"Sebenarnya, bagaimana cara memandang orang dewasa pada anak-anak?"
Tanya seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun yang masih mengenakan seragam sekolah dasarnya pada seorang lelaki paruhbaya yang menyapu halaman.
"Ha?"
Pria itu, memiliki pendengaran yang buruk.
"Lupakan saja"
Bocah itu, meninggalkan pria tua yang menyapu halaman panti asuhan sendiri.
"Bocah sialan!" Umpat pria itu.
"BUGH!!!"
Tendangan keras dirasakan perut bocah itu saat melakukan perjalanan ke sekolah. "Menjijikan sekali! Lihatlah bocah ini!" Teriak beberapa siswa dari SMA yang membuli anak itu.
Bocah itu mengepalkan kedua tangannya dan terbangkit kembali dari jatuhnya. Dia melayangkan pukulan yang tak bertenaganya itu pada siswa SMA yang menghantam perutnya.
"BRRUUUKK!"
Naas! Bocah itu, terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Tawa keras membuat telinga bocah itu berdengung.
"BAGGHHH!!!!"
Empat orang siswa itu langsung mengijak punggung bocah itu dan berakhir saat ada seorang ibu-ibu yang meneriaki mereka hingga mereka terkacrit pergi.
Bocah itu di datangi oleh ibu-ibu yang membawa keranjang sayuran. Dia membersihkan pakaian bocah yang sempat meringkuk itu. "Rumahmu dimana, dik?" Tanya Ibu itu sambil mengusap wajah bocah itu yang kotor.
Bocah itu sangat terkejut. Dan tanpa sadar dia menepis tangan Ibu muda itu.
"Eh?" Ibu muda itu terkejut.
Bocah itu, lebih terkejut lagi karena tindakannya. Dia langsung berdiri mengambil tas sekolahnya yang setengah basah karena di lemparkan ke genangan air hujan.
Pada akhirnya, bocah itu membolos sekolah dan memilih bermainan ayunan di taman yang cukup jauh dari sekolah dan panti asuhan tempat dia tinggal.
Dia terus mengayunkan kakinya seraya menatap langit siang yang mendung.
Dia tiba-tiba menunduk dan menangis.
Dia menangis bukan karena dirundung oleh remaja SMA itu. Dia teringat oleh ibunya yang meninggalkannya dua bulan yang lalu.
...----------------●●●----------------...
DUA BULAN YANG LALU....
"Ayo! Berdoa dulu sebelum lilinnya di tiup" Ucap seorang wanita berusia 32 tahun pada seorang anak laki-laki di hadapannya.
Bocah itu melihat lilin angka sepuluh di kuenya dengan raut yang sumringah. Dia memejamkan matanya dan berdoa di dalam hati agar bisa mendapatkan kehidupan yang layak baginya dan bagi ibunya itu.
Lilin sudah tertiup. Bocah itu menyuapi ibunya yang berambut pirang dengan kue miliknya itu.
"Apa enak bu?" Tanya bocah itu dengan cengingisan
Tak ada raut senang di wajah wanita berkepala tiga itu. "Ashel makanlah juga" Wanita yang di panggil ibu oleh bocah itu mengambil sendok lain dan menyuapkannya pada putra satu-satunya.
Kaki bocah itu berayun karena senang.
"Ashel, apa kamu mau hadiah dari ibu?" Tanya wanita itu dengan nada yang cepat layaknya seseorang sedang terburu.
"Hadiah?"
"Ya..."
Wanita itu mengajak putranya di sebuah swalayan yang jauh dari rumahnya.
Betapa polosnya bocah itu saat melihat beraneka ragam benda yang dijual di swalayan besar itu. Mata bocah itu, tertuju di bilik play store kids yang berisi beraneka ragam game dan permainan.
Bocah itu melihat ibunya. Dia sadar dengan kondisi perekonomian keluarganya.
"Ibu, ibu mau belanja apa?" Dia langsung berpaling dan mengobrol dengan ibunya.
Ibu bocah itu berjongkok sambil mengusap kening putranya. "Apapun yang diinginkan Ashel hari ini, akan ibu belanjakan" Semua orang yang melintas disana, akan langsung tau apabila mental wanita itu terganggu.
"Apa ibu sungguh memiliki uang?" Bocah itu tampak khawatir.
"Ibu menyisihkan uang untuk hari ini" Ucap wanita itu sambil berdiri dan menyeret tangan putranya dengan kasar.
Bocah itu, menahan rasa sakitnya dan menurut pada ibunya. "Ashel! Katakan pada Ibu. Kau mau main itu kan??" Wanita itu, menunjuk sebuah trampolin besar yang dipenuhi anak-anak.
Ashel adalah nama bocah itu. Dia melihat telapak tangan ibunya yang bergetar saat menunjuk trampolin disana. Di atas trampolin itu, tertulis biaya 50.000 peranak yang memasukkinya.
50.000 bukanlah uang kecil di mata Ashel.
