The Last Incarnation Of The Land Of Arden III
"Sebenarnya, bagaimana cara memandang orang dewasa pada anak-anak?"
Tanya seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun yang masih mengenakan seragam sekolah dasarnya pada seorang lelaki paruhbaya yang menyapu halaman.
"Ha?"
Pria itu, memiliki pendengaran yang buruk.
"Lupakan saja"
Bocah itu, meninggalkan pria tua yang menyapu halaman panti asuhan sendiri.
"Bocah sialan!" Umpat pria itu.
"BUGH!!!"
Tendangan keras dirasakan perut bocah itu saat melakukan perjalanan ke sekolah. "Menjijikan sekali! Lihatlah bocah ini!" Teriak beberapa siswa dari SMA yang membuli anak itu.
Bocah itu mengepalkan kedua tangannya dan terbangkit kembali dari jatuhnya. Dia melayangkan pukulan yang tak bertenaganya itu pada siswa SMA yang menghantam perutnya.
"BRRUUUKK!"
Naas! Bocah itu, terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Tawa keras membuat telinga bocah itu berdengung.
"BAGGHHH!!!!"
Empat orang siswa itu langsung mengijak punggung bocah itu dan berakhir saat ada seorang ibu-ibu yang meneriaki mereka hingga mereka terkacrit pergi.
Bocah itu di datangi oleh ibu-ibu yang membawa keranjang sayuran. Dia membersihkan pakaian bocah yang sempat meringkuk itu. "Rumahmu dimana, dik?" Tanya Ibu itu sambil mengusap wajah bocah itu yang kotor.
Bocah itu sangat terkejut. Dan tanpa sadar dia menepis tangan Ibu muda itu.
"Eh?" Ibu muda itu terkejut.
Bocah itu, lebih terkejut lagi karena tindakannya. Dia langsung berdiri mengambil tas sekolahnya yang setengah basah karena di lemparkan ke genangan air hujan.
Pada akhirnya, bocah itu membolos sekolah dan memilih bermainan ayunan di taman yang cukup jauh dari sekolah dan panti asuhan tempat dia tinggal.
Dia terus mengayunkan kakinya seraya menatap langit siang yang mendung.
Dia tiba-tiba menunduk dan menangis.
Dia menangis bukan karena dirundung oleh remaja SMA itu. Dia teringat oleh ibunya yang meninggalkannya dua bulan yang lalu.
...----------------●●●----------------...
DUA BULAN YANG LALU....
"Ayo! Berdoa dulu sebelum lilinnya di tiup" Ucap seorang wanita berusia 32 tahun pada seorang anak laki-laki di hadapannya.
Bocah itu melihat lilin angka sepuluh di kuenya dengan raut yang sumringah. Dia memejamkan matanya dan berdoa di dalam hati agar bisa mendapatkan kehidupan yang layak baginya dan bagi ibunya itu.
Lilin sudah tertiup. Bocah itu menyuapi ibunya yang berambut pirang dengan kue miliknya itu.
"Apa enak bu?" Tanya bocah itu dengan cengingisan
Tak ada raut senang di wajah wanita berkepala tiga itu. "Ashel makanlah juga" Wanita yang di panggil ibu oleh bocah itu mengambil sendok lain dan menyuapkannya pada putra satu-satunya.
Kaki bocah itu berayun karena senang.
"Ashel, apa kamu mau hadiah dari ibu?" Tanya wanita itu dengan nada yang cepat layaknya seseorang sedang terburu.
"Hadiah?"
"Ya..."
Wanita itu mengajak putranya di sebuah swalayan yang jauh dari rumahnya.
Betapa polosnya bocah itu saat melihat beraneka ragam benda yang dijual di swalayan besar itu. Mata bocah itu, tertuju di bilik play store kids yang berisi beraneka ragam game dan permainan.
Bocah itu melihat ibunya. Dia sadar dengan kondisi perekonomian keluarganya.
"Ibu, ibu mau belanja apa?" Dia langsung berpaling dan mengobrol dengan ibunya.
Ibu bocah itu berjongkok sambil mengusap kening putranya. "Apapun yang diinginkan Ashel hari ini, akan ibu belanjakan" Semua orang yang melintas disana, akan langsung tau apabila mental wanita itu terganggu.
"Apa ibu sungguh memiliki uang?" Bocah itu tampak khawatir.
"Ibu menyisihkan uang untuk hari ini" Ucap wanita itu sambil berdiri dan menyeret tangan putranya dengan kasar.
