Suara-suara berisik tertangkap oleh rungunya. Wanita, pria dan beberapa bunyi mesin yang pelan. Bunyi bip yang teratur seperti musik pengantar tidur yang sangat buruk. Dia mencoba membuka matanya, namun terasa sangat berat.
Dia bisa merasakan ujung jarinya, tapi kenapa matanya terasa begitu sulit dibuka?
"Dia bangun! Akhirnya dia bangun! Hubungi keluarganya!"
Suara berisik itu perlahan mereda. Hanya bunyi bip pelan dan beberapa suara sepatu yang bergesekan dengan lantai keramik.
"Elliana? Kamu bisa mendengar saya?"
Seorang wanita remaja yang terbaring dengan beberapa alat terpasang ditubuh kurusnya, melirik kerah suara yang menyapanya. Namun belum sempat ia merespon, dengungan suara lain memasuki rungunya, membuat ia bingung dan diserang rasa sakit yang hebat dikepalanya.
"Apa kepalamu sakit?"
Remaja bernama Elliana itu menutup matanya. Dia tidak menjawab pria berpakaian putih itu. Tapi dia bisa mendengar dia mengintruksikan pada yang lain untuk memberikannya obat anti nyeri.
Lewat beberapa menit, keheningan yang pekat selain bunyi bip pelan di sisi kirinya membuat Elliana terdiam, dia membuka matanya lagi, lalu melirik sisi kanan dimana pria tadi duduk sendirian disisinya.
Lagi-lagi suara dengungan pria itu terdengar saat Elli menatap matanya. Seperti bergumam pelan tapi menggema. Membuat hentakan rasa sakit dikepalanya kembali tapi tidak separah tadi.
"Kamu bisa mendengar saya? Saya dokter Edo, saya adalah dokter bedah yang menangani kamu." katanya.
Elliana memberikan isyarat dengan matanya. Mengatakan bahwa dia mendengar perkataan dokter itu.
"Syukurlah kamu akhirnya bangun, kamu telah koma selama 2 tahun karena kecelakaan."
Elliana lagi-lagi mendengar suara pria itu meski bibirnya tertutup, berbicara pada dirinya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang penuh kekhawatiran. Tapi Elliana tidak ingat, dia menunjukkan ekspresi kebingungan. Meski begitu, suara-sura mirip dokter itu yang didengarnya membuat ia tersenyum dalam hati.
'Dia dokter yang baik.' puji Elli dalam hati.
Dia hendak membuka bibirnya untuk menjawab, namun suara-suara berisik lain terdengar dari luar pintu. Benar saja, dua orang masuk disusul seorang petugas medis dibelakangnya.
"Elli, kamu sudah bangun? Syukurlah kamu sadar, Nak!" Seorang wanita yang memasuki usia kepala empat. Dia adalah Ibu Elliana, Ela.
"Syukurlah kamu akhirnya sadar, Kami sangat khawatir dan terus menunggumu." Seorang pria yang lebih muda dari ibunya, dia adalah ayah tiri Elli, Aril.
Elli menatap bingung ke arah mereka, karena dia tidak mengenali mereka. Terutama pada wanita yang melabeli dirinya sendiri sebagai ibu Elli. Ibu itu terlihat sangat sedih. Tangan kanannya digenggam erat.
Elli melirik dokter tadi, yang tampak terharu melihat mereka. Elli masih mendengar suara berisik dokter itu kala mereka bertatapan mata. Dari suara itulah Elli tahu identitas kedua pasangan suami istri ini. Meski bingung, dia menerimanya dengan tenang. Elli berpikir mungkin suara dikepalanya itu adalah efek samping kerusakan dari otaknya.
Sayangnya perkiraan itu menjadi sebuah keraguan besar saat dia bertatapan dengan mata ayah tirinya, Aril. Suara pria itu terdengar sangat marah dikepalanya meski wajahnya tersenyum dan bibirnya tidak bergerak sedikitpun.
