7

Malamnya, ketika Elli keluar menemui dokter Edo yang ingin bertemu, dia memakai topi dan masker agar pipinya yang masih sedikit merah tidak terlihat.

Dalam perjalanannya, Elli sadar dia diikuti oleh seseorang. Sampai dia memasuki bus kota, dia masih merasa diperhatikan. Seorang pria dengan rambut sebahu yang dibiarkan tergerai, memakai topi sepertinya dan memakai pakaian kasual menaiki bus yang sama. Dia duduk tepat belakang Elli.

Ketika Elli turun, dia ikut turun. Namun saat Elli menoleh dan memastikan wajahnya, pria itu menghilang. Elli mengedarkan pandangannya disekitar jalanan yang ramai, namun dia tidak menemukan sosok itu.Karena dia sudah berada di depan kafe tempat dia akan bertemu dokter Edo. Elli megabaikan kewaspadaan dan rasa penasarannya, dia buru-buru masuk kedalam.

"Selamat malam, dokter." sapa Elli sembari duduk.

Edo sedikit mengerutkan keningnya karena penampilan Elli yang seperti menyembunyikan wajahnya. Namun karena tidak ingin menyinggung privasi remaja dihadapannya, Edo diam saja. Tapi dia berniat akan mengoreknya nanti.

"Selamat malam juga, Elli. Kamu sudah makan?"

"Belum."

Edo langsung memanggil pelayan dan menyuruh Elli memesan. Ketika itulah, Elli merasakan lagi kehadiran pria tadi. Namun ketika dia menoleh kearah pintu masuk, tidak ada siapa-siapa yang mencurigakan.

"Ada apa?"

"Nasi goreng biasa saja dan air putih hangat." kata Elli, lalu dia beralih pada Edo. "Tidak ada, saya hanya merasa diikuti sejak tadi." jujurnya.

"Diikuti?" Edo ikut melihat sekeliling, "Laki-laki?" Elli mengedikkan bahunya sebagai jawaban.

"Saya tidak sempat melihatnya."

"Nanti pulang bersamaku saja. Jangan naik bus lagi."

"Terima kasih, lalu kenapa dokter ingin bertemu saya?" tanya Elli tampa basa basi.

"Oh, soal ingatanmu. Aku dan Anggi sepakat membantu biaya pengobatanmu agar kamu melanjutkan terapi untuk ingatanmu yang hilang."

"Ya? Itu... Saya rasa tidak perlu. Lagi pula saya tidak terlalu penasaran."

Edo menggaruk keningnya yang tak gatal, seperti ragu untuk mengatakan tujuannya yang lain.

"Sebenarnya Anggi adalah sepupuku. Dia bertekat ingin mengungkap kasusmu. Aku juga tidak tahu kenapa dia sangat berambisi. Dia bilang dia punya firasat yang kuat. Dia memang keras kepala sejak dulu. Dia sudah seperti adik bagiku sejak aku tinggal bersama keluarganya. Karena itu aku juga ingin membantunya. Jika sedikit saja ingatanmu pulih, kamu mungkin bisa mendapat petunjuk saat kejadian malam itu."

Elli tidak perlu ingatannya. Karena dia sama sekali tidak penasaran akan masa lalunya. Terlebih melihat kebencian sang ibu padanya. Dia takut jika dari ingatan itu ada yang sangat buruk dan dia benar-benar ingin menghapusnya. Tapi bagaimana dokter Edo membujuknya dengan menceritakan hubungannya dengan Anggi, Elli jadi sedikit tidak enak hati.

"Oh iya, Anggi bilang kamu sudah bekerja. Apa tidak mengganggu kesehatanmu?"

"Tidak apa-apa, tapi dokter Edo, untuk tawaran pengobatan itu, saya ingin memikirkannya dulu."

Pesanan Elli tiba ketika Edo hendak bicara. Karena Elli tampak lapar, dia terkekeh dan segera menyuruh Elli makan dulu. Saat itulah, Edo bisa melihat pipi Elli yang merah. Namun dia tidak segera menanyakannya, dia memilih waktu yang tepat.

Saat perjalanan pulang, barulah Edo membahas masalah pipinya. "Elli, bolehkan aku bertanya tentang pipi kananmu?"

"Oh, dokter melihatnya? Sepulang kerja sore tadi Ibu kerumah sebentar. Ada sedikit ketegangan diantara kami dan dia menampar saya."

Edo melirik ekspresi santai Elli beberapa detik sebelum fokus lagi pada jalanan. 'Dia anak yang sangat cuek, apa karena tidak ada ikatan kuat antar mereka dan dia kehilangan ingatannya? Dia tidak terlihat sedih sama sekali.' pikir Edo.

