18

Dua minggu berlalu, Elliana menjadi terbiasa dengan keanehan Jefri dan Ana. Alvaro yang muncul setelah berurusan dengan polisi, menghilang dua hari berikutnya dengan alasan bisnis. Dia berjanji tidak akan terjadi hal buruk pada Evan. Mereka sampai menandatangani surat perjanjian tertulis terkait keadaan Evan yang tak dibawa kerumah sakit.

"Kamu melamun lagi." komentar Arsen.

Elli yang tidak mengatakan keadaan Evan karena terkait kontrak mereka, hanya bisa mengabaikan setiap pertanyaan Arsen yang penasaran pekerjaan apa yang ia lakukan untuk Evan.

Berbagai upaya dilakukan Arsen sampai berjanji menjaga rahasia pekerjaannya, tapi Elli tetap pada komitmen kontraknya.

"Hah... Aku hanya lelah. Akhir-akhir ini tugas kita semakin banyak dan pekerjaanku juga bertambah." keluh Elli.

"Dia menyusahkanmu?"

"Bukan begitu."

Arsen menghela napas. "Kalau aku tanya kamu tidak akan menjawabnya bukan?"

"Tentang apa?"

"Tentu saja tentang pekerjaanmu."

"Ah... Itu? Kenapa kamu sangat penasaran?" Elli mencoba sedikit bercanda.

Terkait perusahaan tambang miliknya Elli tidak keberatan bercerita. Tapi hal itu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Elli hanya malas bicara ini dan itu terkait dirinya, karena itu dia terus mengabaikan Arsen. Menurutnya, akan sulit baginya menghindari pertanyaan menjurus pekerjaan yang melibatkan Evan.

"Aku menghawatirkanmu." jawab Arsen serius.

Elli menoleh, mereka sedang ada di kursi taman kampus dan dari jauh dia bisa melihat beberapa gadis yang diisukan mendekatinya sedang melempar tatapan membunuh padanya.

"Ya, aku tahu kita teman, tapi tidak semua bisa aku ceritakan. Lagi pula itu bukan sesuatu yang membahayakan."

'Teman ya? Sampai kapan kamu tidak akan peka? Apa aku harus menunjukkannya dengan jelas?' tanya Arsen dalam hati.

"Setiap hari kamu diantar dan dijemput oleh orangnya. Setiap kali aku mengajakmu bertemu diluar kamu selalu tidak bisa. Kamu bilang mereka tidak melakukan hal yang aneh, tapi setiap hari kamu melamun!"

"Ya ampun, berhenti mengomel! Aku baik-baik saja. Omong-omong gadis yang jatuh cinta padamu disana sepertinya akan menangis." kata Elli sembari bangkit dengan nada masih bercanda.

"Mau kemana?" tahan Arsen dan menggenggam tangannya. Membuat Elli tersentak karena tidak biasanya Arsen seperti ini. Tatapannya seakan tak rela dan dia juga mengabaikan ucapannya tentang gadis yang menyukainya. "Aku belum selesai bicara." sambungnya dengan wajah serius.

"Kamu kenapa...? Kakek Jefri sudah sampai, dia baru saja mengirimiku pesan."

"Lihat, kan! Kamu terlalu dikekang oleh mereka. Kamu juga terlihat sangat kelelahan. Sebenarnya apa yang mereka lakukan padamu?"

"Aku sibuk karena pekerjaan dan tugas. Tidak ada apapun selain itu. Jika waktunya tepat, mungkin aku akan membicarakannya denganmu agar kamu berhenti mengomel, tapi saat ini aku harus pergi. Ini sudah sore, kamu juga sebaiknya pulang karena tidak ada jadwal lagi." jawab Elli sembari melepaskan tangannya.

Arsen membiarkannya pergi. Menatapnya dengan wajah kecewa. 'Pekerjaan apa? Orang itu juga sudah lama tidak terlihat. Apa yang terjadi dirumah itu? Batu mana yang dibeli Kakak, apa untuk kebangkitan? Disini?'

