15

Elli mencoba menggali pikiran Ela. Mencari informasi tentang ayahnya yang sama sekali tidak ia ketahui. Namun dari sekian banyak pikiran ibunya, hanya ada kata-kata kebencian, kekecewaan dan rasa sakit. Dengan membaca isi kepala ibunya, Elli jadi tahu kenapa pikiran ayah tirinya kini berisi kemarahan dan kemarahan pada ibunya.

'Jadi, sampai detik ini ibu masih mencintai ayah. Tapi dia juga membenci ayah, lalu kebencian itu dilemparkan padaku sebagai anak yang memiliki darah orang yang dibencinya. Sangat tidak masuk akal membuatku jadi sasaran balas dendammu pada orang yang sudah mati, Ibu.' kata Elli dalam hati.

Cukup lama dia membiarkan ibunya mengoceh tentang betapa munafik, jahat dan kejamnya sikap ayahnya. Evan dan yang lain menonton pertunjukan di depan mereka dengan tenang. Karena mereka tahu bahwa saat ini Elli sedang membaca pikiran ibu dan ayah tirinya.

'Ini sangat menarik, bagaimana ekspresi diwajahmu yang biasanya datar terganggu oleh sifat kasih yang kamu miliki. Logikamu pasti sedang berperang saat ini.' ujar Evan, bibirnya tertarik sedikit membentuk senyum tipis.

Alvaro yang memperhatikan ekspresinya, dibuat terpana akan reaksi Evan yang tidak biasa. Ketertarikan yang tidak biasa itu membuat Alvaro membatin. 'Biasanya ekspresinya tidak begitu pada orang yang jadi pionnya. Hoh! Apa ini? Apa aku melewatkan sesuatu selama pemulihan?'

"Sepertinya Ibu sangat membencinya, padahal disemua vidio kalian terlihat bahagia." kata Elli, kini dia telah menentukan sikap kembali. "Tapi karena aku tidak mengingat apapun, aku tidak punya rasa belas kasih pada penderitaan Ibu yang mencoba membunuhku."

Elli memperhatikan respon keduanya yang terkejut. Bertanya-tanya dalam hati mereka bagaimana Elli bisa tahu. Ibunyalah yang menyadari situasi mereka saat ini yang jauh lebih buruk dari yang ia duga. Ibunya segera mengalihkan pandangan pada Evan, bertanya dalam hati siapa Evan sebenarnya.

"Sepertinya Ibu cukup pintar. Ya, dia bukan preman yang saya bayar. Memang ibu pikir dari mana saya mendapatkan uang untuk menyewa mereka." kata Elli.

"Hah! Memang siapa mereka ini kalau bukan preman atau pembunuh bayaran? Kamu cantik, kamu pasti menjual tubuhmu untuk mem_ Agh!!"

Aril berteriak ketika kepalanya mendapat tendangan kuat dari kaki Ana. Nenek yang terlihat sudah tua itu dengan santai mengayunkan tendangannya sampai Aril terjatuh kelantai dengan tubuh masih terikat ke bangku.

"Ma-Maafkan saya Tuan dan Nona, kaki saya bergerak secara naluriah. Hehehehe!" kata Ana dengan wajah tampa rasa bersalah.

Aril yang merasakan sakit dan pening dikepalanya langsung syok. Setelahnya dia menjadi bergetar takut dan beringsut sedikit demi sedikit menjauhi Ana.

Elli juga terkejut. Dia tidak terbisa melihat kekerasan secara langsung. Bahkan saat bunyi sepatu Ana dan wajah Aril bertemu, Elli reflek mundur karena terkejut. Meski wajahnya datar, tapi jantungnya berdetak dengan kencang.

"Si-Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu membantu Elli? Apa yang kalian inginkan?" tanya Ela, dia menatap sepatu Evan dengan ketakutan.

"Entahlah, menurutmu apa yang aku inginkan dari ahli waris sesungguhnya?" tanya Evan balik. Perkataan yang membuat Ela langsung menatap Elli dengan gusar.

"Anak bodoh ini! Apa yang sudah kamu lakukan! Apa kamu tidak sadar kalau sudah diperalat?!" bentaknya.

"Apa maksud Ibu? Aku tidak merasa diperalat. Sekarang katakan dimana surat wasiat ayah?"

"Jangan bodoh! Ayo kita bicarakan tentang wasiat ayahmu, ya! Elli! Batalkan apapun perjanjianmu dengannya!" pinta ibunya.

"Ibu, bukankah adik kecilku menunggu kalian dirumah? Ibu terlihat begitu mencintainya. Aku akan menyisakan sedikit untuk kalian hidup. Jadi berikan surat wasiatnya."

"Kamu pikir anak ingusan sepertimu bisa menangani perusahaan? Jangan bodoh Elli! Mereka semua ini hanya menipumu!" Ela meneriakkan kalimat terakhirnya.

Angin dingin yang terasa membekukan tiba-tiba bertiup. Tapi ketika Evan mengetukkan jarinya sekali, udara menjadi hangat lagi. Elli yang tadi merasakan sensasi seperti diperpustakaan saat itu, menoleh kiri dan kanan. Melihat respon semua orang. Tapi karena semuanya tampa biasa saja, dia kembali fokus pada ibunya.

