BUKAN JODOH PENGGANTI
“Bangun !” bentak Adam pada Eve yang sedang sedang duduk di tenda kesehatan.
“Tapi luka-luka Eve belum selesai diobati, Pak,” ujar Bimo, penanggungjawab medis dalam acara outbond mahasiswa fakultas ekonomi tingkat akhir ini.
“Jangan cengeng, lukamu hanya goresan ranting saja. Cepat bangun !”
“Kami takut Eve demam nanti malam, Pak,” Shena, asisten Bimo menimpali.
Adam, dosen yang ikut serta menjadi pendamping acara ini hanya melirik Shena dan Bimo lalu kembali melotot menatap Eve yang masih terlihat pucat.
“Kita pulang sekarang ! Kakakmu ada di rumah sakit.”
Mata Eve membola dan langsung beranjak dari kursi lipat namun detik berikutnya Eve langsung meringis. Mata kakinya terasa sakit, entah ada yang terkilir atau sekedar luka goresan.
“Ada apa dengan Mbak Erina, Pak ?” tanya Eve denhan wajah meringis menahan sakit.
“Makanya kamu ikut saya sekarang !”
“Eve…”
“Udah nggak apa-apa,” ujar Eve sambil tersenyum pada Shena yang menahan lengannya.
“Terima kasih atas bantuan kalian berdua. Gue harus ikut Pak Adam sekarang.”
“Sudah beres, Dam ?”
Pak Herman, dekan fakultas ekonomi berdiri di pintu masuk tenda, menatap ke arah Adam dan ketiga mahasiswa yang ada di situ.
“Saya ijin bawa Eve pulang sekarang, Pak Herman.”
Pak Herman mengangguk dan mengalihkan tatapannya pada Bimo dan Shena.
“Shena, Bimo, tolong bantu Eve sampai ke mobilnya Pak Adam. Mereka harus pulang sekarang karena ada masalah penting.”
Bimo yang sebetulnya ingin minta waktu beberapa menit untuk mengobati Eve akhirnya urung bicara. Pak Herman sudah memberi ijin berarti urusan Eve dan Adam benar-benar mendesak.
“Hati-hati Eve. Kalau memang ke rumah sakit, jangan lupa ke UGD dan minta mereka memeriksa luka-lukanmu,” pesan Bimo.
“Terima kasih Kak,” Eve mengangguk sambil tersenyum lalu perlahan meletakkan bokongnya di kursi penumpang depan.
Bimo dan Shena sama-sama menarik nafas sambil menatap mobil Adam yang mulai menjauh.
“Semoga Eve tidak demam nanti malam,” gumam Shena.
“Ya dan semoga kondisi kakak Eve juga tidak terlalu parah di rumah sakit,” sahut Bimo.
***
“Kenapa kamu harus menghubungi Erina saat tersesat tadi ? Kamu bisa menghubungi saya atau salah satu teman kampusmu kalau memerlukan bantuan !”bentak Adam saat mobil mulai memasuki jalan raya.
“Saya tidak menghubungi siapa-siapa bahkan tidak tahu dimana handphone saya sekarang,” bantah Eve dengan alis menaut.
Adam mendengus kesal, mengambil handphone miliknya dan membuka kunci layar lalu melemparkan benda pipih itu pada Eve.
“Baca !”
Eve meringis karena handphone yang dilempar asal oleh Adam mengenai luka di tangan kanannya. Penasaran ia melihat pesan yang sudah dibuka Adam.
(ERINA)
Mas, bagaimana keadaan Eve ? Aku dapat kabar kalau Eve sedang tersesat dan belum ditemukan.
(ADAM)
Sedang dicari dan dia tidak sendirian, ada 2 mahasiswi lain bersamanya. Aku akan info perkembangannya.
(ERINA)
Tolong bantu menemukan Eve, Mas. Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku miliki.
(ADAM)
Ya
Sekitar jam 4 sore Adam mengirimkan pesan mengabarkan kalau Eve sudah ditemukan dalam keadaan baik-baik saja namun tidak ada balasan apapun dari Erina.
“Kenapa Mbak Erina bisa ada di rumah sakit, Pak ?”
“Kecelakaan dan itu gara-gara telepon si**lanmu!” bentak Adam dengan wajah memerah dan rahang yang mengeras.
Eve sampai memundurkan wajahnya menempel ke jendela karena terkejut dengan suara Adam yang menggelegar.
“Maaf,” lirih Eve.
“Dasar perempuan pembawa sial !” gerutu Adam.
“Kalau sampai terjadi sesuatu pada Erina, aku akan buat hidupmu menderita selamanya !”
Eve langsung bergedik. Meskipun Adam hanya melirik namun aura kebencian itu seperti udara yang memenuhi seluruh penjuru mobil, membuat hati Eve langsung terasa sakit.
Eve membetulkan posisi duduknya dan menyandarkan kepala ke jendela samping lalu memejamkan mata.
Tubuhnya terasa sakit dan luka-lukanya masih perih. Ia sempat terguling sekitar 2 meter saat berusaha menyelamatkan Lisa yang tergelincir.
Jantungnya juga berdegup kencang karena takut melihat Adam membawa mobil seperti orang kesetanan, tidak berhenti bermain lampu dan klakson di tengah curah hujan yang cukup lebat.
Ya Tuhan, biarkan kami selamat sampai di tujuan, doa Eve dalam hati.
***
“Bangun !”
“Aaww.”
Eve meringis sambil membuka matanya perlahan. Adam bukan hanya membentak tapi juga menggunakan gulungan koran sebagai alat bantu untuk membangunkannya.
Eve melirik dengan perasaan kesal melihat wajah Adam biasa-biasa saja, tidak merasa bersalah sedikitpun.
“Turun ! Sudah sampai.”
Tanpa bertanya apapun, Adam keluar mobil dan langsung membanting pintu, tidak peduli dengan Eve yang kesulitan turun karena kaki kanannya masih sakit untuk dipakai berjalan.
“Pak Adam !”
Adam berhenti sambil menghela nafas sebelum membalikkan badan mendengar panggilan Eve.
“Saya tidak bisa jalan sendiri, bisa tolong bantu saya.”
Adam hanya menautkan alisnya dan membuat Eve kesal karena pria itu meninggalkannya tanpa memberikan tanggapan apapun.
Sambil berpegangan pada mobil, Eve mencoba berjalan perlahan sambil menahan rasa sakitnya. Baru beberapa langkah, seorang perawat menghampirinya sambil membawa kursi roda.
“Nona Evelyn ?”
“Iya saya.”
“Kakak anda minta saya menjemput dan membawa anda ke ruang UGD.”
“Terima kasih, suster.”
Eve menarik nafas lega karena Adam masih peduli padanya meski pria itu sudah menghilang entah kemana.
Alarm kunci mobil Adam berbunyi membuat Eve menoleh ke arah pintu UGD. Ternyata Leo, asisten Adam sudah berdiri di sana dan mengarahkan remote ke mobil.
“Untunglah keadaanmu tidak parah Eve,” sapa Leo saat kursi roda Eve sudah ada di depannya.
“Bagaimana keadaan Mbak Erina ?”
“Pak Adam sedang mengurus ijin operasinya. Ada pendarahan di bagian paru dan kepalanya yang harus segera dioperasi.”
“Boleh aku membesuknya sebentar Leo ?”
“Kakakmu sudah dibawa ke ruang persiapan, kondisinya agak kritis,” ujar Leo dengan wajah sedih.
“Apa benar Mbak Erina kecelakaan karena ingin menyusulku ke Sukabumi ?”
“Sepertinya begitu, Eve. Kondisi handphonenya lumayan parah namun masih berfungsi. Aplikasi penunjuk arahnya masih aktif dan tujuannya adalah Sukabumi. Dia sempat menghubungimu selama 3 menit dan yang terakhir adalah nomor Pak Adam.”
Eve tidak mampu lagi menahan air matanya. Entah siapa yang menemukan handphonenya dan menjawab panggilan Erina hingga kakaknya tahu soal kejadian di lokasi outbond.
Bayangan kemarahan Adam saat di mobil memenuhi pikiran Eve membuatnya berharap kakaknya bisa segera sadar dan pulih kembali.
“Fokus pada luka-lukamu dulu, Eve,” Leo menyentuh bahu Eve yang masih duduk di kursi roda.
Perawat yang membawanya masuk sedang memanggil dokter sekaligus mengambil kotak obat.
“Akulah penyebab semua ini, Leo,” lirih Eve di sela-sela isak tangisnya.
“Jangan berpikiran seperti itu, Eve. Tidak ada yang berpikiran seperti itu. Sepertinya Bu Erina sibuk menelepon sambil setir padahal hujan cukup deras saat kejadian.”
Eve masih terisak saat perawat membantunya naik ke atas tempat tidur dan dokter sudah siap untuk memeriksa kondisinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Sweet Girl
Mampir nie Tor....
2024-02-08
1
Luh Kertiasih
lanjut dong..critanya bagus n sngt mnarik..👍😘
2023-12-04
3