Arsen juga mengawasi pergerakan pihak Evan. Karena sejatinya, keberadaannya di dunia tampa sihir adalah menyelidiki apa yang dilakukan kakaknya. Kenapa dia hidup di dunia manusia dan mengabaikan tugasnya sebagai calon penerus.

'Sangat aneh mereka tertarik dengan Elli. Apa karena permintaan kepala menara sihir? Apa mereka punya perjanjian khusus setelah saudaranya mati?'

"Ehem!" Arsen yang sedang berpikir menoleh ketika orang yang tak ingin ia lihat berdiri di depannya. "Arsen, kamu sudah mau pulang?" tanyanya. Dia adalah gadis yang menyukai Arsen, wanita cantik yang cukup terkenal diantara anak tingkat satu.

"Ya. Kalau begitu aku duluan." jawab Arsen dengan senyum ramahnya, tapi dia segera bangkit dan melangkah pergi. Tidak memberi kesempatan pada gadis itu.

"Benarkan, dia memberi batas pada semua orang meski ramah." kata temannya yang langsung menghampiri. "Kecuali pada Elli." lanjutnya seolah memanasi temannya yang sedang marah itu.

"Diamlah! Mereka cuma teman! Ayo pergi!" sahutnya dengan kesal.

.

Begitu sampai, Elli segera mandi dan makan malam. Setelahnya Jefri menyerahkan berkas laporan perusahaan yang dikirimkan Alfaro. Kemudian dia segera melanjutkan pelajaran bahasa kuno yang diperintahkan Evan sebagai hukumannya dulu. Karena Alfaro sibuk, pelajaran itu sering kali digantikan oleh Jefri atau Ana.

Elli belajar dikamar Evan sambil memegang tangannya. Selama dua jam itu, Elli terus saja menghapal kata demi kata dan diawasi oleh Jefri.

"Nona pintar sekali. Padahal bahasa ini cukup sulit. Nona sudah hampir lancar hanya dalam waktu dua minggu ini." puji Jefri.

"Terima kasih. Kakek juga guru yang baik." sahut Elli.

Waktu dua jam telah selesai. Wajah Evan terlihat tenang seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda akan bangun. Meski kawatir, tapi karena Evan tak menunjukkan keadaan yang buruk, Elli akhirnya menekan logikanya yang terus menyuruhnya untuk memanggil dokter.

"Aku akan segera kembali ke kamarku." kata Elli.

"Ya, silahkan Nona."

Jefri adalah orang yang akan selalu mengawasi Evan dimalam hari sementara Ana disiang hari. Dia sengaja tidur di sofa untuk mengantisipasi tanda-tanda kebangkitan Evan.

"Rasanya ada yang berbeda dari biasanya. Aku harus mengirim pesan pada Tuan Alvaro." gumamnya.

Sejak masuk untuk mengajar Elli tadi, dia merasakan energi berbeda di sekitar Evan. Rasa menekan yang kuat seolah tuannya itu telah sadar.

"Kamu juga merasakannya?"

Jefri menoleh, Ana masuk dan langsung menutup pintu. Dia berjalan ke sisi lain tempat tidur dengan wajah cemas.

"Sejak kapan kamu merasakannya?"

"Sejak siang ini. Aku sudah memberi tahu tuan Alvaro juga. Apa kamu menghubunginya lagi?" tanya Ana saat Jefri memegang ponsel.

"Ya, dia baru saja membalas pesanku. Batu mananya masih di tempat persembunyian. Karena Tuan Alvaro ketahuan menyelundupkan banyak batu mana, ini menjadi lebih sulit."

"Selain adik tirinya, mata-mata dari pihak musuh bertambah. Sekelompok orang mengawasi rumah ini. Sepertinya mereka curiga akan ada kebangkitan terlambat sejak kejadian yang menimpa ayah Nona Elliana."

"Aku harap Tuan Alvaro berhasil kesini." cemas Jefri.

"Apa kita membujuk Nona saja untuk tidur disisinya dan terus memegang tangannya sepanjang malam?" usul Ana.

