sudah waktunya Nona memegang tangan Tuan. Kalau terlambat lebih dari ini, Tuan bisa berada dalam bahaya." kata Jefri.

Elli menatap keduanya berhantian. Tidak bisa menang melawan alasan tidak masuk akal mereka membuat dia teramat kesal. Dia segera masuk kedalam kamar Evan dan memegang tangannya dengan erat.

"Aku sungguh tidak mengerti." gumamnya.

Ia melihat wajah Evan yang tampak damai. Seolah-olah dia hanya sedang tertidur. 'Tapi dikatakan koma, dia sungguh terlihat normal saat ini. Jantungnya berdetak dengab baik, pernapasannya lancar dan wajahnya seperti orang yang sedang bermimpi indah. Tapi kenapa?'

Elli bertanya-tanya dalam hati tentang kebingungannya. Sementara itu, Alvaro yang kini telah berhasil mendapatkan batu mana dan menyelundupkannya melalui gerbang rahasia, segera kembali.

Sayangnya, dalam perjalanan menuju rumah, dia bertemu dua petugas keamanan yang menangkapnya karena terlihat mencurigakan.

Gerbang rahasia menuju dunia mereka, berada di atas gunung. Alfaro memarkir mobilnya di kaki gunung. Perbedaan waktu yang cukup jauh membuatnya dicurigai tentang aktivitasnya diatas gunung.

'Aku tidak bisa menggunakan sihir pada mereka karena harus menyimpan manaku sebanyak mungkin.' kata Alvaro dalam hati. Alhasil, dia menggunakan kekuatan uang. Namun dia ternyata berurusan dengan polisi yanh jujur, sehingga dia membutuhkan banyak waktu untuk bisa lolos.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!