14

Dua hari Eliana menjalani perannya sebagai pelayan. Jadwal kuliahnya yang tiba-tiba berubah juga membuatnya curiga pada Alvaro dan Evan. Bertanya-tanya dalam hati seberapa besar pengaruh mereka.

Sejak kedatangannya kesini, Alvaro juga tidak pernah muncul lagi. Ana mengatakan padanya bahwa Alvaro sedang menjalankan tugas diluar kota.

Elli tidak berani mengusik Evan untuk menanyakan tentang jadwal kuliahnya, juga keberadaan Alvaro, atau tentang nasib rumahnya saat ini. Evan selalu mengeluarkan aura yang dingin dan menyeramkan. Seperti saat ini, saat Elli harus duduk di sampingnya yang akan segera tidur dimalam hari, dimana dia harus duduk membaca buku dengan suara yang rendah.

Meski Elli masih merasa tertekan, namun malam ini ada perbedaan mencolok yang ia rasakan. Evan tidak terlihat berbahaya seperti sebelumnya. Justru saat ini dia melihat wajah itu begitu pucat dan lemah.

"Hah... Hah...!"

Elli menjadi kawatir. Nafas Evan terlihat sangat berat. Dia juga mengeluarkan keringat dingin. Hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Senior? Apa tidak sebaiknya kita kerumah sakit?" tanya Elli.

"Pinjam tanganmu." kata Evan, masih dengan napas yang berat, kini mencengkram dadanya dengan kuat.

Elli yang tidak mengerti mendekatkan dirinya, berdiri di sisi kasur dan mengulurkan tangannya. Evan segera meraih tangan Elli, menggenggamnya dengan erat sambil berusaha mengatur napasnya.

Menit berganti menjadi jam, perlahan napas Evan menjadi lebih ringan. Meski masih merasakan sakit di dadanya, tapi jauh lebih ringan dari sebelumnya. Sampai Evan tertidur, dia tidak melepaskan tangannya. Elli yang lelah pada akhirnya duduk di sisi kasurnya. Tidak berani menarik tangannya karena takut Evan akan bangun. Alhasil, dia tertidur dengan duduk bersandar di kepala tempat tidur.

Paginya, ketika Ana masuk untuk memeriksa keadaan Evan yang belum keluar dari kamar seperti biasanya, dia terkejut dengan pemandangan di depannya. Nenek tua itu langsung mengirim sinyal pada Jefri untuk segera datang.

"Wah... Pemandangan langka." bisik Jefri.

Keduanya tersenyum senang begitu melihat Elli yang tertidur masih bersandar sementara Evan memeluk pinggulnya dengan erat.

Ana dan Jefri melanjutkan pekerjaan mereka. Dengan gerakan pelan menutup pintu yang sebelumnya terbuka Karena kesana Elli tidak pernah menutup pintunya.

Bunyi kecil itu membuat Evan membuka matanya. Alam bawah sadarnya sepertinya memberinya peringatan akan adanya penganggu. Ketika dia sadar sepenuhnya dan melihat posisinya saat ini, Evan segera menarik tangannya untuk segera duduk.

Dia melirik jam dinding. Dia bangun lebih siang satu jam dari jadwal seharusnya. Lalu matanya beralih pada Elli yang masih tidur dengan posisi yang sungguh tidak nyaman itu. Dengan gerakan ringan, dia membaringkan Elli dan menyelimutinya.

"Ini pertama kalinya aku tidur dengan sebuah mimpi yang berbeda." gumamnya.

Sesungguhnya mimpi Evan sangatlah indah. Sejak umur 10 tahun, Evan dihantui mimpi buruk yang berulang. Kata berbeda ia pakai karena logikanya yang tidak menerima bahwa mimpi duduk ditepi danau bersama ibunya saat ia kecil bukanlah mimpi indah. Meski dia merasa bahagia diadalam mimpinya, faktanya saat ini yang ia rasakan adalah kebencian pada ibunya.

Tangannya terjulur, memperbaiki rambut yang menutupi wajah Elli. 'Energinya sangat mirip dengan energi yang terdapat pada batu mana kebangkitan. Dengan kemampuan yang dia miliki, dia tidak akan pernah kehabisan mana.' kata Evan dalam hati.

Evan beranjak dari kasur dan masuk kedalam kamar mandi. Dia segera membersihkan diri dan memanggil Ana untuk menyiapkan sarapan dikamarnya saja.

Saat Ana masuk, Evan masih mandi. Bersamaan dengan itu, Elli akhirnya membuka matanya. Dia segera duduk dan menyadari apa yang terjadi begitu melihat Ana tersenyum ramah padanya.

"Kalian bangun lebih siang dari biasanya. Tuan memerintahkan saya membawa sarapan kesini. Silahkan Anda membersihkan diri terlebih dahulu baru kembali kesini, Nona." kata Ana.

Klek!

Bunyi pintu kamar mandi yang terbuka membuat Elli terlonjak kaget. Dia segera turun dengan terburu-buru sampai lupa menyibak selimutnya. Alhasil, kakinya yang tersangkut selimut membuat dia kehilangan keseimbangan. Dia terjerembab kelantai dengan tangan terlebih dahulu sebagai penopang.

"Nona! Anda tidak apa-apa?" Ana buru-buru menolongnya, melepaskan selimut dan membantunya berdiri.

"Te-Terima kasih." kata Elli dengan wajah merah karena malu. Terutama ketika dia melihat reaksi Evan yang hanya memasang wajah datarnya. Seolah apa yang dilihatnya saat ini hanyalah pertunjukan konyol.