Melihat tangan Ibunya yang bergetar, dia tidak tega menolaknya.
Ashel memasuki area bermain itu.
"Ashel, Ibu akan jalan-jalan sebentar. Kamu jangan nakal. Tunggulah disini" Ucap Ibu Ashel sambil melihat ke berbagai arah layaknya seorang yang sedang ketakutan.
"Ibu... kenapa?" Ashel tidak bermain trampolin itu. Dia hanya duduk di pinggiran pintu masuk area trampolin hingga swalayan itu hampir tutup.
"....Ibu?" Ashel menyadari bahwa pengunjung swalayan itu sudah mulai berkurang.
Dia melirik jam tangan milik salah satu orang di dekatnya. Saat ini, hampir pukul sembilan malam. Mata Ashel mulai berair. Dia takut Ibunya meninggalkannya sama seperti Ayahnya.
\[TES.... CHECKKK...\] Suara dari pengeras suara swalayan.
\[PENGUNJUNG YANG TERHORMAT, SAAT INI TELAH PUKUL 20.50, SWALAYAN AKAN TUTUP 10 MENIT LAGI\]
Jantung Ashel terenyut. Dia hampir menangis saat seorang pegawai dari area bermain itu mendatanginya.
"Adik kesini sama siapa?" Tanya pegawai itu pada Ashel.
"I..Ibu" Jawab Ashel dengan lemah.
"Sekarang, adek tau dimana Ibu adek?" Tanya sekali lagi pegawai itu.
"Katanya Ibu jalan-jalan sebentar" Jawab Ashel sambil mengepalkan tangannya sendiri.
Pegawai itu, melambai pada seorang penjaga disana. Dua orang itu, berbincang di dekat Ashel. Dan Ashel diminta untuk ikut ke ruangan pengumuman. Dua orang itu berfikir, Ashel tersesat dan kehilangan ibunya.
Pengumuman mulai disiarkan kepada semua sisa pengunjung disana. Tak ada yang datang kepada Ashel hingga lonceng kota berbunyi sebanyak 10 kali.
Ashel di berikan banyak pertanyaan oleh orang-orang disana. Mereka mulai mencari jalan yang mudah untuk dilewati menuju rumah Ashel di pelosok.
Ashel diantar oleh penjaga disana ke rumahnya.
Gelap.
Itulah yang dilihat oleh Ashel pada rumahnya.
"Apa ini memang rumahmu?" Security itu bertanya sekali lagi untuk meyakinkannya.
Security itu sendiri tak yakin dengan rumah itu. Rumah itu, seperti tak tersentuh seharian. Sampah dari daun mangga yang basah karena hujan berserakan dimana-mana.
"Iya itu memang rumahku. Terima kasih sudah mengantarku. Aku akan menunggu Ibu di dalam" Ashel berjalan ke arah Rumahnya.
Security itu merasa khawatir. "Dek. Ini nomor telpon paman. Kalau Ibumu belum pulang, telpon saja" Pria itu memberikan kartu teleponnya.
Ashel menerima kartu itu dan langsung masuk ke dalam rumahnya.
Dia menghidupkan lampu yang tinggi. Rumahnya terlihat lebih kosong dari sebelumnya.
Dia berjalan ke arah kamar ibunya. "Ibu?" Panggilnya sambil membuka pintu kamarnya.
Kamar Ibunya berantakan seolah usai terjadi pencurian di rumahnya.
Dia melihat lemari Ibunya yang terbuka lebar. Tak ada satu pun pakaian disana.
BRUK!
Tubuh bocah malang itu lemas. Dia terjatuh di lantai dan melihat sekelilingnya dengan mata yang berair. "Ibu... Apa kau meninggalkanku juga?"
Layaknya pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga, bocah itu di datangi oleh dua pria berjas hitam. Rumah dan tanahnya disita oleh bank.
Bocah itu termangun di tempat.
"Apa? Aku harus dimana?"
Tak ada seorangpun yang peduli dengannya. Baik itu tetangganya ataupun gurunya.
Dia menangis layaknya anak kecil di pinggir air mancur taman balai kota.
"Ibu.... Kenapa kau pergi tanpa mengajakku?"
Bocah itu melihat dengan pilu anak-anak yang berjalan bersama dengan kedua orang tuanya lengkap.
Dia merasa lapar dan merogoh sakunya. Tak ada uang. Hanya ada kartu telpon dari Security kala itu.
Dia berjalan dengan perlahan menahan rasa lapar dan dahaganya menuju Mall besar di luar desa.
Dia mencari Security itu.
Security itu masih mengingat wajah Ashel dan beruntung bagi Ashel yang hampir pingsan karena kelaparan ditangkap oleh Security baik hati itu.
Ashel menangis dengan keras dan memeluk Security itu dengan erat.