"Kamu sudah mengompresnya?"

"Huh? Harus dikompres?"

"Tentu saja, agar mengurangi bengkak dan warna merahnya. Kompres pakai es batu atau air dingin."

"Ya, nanti akan saya lakukan."

Mereka berpisah pada malam itu, Elli tetap tidak menerima tawaran itu pada keesokan harinya. Dia kini fokus mencari bukti sertifikat asli yang mungkin disembunyikan ayahnya. Bagaimanapun, Elli tidak ingin seluruh peninggalan ayahnya dikuasai sang ibu dan ayah tirinya. Setidaknya dia harus punya satu untuk modal masa depannya.

Waktu berlalu tampa ada perkembangan dari usahanya, sampai dia harus memasuki sekolah sebelum masa ujian akhir. Arsenio yang memberitahukan hal itu padanya, bahwa sekolah menyuruhnya mengikuti kelas di dua minggu terakhir masa persiapan ujian akhir.

Elli menghembuskan napas dengan lelah ketika dia berhasil menghindari pandangan orang-orang dan pertanyaan-pertanyaan penuh perhatian dari guru-guru yang tidak bisa ia ingat.

Dia menemukan sebuah pohon besar dibelakang sekolah dan duduk dibaliknya beralaskan dua lembar kertas buku tulis yang ia robek.

Tampa sadar, ia tertidur disana. Sampai bunyi bel masuk kelas berbunyi, Elli tidak bangun. Arsenio yang jadi teman sebangkunya, segera menghubungi ponselnya, tapi tidak diangkat. Saat guru masuk dan mulai membagikan kertas latihan, dia segera keluar untuk mencari Elliana.

Sementara itu, dimana Elli tertidur. Seorang pria dengan pakaian yang berbeda dari orang lain pada umumnya, berdiri dihadapan Elli. Menatap wajah Elli dengan sorot tajam dan pikiran yang penuh dengan tanda tanya.

Pria itu menoleh ketika dia merasakan langkah kaki seseorang. Dia tidak merubah ekspresi datarnya. Arsen yang balas menatapnya, tidak mengatakan apapun.

"Aku penasaran kenapa anjing pangeran kedua berkeliaran disekitar anak ini." kata pria itu, lalu angin disekitar mereka berhembus begitu kuat hingga menimbulkan deru dan merontokkan banyak dedaunan.

Ketika Elli membuka matanya, angin itu menghilang bersama sosok yang menciptakannya. Arsen yang masih terpaku ditempatnya, tidak menyadari bahwa Elli telah berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan aneh.

"Kenapa kamu bisa ada disini?" tanya Elli.

Menyadari kelalaiannya, dia segera tersenyum dan menggeleng. "Tadi ada angin kencang, aku sangat terkejut sampai-sampai lupa membangunkanmu. Kenapa kamu bisa tidur disini?"

Elli mengerutkan keningnya, melihat Arsen dengan aneh karena mengoceh tentang angin yang tak dimengertinya. Tapi ketika matanya menangkap banyak daun dibawah kakinya, dia jadi sedikit mempercayainya.

"Angin apa yang merontokkan daun sebanyak ini dicuaca yang secerah ini?" tanyanya pelan.

"Entahlah, mungkin tadi itu keanehan alam saja. Ayo segera masuk kelas." ajak Arsen, sengaja mengalihkan perhatian. Elli hanya mengangguk dan mengikutinya.

Memasuki waktu ujian, Elli benar-benar fokus, bahkan saat bekerja dia masih memegang buku. Walau daya ingatnya sangat baik dan dia mudah memahami materi pelajaran, dia tetap tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Elli bertekat lulus dengan nilai terbaik karena ingin masuk universitas dengan beasiswa.

"Kamu sangat rajin ya." kata rekan kerjanya.

Elli bersyukur atasannya baik padanya dan memberi kelonggaran untuk belajar sambil bekerja selama hal itu tidak mengganggu kinerjanya.

Anggi yang sejak penolakannya hari itu sering datang untuk membujuknya juga tidak datang sejak dia mulai ujian. Tampaknya wanita itu memahaminya. Sementara ibunya yang pergi dalam keadaan marah saat itu, kini juga tidak ada kabar. Hanya ada ancaman tersirat melalui pesan singkat seminggu yang lalu ia terima, bersamaan pernyataan bahwa ibunya berlepas diri darinya.

Apa Elli bersedih?

Jawabannya tentu saja tidak. Dia hanya mengutuk dalam beberapa baris kalimat dan bertekat mengambil alih aset yang ditinggalkan untuknya dari sang ayah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!