'Sialan! Sialan! Kenapa dia bangun sekarang!'
Umpatan-umpatan dan kalimat ketidak sukaan terdengar dikepala Elli. Saat dia beralih pada ibunya, suara Aril tidak terdengar lagi. Meski begitu, suara tidak nyata ibunya mulai terdengar juga meski bibir ibunya mengeluarkan perkataan yang berbeda.
Kalimat yang mirip dengan Aril namun tidak ada umpatan-umpatan. Elliana merasa lelah atas banyaknya suara yang tumpang tindih, dia melirik dokter Edo yang langsung menangkap ketidaknyamanan diwajahnya.
"Pak Aril dan Bu Ela, Elliana baru saja sadar, kondisinya belum stabil. Saya berharap Anda berdua mengerti dan bisa membiarkannya istirahat saat ini. Ada yang perlu saya sampaikan juga pada Anda sekalian tentang kondisi Elliana." kata Edo.
Setelah kepergian merekanya, ruangan itu kembali hening. Hanya ada suara bip dan suara pelan dari gesekan pena dikertas dari seorang perawat jaga yang mencatat sesuatu dimeja di ujung ruangan.
.
Situasi yang sama berulang setiap Elliana menatap mata seseorang. Meski ingatannya terganggu, dia sudah bisa membuka mulutnya keesokan paginya sehingga pemeriksaan menyeluruh bisa dilakukan.
Dua hari berlalu, banyak orang yang datang menjenguknya setelah ia dipindahkan keruang rawatan biasa. Hal yang membuat banyak orang kebingungan ketika Elliana tampak tidak mengenali mereka.
"Elli, kami sudah lulus. Karena kamu koma 2 tahun, kita jadi tidak bisa lulus bersama."
"Benar, padahal kita sudah janji akan kemping setelah wisuda."
"Kami membatalkannya."
Sahut-sahutan dari mereka seolah ingin mengajari Elli dengan semua yang terjadi selama dua tahun ini. Tapi tidak ada satupun sahutan dari Elli. Bukan karena tidak mau, tapi karena Elli fokus pada suara-suara lain dari dalam kepala mereka.
'Ini sangat tidak masuk akal. Ini bukan penyakit, itu sungguh suara mereka. Isi kepala mereka.'
Elli akhirnya mendapatkan kesimpulan dari pengamatannya sejauh ini. Terutama saat isi kepala orang yang ia dengar dilakukan oleh mereka. Seperti saat mereka mengatakan ingin buang air dikepalanya, setelahnya orang itu minta izin ke kamar mandi, atau ketika perawat melakukan apa yang dia dikte dalam kepalanya.
'Bagaimana bisa aku mendengar isi kepala mereka? Ini sungguh gila.'
"Elli?"
"Elli kamu kenapa?"
Elli tersadar ketika tangannya disentuh seseorang untuk menyadarkannya. ketika dia menatap mata perempuan yang saat ini menarik kembali tangannya, Elli bisa mendengar kekawatiran dikepala perempuan ini.
"Aku hanya sedikit sakit kepala." jawab Elli. "Tapi... Sebenarnya kalian semua siapa?" tanya Elli, akhirnya menunjukkan bahwa dia tidak bisa mengingat mereka.
"Apa?"
Seketika keterkejutan memenuhi ruangan itu. Seseorang keluar dan memanggil perawat ketika yang lain mencoba menyebutkan nama mereka dan meminta Elli mengenalnya. Tapi Elli hanya Menununjukkan wajah kebingungan.
.
Ela dan Aril berdiri di depan pintu kamar Elliana. Mereka berdua sedang mendengarkan hasil pemeriksaan yang beberapa saat lalu dilakukan lagi mengenai ingatan Elli. Pemeriksaan dilakukan lagi dibawah pegawasa dokter Edo dan seorang Psikolog bernama Rizal.
"Jadi maksud Anda, Elli kehilangan ingatannya?" tanya Ela.