"Paman! Aku tidak punya saudara. Ayahku meninggalkan kami! Dan Ibuku pergi meninggalkanku. Rumah satu-satunya di sita oleh bank. Aku lapar. Aku tidak punya uang" Dia menangis hingga terisak.
Security itu sungguh terkejut. Dia berlutut dan melihat rupa Ashel yang mendekil karena perjalanan jauhnya.
"Dek, kamu akan baik-baik saja. Mau tinggal sementara waktu dengan paman?"
Kebahagiaan itu, tidak bertahan lama. Isak tangis kembali terjadi di kehidupan Ashel yang belum berjalan selama dua minggu bersama Security baik hati itu.
Security itu, meninggal karena kecelakaan saat menuju tempat kerjanya.
Perebutan rumah dari keempat saudara Security itu terjadi.
"Bahkan kuburannya masih basah. Betapa menjijikkannya kalian sebagai orang dewasa" Ujar Ashel dihadapan saudara saudara Security itu yang merebutkan semua harta simpanan Security itu termasuk rumah dan kendaraannya.
Ashel di tampar dengan keras oleh salah satu dari mereka. "Kau bocah! Kau tau apa?!" Ucapnya.
Mata kecokelatan Ashel terbelalak dan termangun melihat tanah kuburan Security itu. Bibir Ashel berdarah karena tamparannya.
"Anak pungut saja sok-sokan. Buang saja dia di panti asuhan"
Ucapan itu terjadi dengan cepat.
Ashel mulai depresi dengan kehidupannya. Dia mulai tidak mempercayai manusia-manusia yang ada di sekitarnya.
Ashel mulai masuk ke dalam panti asuhan. Dia mendapatkan pendidikan di asrama yang letaknya cukup jauh dari panti itu.
Di sekolah, Ashel mendapatkan perundungan karena latar belakangnya.
Ashel membenci kehidupannya.
Ashel mulai mengijak Sekolah Menengah Pertama kelas 8.
Dia hampir berniat untuk bunuh diri karena tak kuat dengan orang disekitarnya.
Tatapan mata Ashel sungguh kosong. Meski begitu, pandangan matanya tertuju pada toko klontong kuno di bawah jembatan yang belum pernah dia lihat.
Dia turun dan mendatangi toko itu karena rasa penasarannya.
Dia memasukki toko itu. Aroma buku tercium menyengat di dalam sana.
"Adekkk... cari apa?" Seorang perempuan bertato di sepanjang lengan kirinya mendatangi Ashel dengan ramah.
"Hanya lihat-lihat" Jawab Ashel tanpa nada.
Perempuan itu, menyedot rokok di tangannya dan menghembuskannya. "Kalau liat-liat aja tetep bayar loh" Ucap perempuan itu.
"Hah?" Ashel yang tengah melihat buku rahasia alam langsung menoleh ke arah wanita itu.
"Bercanda. Wajahmu gak ada seru-serunya" Lirih perempuan itu sambil mencucutkan bibirnya.
Ashel tidak memperdulikannya. Dia masuk semakin dalam pada toko itu.
Lembaran kertas berwarna kuning kecokelatan, menarik perhatiannya.
Dia mengambil lembaran itu dan segera di ambil balik oleh perempuan itu.
Ashel melihat perempuan berpotongan rambut bob itu.
"Yang ini, punyaku"
"Memang apa isinya?" Tanya Ashel.
"Eumm,... Sudahlah. Kau boleh lihat-lihat yang lain, asal bukan yang ini" Ucap perempuan itu.
Ashel mengambil lebaran dari kertas itu yang lainnya.
"Hei! Sudah ku katakan jangan!"
Ashel menyeringai tipis dan menghela napas ringan. "Katanya yang ini jangan dan yang lain ga papa?~" Tanya bernada Ashel yang membuat perempuan itu terkejut bukan main.
"Anjir! Kau mirip sekali dengan tokoh buatanku" Ceplos perempuan itu.
"Apa?" Ashel sama sekali tak mengerti.
Ashel menyeringai tipis dan menghela napas ringan. "Katanya yang ini jangan dan yang lain ga papa?~" Tanya bernada Ashel yang membuat perempuan itu terkejut bukan main.
"Anjir! Kau mirip sekali dengan tokoh buatanku" Ceplos perempuan itu.
"Apa?" Ashel sama sekali tak mengerti.
...----------------●●●----------------...
Perempuan itu tiba-tiba tertawa.
"Baiklah siapa namamu dek?" Tanya perempuan itu sambil memakai kacamatanya dan duduk di kursi kasirnya.
"Ashel..." Jawabnya sambil membaca lembar yang dia pegang itu.
Aosora Arthur tampak kebinggungan saat melihat sekitarnya karena suara pria yang bahkan tidak menampakkan wujudnya itu.
"SIALAN! KAU SIAPA?!" Teriak Pangeran berusia 16 tahun itu dengan bibirnya yang bergetar.
"Berapa usiamu?" Bacaan Ashel terjeda oleh perempuan itu.
