8

Tahun ajaran baru, seluruh mahasiswa baru memasuki aula. Elli yang mendaftar dan mengajukan beasiswa, lulus dengan sangat lancar karena kecerdasaannya, rekam jejak prestasinya menjadi pertimbangan kuat diterimanya dia meski ingatannya belum pulih.

Beberapa orang mengenalinya karena cerita hidupnya, kebanyakan dari mereka penasaran dengan sosoknya saat ini. Belum lagi rumor bahwa jurnalis terkenal pemilik program TV dikabarkan menyelidiki kasusnya dan akan membuat program khusus untuk membahas kasus yang menimpa Elli.

"Kamu gugup?" tanya Arsen.

Pria itu pada akhirnya memasuki universitas yang sama dengan Elli dan mengambil jurusan yang sama juga.

"Sedikit." jawab Elli.

"Kopi?"

"Hah? Kita sudah duduk disini dan kopi katamu?"

Arsen terkekeh, lalu mengeluarkan tiga permen rasa kopi. Elli yang baru paham tergelak pelan dan mengambil satu.

Sambutan akan dimulai, kursi para dewan kampus telah terisi, suasana juga kondusif dan cukup hening ketika pembawa acara berjalan kedepan podium.

Ketegangan mencair begitu saja karena senior-senior mereka yang pandai membawa acara menjadi sangat santai. Begitu acara mendekati akhir, riuh terdengar dari seluruh mahasiswa. Baik yang junior maupun senior.

Elli menoleh pada pintu masuk, disana ada seorang pria yang baru saja masuk. Dia hanya berdiri beberapa langkah di depan pintu, berbicara dengan ketua senat dan memberikan sambutan singkat pada seluruh mahasiswa yang meneriakinya sambil melempar senyum menawan, lalu dia meninggalkan aula dengan iringan pekikan anak perempuan.

"Kamu kenapa?" tanya Elli pada Arsen. Pasalnya Elli yang hanya melihat sekilas pria tadi karena fokusnya teralih pada ekspresi Arsen yang menjadi kaku. Seolah dia baru melihat hal yang seharusnya tak boleh ia lihat. "Wajahmu terlihat tidak baik." kata Elli lagi.

"Tidak apa-apa."

Keanehan Arsen membuat Elli bertanya-tanya ada apa dengan temannya itu. Arsen yang biasanya sangat santai dan tenang itu, kini terlihat sangat terganggu.

Hari pertama berlalu dengan lancar. Elli tidak langsung pulang kerumah, dia langsung pergi ketempat kerjanya. Dia akan bekerja dari sore hingga malam hari sebelum toko tutup.

"Kamu sudah menyelesaikan laporan penjualan? Wah... Seperti biasanya kamu sangat cepat." kata bosnya ketika kembali ke toko dan menutup toko bersama seperti biasanya.

"Ya, kalau begitu saya akan pulang duluan, bos. Selamat malam pak bos." kata Elli.

Meski kalimatnya ramah dan sopan, tapi nada dan air muka datarnya membuat siapapun bisa salah paham. Begitupun bosnya dan para karyawan toko pada awalnya. Setelah mengenal Elli cukup lama, barulah mereka memahami bahwa karakter Elli memang tertutup dan perlahan berbaur dengan baik.

.

Sebulan berlalu, Elli menjalani kegiatannya dengan baik, kecuali soal pencariannya tentang sertifikat aset peninggalan ayahnya. Sampai detik ini dia belum juga menemukannya.

Dengan lunglai karena kehabisan energi pasca menghadapi banyak orang, dia mengeryit ketika akan mebuka gerbang rumahnya. Sebuah mobil ternyata telah terparkir di dekat pintu dan dia baru menyadarinya ketika seseorang keluar dari sana.

"Anda siapa?" tanya Elli.

"Saya pengacara Ibu Ela, apa kamu Elliana?"

"Ya."

"Saya sudah menunggu kamu sejak tadi. Saya tidak akan lama. Ibu Ela meminta kamu untuk segera mengosongkan rumah ini dalam satu bulan. Kalau tidak kamu harus membayar uang sewa. Rumah ini juga akan dijual setelah Ibu Ela menemukan pembeli yang sesuai. Jadi waktu satu bulan itu bisa saja tidak berlaku."

"Apa? Apa dia gila! Aku ini anaknya!" murka Elli.

"Itu masalah personal keluargamu, saya hanya menjalankan perintah. Nah, saya permisi sekarang." kata pria itu dengan wajah tidak peduli. "Oh, Ibu Ela bilang kalau kamu tidak perlu menghubunginya."