"Apa itu akan selamanya?" tanya Aril, keduanya tampa sangat khawatir.
"Kita belum tahu apakah akan selamanya atau tidak. Tapi sebaiknya Elli menjalani terapi." ujar Rizal.
Aril dan Ela masuk ledakan ruangan rawatan setelah selesai bicara dengan dokter. Keduanya menatap Elli dengan isi pikiran yang sama. Lega dan sangat senang.
'Wajah palsu itu sangat menakutkan.' kata Elli dalam hati.
Sejauh ini Elli tahu keduanya tidak khawatir sama sekali padanya. Hal itu membuat Elli bertanya-tanya seperti apa kehidupan yang ia jalani bersama mereka selama ini.
Seminggu setelah sadar, Elli mulai menjalani terapi berjalan untuk memulihkan seluruh tubuhnya. Koma selama dua tahun membuat ototnya melemah. Kakinya yang patah juga telah tersambung lagi selama dia koma, hanya saja dia belum bisa berjalan normal.
Kecelakan yang dialaminya sungguh parah. Elliana juga mengalami patah tulang rusuk. Dua tulangnya patah dan nyaris menusuk jantungnya. Untungnya orang yang membawanya ke rumah sakit memiliki pengetahuan sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Saat kecelakaan itu terjadi, media-media meliputnya secara besar-besaran karena Elliana mengalami kecelakaan tidak lama setelah kematian ayah kandungnya yang juga tiba-tiba. Ayah Elliana cukup dikenal sebagai pemilik pertambangan dan beberapa lahan pertanian sawit. Keluarga mereka memiliki cukup banyak pengikut di media sosial sehingga menarik pemburu berita.
Ketika Elli sadar, banyak media yang ingin mewawancarainya karena menjadi sosok yang bangun setelah koma 2 tahun. Tapi dokter Edo dengan tegas tidak mengizinkannya. Ela yang aktif dimedia sosial yang menjadi sosok pengganti untuk menjawab rasa penasaran orang-orang.
Ela bahkan sangat baik memerankan sebagai sosok ibu yang selalu setia mengurus dan mendampingi putrinya sejak dia koma hingga saat ini.
"Ibu kamu sungguh menyayangimu ya, Elli. Dia terlihat sangat senang saat kamu semakin membaik. Jadi kamu harus semangat untuk bisa sembuh sepenuhnya." ujar perawat yang selalu mengurusnya itu. Dia menunjukkan vidio ibunya, tampaknya perawat ini ingin memberikan dorongan semangat untuknya.
Elli tidak menjawab, sejak sadar dia memang jarang bicara. Bukan karena tidak memahami pembicaraan seperti yang diduga orang-orang, tapi karena tidak menarik minatnya untuk membuka mulutnya. Terutama saat dia tahu bahwa semua yang ditunjukkan ibunya hanyalah sandiwara.
'Dia adalah orang tua yang ingin membunuh anaknya sendiri. Bagaimana bisa aku senang melihat vidio itu?' ujarnya dalam hati.
Tepat ketika dia dikabarkan mengalami amnesia, pikiran yang tampaknya ditahan sebelumnya keluar seperti kotoran busuk yang memenuhi kepala Elli. Dia mendengar bagaimana harapan-harapan dimasa depan ibu kandung dan ayah tirinya saling bersahutan ketika mereka berkomunikasi melalui isyarat mata.
Pintu terbuka, ibunya masuk bersama seorang pengasuh yang mendorong kereta bayi ke dalam ruang rawat inapnya. Elli melirik kereta bayi itu, bertanya-tanya dalam hati siapa anak yang kini duduk disana dan menatap matanya dengan polos.
'Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan, dia berceloteh dengan tidak jelas.' bingung Elli ketika suara bawel batita itu terdengar dikepalanya.
"Bagaimana kabarmu hari ini, Sayang?" tanya ibunya.
Elli beralih, menatap mata ibunya dan mengangguk sekali sebagai jawaban. Ibunya tersenyum, tapi dalam kepalanya terdengar kekesalan.