"Ibu, kalianlah yang menipuku, bahkan berusaha membunuhku sekali. Aku tidak begitu peduli dengan balas dendam, aku tidak begitu peduli pada kehidupan yang tak aku ingat. Aku hanya ingin hidup tenang. Tapi Ibu membuatku jadi sulit. Ibu tahu kan, bahwa hidup ini ada yang namanya sebab akibat?"

"Kamu!"

"Cukup." potong Evan. Dia bangkit dan berdiri dibelakang Elli. Sebelah tangannya menyentuh pundak Elli dan membalikkan tubuhnya untuk menghadap padanya. Tapi meski Elli menatapnya, dia malah menatap Ela yang ada dibelakang Elli saat ini. Memberikan tatapan penuh intimidasi yang membuat Ela langsung menundukkan pandangannya. "Jika tidak ada pengakuan, penggeledahan akan dilakukan secara resmi. Ungkap pelanggaran hukum yang mereka lakukan, termasuk bukti percobaan pembunuhan Elliana. 24 jam, aku memberikan waktu 24 jam." kata Evan dengan dingin.

Matanya kini beralih pada Elli, menatapnya sejenak sebelum berbalik dan menarik pergelangan tangannya untuk keluar dari sana.

"Hukumanmu belum selesai, tapi karena aku merasa tidak enak badan, ayo pulang dulu." katanya ketika mereka telah sampai di dalam mobil lagi.

Elli menoleh, memperhatikan wajah Evan yang kini mengeluarkan keringat. 'Apa sejak tadi dia menahan rasa sakitnya? Kenapa dia sampai memaksakan diri hanya untuk mengurusi masalahku? Hukuman? Aku tidak bisa melihat dari mana hal yang menguntungkanku bisa disebut hukuman. Apa karena dia mengira aku akan terluka melihat ibu kandungku diikat begitu? Tapi aku tidak punya ingatan apapun. Aku tidak merasakan apapun selain sedikit kasihan sebagai sesama manusia yang punya sisi kemanusiaan.'

"Apa yang dipikirkan kepala kecilmu itu? Berikan tanganmu." kata Evan. Meraih tangan Elli dan menggenggamnya begitu saja.

"Apa mengenggam tangan orang lain bisa mengurangi rasa sakit Senior?" tanya Elli. Karena dia juga bertanya-tanya akan tadi malam dimana Evan perlahan membaik setelah mengenggam tangannya.

"Entahlah, bagaimana menurutmu?"

"Itu tidak masuk akal." sahut Elli cepat.

Ana yang melihat perubahan pada tuannya yang tidak biasanya mau merespon pertanyaan mereka tentang rasa sakitnya, cukup terkejut. Lagi-lagi dia melihat bahwa akan ada harapan untuk tuannya meski mungkin butuh waktu.

"Tapi, apa yang akan terjadi pada mereka setelah 24 jam?" tanya Elli.

"Tentu saja pengadilan dan penjara. Apa kamu kawatir?"

"Entahlah, aku tidak punya perasaan apapun. Mereka hanya seperti orang asing yang mengusik hidupku. Temanku malah lebih seperti keluarga dari pada keluarga sendiri."

"Ah... Temanmu yang seperti ular itu?"

"Apa? Ular?"

"Ya, dia suka melilitmu dengan kata-kata manis, tapi pada dasarnya menusukkan taring beracunnya perlahan-lahan."

"Apa yang Senior katakan tentang temanku? Arsen baik meski terkadang terlalu ikut campur. Jadi jangan menilainya seperti ular." belanya.

Meski Elli mengatkannya hanya untuk menghargai pertemanannya dengan Arsen, tapi Evan yang mendengarnya mengira bahwa Elli lebih memihak Arsen karena perasaan keduanya yang mendalam.

"Sepertinya dia lebih berharga dari ibu yang melahirkanmu."

"Apa? Kenapa jadi membandingkan mereka?"

"Kamu yang mulai membandingkan, bukan? Tapi perasaan seperti itu sangat dangkal untuk menjadi alasan mempercayai seseorang. Semua orang itu seperti bunglon, mereka bisa berubah kapan saja."

"Bukankah perasaan manusia itu seperti asap? Berubah sesuai arah angin bukan berdasarkan keperluan seperti bunglon. Dia bisa meracuni tapi juga bisa hilang tak bersisa."

"Itu analogi yang bagus. Apa kamu juga membaca buku tentang psikologi manusia?"

"Saya membaca buku apa saja, Senior."

"Itu akan jadi hal yang menguntungkan. Karena hukumanmu yang lain adalah mempelajari bahasa kuno."

"Apa?"

Ana yang mendengarnya, mengerutkan kening. 'Apa bahasa kuno yang dia maksud adalah bahasa kekaisaran?' tanyanya dalam hati.

"Kamu harus sudah bisa menguasainya sebelum aku kehilangan kesadaran."

"Senior mengatakan kehilangan kesadaran dengan sangat yakin, jika Senior tahu hal itu akan terjadi, kenapa tidak dirawat dirumah sakit saja?"

"Itu tidak akan berguna, aku tidak suka tidur panjang sepertimu."

"Apa? Apa maksud...."

Belum selesai pertanyaan Elli yang bingung dengan perkataan Evan barusan, Evan lebih dulu turun dari mobil karena mereka telah sampai. Melihat punggung di depannya yang semakin menjauh, Elli baru sadar bahwa ada yang berbeda dari suasana diantara keduanya.

'Sejak keluar dari rumah itu, ini pertama kalinya aku tidak merasa tertekan dan takut.'

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!