"Heh!" Elli benar-benar kesal mendengarnya. Dia menatap tajam punggung pria itu yang kini masuk kedalam mobil dan langsung meninggalkan tempat itu. "Jadi ini cara kalian untuk menyingkirkanku sepenuhnya?" geram Elli.

Malam itu, Elli mati-matian menahan lelahnya dan bergadang sampai dini hari hanya untuk mencari petunjuk dimana ayahnya menyembunyikan surat-surat itu.

Elli frustasi, tidak ada siapapun yang ia ingat dalam hidupnya yang bisa dimintai tolong. Dia tidak tahu siapa orang kepercayaan ayahnya. Dia tidak tahu siapa keluarganya yang lain. Saat dirumah sakit tidak ada keluarga yang menjenguknya selain orang tuanya.

"Aneh, apa ayahku tidak punya keluarga? Kenapa tidak ada yang datang padaku? Atau semua keluarga itu berpihak pada Ibu?"

Elli yang berbaring di lantai perpustakaan, kini bangkit kembali. Dia memeriksa lagi semua album foto yang disimpan ayahnya. Setelah selesai, dia baru menyadarinya, bahwa tidak ada satupun foto orang lain selain mereka bertiga disana.

Paginya, Elli bangun kesiangan karena dia baru tidur pukul tiga dini hari. Dia berlari menuju kelas pertamanya pagi itu agar tidak terlambat. Begitu membuka pintu, semua mata tertuju padanya. Kelas telah dimulai, tapi tidak ada dosen disana. Hanya ada seorang pria yang baru Elli ketahui sebagai salah satu senior berpengaruh dikampus mereka.

"Kamu terlambat, untungnya aku yang menjadi asisten dosen pak Andra, jadi kamu aku maafkan." kata pria itu.

"Makasih, Kak." sahut Elli dan hendak berjalan menuju kursi kosong. Tapi langkahnya terhenti karena ternyata seniornya belum selesai bicara. "Tapi kamu harus membantuku mencatat tugas yang diberikan oleh pak Andra. Beliau hanya menitipkan selembar kertas dan aku terlalu sibuk untuk ke tempat foto copi."

Elli berbalik lagi dan berjalan menuju tempat dimana seniornya berada. Menatap matanya lurus-lurus berusaha membaca isi pikirannya. Tapi dia langsung terpaku ketika menyadari bahwa dia tidak bisa membacanya. Dia tidak mendengar apapun padahal dari ekspresinya, Elli sangat yakin dia mengatakan sesuatu dalam kepalanya.

"Kenapa diam?" tanya seniornya. "Ambil kertas itu dan catat."

"Baik." sahut Elli lagi.

'Aku merasakan seperti ada dinding transparan yang menghalangiku mendengar isi kepalanya. Apa perasaanku saja? Apa dia sungguh tidak memikirkan apapun? Tapi aku yakin sekali...'

Elli berhenti berpikir dan fokus pada papan tulis ketika langkah kaki berhenti selangkah dibelakangnya. Seakan menembus punggungnya, Elli merasakan tekanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seolah ia ingin segera berlari menjauh dari sosok dibelakangnya.

"Sudah selesai, Kak." kata Elli, dia buru-buru meletakkan spidol dan kertas di atas meja, lalu berjalan menuju bangku kosong.

Dia masih bisa merasakan tekanan tak kasat mata itu. Tangannya sampai bergetar saat mengeluarkan pena dan buku untuk menyalin tugas yang tadi ia tulis.

"Ada pertanyaan adik-adik?"

Elli terpaku lagi, tekanan tadi hilang begitu saja ketika suara ramah itu terdengar. Dia memberanikan dirinya lagi untuk menatap mata seniornya itu. Tapi hal yang sama terjadi. Elli tidak bisa membaca pikirannya.

'Apa kemampuan anehku itu sudah hilang?' tanya Elli dalam hati. Dia menoleh ke sampingnya, menatap mata anak lain yang sedang menatap senior mereka di depan dengan mata berbinar.

'Kak Evan memang sangat tampan. Hmm... Aku harus bergabung dengan fans club yang dikatakan Karin tadi pagi.'

Itulah isi pikiran anak itu. Dengan sangat jelas bisa didengar olehnya. Lalu dia beralih ke belakang, dimana ada Arsen yang juga menatapnya sambil menyapanya dengan tersenyum kecil.

'Elli kenapa kamu terlambat?'

Itulah pikiran Arsen dari tatapan sekilas mereka. Elli mencoba lagi menatap mata senior yang dipanggil Evan oleh anak disebelahnya. Tapi hasilnya sama saja. Dia tidak bisa membaca pikiran seniornya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!