"14" Jawab Ashel sambil meletakkan lembar itu pada tempatnya.
"Empat beelass?" Perempuan itu tidak percaya karena tinggi badan Ashel.
"Suka baca buku gak?"
"Gak juga" Jawab Ashel dengan jujur.
Wanita itu memberikan raut wajah malasnya. "Lalu kenapa kesini?"
"Penasaran aja. Aku tidak pernah tau ada toko buku di bawah kolong jembatan" Ucapan Ashel menusuk perempuan itu.
Perempuan itu mengusap bibirnya seolah bibirnya sedang keluar darah.
"Ya ya... Karena kau masih bocah aku akan mengampunimu. Sebenarnya, aku sedang butuh seseorang untuk menilai ceritak-"
Perempuan itu melihat Ashel yang berancang pergi. "Hei bocah! Kau mau kemana?!" Perempuan itu langsung berdiri dan menahan ransel hitam Ashel.
Ashel sengaja melakukan itu karena dia tidak ingin berurusan dengan perempuan aneh itu.
"AKOH, akan membayarmu kalau kau membaca ceritakoh!" Perempuan itu ngos-ngosan sambil memegang kaki kirinya yang tersandung pinggiran lemari buku.
Kedua mata Ashel seolah mengeluarkan kilatan. "Berapa banyak uangnya?"
"100.000 perbulan" Jawab perempuan itu.
"100 ribu? Cari orang lain saja" Ucap Ashel sambil menarik tasnya.
"150!" Tawar perempuan itu.
"225" Jawab Ashel.
"Apa 175 sama bantu-bantu di toko juga?" Perempuan itu memasang telinga budeg.
"Aku tidak mengatakan itu" Ucap Ashel.
Wanita itu tersenyum lebar sambil menjabat kedua tangan Ashel. "BAIKLAH! 200.000 PERBULAN. DEAL YA..." Ashel mengosok tengkuknya.
"Terserah. Yang penting dapet cuan" Ashel menyerah dengan perempuan keras kepala itu.
"Baiklah, karena kau sudah deal. Perkenalkan namaku Luna. Kau boleh memanggilku Kak" Ucap perempuan itu sambil menaik-turunkan tangannya yang menjabat Ashel. Hingga, tangan Ashel ikut naik turun.
Ashel membuang pandangannya. "Udah tante-tante masih pengen dipanggil Kak" Lirih Ashel.
"Ahahaha, pengen ku cengkram tuh mulut" Ucap Luna dengan senyum yang kaku.
Mulai sejak itu, Ashel sering membawa lembaran buku itu pulang ke panti asuhan dan tidak berani membawa ke sekolahnya.
Ashel mulai menikmati cerita itu.
"Aku suka dengan gadis bernama Gardenia ini" Ucap Ashel kepada Luna.
"Oh, gadis bodoh yang mencintai Aosora Aiden itu? Haha, lupakan saja. Kalau kau ingin menolongnya, kau harus masuk ke dalam arus deras pertemuan antara air sungai dengan laut di perbatasan Meganstria dengan Shinrin" Ucap Luna sambil tertawa.
Ashel duduk di kursi didekatnya. "Kau kejam sekali" Ucap Ashel sambil mengambil beberapa lembar yang baru.
"Tenanglah, lagipula itu hanyalah sebuah karangan belaka. Kalau berbicara tentang tokoh yang di sukai. Aku sangat suka dengan tokoh Luciel yang menjadi Ruri. Kau tau, dia adalah tokoh yang terkuat. Apabila Aosora Arthur sudah dewasa, dialah yang akan menjadi pengganti Ruri. Wah! ALUR BARU! HAHA! SENANGNYA!"
Luna langsung mengoret-ngoret buku kerangka ceritanya.
Ashel sudah tidak terkejut lagi dengan kebiasaan aneh dan gila dari Luna.
Dua bulan berlalu dengan cepat di kehidupan Ashel menjadi asisten Luna saat dia pulang sekolah.
Luna memberikan amplop gaji Ashel bulan ini. "Terima kasih" Ucap Ashel dan langsung membukanya.
"Eh?! Kau buka langsung?!" Luna begitu terkejut.
"Memangnya kena...pa?" Ashel terkejut dengan jumlah uang di amplop itu. 500.000. itu adalah gaji Ashel bulan ini yang di tambah oleh Luna.
"Kak? Apa kau salah amplop?" Tanya Ashel sambil menunjukkan uangnya.
"Aaa! Bocah sialan! Sudah! Terima saja dan buat beli sepatu baru!" Luna diam-diam memperhatikan Ashel yang sudah dia anggap seperti keluarga sendiri.
Sebenarnya Luna sedikit malu dengan hal itu.
Ashel tersenyum tipis. "Baiklah, berati bulan depan tetep segini ya?" Goda Ashel sambil terkekeh ringan.
"Sudahlah, kembali baca ceritaku. Tuh numpuk di meja" Luna keluar dari tokonya karena ada kebutuhan mendadak.