"Ibu dengar kamu baru selesai terapi. Kalau berjalan dengan baik, katanya dalam seminggu lagi mungkin kamu bisa berjalan tampa kursi roda dan bisa pulang juga." Lagi-lagi Elli hanya mengangguk pelan. Membuat Ela tersenyum agak masam untuk sesaat sebelum kembali berpura-pura penuh kasih sayang.
"Kami berharap kamu segera pulang, kami ingin kita kembali berkumpul. Oh! Kamu mungkin belum pernah bertemu dengan adikmu karena saat dia lahir kamu masih belum sadar. Dia adikmu, namanya Athala."
Ela mengambil anak itu dan meletakkannya diatas pangkuannya. "Umurnya satu tahun delapan bulan. Dia mirip dengan Ibu, kan?"
'Tidak sepertimu yang mirip dengan pria bodoh itu.'
Elli terpaku pada isi pikiran ibunya ketika melanjutkan perkataannya dalam hati. Berpikir siapa pria bodoh yang dimaksud sang ibu.
'Tampaknya yang dia maksud adalah ayah kandungku.'
"Boleh saya bertanya, Ibu?" tanya Elli, sesaat Ela tersentak karena akhirnya Elli bersuara setelah sejak tadi diam saja.
"Tentu saja Sayang, apa itu?"
"Ceritakan tentang kecelakaan saya, karena saya tidak ingat."
Ibunya tampak tak suka, tapi dia tetap tersenyum.
"Ibu sudah sering bercerita di media, kronologinya juga ada dibahas media TV sayang."
"Saya tidak punya ponsel."
"Ya ampun! Ibu minta maaf karena melupakan hal itu. Besok Ibu akan belikan yang baru. Ponselmu hancur saat kamu kecelakaan."
Elli mengangguk, tapi tidak melepaskan tatapannya dari Ela. Dia sedang menuntut Ela akan kronologinya.
"Ini sangat menyedihkan, Ibu sungguh tidak sanggup menceritakannya lagi. Yang pasti, saat itu kamu baru saja pulang sekolah. Supirmu menabrak mobil truk besar yang oleng."
'Aku cukup memberikan gambaran besarnya saja.' Itu adalah isi pikiran yang Ela saat ini. Karena bukan petunjuk penting, Elli berusaha memancingnya. Dia ingin tahu apakah dalangnya sungguh ibunya sendiri bersama ayah tirinya. Karena dua orang itulah yang sejak awal dia bangun dari koma, selalu memikirkan cara menyingkirkannya.
"Menabrak truk, apakah pelakunya ditangkap?"
"Apa? Kenapa kamu menanyakan pelakunya? Tentu saja dia harus ditangkap. Tapi saat kejadian tempatnya cukup sepi, supir truk berhasil kabur. Hingga saat ini polisi belum menemukannya."
'Hahahaha! Tentu saja tidak ketemu karena tidak dicari.'
Deg!
Elli merasakan kemarahan setelah mendengar pikiran ibunya. Tapi dia berusaha menjaga wajahnya tetap tenang dan datar.
"Jadi begitu." Elli menyudahi pembicaraan itu, sudah cukup jelas baginya siapa dalang dari kecelakaan yang menimpanya.
"Oh ya, katanya kamu juga jadi kehilangan kemampuan membaca dan menulis. Apa ingatanmu sungguh hilang semua, sampai semua pelajaran yang kamu dapatkan sejak kamu TK?"
"Sepertinya begitu."
"Ah... Jadi begitu. Tapi kamu anak yang pintar, kamu mudah memahami apapun sejak masih kecil. Jadi jangan terlalu khawatir."
"Ya, Ibu."
Elli terpaksa bersikap tidak tahu apa-apa meski merasa terancam setiap kali dia bertemu Ibunya. Ayah tirinya tidak lagi mengunjunginya setelah kunjungan kedua dengan alasan sibuk. Hal yang cukup Elli syukuri karena pikiran ayahnya jauh lebih jahat. Dia hanya akan terganggu dan takut dengan pikiran-pikiran yang dilihatnya.
