19

Pukulan Evan yang pertama dengan mudah bisa dihindari. Alvaro mundur kebelakang dan memasang sikap waspada. Evan membaca pikiran Alvaro, ketakutan dan kekawatiran dalam kepala Alvaro membuatnya mendesis jengkel. Dia tidak menyukai perasaan-perasaan seperti itu ditujukan padanya.

Ketika Evan menyentuh tangan Alvaro dan memelintirnya kebelakang, sihir Evan yang tak terkendali langsung menyerap mananya, membuatnya bisa meniru sihir Evan, mengeluarkan sihir angin. Membuat seluruh benda diruangan itu termasuk mereka semua melayang diudara. Berputar-putar dalam angin puting beliung yang kini menghancurkan atap dan terus memanjang keatas.

Evan menyeringai, sementara semua orang menjerit kecuali Alvaro yang kini berusaha melepaskan diri dari kuncian Evan.

"Ya-Yang mulia! Sadarlah! Pegang tangan Elli sekarang!" teriak Alvaro.

"Beraninya kamu memerintahku!" desis Evan dan kini mencengkram leher Alvaro.

'Akh, sial! Aku lupa dia sedang tidak waras.' maki Alvaro dalam hati.

Alvaro berusaha melepaskan diri, tapi usahanya sia-sia karena Evan jauh lebih kuat. Beruntung satu tangannya bebas, Alvaro berusaha melawan angin Evan dengan menciptakan arah angin yang berlawanan. Membuat tiupan angin Evan berhenti dan mereka melayang diam seakan sedang berada di ruang hampa tampa gravitasi.

Dalam upaya melepaskan diri ditengah cekikkan yang membuatnya nyaris mati, Evan berhasil membawa Elliana yang melayang tidak jauh dari mereka.

'Elli, lakukan kontak. Tolong....' kata Alvaro dalan hati ketika matanya bertemu dengan Elli.

Sihir penghalang telah dilepaskan, mana dari batu mana yang ia bawa di sekujur tubuhnya telah terserap. Namun seakan diambil paksa darinya, Alvaro semakin lama semakin lemah.

Elliana menangis tampa suara sejak tadi, tapi dia masih bisa mengikuti intruksi Alvaro. Dia mengulurkan tangannya dan meraih leher Evan dari belakang. Memeluknya dengan erat meski tubuhnya menggigil ketakutan.

"Aku... Aku takut sekali!" katanya menahan tangis. Tangannya bergetar, antara sadar dan tidak, dia hanya memeluk dan memejamkan matanya seolah berharap Evan bisa menyudahi segalanya yang terasa seperti mimpi buruk.

Seketika sihir angin dari Alvaro yang melawan arah angin Evan tadi terhenti. Tubuhnya jatuh kebawah ketika angin itu kembali berputar lemah. Untungnya tubuhnya jatuh diatas kasur, sehingga dia tidak cidera.

Berbeda dengan Ana dan Jefri, mereka jatuh menghantam lantai. Evan meraih tangan Elli, mereka turun perlahan dan menjejaki lantai kamar yang berantakan dengan aman.

Ketika Elliana melepaskan leher Evan dan jatuh kelantai karena perbedaan tinggi. Alvaro segera turun dan mengambil batu mana yang sebagian tadi terlempar ke lantai. Memberikannya pada Ana dan Jefri agar mereka bisa bertahan.

"Tuan, Anda mengenal saya?" tanya Evan hati-hati. Meski takut tapi kekawatiran lebih mendominasi. "Yang mulia?" ulangnya dan mengubah panggilan.

'Yang mulia?' ulang Elli dalam hati, kebingungan kini mengalahkan rasa takutnya.

Angin dingin dari luar karena atap rumah yang telah terlepas, membuat Elli merinding. Evan berbalik, menatap Elli dengan datar lalu mengangkat tangannya. Gulungan udara yang berputar-putar dari atas mendekati mereka. Lalu dari gulungan itu jatuh dua orang laki-laki asing dengan raut wajah kesakitan.

