11

Elli berusaha membaca pikirannya, tapi Alvaro yang seolah mencurigainya, langsung membuat penghalang. Elli yang tidak mengerti soal penghalang, hanya menduga bahwa Alvaro memang tidak memikirkan apapun.

'Seperti pengamatanku beberapa hari terakhir, dia seperti bisa membaca lawan bicaranya. Tapi kemampuan seperti itu sangat langka, hanya ada satu keluarga yang pernah memilikinya sepanjang sejarah kerajaan.' pikir Alvaro. 'Seandainya aku tidak memiliki kemampuan sihir penghalang dan perlindungan yang kuat, dia akan dengan mudah membaca isi kepalaku.'

"Jadi, kenapa orang kepercayaan Kak Evan mencariku? Kalau soal kejadian malam itu, aku tidak membicarakannya pada siapapun. Aku tidak akan ikut campur dan akan tutup mata dan mulut!" tegas Elli.

"Wah, kamu baik sekali. Tapi bukan karena itu aku datang meski aku berterima kasih kamu mau bekerja sama." jawab Alvaro.

"Lalu apa?"

"Aku menawarkan sebuah pekerjaan."

"Apa? Pekerjaan?" Nada bicara Elli terdengar sarkas dan ekspresinya jelas terlihat tidak yakin.

"Benar, pekerjaan yang sangat mudah dengan gaji yang besar."

Elli diam sejenak, meski dia tidak mempercayai orang didepannya ini, dia tetap bertanya jenis pekerjaannya. "Pekerjaan seperti apa?"

"Mengurus Tuan Evan."

"Apa? Mengurus? Kalau dia sakit bukankah lebih baik menyewa jasa perawat yang memahami medis?"

"Ah... Ini jenis sakit yang berbeda. Kamu tidak perlu mengurus orang sakit, Tuan tidak sesakit itu. Kamu hanya perlu melakukan ini dan itu yang dia perintahkan."

"Ini dan itu?" ekspresi Elli semakin terlihat mencurigai Alvaro.

"Tolong jangan salah paham. Ini dan itu maksudku seperti pelayan pribadi. Seperti mengambilkan minum, membacakan buku saat dia sedang malas membaca sendiri, menyiapkan apa yang dia butuhkan. Hal-hal seperti itu."

"Maaf, aku menolak." tegas Elli tanpa basa basi. 'Yang benar saja, aku tidak akan mau bekerja dengan manusia menakutkan seperti itu. Berada didekatnya seperti berada di tangan malaikat maut.' lanjut Elli dalam hati.

"Gajinya sangat tinggi, dari pada kamu bekerja paruh waktu ditoko baju seperti itu, bukankah lebih baik pekerjaan ini?"

"Aku akan tetap menolak tawaran itu."

"Kenapa terburu-buru... Bagaimana kalau aku membantumu mengambil rumah ini kembali?" Mendengar tawaran itu tentu saja Elli terkejut.

"Kalian menyelidikiku? Dari mana kamu tahu tentang masalahku?" Elli mengepalkan tangannya, alarm tanda bahaya seakan berbunyi dikepalanya.

"Ya ampun, Elli. Itu tidak penting kan. Faktanya kamu bisa kehilangan rumah peninggalan ayahmu ini kapan saja."

Elli berdiri, menatap Alvaro dengan sorot penuh ketidak sukaan. "Terima kasih atas tawaranmu, tapi aku akan tetap menolaknya. Aku tidak suka dengan orang yang mengulik masalah pribadiku tampa izin!" tegas Elli

'Dia bahkan menjadikan kelemahan orang menjadi senjata. Mereka sungguh licik.' kesal Elli sembari masuk kedalam rumahnya. Meninggalkan Alvaro yang masih duduk disana dengan ekspresi tidak bersalah yang sebenarnya ia tiru dari Evan saat tuannya itu berpura-pura tidak mengerti.

"Ya ampun, dia ternyata keras kepala. Tapi akan menarik karena kepribadian mereka yang mirip dalam beberapa sisi." gumamnya pada diri sendiri. Dia bahkan terkekeh, seolah senang dengan keadaan saat ini.

.

Keesokan harinya, Anggi menghubunginya. Mengatakan bahwa dia mungkin tidak akan bisa melanjutkan mencari fakta terkait kasus Elli. Di telepon, Anggi terdengar sangat kesal sekaligus menyesal karena kerja kerasnya selama ini berakhir sia-sia. Izin yang Anggi dapatkan untuk membuat program tentang kasus Elli dicabut begitu saja. Semua data yang Anggi kumpulkan tentang kebohongan ibu Elli juga diambil. Beberapa kecurangan dalam menjalankan tambang begitu diambil alih oleh ayah tirinya juga diambil paksa oleh polisi.

"Benar-benar menyebalkan. Bagaimana bisa ini terjadi? Padahal jika kasus itu dibahas dan viral, aku bisa menekan ibu dan ayah tiriku."

Baru saja Elli keluar dari rumah untuk mulai bekerja, pengacara ibunya muncul.

"Maaf mengganggumu, tapi aku harus menyampaikan sesuatu." kata pengacara itu tampa basa basi, nadanya juga terdengar sangat congkak.

"Apa!"

"Kami menemukan pembeli, rumah ini sudah berpindah kepemilikan. Ini adalah nomor pemilik yang baru. Hubungi dia karena kamu harus membayar sewa untuk seterusnya jika ingin tetap disini."

Sebuah kartu nama disodorkan padanya. Elli mengambilnya dengan perasaan marah bercampur sedih. Marah karena kelakuan ibu kandungnya, miris karena dia menghadapi semua hal ini sendirian.