Ashel menjaga toko di hari itu sambil membaca novel milik Luna yang bertumpuk-tumpuk.
"Sebenarnya, ini novel yang cukup bagus kalau dia bisa mengelolah bahasa dan mempersingkat alur" Lirih Ashel yang membaca lembaran sebanyak itu yang hanya berisi dialog dengan alur lambat dan bertele-tele.
Pukul 8.30 malam. Luna pulang bersama seorang pria. Ashel cukup terkejut melihatnya. Dia belum pernah melihat sekalipun Luna datang bersama seorang pria.
Ashel tidak menyukai pria itu. Pria itu, terlihat seperti pria yang tengah mengincar sesuatu.
Ashel mengambil tasnya untuk pulang. "Ashel, sudah makan?" Tanya Luna saat mendengar Ashel berpamitan.
"Sudah. Besok aku akan telat datang karena ada bimbingan belajar" Ashel menutup pintu toko dan rumah Luna yang menjadi satu.
Dalam perjalanan pulang, banyak imajinasi yang berkeliaran di pikiran Ashel setelah membaca novel yang belum berjudul itu.
Ashel melihat taman kota yang ramai dan terang. Pameran pertujukkan. Dia belum pernah melihat pameran pertujukkan seni seumur hidupnya.
Ashel mempir sebentar ke pameran seni itu.
Lukisan sosok pria bersayap putih dan rambut yang putih membuatnya teringat dengan sosok Luciel yang dideskripsikan oleh Luna di novel itu.
"Apa dengan sayap itu, sungguh bisa membuat seseorang terbang dengan bebas?" Lirih Ashel dan pergi dari tempat pameran itu.
Keesokan hari di sekolah. Ashel mengenakan sepatu barunya. Dia duduk di bangku kelasnya bagian belakang dekat dengan jendela.
Siur bisik mulai dia dengar di kelas itu. Dia menundukkan kepalanya di meja untuk tiduran sebelum bel masuk berbunyi.
Ketua kelas datang sambil menuliskan beberapa topik materi di papan tulis. Ashel membaca perlahan topik-topik disana.
"Kalian buat kelompok sendiri untuk minggu depan. Minggu depan akan ada presentasi untuk ulangan tengah semester"
Ashel memiliki firasat buruk. Dia selalu membenci tugas kelompok. Dan benar saja, tidak ada seorangpun yang mau sekelompok dengannya karena Ashel adalah bocah yatim piatu dari Dinas sosial desa.
Ashel di lempar kesana kemari untuk mendapatkan izin dari kelompok yang akan dia masuki. Ashel sudah kehilangan urat kesabarannya.
Ashel mendatangi ketua kelasnya. "Hei. Aku belum dapat kelompok" Ucap Ashel di depan meja Ketua kelas.
Ketua kelas itu, membelakangkan kacamatanya. "Duduk saja di kelompok yang mau kau masuki itu" ucap ketua kelas itu.
Ashel sungguh ingin melempar kursi yang dia pegang. Dia menarik kursinya dan duduk di golongan meja kelompok ketua kelas itu.
"Tunggu, kenapa duduk disini?" Tanya Ketua Kelas itu.
"Aku ingin masuk di kelompokmu. Jadi, aku duduk disini" Ucap Ashel sambil menunjukkan senyumannya.
Ketua kelas dan kelompoknya itu menjadi diam seketika. Ashel merasa puas dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari telah berlalu. Ashel sering melihat bercak cupang di leher Luna. Luna sering sekali bercerita dengan gembira tentang pria itu yang ternyata kekasihnya.
"Anjiiirrrr. Lu tau Shel! Gua! Dibeliin ini!" Luna menunjukkan cincin pada jari manis tangan kirinya.
Luna mulai terbiasa dengan Ashel dan dia sering sekali menggunakan bahasa gaul kepada Ashel daripada kata aku dan kau.
Telinga Ashel yang bereraphone masih bisa mendengar cerita Luna yang tak ada bosannya bercerita tentang dia.
"Jujurly, gua baru pertama ini dapet cowok sebaik dia-"
Itu tidak berlangsung lama.
Luna memeluk erat bahu Ashel yang memegang palu di tangannya. "Ashel! Biarkan saja" Luna menangis menahan Ashel yang hampir membunuh pria itu.
Firasat Ashel tentang pria itu benar. Pria itu, membawa teman-temannya dan merampok uang toko buku loakan Luna, di malam hari saat Ashel keluar mencari makan.
Ashel membuang palu di tangannya. "Pergi dan jangan menampakkan wajahmu lagi disini! Brakkk!!" Ashel menendang meja berisi buku dan komputer Luna hingga terjatuh.
Pria itu merangkak sambil memegang kepalanya yang berdarah dan berlari ke luar dari toko buku loakan itu.