.
Memasuki dua minggu setelah sadar, Elli diizinkan pulang. Dia juga sudah bisa berjalan dengan normal meski masih harus melakukan terapi berkala sampai dinyatakan sembuh total.
"Ibu, Saya sudah belajar menulis dan membaca lagi dengan terapis kemarin. Selanjutnya, Saya ingin mulai belajar lagi dari awal."
Mereka sedang dalam perjalanan pulang, hanya ada dia dan ibunya yang membawa sendiri mobilnya.
"Ibu mengerti, kamu bisa membaca lagi buku-buku pelajarannya sejak SD. Kamu anak yang cukup teliti, semua bukumu ada diperpustakaanmu."
"Saya punya perpustakaan?" Elli tidak bisa mendengar isi hati ibunya karena Ibunya tidak menoleh padanya.
"Ya, ayah kandungmu yang membuatnya untukmu. Lagi pula itu bukti prestasi anaknya."
'Dia berkata seolah aku bukan anaknya. Tapi aku tahu dia ibu kandungku.'
Sesampainya mereka dirumah, Elli merasa banyak hal yang familiar baginya. Mungkin karena itu rumah dimana ia dibesarkan, Elli tidak merasa asing sama sekali. Ada dua asisten rumah tangga yang langsung membantunya dan mengarahkannya ke kamarnya. Sementara ibunya langsung pergi ketika adik tirinya menangis.
"Saya senang Nona Elli akhirnya sadar lagi. Jika Tuan masih hidup, pasti dia sangat senang."
Elli yang baru saja duduk ditepi kasurnya, menatap salah satu asisten rumah tangga yang sudah tampak tua itu dengan saksama, melakukan kontak mata untuk mengetahui isi kepalanya.
"Nona?"
Elli tersenyum, sejak tadi dia hanya menatap ibu tua itu. Dari pikiran yang didengarnya, dia memahami bahwa ibu itu tampaknya telah lama bekerja untuknya dan juga pernah menjadi pengasuhnya.
Seminggu berlalu, Elli menghabiskan banyak waktunya di dalam perpustakaan miliknya. Dia jarang ikut makan bersama yang lain karena terus mengurung diri. Hanya mantan pengasuhnya yang terus mengurus dan memperhatikannya. Ibu dan ayah tirinya lebih fokus pada kesibukan masing-masing. Hal yang disyukuri Elli karena dia juga tidak ingin bertemu dengan mereka.
Hingga tiba masa dimana Elli harus memeriksakan kondisinya dan melakukan terapi selanjutnya di rumah sakit, dia bertemu seorang pria yang menawarkan bantuan secara cuma-cuma.
"Maaf?"
Tentu saja Elli terkejut, pria yang baru memperkenalkan dirinya sebagai juniornya di SMA yang sama itu, menawarkan bantuan setelah mereka tidak sengaja bertemu di pusat rehabilitasi medik rumah sakit.
"Kamu terlihat tidak percaya padaku, tapi saya sungguh tulus ingin membantu. Selain karena karena sebagai junior, Kamu adalah panutan saat disekolah. Kamu senior yang sangat dihormati."
'Tentu saja aku tidak ragu, pikirannya terlalu murni. Aku sampai malu ketika membaca isi kepalamu.' kata Elli dalam hati.
Pasalnya, pria yang mengaku bernama Arsenio itu menunjukkan pikiran-pikiran penuh bunga-bunga dikepalanya. Seolah dia adalah fans yang beruntung karena bertemu idolanya.
Elliana membuka matanya ketika seekor nyamuk membuatnya terbagun. Kepala yang tadi ia letakkan diatas lengannya, kini sudah tegak lurus sejajar dengan bahunya.