.

Beberapa hari ini Elli berangkat kuliah dengan pikiran yang tidak tenang. Sikapnya yang sudah pendiam dan acuh semakin menjadi-jadi. Raut wajahnya teramat dingin ketika beberapa orang mengajaknya bicara. Apalagi orang itu sejenis senior yang kemarin hanya ingin memanfaatkannya.

"Kamu masih tidak ingin menceritakan masalahmu?" tanya Arsen untuk kesekian kalinya setelah beberapa haru terakhir usahanya mencoba bicara pada Elli. "Bukankah kita teman, aku bisa membantumu apapun itu."

"Hah... Terima kasih. Tapi aku baik-baik saja." jawaban yang selalu sama. Membuat Arsen menghembuskan napasnya.

"Apa hal ini ada hubungannya dengan ibumu?"

"Aku baik-baik saja, Ars!" tegas Elli.

"Kita sudah hampir setahun berteman, El! Tidak bisakah kita lebih dekat? Kenapa kamu tidak suka aku menolongmu?"

Elli menoleh, memperhatikan sorot mata Arsen yang penuh harap padanya. Selama ini Elli tahu Arsen menghargainya karena berawal dari kekaguman disekolah dulu. Tapi entah sejak kapan mata itu berubah, Elli seakan baru bisa melihat bahwa sorot mata Arsen kini tidak lagi sama. Elli juga baru sadar bahwa beberapa bulan terakhir dia tidak lagi mendengar isi pikiran Arsen.

'Aku memang tidak begitu mempedulikan banyak hal, tapi sejak kapan aku tidak bisa membaca pikirannya? Apa baru-baru ini?'

Hal yang tidak pernah Elli ketahui, Arsen juga memiliki kecurigaan yang sama dengan Alvaro. Bahwa Elli telah mengalami kebangkitan dan memiliki kemampuan membaca pikiran sejauh ia mengamatinya selama ini. Karena itu Arsen mulai membatasi pikiran apa saja yang ia katakan dalam kepalanya ketika berhadapan dengan Elli. Tapi baru-baru ini, ketika dia terus di desak, dia jadi sulit mengendalikan pikirannya, karena itu dia membuat sihir penghalang.

"Aku minta maaf, tapi kamu benar. Ini masalah terkait ibuku. Dia menjual rumah kami. Rumah itu telah menjadi milik orang lain."

"Apa? Ibumu melakukan itu?"

Elli memperhatikan kiri kanannya, mereka berbicara cukup pelan sehingga tidak ada yang mendengar. Meski begitu dia sungguh tidak ingin membicarakan hal itu dikelas.

"Sudahlah, kelas akan segera dimulai sebaiknya hentikan membicarakan masalahku." kata Elli.

Arsen tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Elli juga terlihat tidak nyaman. Tapi belum selesai masalah tempat tinggal, setelah kelas hari ini selesai, Elli mendapat panggilan dari pihat administrasi kampus. Mengatakan padanya bahwa beasiswanya dibatalkan karena masalah kuota dan fakta bahwa Elli berasal dari keluarga kaya.

"Hah... Yang benar saja!" kesal Elli setelah dia keluar dari sana. Berjalan dengan pikiran kalut dan berusaha menghubungi ibunya karena menduga bahwa masalah beasiswa ini mungkin saja ulah ibunya. Sayangnya nomor ibunya tidak aktif. Elli terpaksa menghubungi nomor pengacaranya.

"Halo?" sapa pengacara itu dari seberang.

"Ini aku, Elli."

"Aaa, Elli? Cara bicaramu tidak sopan seperti biasanya. Kenapa menghubungiku? Rasanya tidak ada urusan lagi terkait kamu dan ibumu." katanya dengan nada mengejek.

"Benarkah tidak ada urusan? Jadi tentang gangguan beasiswa yang aku terima, apa kamu akan mengatakan tidak tahu sama sekali?" tuduh Elli.

"Beasiswa? Kamu menerima beasiswa? Aku tidak melakukan apapun, tuh." jawabnya.

Elli mengerutkan keningnya, antara tidak percaya tapi Elli tidak punya bukti. Akhirnya dia mengakhiri panggilan itu dengan sepihak.

Belum cukup tentang masalah beasiswa dan rumahnya, ketika dia selesai bekerja hari itu, bos tempat Elli bekerja memanggilnya dan mengatakan hal yang membuatnya semakin putus asa.

"Maaf Elli, tapi pendapatan akhir-akhir ini menurun. Aku berencana menjadi kasir menggantikanmu untuk mengurangi pengeluaran. Aku sungguh minta maaf, padahal Anggi sudah mengatakan tentang kesulitanmu..."

"Tidak apa-apa, terima kasih atas kebaikan bos selama ini." jawab Elli.

Dia tidak ingin berbasa basi lagi dan ingin segera pulang. Tapi pikiran bosnya membuatnya tertegun.

'Seandainya orang itu tidak mengancam akan mengusirku karena tanah ini telah dibeli olehnya, aku tidak perlu melakukan ini. Sebenarnya apa hubungannya anak ini dengannya, kenapa tidak bicara baik-baik saja kalau dia ingin anak ini bekerja untuknya?'

Elli hampir tertawa karena mengetahui fakta ini. Bukan tertawa senang, tentu saja tidak. Dia sedang menertawakan nasibnya yang semudah itu dikendalikan orang lain.

'Alvaro, jadi ini ulah tangan kanan Kak Evan atau ini memang perintah dari pria bermuka dua itu?'

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!