4

Elli memang penasaran dan ingin mencari tahu sejak dia tahu fakta bahwa ibu kandungnya membencinya. Alasan apa yang membuat Ibunya dan Ayah tirinya mencoba untuk membunuhnya. Tapi karena keadaan dirinya yang kehilangan semua ingatannya, dia mulai dengan mengembalikan kemampuan dasar yang ikut terhapus dari ingatannya.

Elli yang terus sibuk membaca buku demi mengejar kelulusan yang akan berlangsung kurang dari 4 bulan mendatang, terpaksa mengabaikan untuk sementara rasa penasarannya.

"Sudah dua bulan, apa urusan orang tuamu sangat banyak? kamu juga tidak menjalani terapi lagi. Apa tidak apa-apa?" tanya Arsen ketika mereka sedang belajar bersama.

"Pesanku satu minggu yang lalu tidak dibalas, aku tidak tahu." jawab Elli setengah acuh.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Kamu terus menanyakan hal yang sama. Aku tidak apa-apa. Justru aku merasa nyaman jauh dari mereka."

"Walau hubungan kalian terlihat begitu, tapi mereka orang tuamu. Aku pikir sebagai seorang anak..."

"Arsen, aku kehilangan seluruh ingatanku. Aku tidak merasakan apapun terhadap keluargaku."

Arsen terdiam, dalam diamnya itu, tampa Elli melihat dan membaca pikirannya, dia bisa menebak apa yang dipikirkan temannya itu.

"Apa kehilangan ingatan juga menghilangkan perasaan dan naluri seseorang? Itu yang kamu pertanyakan bukan?" kata Elli lagi, Arsen mengusap tengkuknya karena malu dan canggung, tapi mengangguk sebagai respon agar Elli bisa menjelaskan padanya. "Aku juga tidak tahu, aku tidak punya bayangan seperti apa aku dimasa lalu." lalu Elli menoleh pada Arsen. "Apakah kamu tahu aku seperti apa? Atau mungkin aku punya teman dekat? Sejauh ini tidak ada yang datang dan mengaku sebagai sahabatku."

"Ah... Itu..." Arsen lagi-lagi mengusap tengkuknya. Dia tampa ragu dan mengalihkan pandangannya dengan canggung. Tapi Elli bisa membacanya dengan jelas. 'Kamu sangat menjaga privasimu, kamu sulit didekati, bagaimana aku menjelaskannya? Aku tidak yakin diantara mereka ada teman dekat yang tahu dia seperti apa kepribadian sebenarnya.' kata Arsen dalam hati.

"Katakan saja." desak Elli meski dia sudah tahu jawabannya.

"Aku tidak yakin... Kamu orang yang tertutup dan lebih banyak diam. Teman dekat... Sepertinya tidak ada... Maaf aku tidak begitu tahu." jawab Arsen dengan nada ragu-ragu. Dia juga terlihat sangat tidak nyaman seolah sedang menutupi sesuatu. Tapi karena Elli tidak membaca apapun dalam pikirannya, Elli memutuskan menyudahi topik itu.

"Bagaimana keadaan sekolah saat ini?" tanya Elli.

"Sekolah? Yah... Seperti biasa. Tidak ada yang tahu kamu akan kembali. Tapi kepala sekolah sudah kuberi tahu."

"Kamu memberi tahu kepala sekolah?"

"Ya, kamu kan belum keluar dari sekolah. Sampai saat ini kamu hanya diberi masa cuti. Karena kamu bilang akan mengikuti ujian, kamu harus mengonfirmasi. Aku menggantikanmu, tidak masalah kan?"

Elli tidak langsung menjawab, dia sedang berpikir tentang keputusan Arsen yang menurutnya melanggar kewenangan dan privasinya.

"Ya, tapi lain kali sebaiknya diskusikan denganku dulu."

"Maaf..."

Arsen melirik Elli yang kembali fokus pada buku, menatap sisi kanan wajah Elli dengan pandangan yang sulit diartikan, kemudian menunduk dengan wajah sedikit cemas dan mencoba fokus pada bukunya lagi.

.

Waktu berlalu begitu saja, empat bulan berjalan dan Elli masih ditinggal sendirian. Apa yang ia lakukan untuk memenuhi kebutuhannya adalah menjual barang berharga dirumahnya setelah seluruh uangnya penjualan perhiasan masa kecilnya habis.

"Tidak bisa begini terus, aku harus mencari pekerjaan paruh waktu. Tapi apa?"

Elli sedang berjalan pulang menuju rumahnya setelah selesai dari mini market. Dia teringat akan Arsen yang telah lama tidak datang. Sebulan ini, Elli kehilangan kontak. Beberapa kali Elli menghubunginya, namun tidak ada satupun panggilan atau pesan yang dijawab.

"Harusnya aku meminta alamat rumahnya. Selain satu sekolah, aku tidak tahu apapun tentangnya." gumamnya.

Karena ketidak pekaan dan ketidak peduliannya pada urusan orang lain, Elli tidak pernah bertanya apapun terkait pribadi Arsenio. Pembicaraan mereka hanya terkait pelajaran, sekolah, masalah besar yang ada disekitar mereka, bahkan masalah budaya dan politik negara ini. Dimana hal-hal seperti itulah yang menarik bagi Elli. Sangat jarang mereka membahas masalah pribadi kecuali Arsen yang terkadang menanyai tentang keluarganya yang tak kunjung kembali.

Setelah sampai di depan gerbang rumahnya, dia melihat dari kejauhan seseorang yang diingatnya sebagai salah satu dokter yang sempat menanganinya. Dokter itu terlihat berbicara ditelepon dengan seseorang. Ketika pandangan mereka bertemu, dokter itu langsung mengenalinya. Setelah mematikan sabungan telepon dengan cepat, dia menghampiri Elli.

"Elliana bukan? Kamu masih mengingatku?"

Elli mengangguk sebagai respon. Dokter itu adalah dokter Edo, dia juga yang merekomendasikan psikolog dan terapis saat dia dalam masa pemulihan dirumah sakit.

"Kamu tinggal disini?"

"Ya."

"Bagaimana keadaanmu? Setelah berbulan-bulan tidak datang untuk kontrol, Psikolog yang menanganimu menghubungiku kemarin. Dia sepertinya penasaran apa kamu telah berganti psikolog atau telah mendapatkan ingatanmu kembali."

"Apa yang Anda lakukan disini?" tanya Elli tampa mengidahkan pertanyaan dokter Edo tadi.

"Ah, aku punya janji dengan temanku. Kami berjanji bertemu disini. Dia memintaku menjadi narasumbernya."

'Kenapa dia tampak berbeda? Dulu dia terlihat polos dan patuh meski pendiam. Saat ini dia terlihat penuh ketidak pedulian dan sedikit dingin.' Itu adalah isi pikiran yang dibaca oleh Elli darinya.

"Dokter Edo!"

Sebuah suara mengalihkan perhatian keduanya. Seorang wanita yang memakai tanda pengenal terkalung dilehernya, rambut ikalnya menjuntai dikedua sisi bahunya dan memakai kaca mata besar yang hampir menutupi wajahnya yang kecil.

Elli membaca tanda pengenalnya setelah dia berada di hadapan dokter Edo, wanita itu tampak mengatur napasnya sebelum berbicara. Dia bernama Anggi, seorang jurnalis. Ketika dia menoleh pada Elli, kedua matanya langsung membesar dan kedua tangannya reflek menutup mulutnya.

"Kamu... Kamu kan...! Wah... Ini sungguh keberuntungan! Aku ingin sekali bertemu tapi datamu dirahasiakan pihak rumah sakit. Tentu saja, itu privasi pasien. Aku memahami peraturan. Aku mencari alamatmu dari sekolahmu dulu, tapi itu ternyata alamat yang lama. Tapi wah... Aku rasa kebaikanku kemarin dibalas dengan keberuntungan!"

Ocehan itu tidak berhenti dalam kepala Anggi meski wanita itu kini hanya tersenyum lebar padanya. Binar mata yang menunjukkan semangat empat lima dan kesenangan yang tidak disembunyikan, membuat Elli yang sedari tadi hanya mendengarkan saja menoleh pada dokter Edo yang terlihat tidak enak hati padanya.

"Dia memiliki program acara televisi dan juga di channel media sosial tentang kasus - kasus khusus yang terjadi pada sebuah tokoh atau seseorang. Dia sebenarnya mencarimu juga untuk mendapatkan izin karena tertarik dalam kasusmu. Tapi terlebih dahulu mewawancaraiku."

Elli diam untuk beberapa saat. Mencerna apa yang saat ini disampaikan Edo. 'Bukankah ini kesempatan?' pikir Elli. 'Aku bisa menghindari bahaya jika mereka masih memiliki niat untuk membunuhku lagi. Jika kasus ini viral, Ibu dan Ayah tiriku akan lebih waspada.'

"Senang bertemu dengan Kakak, memangnya apa yang Kakak ulas dari peristiwa yang menimpa saya?" Elli segera bersikap ramah.

"Tentu saja seluruhnya. Bukankah pelaku yang menabrak belum tertangkap? Ada banyak kecurigaan diantara kami sejak dulu karena polisi terlihat tidak serius menangani pencarian pelaku. Padahal keluargamu cukup terkenal dimedia sosial, kasusmu saat itu juga viral. Sampai kamu siuman dari koma, pertanyaan-pertanyaan itu kembali mencuat. Menjadi pembahasan dibeberapa forum terutama kami sesama jurnalis. Tapi karena keluargamu tampak diam saja, aku jadi ingin membahasnya dalam program yang aku bawa."

"Jadi begitu, tapi saya tidak mengingat apapun."

"Tidak masalah, tapi aku dengar kamu tidak menjalani terapi lagi. Apa ada alasan khusus?"

"Ya, saya tidak uang."

"Apa?"

Anggi dan Edo tercengang. Pasalnya siapa yang tidak tahu latar belakang keluarganya. Kedua orang dewasa itu bertukar pandang sebelum kembali menatap Elli dengan wajah kebingungan.

"Maaf, Elliana ... Apa yang terjadi dalam keluargamu?" tanya Edo.

"Hmm? Entahlah. Bukankah saya sudah bilang saya tidak ingat apapun?"

"Tapi kamu tinggal bersama orang tuamu, kan?"

"Saat ini mereka tinggal diluar kota. Katanya mengurus bisnis disana. Mereka belum kebali dalam beberapa bulan ini."

Lagi-lagi keduanya bertukar pandang. Elli membaca isi pikiran mereka yang dipenuhi banyak pertanyaan-pertanyaan. Tapi Elliana merasa cukup untuk melempar umpan saat ini. Dia segera undur diri dan membuka gerbang rumahnya. Meninggalkan dua orang itu yang hanya bisa terdiam dengan pikiran-pikiran mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!