Kakinya melangkah menuju saklar lampu. Rumah sangat hening hingga langkah kakinya terasa menggema. Kernyitan muncul di dahinya. Elli berjalan menuju ruangan lain dirumah itu, menuju ruang tamu dan mendongak ke lantai dua. Namun tak satupun terlihat ada orang lain selain dirinya.
"Aneh sekali, kemana semua orang?"
Elli membuka pintu utama menuju teras rumah, memeriksa mobil digarasi samping. Saat itu ia tahu sepertinya semua orang sedang keluar.
"Apa semua penghuni rumah ini memusuhiku?" tanya Elli pada udara kosong. Wajah cantik itu mencoba memikirkan suasana rumah yang sejak awal tak ia perhatikan. "Yah, tampaknya memang begitu, bahkan bibi baik hati yang biasa mengantar makananku. Mereka semua menghindariku." gumamnya.
"Ayo isi perut dulu."
Elli berjalan ke arah dapur, namun tidak ada apapun diatas meja makan. Lagi-lagi keningnya mengerut, merasa sangat aneh dengan keadaan saat ini. Dia membuka kulkas, hanya ada sayur mentah dan beberapa daging segar.
"Sebaiknya aku pergi keluar kencari makan."
Elli memutuskan membeli makanan disekitar rumahnya. Namun ketika memeriksa isi dompetnya, dia baru sadar uangnya tinggal beberapa ribu setelah pulang dari rumah sakit kemarin. Karena penasaran, Elli memeriksa kartu-kartu di dompetnya. Hanya ada kartu pelajar, kartu perpustakaan dan kartu-kartu keanggotaan dari kegiatan yang sepertinya ia ikuti diluar sekolah.
"Karena sibuk belajar aku lupa memeriksa seperti apa kehidupan yang aku jalani."
"Tidak ada satupun ATM atau kartu kredit. Ini aneh sekali, apa aku selalu menggunakan uang tunai?"
Ketika suara keramaian dari arah ruang tamu tertangkap oleh telinganga. Elli keluar dari kamarnya. Karena letak kamarnya sedikit dibelakang, cukup memakan waktu untuk sampai di ruang tamu.
"Ibu, bisa aku bicara?" tanya Elli.
Semua orang yang datang adalah penghuni rumah itu yang telah kembali. Termasuk pengasuhnya dulu dan semua asisten rumah tangga.
"Ada apa Elli, kami baru saja pulang. Ibumu juga lelah." Ayah tirinya yang menjawab.
Ela, sang ibu hanya meliriknya sesaat sebelum fokus pada adik tirinya. Elliana mencoba membaca semua pikiran orang-orang yang menatapnya. Lalu terkekeh sinis dalam hati. Pikiran mereka terbuka jelas saat menatapnya, dimana ada rasa tidak enak hati dari pekerja, rasa benci dari ayahnya dan ketidak sukaan dari ibunya. Tapi dia tak akan berhenti pada tujuannya, dia tidak peduli penilaian mereka, dia hanya perlu bicara dengan ibunya.
"Maafkan saya, tapi saya sangat lapar. Saya tidak punya uang untuk membeli makanan. Saya tidak ingat apapun, saya merasa sangat bingung karena tadi semua orang tak ada dirumah."
"Sa-Saya akan masakkan sesuatu untuk Non." kata bibi pengasuh, namun segera dicegah oleh ayah tirinya.
"Kamu sudah besar, tidak usah manja Elli. Tadi kami semua keluar karena kamu mengurung diri di perpustakaanmu. Kami tidak ingin mengganggumu belajar jadi tidak mengajakmu." lalu dia mengeluarkan lima ratus ribu dari dompetnya dan meletakkannya di atas meja. "Pakai uang itu untuk seminggu ini. Besok pagi-pagi kami semua akan pergi keluar kota. Karena kamu sedang mengejar pelajaran, kamu tidak bisa ikut, kan. Jadi tetap disini."
"Keluar kota? Kemana?"