"Tidak bisa, itu berbahaya jika Yang mulia bangkit dan mengamuk. Itu akan berbahaya. Tuan Alvaro juga tidak sudah bilang kita akan meninggalkannya disini setelah Yang mulia bangkit. Jadi dia tidak boleh tahu identitas kita."

"Kalau memang begitu kenapa Yang mulia ingin Nona belajar bahasa kekaisaran?"

"Aku tidak tahu."

"Hmm? Kamu sangat lamban! Aku pikir Yang mulia tidak akan membiarkannya sendiri." kata Ana dengan sangat yakin.

"Kamu terlalu sering membaca novel manusia disini. Hayalanmu berlebihan, aku lihat Yang mulia baik dan berbeda padanya karena membutuhkannya saja."

Perdebatan itu terhenti ketika mereka merasakan tekanan mana Evan yang mulai tak terkontrol semakin kuat. Mereka segera mengambil alat sihir yang berfungsi untuk membuat perisai sementara. Karena kalau tidak, tekanan itu bisa membunuh mereka yang hanya memiliki tingkatan sihir yang lemah.

.

Ditengah malam menjelang dini hari, Elli terbangun karena mendengar suara keras. Lalu dia merasakan tekanan besar yang membuat dadanya berdebar kencang. Ketika dia berlari keluar kamar, bersamaan dengan itu seluruh kaca jendela dirumah itu retak dan pecah.

Elli yang ketakutan segera berlari menuju kamar Evan. Keanehan keadaan saat ini tidak bisa akalnya tafsirkan sebagai bencana alam karena tidak ada gempa atau getaran apapun yang membuat kaca dirumah itu pecah.

Dengan keringat dingin yang mulai membanjiri keningnya, dia sampai di depan kamar Evan yang pintunya telah roboh. Evan duduk di ranjangnya dalam keadaan mata yang terbuka lebar.

Elli melihat seorang wanita muda yang tak dikenalnya terbaring dilantai dengan gerakan yang sudah sangat lemah. Lalu Jefri muda bersandari di dinding dengan bekas luka dikepalanya seolah baru saja terhempas kuat.

"Nona... Jangan men-mendekat! Tolong pergi_ Hik!" Jefri berhenti bicara setelah mengeluarkan suara seperti tercekik.

Elli yang tidak mengerti bukannya pergi, tapi malah menghampiri Evan yang kini terlihat seperti bukan dirinya. Meski takut, tapi Elli yang kawatir pada Ana dan Jefri memberanikan diri mendekati mereka.

Mata Evan kini bergulir, yang tadinya kosong kini menatapnya dengan buas. Evan turun dari ranjangnya, lalu menghampiri Elli yang berusaha membangunkan Ana.

"Akh!"

Elli berteriak ketika tangan Evan menarik rambutnya. Membuat Elli meringis. Ketika sentuhan tangan Elli dipergelangan tangannya menguat, Evan melepaskan cengkramannya dan langsung mengangkat tubuh Elli. Membawanya keatas kasur dan mengungkungnya dengan kedua lengan dan lututnya.

Evan yang tadi menatap dengan mata buas perlahan melunak, energi murni Elli seakan menenangkannya. Tapi karena mata mereka bertemu, pikiran-pikiran takut Elli tiba-tiba bisa dibaca oleh Evan sementara dia masih belum kembali kedirinya. Mana Evan yang masih mengamuk memang tidak bisa dirasakan oleh Elli selain perasaan menekan yang membuat takut, tapi jika terus dibiarkan Evan bisa meledak dan mati.

Ana yang masih sadar berusaha bangkit, perisainya telah pecah dan dia nyaris mati saat ini karena telah kehabisan hampir seluruh mananya. Tepat saat dia menghembuskan napas terakhir, Alvaro datang dan memberikan batu mana pada Ana dan Jefri.

Evan yang menyadari kehadirannya, melepaskan Elli dan segera menyerang Alvaro dengan seringai seram diwajahnya. Seperti hewan buas yang menemukan lawan yang hendak merebut wilayahnya, dia menghampiri Evan dan hendak melayangkan pukulan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!