Seketika mereka duduk dan bersimpuh dihadapan Evan. Ketakutan jelas terpatri diwajahnya. Alfaro memakaikan alat sihir berupa belenggu dan mengirim keduanya ke ruangan lain.

"Sebaiknya Anda pindah ke kamar lain, Yang mulia." kata Alvaro. Dia tahu Evan telah kembali ke dirinya, karena itu dia bersikap seperti biasa. "Anda masih tidak stabil, Elli tetap harus bersama Anda."

"Nona Elli, Alvaro. Panggil dia dengan Nona sekarang." perintah Evan.

Meski wajahnya sangat dingin, tapi sorot matanya mengindikasikan sebuah kepemilikan yang mutlak. Mengisaratkan bahwa Alvaro berada pada posisi lebih rendah.

Meski terkejut, tapi Alvaro langsung menjawab dengan sopan. "Saya menerima perintah." katanya.

"Ti-Tidak adakah yang ingin menjelaskan padaku apa yang terjadi? Kalian ini bukan manusia kan?" tanya Elli.

Tubuhnya mulai menggigil, karena badai yang baru saja tercipta dengan tiba-tiba disana diwaktu dini hari. Udara yang dingin semakin dingin. Belum lagi kepalanya yang kini terasa pusing dan perutnya seperti di aduk-aduk. Apa yang baru saja dilihatnya tidak bisa dijelaskan dengan akal, karena itu dia menyimpulkan mungkin saja ini bagian dari mimpi buruk.

"Ayo istirahat." kata Evan.

Dia berjalan maju, mencoba meraih tangan Elli. Tapi belum sempat tangan itu mencapainya, tubuh Elli limbung dan dia pingsan. Dengan cepat Evan menangkapnya, menggendong tubuh itu menuju kamar yang ditempati Elli.

"Yang mulia, kita harus segera menuju kekaisaran. Mana Anda tidak stabil saat ini. Meski mana Nona bisa berfungsi seperti sebelumnya, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kita harus segera kembali. Saya telah menyiapkan rumah aman yang tersembunyi."

"Aku baik-baik saja."

"Anda akan meninggalkannya?" pertanyaan itu mengarah pada Elli.

"Musnahkan dua pengganggu tadi. Tentang wanita ini, dia tidak boleh jauh dariku, kan?"

Alvaro mengernyit, dia merasa aneh dengan ekspresi Evan terhadap Elli. 'Apa yang sebenarnya terjadi?' tanyanya dalam hati.

Kebingungan Alvaro semakin bertambah saat pagi harinya Elli bangun dan langsung menjerit. Bagaimana tidak, dia terbangun dalam pelukan Evan yang bertelanjang dada.

Alvaro yang langsung berlari kesana karena mengira terjadi serangan dari pihak musuh, ternganga seperti Ana dan Jefri yang sudah sampai duluan setelah melihat apa yang terjadi.

Elli duduk diatas kasur dengan wajah merah menahan amarah. Lalu Evan dengan santainya menyibak selimut dan turun dari kasur.

"Nona, Anda sepertinya sangat terkejut. Ana akan membantu Anda bersiap-siap. Nona punya jadwal pagi ini." kata Alvaro dengan sopan. Meski terkejut bagaimana tuannya bisa tidur sekasur dengan Elli, tapi dia tidak menunjukkannya dan bersikap profesional.

'Tunggu, Nona? Kejadian tadi malam bukan mimpi?'

Elli turun, mengabaikan semuanya untuk berlari ke kamar Evan sebelumnya untuk memastikan. Dia berdiri diambang pintu dengan bingung. Kamar yang berantakan dan hancur tadi malam terlihat sama seperti terakhir dia tinggalkan sebelum tidur tadi malam. Masih rapi, semua barang ada ditempatnya kecuali Evan yang tadi tidur dengannya.

"Kamu menghalangi jalanku, aku butuh mempersiapkan diri. Aku kan juga perlu ke kampus." kata Evan, berbisik ditelinganya dari belakang.