"Bersihkan dirimu dalam waktu sepuluh menit. Kalau bubur itu dingin sebelum kamu kembali, kamu akan menerima hukuman." perintahnya sesuka hati.

"Apa? Tapi mana mungkin..."

"Waktumu terus berjalan." potong Evan sambil berbalik untuk mengambil pakaian.

Ana segera keluar, begitu juga Elli yang melangkah sambil mengutuk Evan dalam hati. Sesampainya diluar, dia segera berlari menuju kamarnya untuk mandi.

"Terlambat tujuh menit. Bubur itu sudah dingin. Apa yang akan kamu lakukan dengan sarapanku yang terlambat?" tanya Evan, dia tidak menatap Elli, matanya fokus pada laporan tertulis yang diberikan Jefri.

"Maaf, Senior. Tapi waktu sepuluh menit..."

"Kamu tidak setuju?"

"Bukan begitu, tapi itu tidak masuk akal."

"Kamulah yang lelet. Aku dengar hari ini tidak ada jadwal kuliah, jadi kamu bisa melakukan hukumanmu sekarang."

"Apa?" meski masih takut, Elli tetap tidak terima dengan aturan tidak masuk akal Evan. "Senior, Anda sungguh tidak masuk akal."

'Kemarin-kemarin dia tidak banyak bicara, kenapa dia tiba-tiba melakukan hal konyol yang tidak seperti biasanya.' kesal Elli dalam hati.

Evan mengangkat kepalanya, meletakkan berkasnya di meja dan segera bangkit berdiri.

"Ikuti aku." perintahnya.

Elli melirik Jefri yang terlihat sangat santai dan hanya tersenyum tipis sebagai respon sopan padanya. Elli segera mengikuti Evan yang kini menuju pintu keluar. Memasuki mobil dan Elli duduk di sampingnya. Ana sudah duduk di kursi kemudi, seolah dia tahu Evan ingin kemana. Dia melajukan mobilnya tampa berkata apapun.

Mereka sampai disebuah rumah lain yang tidak diketahui Elli rumah milik siapa. Disana mereka segera disambut oleh Jefri yang entah sejak kapan tiba disana. Alvaro juga ada disana. Pakaiannya yang mencolok membuat Elli seperti melihat orang yang sedang cosplay menjadi pemuda zaman pertengahan.

"Saya sudah menyiapkannya." kata Alvaro. Menuntun mereka masuk kedalam dan memasuki sebuah ruangan yang dimana sudah ada Ibu dan ayah tiri Elli. Keduanya terikat dikursi.

"Ap-Apa yang terjadi?" tanya Elli.

Saat dia melihat mata ibunya, hanya makian dan tuduhan yang tak dimengerti olehnya yang ia dengar. Karena itu Elli menatap Evan meminta jawaban.

"Tadinya aku ingin sedikit lembut, tapi karena kamu terlambat tujuh menit, jadi aku sedikit kasar." jawab Evan, mereka masih berdiri di hadapan dua orang yang diikat dengan mulut disumpal.

'Jadi ini hukuman yang dia maksud? Sedikit kasar? Bukankah ini sangat kasar? Walau aku tidak menyukai mereka, tapi kan ini tindakan kriminal.' pikir Elli. Kepribadian positif yang mengutamakan keadilan dan kebenarannya tentu saja terusik.

"Tenang saja, setelah ini semua berakhir kita akan melepaskan mereka." kata Alvaro, seolah bisa membaca pikiran Elli.

"Nah, lakukan transaksi dengan mereka. Kesepakatan kalian akan menentukan langkah yang akan aku ambil." kata Evan, dia melirik Jefri. Pria itu segera keluar dan membawa sebuah bangku untuk Evan duduk.

'Apa dia sungguh pria yang sakit tadi malam? Bagaimana bisa dia tiba-tiba sehat dan melakukan semua ini sekarang?'

Elli sampai-sampai kehilangan fokus karena terkejut akan apa yang terjadi padanya saat ini. Dia masih menatap Evan yang terlihat bugar dengan bingung. Ketika Evan balik menatapnya dengan datar, Elli segera berbalik dan menatap ibunya.

Ana segera melepaskan sumpalan mulut mereka ketika Elli berpikir keras dari mana ia harus memulai.

"Anak sialan! Kamu bekerja sama dengan preman untuk menangkap kami? Kamu sudah aku biarkan hidup! Bukankah harusnya kamu bersyukur!" teriak ayah tirinya, Aril.

"Berhenti sembrono, Elli. Lepaskan kami, aku akan memberikan rumah itu untukmu dan membiayai kuliahmu!" kata ibunya, sepertinya Ela mencoba mebujuknya dengan melakukan transaksi.

Elli melirik Evan yang hanya diam, menatapnya dengan sorot mata tajamnya. Seakan mengatakan bahwa kamu bisa mengatakan apapun.

"Jawab pertanyaanku, dimana keluarga ayah saat ini?"

"Heh! Keluarga ayahmu? Kamu mencari mereka? Hahahahaha!" Ela tertawa keras. Seolah mengejek keinginan Elli yang dinilai naif olehnya. "Kamu ingin berlindung pada keluarga ayahmu? Sayangnya dia tidak punya. Manusia angkuh itu sudah pasti tidak punya, atau mungkin dia dibuang karena perilaku gilanya."

Elli mengernyit, setiap mereka membicarakan ayah kandungnya, Ibunya terlihat sangat marah dan penuh dendam. Elli melirik Aril yang terlihat tak peduli. Dalam pikiran pria itu hanya ada makian, bahkan untuk Ela, istrinya sendiri. Sepertinya Aril marah karena Ela masih menyimpan emosi yang dalam tentang ayah kandung Elli.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!