"Ini untuk mengurus bisnis keluarga. Semua asisten rumah tangga akan ikut karena kami akan lama disana. Kamu sudah besar, jadi bisa mengurus diri sendiri, kan. Ibu perlu mereka untuk mengurus rumah disana karena ada adikmu juga yang masih sangat kecil."
'Alasan yang sangat tidak masuk akal.' pikir Elli. Terutama saat dia membaca pikiran ibunya yang mengeluarkan kalimat penuh keengganan untuk menjelaskan lebih jauh dan ingin segera pergi.
"Sudahlah, karena semua lelah dan harus pergi besok, jadi semua istirahat sekarang." perintah Aril.
Elli berjalan mendekati meja. Lalu mengambil uang yang tadi Aril letakkan disana.
'Lima ratus ribu, apa yang bisa aku dapatkan dengan ini untuk seminggu kedepan?'
.
Paginya, Elli bangun kesiangan. Saat dia bangun seluruh penghuni rumah telah kosong. Elli menuju dapur, berencana memasak apapun yang ada dikulkas dan melihat caranya di internet.
Ketika membuka pintu kulkas, Elli menemukan sebuah pesan di dinding kulkas sebelah dalam. Itu adalah tulisan pengasuhnya.
'Maaf tidak bisa membantu Non Elli, Bibi merasa sangat bersalah karena tidak punya pilihan. Ada kotak perhiasan Non saat kecil di kamar rahasia milik ayah kandung Non di ruang bagian belakang perpustakaan. Pintu kecil yang kuncinya terletak di bawah rak buku nomor dua. Ayah Non berpesan agar Non membuka ruang itu saat usia dewasa, tapi karena keadaan, Bibi memberitahunya sekarang. Kami tidak akan kembali dalam waktu dekat.'
Itu adalah pesan yang tertulis di lembar kertas yang tertempel disana. Melupakan rasa laparnya, Elli segera memasuki perpustakaannya dan memeriksa ruang pribadi yang dikatakan pengasuhnya.
Ketika membuka ruangan itu, tidak ada yang bisa Elli lihat karena sangat gelap. Dia meraba-raba dinding dan menemukan saklar lampu. Ketika cahaya memenuhi ruangan, Elli dibuat takjub dengan banyaknya buku yang terlihat kuno. Elli membuka dua laci meja baca disana, kenemukan kotak yang pengasuhnya sebutkan.
"Yah, setidaknya ini cukup untuk membiayai hidupku dalam dua bulan jika aku tidak melanjutkan terapi." ujarnya.
Perhiasan itu tidak banyak. Ada satu jam tangan tua yang mungkin milik ayahnya. Satu kalung emas dan satu gelang. Yang lainnya adalah perhiasan yang diperkirakan Elli keluaran dari merk kelas atas yang jika dijual kemungkinan harganya tidak bisa diprediksi Elli jika dijual lagi. Sehingga perhiasan itu tidak masuk dalam hitungannya.
Elli mendapat kunjungan siang harinya. Dia adalah Arsenio. Pria itu juga sedang menghadapi masa-masa belajar sebelum ujian akhir sekolah. Tapi dengan senang hati menawarkan diri untuk membantu Elli belajar.
'Anak ini sungguh-sungguh datang? Aku pikir dia hanya basa basi saat itu. Meski begitu aku jadi bersyukur, dia akan berguna untuk kedepannya.' pikir Elli ketika Arsenio mulai mengeluarkan buku-buku yang perlu Elli pelajari menjelang ujian akhir.
"Aku sudah belajar sendiri sejauh ini. Aku sudah membaca semua materi pelajaran SD. Aku mulai belajar tentang materi pelajaran SMP."
"Aku membawa buku soal-soal saja. Karena membaca seluruh materi menurutku tidak perlu."
"Kenapa? Kalau aku tidak membacanya bagaimana aku bisa tahu jawaban soal-soal dibuku yang kamu bawa?"
"Hmm, hanya cari di internet. Lalu kamu cukup mengingat jawabannya."
"Aaa, kamu memintaku menghapal contekan?"
Arsenio tertawa, merasa lucu akan pemikiran Elli.
"Itu tidak mencontek, karena semua pelajaran ini tidak akan berguna menurutku saat kita masuk universitas. Kita hanya butuh ijazah. Jika kamu butuh memahami seperti dasar matematika atau fisika, kamu bisa mengkaji ulang. Kamu jenius, akan sangat mudah bagimu melakukannya. Karena itu cukup selesaikan soal-soal ini saja."
Meski ragu akan cara Arsenio, dia tetap melakukan apa yang disuruhkan padanya.
"Arsenio, kamu urutan keberapa disekolah?" tanya Elli sambil mulai mengerjakan soal pertama dibuku.
"Arsen saja, aku berada diperingkat biasa saja." jawabnya.
"Bukankah kamu lebih muda dariku?"
Arsen tersenyum tipis, memperhatikan Elli yang membaca jawaban di internet tapi juga mencoba menegurnya soal panggilan santai yang ia lakukan.
"Karena aku merasa kita seumuran. Kita akan ada dikelas yang sama. Wajahmu juga tidak terlihat lebih tua dariku."
Elli menoleh, ketika dia memperhatikan garis wajah Ersen dengan saksama, dia baru menyadari bahwa wajah pria disampingnya itu memang terlihat lebih dewasa dari umurnya.
"Yah, kamu memang terlihat tua." celetuknya sambil lalu ketika membalik halaman selanjutnya.
Arsen mencoba menahan rasa gelinya karena sifat Elli yang menurutnya tidak berubah. Selalu mengatakan apa yang ada dalam pikirannya tampa filter.
"Kenapa kamu menatapku begitu?" tanya Elli ketika merasa terganggu karena Arsen yang menatapnya terus.
"Ah, maaf! Aku hanya mencoba mengingat masa lalu. Saat pertama kali melihatmu, kamu yang dulu dan sekarang tidak jauh berbeda. Aku harap ingatanmu cepat pulih."
"Benarkah? Apa kamu penguntit atau apa? Kamu sepertinya sangat mengenalku." Elli mulai waspada meski wajahnya tetap tenang. Perlahan dia menatap wajah Arsen dan membaca pikirannya sambil mendengar jawaban dari bibirnya.
"Mana mungkin aku penguntit, ada banyak orang yang mengenalmu dengan baik karena mengagumi bakat dan prestasimu. Kamu dikenal sebagai senior yang memiliki karisma dan daya tarik yang unik diantara senior lainnya, kamu itu sangat sulit ditebak Juga sehingga anak-anak selalu membicarakan apa yang kamu lakukan."
'Aku hanya memperhatikanmu dari jauh dan dari pembicaraan orang-orang. Yang seperti itu bukan menguntit namanya' lanjut Arsen dalam hati.
"Hahaha, Kamu anak baik. Jelaskan tentang rumus fisika yang ini."
"Wah... kamu sudah sampai materi ini?" kagum Arsen.
"Aku melompati jenis pertanyaan yang sama."
"Aah, pantas saja."
Arsen menjelaskan sesuatu yang belum dikenali Elli karena malas mencari di internet. Menurutmya lebih efisien langsung menerima penjelasan dari Arsen.
.
Satu minggu berlalu menjadi satu bulan. Benar saja apa yang dikatakan pengasuhnya. Orang tuanya tidak pulang. Tidak ada kabar dan pesan yang dikirim Elli hanya dibalas seadanya.
Belajar bersama dengan Arsen juga berlanjut dengan tingkat pertemuan yang dinaikkan menjadi seminggu sekali. Sekali pertemuan, mereka akan menghabiskan waktu dari pagi hingga sore.
Seperti hari ini, Arsen pulang setelah mereka keluar bersama untuk makan malam. Sedikit banyak Arsen juga mengetahui bagaimana hubungan Elli dengan orang tuanya yang tidak baik. Mebuat Arsen semakin menaruh perhatian padanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!