Elli yang tersentak langsung berbalik dan mundur beberapa langkah. Evan masih bertelanjang dada dan menatapnya dengan datar.

"Senior! Kapan Senior bangun? Tadi malam... Tidak! Sejak kapan Senior tidur disebelah saya dengan melepas baju begitu! Itu pelanggaran privasi!"

"Tadi malam aku terbangun dan membutuhkan kontak tubuh denganmu."

"Apa? Tetap saja Senior harus membangunkan saya."

"Jangan membicarakan etika denganku."

Elli kesal, tapi wajah arogan Evan membuatnya berpikir tidak akan bisa menang. Karena itu dia memilih mengalah untuk masalah ini.

"Tadi malam... Tidak terjadi apapun?"

"Apa maksudmu? Memangnya apa yang terjadi?" Evan menjawabnya seolah tak mengerti arah pertanyaan Elli. "Apa maksudmu terjadi sesuatu antara kita saat kamu tidur? Maaf, aku tidak tertarik melakukannya dengan orang yang tidur layaknya orang mati."

"Apa yang Senior pikirkan!" teriak Elli, langsung protes saat mendengar Evan mengatakan hal itu dengan wajah tampa ekspresinya. "Kamar ini! Bukankah tadi malam hancur! Kalian..!" Elli tidak bisa melanjutkannya karena berpikir tidak masuk akal apa yang akan dia katakan selanjutnya.

"Kami kenapa?"

"Sa-saya harus segera bersiap-siap untuk kuliah!" jawab Elli, memilih menyudahi pembicaraan karena tidak tahu apakah kejadian tadi malam itu nyata atau memang dia hanya bermimpi buruk.

"Anda akan tetap merahasiakannya, Yang mulia?" tanya Alvaro yang ternyata sejak tadi berada diluar mendengarkan. Dia langsung bicara ketika Elli telah pergi.

"Hmm? Entahlah. Reaksinya sangat menarik untuk dilihat, kan? Wajah bingungnya terlihat sangat bodoh." sahut Evan. Kalimatnya setengah mengejek tapi nadanya terdengar sangat tertarik.

Alvaro menatap pintu yang tertutup di depan wajahnya dengan bingung. Bertanya-tanya langkah apa yang akan selanjutnya diambil dalam situasi saat ini.

"Aku bahkan belum memastikan sihir Yang mulia sama denganku atau tidak. Sihir angin tadi malam terasa sedikit berbeda."

.

Elli lagi-lagi melamun. Pikirannya dipenuhi dengan keraguan. Sejak dia bangun dari koma, banyak hal terjadi dalam hidupnya.

Apalagi setelah dia terlibat dengan Evan, lebih banyak hal tak masuk akal yang ia alami. Terutama kejadian di perpustakaan, saat itu dia jelas dalam keadaan sadar. Tidak seperti kejadian tadi malam.

'Tadi malam itu sangat jelas. Rasanya itu bukan sekedar mimpi buruk. Apalagi suasana rumah itu sudah aneh sejak awal. Begitu juga mereka berempat.' pikir Elli, lagi-lagi Elli melamun dikelas. Pelajaran telah selesai saja dia sampai tidak sadar.

"Elli?"

'Tapi kemampuanku yang bisa membaca pikiran semua orang juga aneh kan. Itu saja tidak masuk akal. Aku sungguh tidak mengerti! Aku tidak mengidap skizofrenia kan?'

Elli jadi paranoid sendiri. Dia mengeluarkan ponselnya dan segera mencari tahu tentang kelainan jiwa itu di internet. Tapi baru saja dia membuka artikelnya, sebuah tangan besar menutupi layar ponselnya.

"Kenapa denganmu?" tanya Elli tidak suka, dia melotot pada Arsen yang duduk di sampingnya.

"Kamu mengabaikan panggilanku. Sejak tadi kamu juga melamun terus, sebenarnya ada apa?" tanya Arsen dengan cerewet.

Elli baru sadar setelah kelas benar-benar kosong, bahwa sejak tadi pikirannya tidak ada disini.

"Arsen, aku rasa aku harus ke psikolog."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!