Ashel melihat Luna yang masih menangis dengan wajah yang lebam di pipi karena pukulan pria itu. Ashel menarik lengan Luna agar berdiri. Kemudian, Ashel menarik kursi untuk tempat duduknya.
Luna dibiarkan menangis disana sendirian oleh Ashel.
Berjam-jam telah berlalu. Luna masih saja menangis. Ashel mendatanginya dan duduk di bawah. "Apa yang kau tangisi dari pria modelan seperti itu?" Tanya Ashel dengan nada yang santai.
Luna berhenti menangis dan melihat Ashel.
"Kek kuda nil" Ucap Ashel saat melihat mata Luna yang lebam.
"Anj lu!" Maki Luna sambil mengusap matanya.
"Dah! Tutup aja tokonya. Gua kagak mood!" Luna berdiri dan masuk ke ruang pribadinya. Kemudian "BRAK!" Dia membanting pintu kamarnya.
Ashel melihat jam dinding. "Ini, emang dah waktunya pulang" Ucap Ashel sambil berdiri kemudian dia membersihkan kekacauan yang dia perbuat karena tanpa sadar menghajar pria itu.
Ashel mengambil sisa lembaran novel yang Luna buat. "Hanya tersisa ini saja?" Lirih Ashel sambil melihat ke arah lain.
Tak ada lembaran itu lagi. Ashel berjalan ke arah ruangan pribadi Luna. Dia mengetuk pintu itu beberapa kali.
"APA?!"
"Novelmu belum dicetak apa belum di kerjain?" Tanya Ashel.
"Belum dicetak. Buka aja foldernya di laptop. Print aja sendiri dari bab 8. Kurang satu bab lagi itu tamat" Ucap Luna yang tak jelas karena wajahnya di bekap dengan bantal.
Meski begitu, Ashel masih paham. "Yaudah, besok aja ku print. Pintunya mau kunci langsung atau gimana?"
"Kunci aja. Entar masukin kayak biasanya"
Ashel pulang sambil memainkan ponselnya di jalan.
Dia melihat banyak makian tertuai di chating teman-temannya. "Ah, manusia gak guna. Kalau saja aku memiliki sihir, dah ku hancurin tuh rumah mereka" Lirih Ashel sambil mematikan ponselnya.
Sampai di panti asuhan, Ashel langsung masuk ke dalam kamarnya dan membaca novel tersebut.
Hilangnya Aosora Arthur yang di culik oleh Ruri, membuat Ambareesh dan Tsuha hampir keluar dari golongan Titisan.
Dean memohon kepada mereka berdua untuk tetap berada diantara para Titisan. Titisan membutuhkan mereka berdua.
Daeva yang telah terbunuh karena sumpah kontrak dengan makhluk yang tak di kenal itu, sudah memberi dampak buruk bagi Titisan.
Dean terlihat begitu depresi akibat kondisi Titisan yang berantakan. Alder tak kujung sembuh karena serangan Ruri yang menghancurkan inti mananya.
Ashel membayangkan bagaimana dirinya saat berada di posisi tokoh 'Dean' yang serba salah.
"Apa bagusnya dengan Tokoh Ruri? Dia hanyalah Malaikat yang menjadi Iblis" Ucap Ashel sambil meletakkan lembaran yang baru beberapa yang dia baca di atas mejanya.
Ashel membuka pakaiannya dan melihat perutnya yang memiliki pack sedang ruam ungu.
"Kenapa sembuhnya lama sekali?" Lirih Ashel karena merasakan linu di ruamnya.
Ruam itu, akibat dari Ashel yang bertengkar dengan anak Osis yang bertingkah sok karena makan di kantin tempat biasanya bocah Osis itu makan.
Ashel tidur dalam keadaan dada yang telanjang.
Pagi hari pun tiba. Ashel bangun sebelum pukul lima pagi. Dia harus membantu pengurus panti untuk bersih-bersih dan menyiapkan makanan.
Banyak anak-anak kecil yang suka dengan Ashel. Mereka menaiki Ashel seperti mainan di taman bermain.
Ashel cukup sabar menghadapi bocah-bocah itu.
Pukul 06.02, Ashel selalu menaiki sepeda gayuhnya menuju sekolah. Lapangan hijau yang jarang ada orang, tiba-tiba tempat itu menjadi ramai.
Ashel turun dari sepedanya dan mendorong sepedanya karena banyak orang yang memblokir jalannya.
"Aaa, EDRIIISSSS!!!" Teriak beberapa gadis sekolah yang memiliki seragam sama seperti Ashel.
Ashel meliriknya sekilas. "Oh, bukankah itu.... artis yang biasanya muncul di drama romansa sekolah?" Ashel mengenal pemuda bernama Edris itu.
Tidak di herankan lagi. Siapa yang tidak mengenal seorang artis muda yang baru naik daun karena wajah yang rupawan dan berambut pirang itu.
Ashel tidak memperdulikannya. Dia berlanjut menaiki sepedanya dan berangkat sekolah.
Ponsel Ashel tiba-tiba berdering saat dia baru saja memakirkan sepedanya. Nama Kak Luna terlihat jelas di layar ponselnya. Dia mengangkat telpon itu.
"Ya Kak?" Tanya Ashel setelah menerima telpon itu.
"Seminggu ini, toko gua tutup. Gua dah kirim file novelnya ke email lu. Sans aja, gaji lu tetep kok" Suara Luna menjadi lebih serak di telpon.
Ashel berkedip beberapa kali.
"Kau gak ada niatan bunuh diri kan? Aku gak mau di hantui sama Author gentayangan" Ucap Ashel sambil tersenyum tipis dan bersandar di tembok.
"ANJIR! Arthur gua belum tamat! Entar aja kalo dah tamat, lu gua ajak bundir" Jawab Luna sambil tertawa kemudian terbatuk.
Dalam batin Ashel, dia merasa Luna sudah perlahan membaik.
"Ya, entar ku baca. Awas aja kau pergi sendirian, Kak" Jawab Ashel sebelum telpon itu ditutup oleh Luna.
Ashel masih tersenyum ringan. "Ya, dia itu wanita yang tangguh. Jadi semua akan baik-baik saja" Lirih Ashel sambil mematikan ponselnya dan memberikannya ke ruang guru untuk di simpan selama jam sekolah masuk.
Di dalam kelas, suasananya sama seperti biasanya. Ashel dianggap seolah dia tak ada. Ashel tidak peduli dengan hal itu. Dia mengeluarkan bukunya dan meletakkan kepalanya di atas meja.
"Hei! Di kelas ini, siapa yang namanya Ashel?!"
Suara bising itu, tidak di pedulikan oleh Ashel. Hingga, dobrakan keras di mejanya, membangunkan remaja itu. Kening Ashel berkenyit.
"Oh, jadi ini orang yang sudah membuat wajah Osis kita berantakan?" Tanya salah satu dari mereka yang bertubuh besar.
"Hahh!" Arshel menertawakan mereka dengan nada rendah.
"Apa ini? Bukankah, ini sudah lewat tiga hari?" Ashel berdiri dan mendonggakkan kepalanya untuk melihat anak dari kelas lain itu.
"GREP!"
Kera seragam Ashel di tarik oleh anak itu.
"Lecek sedikit, hancur wajahmu" Arshel mengancam pemuda itu.
Beberapa dari siswi disana saling berbisik untuk memanggil guru.
Siswa yang mencengkram kera Ashel menyeringai dengan lebar dan semakin meremas seragam Ashel.
Ashel bukanlah orang yang hanya memberi ancaman saja. Dia mengangkat kaki kanannya dan menghentakkan mejanya dengan keras hingga siswa bertubuh bonsor itu, jatuh tertindih meja.
Suara teriakan dari siswa putri, terdengar menusuk di telinga Ashel.
"Astaga! Tidak bisakah kalian menjerit dalam hati?!" Ucap Ashel sambil melihat ke arah mereka dan menutup kedua telingannya.
Teman siswa berbadan bonsor itu, berancang menangkap Ashel untuk mereka hajar berjama'ah. Ashel menarik ranselnya dan memukulkannya ke arah mereka.
Ashel sungguh menghancurkan kelas. Meja dan kursi roboh karena ulahnya.
Darah menetes dari keningnya karena salah satu dari mereka yang melemparkan kursi ke arahnya terlebih dahulu.
Ashel sungguh menghajar mereka habis-habisan. Guru datang untuk memisahkan mereka berempat.
Ashel di bawa ke Ruang Bimbingan Konseling dan mereka bertiga tidak. Guru Bimbingan Konseling yang merupakan guru Teknik Mesin dari SMK swasta itu, menampar Ashel.
"Mereka duluan yang memulainya. Kenapa hanya aku yang kalian beginikan?!" Tegas Ashel kepada dua guru disana.
"Tulis permohonan maafmu sebanyak 20 lembar dan selesaikan hari ini juga" Ucap guru yang menampar Ashel.
"Aku tidak akan menulis itu kalau tiga orang itu tidak melakukan hukuman yang sama denganku!" Tegas Ashel kepada guru itu.
Guru itu menghela napas dan menarik rambut cokelat kehitaman Ashel hingga membuat Ashel berkernyit dan mendongak.
"Dengarkan saja ucapanmu. Mereka itu anak-anak dari donatur Panti Asuhan tempatmu tinggal dan sekaligus donatur sekolah ini. Kalau kau masih sayang dengan masa sekolahmu, turuti saja" Ucap Guru itu sambil melepas jambrakannya.
Uang dan pangkat adalah segalanya. Ashel membenci orang-orang itu.
Dia menulis surat permintaan maafnya sekaligus pengakuan atas kesalahannya hingga dia meninggalkan semua jam pelajarannya.
Ashel meletakkan lembaran itu di atas meja BK. Dia melihat jam dinding yang ternyata sudah melewati pukul enam malam itu.
"Cih!"
Ashel tidak bisa mengambil ponselnya karena semua guru sudah pulang dan hanya ada penjaga taman dan sekolah disana.
Ashel pergi ke kelasnya untuk mengambil tas.
Tasnya sudah tak ada. Dia membuka jendela sebelah tempat duduknya.
Tasnya ternyata ada di ujung ranting pohon itu. Kurang sabar apa Ashel. Dia juga melihat sepedanya menghilang. "Sialan!" Makinya sambil menendang batu.
Ashel mengambil gala untuk mengambil tasnya di atas pohon sana. Beruntung baginya karena melihat gala itu sebelum memegangnya.
Gala itu, sudah diberi lem perekat untuk lalat.
Mood Ashel hancur berantakan. Dia melepas sepatunya dan melemparkannya ke arah tasnya. Sepatu itu terjatuh beberapa kali saat menyentuh tas miliknya.
Ashel sudah lelah. Dia memegang keningnya yang sakit dan masih merembeskan darah. Ashel mulai menaiki pohon itu dan mematahkan dahan yang sudah seengah patah.
Dahan itu terjatu bersamaan dengan tasnya. Ashel turun perlahan dan memeriksa isi tasnya. Dia khawatir dengan novel Luna yang dia bawa.
"Ah, untung ini baik-baik saja" Ucap Ashel dengan napas yang legah dan memeluk tasnya.
Ashel pulang dengan berjalan kaki.
Suara bising dan jalan yang terang membuatnya penasaran.
"CUT! Edris! Apa yang salah denganmu?!"
"Oh, ternyata suting? Apa artis itu tidak lelah?" Lirih Ashel sambil mengintip ke arah taman yang menjadi tempat suting saat Ashel melewatinya di pagi hari.
Pria berambut pirang itu, terlihat membungkuk. "Maafkan saya. Saya ingin istirahat 15 menit saja. Sepertinya kaki saya terkilir" ucapnya.
Ashel melihat ke arah Sutradara itu. Sutradara itu, terlihat memukul mejanya dengan lembaran skenario. "Arg! Istirahatlah 30 menit. Sudah ku katakan! Kita butuh peran penganti. Kalau begini, Artis kita yang kesusahan dan kita juga yang dirugikan karena kehilangan banyak waktu!" Sutradara itu mengomel dan berdiri dari kursinya.
Pandangan Sutradara itu, tertuju pada Ashel. Kedua mata Sutradara itu sedikit terbelalak. "Kau!" Sutradara itu, tiba-tiba menujuk Ashel.
"Huh?" Ashel melihat ke kanan dan ke kirinya. "Aku?" Tanya Ashel sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Ya! Kemarilah!" Panggil Sutradara itu.
Ashel mengosok tengkuknya dan mendatangi Sutradara itu.
"Siapa namamu?" Sutradara itu, melihat Ashel dari atas hingga bawah.
"Ashel"
"Saya rasa, dia cocok" Ucap salah seorang di belakang Sutradara itu. Sutradara itu, terlihat mengangguk ringan beberapa kali.
"Kau punya wajah yang bagus dan tinggi yang bagus. Aku punya pekerjaan yang bagus buatmu. Apa kau mau?" Sutradara itu, tidak basa-basi.
"Pekerjaan? Aku masih sekolah" Jawab Ashel.
"Edris juga bocah SMA"
"Aku SMP" Sela Ashel.
Sutradara itu tertawa. "Ya, aku tidak memperdulikannya. Kami sedang kekurangan orang untuk menjadi peran penganti. Kalau kau mau, jadilah bagian dalam drama ini dan biarkan staff-ku mengurus surat izinmu" Ucapnya.
"Apa aku dibayar?" Ashel sedang butuh uang untuk persiapan masuk SMA-nya.
Sutradara itu, sedikit terkejut dengan pertanyaan Ashel. Dia marangkul bahu Ashel. "Ah, bocah. Aku akan memberimu 500.000 perhari yang kau kerjakan untuk menganti peran" Ucap Sutradara itu.
"Lima ratus ribu per hari yang ku gantikan?"
"Iya. Untuk biaya apabila kau cedera, tidak termasuk ke dalam perjanjian. Bagaimana? Lima ratus ribu" Sutradara itu, berniat menipu Ashel.
"Baiklah. Aku menerimanya"
Ashel masihlah anak-anak. Dia masih belum bisa membedakan mana yang benar-benar orang yang tulus dan mana orang yang menipunya.
Ashel di tabrak untuk mengantikan peran Edris.
"BRUK!" Dia sungguh lelah dengan hari ini dan langsung ke kamarnya begitu sampai di Panti asuhan.
Ashel mendapatkan uang setengah dari 500 ribunya. Dia merasa senang sekali meski badannya sakit dan ruam.
Hari-hari Ashel perlahan berubah sejak peran penganti itu dia jalani.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!