10

Pagi ini, Elli berangkat dengan perasaan sedikit cemas. Meski berusaha meyakinkan diri pagi ini agar bersikap masa bodoh, tapi sosok Evan tadi malam membuatnya gusar. Sorot mata penuh aura membunuh, Elli tidak ingin melihatnya lagi. Jadi kalaupun bertemu, Elli bertekat akan berpura-pura tidak pernah melihat kejadian tadi malam.

'Rasa penasaran itu memang hal yang tidak baik untuk dituruti. Kenapa aku bisa ceroboh begitu tadi malam.' gerutunya dalam hati. 'Tidak bisa membaca pikirannya saja sudah aneh sendiri, tekanan tak biasa itu... Semua tentangnya jelas tidak masuk akal sejak awal. Bahkan kemampuan anehku ini juga tidak masuk akal.'

"Kamu bisa menabrak tiang didepanmu kalau terus melamun."

Elli yang tidak mengenali suara orang yang barusan bicara dengannya, menoleh ke kanannya. Elli ingat, dia adalah salah satu anggota dari badan mahasiswa. Pria yang sedikit aktif dan membuat suasana santai diantara para junior.

"Kamu mengenalku?" tanyanya sambil menyamai langkah Elli.

"Sedikit..."

"Sedikit? Normalnya orang-orang akan bertanya ulang untuk memastikan. Seperti rumornya, kamu junior yang unik."

"Ya? Rumor?"

"Kamu tidak tahu? Beberapa anak sangat penasaran ingin mengobrol denganmu. Mereka penasaran apa rasanya kehilangan seluruh ingatan tapi tidak kehilangan kejeniusan. Kamu kasus yang langka. kebanyakan kasus orang itu akan sangat sulit bersosialisasi dan kadang terlihat seperti keterbelakangan mental."

'Yah, walau sebenarnya aku lebih tertarik pada latar belakang keluarganya. Kan bagus kalau aku dekat dengan anak pemilik tambang.' Itu adalah isi pikiran yang baru saja dibaca oleh Elli. Pikiran serakah dan licik yang membuat Elli mual.

Ini bukan pertama kalinya dia membaca pikiran anak-anak yang ia lewati, ada banyak pikiran jahat bahkan beberapa sedikit kotor. Membuat Elli menghindari kontak mata pada banyak orang.

"Ya, saya bersyukur itu tidak terjadi pada saya." sahut Elli dengan nada datar.

"Kamu beruntung, tahu! Tapi apa benar rumor bahwa kamu akan masuk program TV sebagai bintang tamu?"

"Entahlah, Kakak bisa tanyakan langsung pada yang menyebarkan rumor." kali ini nada Elli sedikit dingin. Membuat seniornya itu tersenyum canggung.

Elli berpisah dari seniornya itu setelah menemukan alasan. Dia sengaja berbelok ke arah kantin berpura-pura membeli susu dan roti. Tampa dia sadari akan ada hal yang lebih menyebalkan akan menunggunya disana.

"Kamu Elliana, kan?"

Elli menoleh, dua orang anak perempuan. Dia ingat mereka dari jurusan yang sama. Salah satunya menyukai Arsen sejak mereka pertama kali bertemu.

"Ya." sahut Elli santai sambil membayar susu dingin yang tadi ambil di kasir.

"Hmm, kamu sepertinya akrab dengan Arsen. Aku dengar kalian dari SMA yang sama."

"Ya."

'Apaan sih! Kenapa jawabannya pendek gitu. Apa dia suka Arsen juga?'

Elli menghembuskan napas, mencoba bersabar sambil membuka plastik pipet susunya. Saat mulai minum, saat itulah dia melihat Evan berjalan kearahnya. Membuat tubuhnya seketika kaku.

"Bolehkah aku minta nomor ponselnya? Aku pernah lihat dia pernah meneleponmu."

Bersamaan perhatiannya yang terbagi, Elli kembali menatap anak dihadapannya. Tapi ekor matanya memperhatikan Evan yang kini melewatinya dan berdiri di belakangnya, tepat di depan kulkas minuman.

"Aku tidak bisa tampa izinnya. Kenapa kamu tidak minta langsung?"

"Ish! Apa susahnya sih! Nanti aku yang kasih penjelasan padanya."

Sementara itu, Evan yang kini selesai membalas sapan anak-anak lain, memperhatikan Elli yang berusaha menolak anak yang meminta nomor Arsen itu sambil tersenyum.

Dia maju selangkah, lalu menyentuh pundak Elli. Membuat gadis itu tersentak dan mendongak kebelakang. Begitu mata mereka bertemu, Elli segera berdiri lurus lagi dengan ekspresi tegang.

"Aku punya hal yang harus dibicarakan dengan Elli, apa kalian keberatan aku membawanya sekarang?" Evan mengeluarkan senyum palsu andalannya.

"Si-Silahkan Kak." kata anak itu bergantian.

"Nah, Ayo Elli."

Elli yang tidak bisa berkutik hanya bisa mengikuti langkah Evan yang menyeretnya entah kemana. pergelangan tangannya digenggam erat, Elli bisa merasakan telapak tangan yang kasar namun terasa hangat itu menyentuh kulitnya.

"Nah, kita sudah sampai dikelas pertamamu. Aku benar kan?"

Tangannya dilepaskan, Elli baru sadar bahwa dia telah berada di depan kelas. Arsen yang duduk di depan kini menoleh padanya dan menatap mereka dengan sorot yang menunjukkan ketidak nyamanan.

"Bukankah kamu harus berterima kasih karena aku menyelamatkanmu dari dua anak menyebalkan tadi?"

'Dia menunjukkan sifat aslinya, ya. Apa karena aku melihat sosoknya yang lain?'

Elli merutuki pikirannya, dia jadi teringat lagi kejadian tadi malam yang membuatnya merinding.

"Kalau begitu saya akan masuk dulu, terima kasih, Kak."

"Sama-sama, kamu anak yang baik."

Evan pergi setelah memastikan apa yang ingin ia ketahui. Sementara Elli di introgasi anak-anak kelasnya yang bertanya ada apa antara dia dan most wanted kampus mereka, Evan sendiri segera pulang. Dia terlihat sangat senang dengan apa yang baru saja terjadi.

.

Keesokan harinya, begitu dia masuk kelas. Anak-anak sudah heboh dengan berita bahwa Evan mengalami penyerangan tadi malam. Kabar yang beredar Evan sampai tidak sadarkan diri karena diserang oleh sekelompok perampok saat pulang.

"Diserang?" ulang Lilia yang kini duduk di depan Arsen dan Elli. "Padahal Kak Evan itu sabuk hitam, dia juga sudah diakui sebagai petinju profesional. Aku dengar dia juga jago silat. Apa dia dikeroyok kelompok perguruan lawan?"

"Perguruan lawan?" ulang Arsen.

"Kamu tidak tahu? Cerita ini sangat terkenal tahu! Sanggar bela diri tempat Kak Evan bergabung itu bermusuhan dengan perguruan silat lain. Permusuhan itu sudah turun temurun, sebelum Kak Evan bergabung mereka sudah sering terlibat perkelahian. Tapi sejak Kak Evan bergabung dan mengalahkan tim mereka dalam tiga cabang tahun lalu, mereka jadi sering berulah."

"Ah... Begitu." respon Arsen, dia melirik Elli yang fokus pada ponselnya. Elli sedang memainkan sebuah game dan mengacuhkan mereka. "Tapi kenapa tidak ada pemberitaan ya? Bukankah akan heboh kalau ada kejadian seperti itu?"

"Itu kan tebakanku saja. Bisa jadi dia diserang oleh perampok bersenjata sungguhan. Siapa yang tahu. Haruskah kita jenguk kerumah sakit?"

"Percuma, Kak Evan sudah dibawa pulang kata para dosen. Tadi mereka menghubungi wali Kak Evan tapi katanya dia sudah dibawa pulang dan dirawat dirumah." sahut seorang disamping Lilia yang ikut bergabung pada obrolan.

"Ah... Kalau dirumahnya kita hanya bisa menunggu sampai dia sembuh dan kembali ke kampus." kata Lilia dengan nada kecewa .

"Kenapa begitu? Bukankah kalian bisa kesana?" tanya Arsen.

"Hmm, kamu ternyata banyak tidak tahunya. Kak Evan itu identitasnya sangat dirahasiakan. Para dosen saja tidak bisa datang sembarangan kerumahnya. Tidak ada yang tahu alamat pastinya, siapa orang tuanya, yang semua orang tahu adalah, Kak Evan itu anak orang yang berpengaruh. Karena dia sangat tampan dan berprestasi, orang-orang mengabaikan identitasnya yang misterius. Dia juga sangat royal tahu, selain ramah dan suka menolong tentu saja!"

Elli yang mendengar pujian-pujian untuk Evan itu tentu saja mulai jengah. Dia memang main game dan terlihat acuh, tapi telinganya sejak tadi menyimak percakapan mereka. Karena itu, penggambaran positif mengenai Evan membuatnya ingin berdecak, karena dimatanya, Evan memakai topeng selama ini.

Hari itu berlalu dengan cerita tentang Evan dimanapun Elli pergi ketika dikampus. Semua orang menghawatirkannya seolah mereka menghawatirkan diri sendiri. Elli sungguh takjub akan respon orang-orang yang selama ini tertipu oleh topeng Evan.

Hanya Arsen yang normal sejauh ini dari semua orang yang diketahui Elli di kampus. Arsen sama dengannya, menjadi pendengar ketika orang-orang mulai bicara tentang Evan. Sesekali dia malah yang mengganti topik pembicaraan, seolah menunjukkan ketidaknyamanan ketika menceritakan Evan.

'Apa Arsen tidak menyukainya? Tapi aku tidak membaca pikiran apapun tentang kebencian darinya.' pikir Elli ketika dia dalam perjalanan menuju rumahnya.

 Hari ini giliran dia libur kerja, jadi dia berencana melanjutkan mencari petunjuk mengenai keluarga dari pihak ayahnya yang sampai saat ini tidak ada petunjuk mengenai mereka.

Sesampainya di depan gerbang rumahnya, Elli sudah ditunggu oleh sosok yang tidak ia kenal. Seorang pria yang wajahnya terasa familiar tapi Elli tidak tahu siapa dia.

"Kamu siapa?" tanya Elli.

Pria itu yang tak lain adalah Alvaro, mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah. "Aku Alvaro, aku bisa dibilang orang kepercayaan pang... Maksudku Evan! Seniormu di kampus." katanya.

"Ah... Ya, lalu apa tujuanmu..." Elli menghentikan ucapannya karena merasa dihantam sesuatu dikepalanya. Meski tidak ada apapun, matanya sempat buram dan dia nyaris kehilangan keseimbangan.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Alvaro. 'Ternyata benar dia telah bangkit, dia tidak terpengaruh.' lanjutnya dalam hati.

'Apa yang bangkit? Sebenarnya siapa orang ini?' tanya Elli ketika membaca isi pikiran Alvaro. 'Sejak aku bertemu Kak Evan itu, banyak hal aneh terjadi.'

"Apa kamu sakit?" tanya Alvaro lagi.

"Saya baik-baik saja."

"Syukurlah, bisakah aku masuk dan bicara? Aku memiliki penawaran untukmu."

Meski memiliki kecurigaan, Elli tetap menyetujui permintaan Alvaro. Namun alih-alih dibwa masuk, Elli tidak membuka pintu rumahnya dan hanya menyambut Alvaro di bangku taman depan rumah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!