Bocah itu, menahan rasa sakitnya dan menurut pada ibunya. "Ashel! Katakan pada Ibu. Kau mau main itu kan??" Wanita itu, menunjuk sebuah trampolin besar yang dipenuhi anak-anak.
Ashel adalah nama bocah itu. Dia melihat telapak tangan ibunya yang bergetar saat menunjuk trampolin disana. Di atas trampolin itu, tertulis biaya 50.000 peranak yang memasukkinya.
50.000 bukanlah uang kecil di mata Ashel.
Melihat tangan Ibunya yang bergetar, dia tidak tega menolaknya.
Ashel memasuki area bermain itu.
"Ashel, Ibu akan jalan-jalan sebentar. Kamu jangan nakal. Tunggulah disini" Ucap Ibu Ashel sambil melihat ke berbagai arah layaknya seorang yang sedang ketakutan.
"Ibu... kenapa?" Ashel tidak bermain trampolin itu. Dia hanya duduk di pinggiran pintu masuk area trampolin hingga swalayan itu hampir tutup.
"....Ibu?" Ashel menyadari bahwa pengunjung swalayan itu sudah mulai berkurang.
Dia melirik jam tangan milik salah satu orang di dekatnya. Saat ini, hampir pukul sembilan malam. Mata Ashel mulai berair. Dia takut Ibunya meninggalkannya sama seperti Ayahnya.
\[TES.... CHECKKK...\] Suara dari pengeras suara swalayan.
\[PENGUNJUNG YANG TERHORMAT, SAAT INI TELAH PUKUL 20.50, SWALAYAN AKAN TUTUP 10 MENIT LAGI\]
Jantung Ashel terenyut. Dia hampir menangis saat seorang pegawai dari area bermain itu mendatanginya.
"Adik kesini sama siapa?" Tanya pegawai itu pada Ashel.
"I..Ibu" Jawab Ashel dengan lemah.
"Sekarang, adek tau dimana Ibu adek?" Tanya sekali lagi pegawai itu.
"Katanya Ibu jalan-jalan sebentar" Jawab Ashel sambil mengepalkan tangannya sendiri.
Pegawai itu, melambai pada seorang penjaga disana. Dua orang itu, berbincang di dekat Ashel. Dan Ashel diminta untuk ikut ke ruangan pengumuman. Dua orang itu berfikir, Ashel tersesat dan kehilangan ibunya.
Pengumuman mulai disiarkan kepada semua sisa pengunjung disana. Tak ada yang datang kepada Ashel hingga lonceng kota berbunyi sebanyak 10 kali.
Ashel di berikan banyak pertanyaan oleh orang-orang disana. Mereka mulai mencari jalan yang mudah untuk dilewati menuju rumah Ashel di pelosok.
Ashel diantar oleh penjaga disana ke rumahnya.
Gelap.
Itulah yang dilihat oleh Ashel pada rumahnya.
"Apa ini memang rumahmu?" Security itu bertanya sekali lagi untuk meyakinkannya.
Security itu sendiri tak yakin dengan rumah itu. Rumah itu, seperti tak tersentuh seharian. Sampah dari daun mangga yang basah karena hujan berserakan dimana-mana.
"Iya itu memang rumahku. Terima kasih sudah mengantarku. Aku akan menunggu Ibu di dalam" Ashel berjalan ke arah Rumahnya.
Security itu merasa khawatir. "Dek. Ini nomor telpon paman. Kalau Ibumu belum pulang, telpon saja" Pria itu memberikan kartu teleponnya.
Ashel menerima kartu itu dan langsung masuk ke dalam rumahnya.
Dia menghidupkan lampu yang tinggi. Rumahnya terlihat lebih kosong dari sebelumnya.
Dia berjalan ke arah kamar ibunya. "Ibu?" Panggilnya sambil membuka pintu kamarnya.
Kamar Ibunya berantakan seolah usai terjadi pencurian di rumahnya.
Dia melihat lemari Ibunya yang terbuka lebar. Tak ada satu pun pakaian disana.
BRUK!
Tubuh bocah malang itu lemas. Dia terjatuh di lantai dan melihat sekelilingnya dengan mata yang berair. "Ibu... Apa kau meninggalkanku juga?"
Layaknya pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga, bocah itu di datangi oleh dua pria berjas hitam. Rumah dan tanahnya disita oleh bank.
Bocah itu termangun di tempat.
"Apa? Aku harus dimana?"
Tak ada seorangpun yang peduli dengannya. Baik itu tetangganya ataupun gurunya.
Dia menangis layaknya anak kecil di pinggir air mancur taman balai kota.
"Ibu.... Kenapa kau pergi tanpa mengajakku?"
