6

Elliana mengernyitkan keningnya. Dia tidak mengenali tulisan-tulisan pada buku-buku ayahnya. Cetakan lama dan tebal, jenis kertas yang berbeda dan setiap buku berlambang sebuah binatang mirip elang yang memiliki tanduk lurus diatas kepalanya.

"Apa Ayah punya hobi mengoleksi buku kuno? Ini tulisan suku abad berapa?"

Elliana bertanya-tanya pada dirinya sendiri sambil mengitari rak-rak buku. Sampai dia menemukan sebuah album lama.

"Oh, ini foto pernikahan mereka."

Bukan hanya album foto pernikahan, disebelahnya juga ada album semasa mereka pacaran, lalu ada album pertumbuhannya hingga ia kelas 2 SMA. Tampaknya sang ayah sangat mencintai keluarganya, disetiap foto ada kalimat cinta yang ia tulis untuk anak dan istrinya.

senyum kecil Elli saat mengetahui ayahnya begitu menyayanginya luntur ketika sebuah foto jatuh dari halaman belakang album foto tentangnya. Sebuah foto yang menunjukkan perselingkuhan ibunya dengan ayah tirinya saat ini. Dibalik foto tidak ada tulisan apapun, hanya sebuah tanggal yang tidak diketahui Elli apa maknanya.

"Jadi mereka itu pasangan selingkuh? Tapi apa yang membuat mereka ingin menyingkirkanku? Surat wasiat..."

Elli meletakkan album itu. Lalu membuka laci meja disana. Dia tidak menemukan apa-apa. Tidak ada berkas apapun yang kemungkinan adalah surat wasiat.

"Kami perlu bertemu, aku harus menanyakannya langsung pada mereka." gumamnya.

Dengan keyakinan dan keberanian untuk menghadapi Ibu dan ayah tirinya, Elliana memutuskan untuk menemui mereka. Tapi ada satu kendala, dia tidak tahu keberadaan mereka saat ini dimana.

"Aku perlu memancing saja, kan?"

Elli mengambil ponselnya, lalu mengirim sebuah kalimat yang pastinya akan membuat Ibunya mau tidak mau bersedia menemuinya. Sebuah kalimat yang mungkin akan memancing kemarahan mereka.

'Ibu, Aku menemukan surat wasiat Ayahku.'

Itulah yang Elli kirimkan. Tentu saja dia tidak menemukannya. Elli yakin ibunya menyimpannya. Elli hanya perlu menemui mereka untuk mengorek informasi.

Hanya butuh waktu 30 menit. Ketika Elli sedang menonton acara televisi, dia ditelepon oleh ibunya.

"Ya, Bu?"

"Surat wasiat katamu? Tidak mungkin kamu menemukan yang lain." kata Ibunya dari seberang. Suaranya terdengar amat kesal.

"Jadi Ibu memiliki yang lain? Lalu yang ditangan saya saat ini palsu? Tidak mungkin Bu, ini terlihat sangat asli." sahut Elli dengan nada polos yang seolah sungguh tidak tahu apa-apa.

"Bacakan padaku!"

"Tidak bisakah Ibu datang dan mengambilnya langsung? Sepertinya ada hubungannya dengan surat wasiat yang ada ditangan Ibu."

"Elliana!" bentak ibunya, seakan Elli sudah berbuat lancang.

"Maaf Ibu, Elli hanya rindu kalian. Kalian tidak kembali, tidak ada alamat yang bisa saya tuju untuk bertemu. Tidak bisakah kita bahas berdua tentang surat wasiat Ayah?"

"Jangan keras kepala, bacakan saja sekarang!"

Elli terdiam sesaat, ibunya sangat tidak sabaran dan emosional. Karena tidak bisa bernegosiasi. Elli memutus sambungan telepon. Lalu mengirim pesan yang berbunyi dia akan memberikannya saat mereka bertemu.

"Nah, mari kita tunggu kapan dia akan muncul."

.

Keesokan harinya, Elli bertemu lagi dengan Anggi. Mereka bertemu disebuah kafe tak jauh dari rumahnya.

"Aku sangat terkejut saat kamu mengirimkan foto-foto itu. Tapi apa kamu yakin diambilnya tak saat kamu sedang koma?"

"Mungkin saja, tapi kalau aku jadi Ibu, aku akan meletakkan foto lama Ibu disebelah foto baruku.

"Ah... Kamu benar. Sebenarnya saat aku melihat-lihat konten sosial media ibumu, bagianmu sangat langka setelah kematian Ayahmu. Terutama saat kamu koma. Apa kamu mungkin curiga Ibumu membencimu? Mungkin ada sesuatu terjadi di masa lalu?"

"Entahlah, Saya tidak yakin. Bagaimana menurut Kakak?"

"Yah, aku juga tidak yakin."

Elli tersenyum tipis, sebenarnya dia hanya memancing saja. Berpura-pura tidak tahu. Dia ingin menguji cara berpikir dan cara Anggi menilai sebuah masalah.

"Sebenarnya, Saya penasaran seperti apa Kakak akan mebawakan kasus yang menimpa saya, apa Kak Anggi juga menyelidiki pelaku penabrak saat itu?"

"Soal itu, Aku sudah punya datanya. Mulai dari pengakuan beberapa saksi yang tidak relevan menurutku sampai bukti-bukti pencarian yang dilakukan polisi. Tapi sangat sedikit, saat aku mendatangi humas kepolisian berkali-kali bahkan mengejar dengan susah payah para penyidik kasus itu, jawaban yang aku terima hanya belum ditemukan, mereka masih berusaha. Kamu tahu, mereka bahkan terlihat tidak mencarinya, aku yakin mereka mengabaikannya. Kasus-kasus tabrak lari memang sering sekali berakhir begitu!" kata Anggi dengan sedikit menggebu-gebu.

'Tentu saja mereka mengabaikannya, Ibuku sudah membayar mereka. Tapi aku tidak punya bukti akan hal itu.'

"Begitu ya, jadi tidak mungkin menemukan pelakunya." kata Elli dengan raut sedikit kecewa. Membuat Anggi merasa kasihan.

"Jangan kawatir, setelah kasus ini viral lagi. Aku yakin mereka akan bergerak lebih cepat."

Elli tersenyum, "Terima kasih, Kak Anggi."

"Jadi, kamu tinggal sendirian dan sudah lama tidak bertemu Ibumu?"

"Ya."

"Bagaimana dengan sekolahmu?"

"Saya sedang belajar dari awal, saya juga berencana mengikuti ujian akhir bulan depan."

Setelah bercerita tentang keadaannya, Anggi menawarkan bantuan pekerjaan. Menjadi kasir ditoko pakaian milik sepupunya. Tentu saja Elli menerimanya.

Keesokan harinya, dia mulai bekerja. Arsenio lagi-lagi menghilang tampa kabar. Entah apa yang terjadi padanya, Elli sama sekali tidak bisa menghubunginya saat ini. Ponselnya mati dan lagi-lagi dia menyesali dirinya yang tidak meminta alamat Arsen setelah dia menghilang sekali lalu.

Waktu berlalu begitu saja. Setelah dua minggu Elli bekerja, ketika pulang dia disambut oleh tatapan tajam ibunya yang duduk di ruang tamu sendirian.

"Selamat datang Ibu, sepertinya Ibu hanya mampir sebentar." kata Elli dengan tenang, dia duduk di sofa tepat dihadapan ibunya.

'Anak sial! Karena Aril tidak tenang aku terpaksa harus kesini memastikan tidak ada wasiat yang mengancam posisi kami.'

Elli tidak menunjukkan reaksi apapun saat mendengar isi pikiran Ibunya. Dia sangat tenang dan menunjukkan senyum polos.

"Jadi, mana wasiat ayahmu?"

"Ibu, apakah Ibu tidak penasaran bagaimana kabarku sendirian disini tampa uang?"

Deg!

Ela sedikit tertohok. Apa lagi saat ini Elli menunjukkan ekspresi yang menyedihkan sebagai anak yang ditelantarkan. Bagaimanapun Elli adalah anak kandungnya. Meski serakah dan membenci ayah Elli, Ela terkadang tidak bisa membuang nalurinya sebagai seorang ibu.

"Jangan membuang waktuku, Elli. Aku memiliki banyak pekerjaan!"

"Begitu ya, saya cukup kecewa Ibu." kata Elli, ekspresinya langsung berubah. Hal itu membuat wajah Ela sedikit syok, pasalnya dia seperti melihat mendiang suaminya saat ini. Ekspresi dingin yang sering kali diberikan padanya saat mereka hanya berdua saja. "Kalau begitu, bagaimana kalau Ibu juga menunjukkan surat wasiat Ayah?"

"Tidak ada surat wasiat yang dia tinggalkan padaku."

"Aneh, surat yang saya temukan seperti sambungan dari surat yang lain."

'Sambungan? Apa mungkin itu petunjuk atau dia menuliskan tempat sertifikat asli kepemilikan tambang dan lahan perkebunan?'

Elli tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat ketika dia mendengar isi pikiran itu.

"Tunjukkan pada Ibu Elli, setelah itu kita bisa mencari yang pertama jika itu benar-benar surat kedua."

"Kalau begitu bisakah saya menemui pengacara keluarga, atau asisten pribadi ayah semasa dia hidup?"

"Dia tidak punya asisten pribadi. Hanya ada sekretaris dan selalu berganti dua atau tiga kali dalam setahun."

'Anak ini sangat keras kepala! Dia tidak boleh sampai tahu isi surat wasiat itu.'

"Aneh sekali, saya melihat vidio lama konten Ibu di sosial media, saya pikir Ayah orang yang hangat, tapi apa dia suka memecat karyawannya tiap melakukan kesalahan?"

"Hangat? Ayahmu sangat dingin dan kejam. Dia hanya baik di depan kamera dan di depan orang-orang tertentu. Apa kamu ingin tahu sosok ayah aslimu seperti apa? Kamu bisa menanyai pengasuhmu."

"Hmm? Pengasuh saya saat ini kan jadi pengasuh adik. Dia tidak disini. Ibu yang ada disini, kenapa tidak Ibu saja?"

"Aku tidak ingin membuang waktuku untuk menceritakan kekejaman ayahmu. Itu hanya akan membangkitkan ingatan burukku."

"Ibu... Saya sungguh tidak tahu. Maaf jika membuat Ibu sedih."

Ibunya menarik napas, Elli tahu Ibunya sedang bersandiwara saat ini. Membuat Elli kasihan padanya.

"Ibu takut wasiat itu akan membebanimu. Karena itu biar ibu yang jalankan jika itu sebuah perintah. Sejak dulu Ayahmu orang yang sangat sulit ditebak."

Elli menunduk, "Saya sungguh tidak tahu kalau Ayah sosok yang seperti itu." kata Elli, lalu menatap mata Ibunya lagi. Menunggu pikiran apa yang muncul.

'Bagus, tampaknya dia mulai luluh dengan cerita buruk tentang ayahnya. Jika itu lokasi sertifikat yang asli, aku tidak perlu takut sertifikat baru yang kami buat atas semua hak kepemilikan aset terbongkar.'

"Ibu, apa Ibu masih lama disana? Kapan Ibu akan kembali lagi kesini?"

'Kenapa tiba-tiba dia mengalihkan pembicaraan?'

"Entahlah, lebih leluasa mengawasi perkebunan jika jaraknya dekat."

'Aku harap anak ini tidak bertingkah seperti sebelumnya agar Aril tidak merencanakan pembunuhan lagi. Bagaimanapun juga dia adalah anakku. Lebih baik melihatnya menjadi gelandangan dari pada melihat mayatnya.'

Elli mengepalkan tangannya ketika mendengar hal itu. Rasanya dia ingin berteriak di depan wajah ibunya tentang betapa mengerikanya dia sebagai seorang ibu.

"Begitu ya, lalu kenapa Saya tidak memiliki kartu ATM atau kredit untuk biaya hidup saya?"

"Kamu yang tidak ingin memilikinya dulu. Kamu hanya suka uang tunai."

"Apa?"

"Kamu tidak ingat karena ingatanmu hilang. Tapi kalau kamu mau dibuatkan rekening, Ibu akan buatkan. Tunjukkan saja dulu surat yang kamu sebutkan itu."

'Jangan bermimpi, aku tidak akan mengirimkan sepeserpun lagi padamu.'

Elli mengeraskan rahangnya, tidak ada gunanya dia terus meminta, ibunya begitu membencinya. Maka Elli masuk kedalam kamarnya, mengambil duplikat foto bukti perselingkuhan ibunya dan meletakkannya secara terbalik diatas meja.

"Apa itu, apa hanya itu?" tanya ibunya seraya bangkit dan mengambil foto itu.

"Ya, hanya itu Ibu. Semoga itu memberi Ibu petunjuk untuk menemukan surat wasiat yang lain jika ada." jawab Elli ketika ibunya telah melihat foto itu.

Ekspresi ibunya sungguh sangat mengerikan. Kemarahan jelas terpancar disana, dia menggenggam foto itu sampai remuk lalu menghampiri Elli dengan tangan terangkat.

Plak!

Bunyi tamparan itu sangat keras, pipi putih Elli sampai memerah saking kerasnya tamparan ibunya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!