Bocah itu melihat dengan pilu anak-anak yang berjalan bersama dengan kedua orang tuanya lengkap.
Dia merasa lapar dan merogoh sakunya. Tak ada uang. Hanya ada kartu telpon dari Security kala itu.
Dia berjalan dengan perlahan menahan rasa lapar dan dahaganya menuju Mall besar di luar desa.
Dia mencari Security itu.
Security itu masih mengingat wajah Ashel dan beruntung bagi Ashel yang hampir pingsan karena kelaparan ditangkap oleh Security baik hati itu.
Ashel menangis dengan keras dan memeluk Security itu dengan erat.
"Paman! Aku tidak punya saudara. Ayahku meninggalkan kami! Dan Ibuku pergi meninggalkanku. Rumah satu-satunya di sita oleh bank. Aku lapar. Aku tidak punya uang" Dia menangis hingga terisak.
Security itu sungguh terkejut. Dia berlutut dan melihat rupa Ashel yang mendekil karena perjalanan jauhnya.
"Dek, kamu akan baik-baik saja. Mau tinggal sementara waktu dengan paman?"
Kebahagiaan itu, tidak bertahan lama. Isak tangis kembali terjadi di kehidupan Ashel yang belum berjalan selama dua minggu bersama Security baik hati itu.
Security itu, meninggal karena kecelakaan saat menuju tempat kerjanya.
Perebutan rumah dari keempat saudara Security itu terjadi.
"Bahkan kuburannya masih basah. Betapa menjijikkannya kalian sebagai orang dewasa" Ujar Ashel dihadapan saudara saudara Security itu yang merebutkan semua harta simpanan Security itu termasuk rumah dan kendaraannya.
Ashel di tampar dengan keras oleh salah satu dari mereka. "Kau bocah! Kau tau apa?!" Ucapnya.
Mata kecokelatan Ashel terbelalak dan termangun melihat tanah kuburan Security itu. Bibir Ashel berdarah karena tamparannya.
"Anak pungut saja sok-sokan. Buang saja dia di panti asuhan"
Ucapan itu terjadi dengan cepat.
Ashel mulai depresi dengan kehidupannya. Dia mulai tidak mempercayai manusia-manusia yang ada di sekitarnya.
Ashel mulai masuk ke dalam panti asuhan. Dia mendapatkan pendidikan di asrama yang letaknya cukup jauh dari panti itu.
Di sekolah, Ashel mendapatkan perundungan karena latar belakangnya.
Ashel membenci kehidupannya.
Ashel mulai mengijak Sekolah Menengah Pertama kelas 8.
Dia hampir berniat untuk bunuh diri karena tak kuat dengan orang disekitarnya.
Tatapan mata Ashel sungguh kosong. Meski begitu, pandangan matanya tertuju pada toko klontong kuno di bawah jembatan yang belum pernah dia lihat.
Dia turun dan mendatangi toko itu karena rasa penasarannya.
Dia memasukki toko itu. Aroma buku tercium menyengat di dalam sana.
"Adekkk... cari apa?" Seorang perempuan bertato di sepanjang lengan kirinya mendatangi Ashel dengan ramah.
"Hanya lihat-lihat" Jawab Ashel tanpa nada.
Perempuan itu, menyedot rokok di tangannya dan menghembuskannya. "Kalau liat-liat aja tetep bayar loh" Ucap perempuan itu.
"Hah?" Ashel yang tengah melihat buku rahasia alam langsung menoleh ke arah wanita itu.
"Bercanda. Wajahmu gak ada seru-serunya" Lirih perempuan itu sambil mencucutkan bibirnya.
Ashel tidak memperdulikannya. Dia masuk semakin dalam pada toko itu.
Lembaran kertas berwarna kuning kecokelatan, menarik perhatiannya.
Dia mengambil lembaran itu dan segera di ambil balik oleh perempuan itu.
Ashel melihat perempuan berpotongan rambut bob itu.
"Yang ini, punyaku"
"Memang apa isinya?" Tanya Ashel.
"Eumm,... Sudahlah. Kau boleh lihat-lihat yang lain, asal bukan yang ini" Ucap perempuan itu.
Ashel mengambil lebaran dari kertas itu yang lainnya.
"Hei! Sudah ku katakan jangan!"
Ashel menyeringai tipis dan menghela napas ringan. "Katanya yang ini jangan dan yang lain ga papa?~" Tanya bernada Ashel yang membuat perempuan itu terkejut bukan main.
"Anjir! Kau mirip sekali dengan tokoh buatanku" Ceplos perempuan itu.
"Apa?" Ashel sama sekali tak mengerti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments