NovelToon NovelToon

BUKAN JODOH PENGGANTI

Kecelakaan

“Bangun !” bentak Adam pada Eve yang sedang sedang duduk di tenda kesehatan.

“Tapi luka-luka Eve belum selesai diobati, Pak,” ujar Bimo, penanggungjawab medis dalam acara outbond mahasiswa fakultas ekonomi tingkat akhir ini.

“Jangan cengeng, lukamu hanya goresan ranting saja. Cepat bangun !”

“Kami takut Eve demam nanti malam, Pak,” Shena, asisten Bimo menimpali.

Adam, dosen yang ikut serta menjadi pendamping acara ini hanya melirik Shena dan Bimo lalu kembali melotot menatap Eve yang masih terlihat pucat.

“Kita pulang sekarang ! Kakakmu ada di rumah sakit.”

Mata Eve membola dan langsung beranjak dari kursi lipat namun detik berikutnya Eve langsung meringis. Mata kakinya terasa sakit, entah ada yang terkilir atau sekedar luka goresan.

“Ada apa dengan Mbak Erina, Pak ?” tanya Eve denhan wajah meringis menahan sakit.

“Makanya kamu ikut saya sekarang !”

“Eve…”

“Udah nggak apa-apa,” ujar Eve sambil tersenyum pada Shena yang menahan lengannya.

“Terima kasih atas bantuan kalian berdua. Gue harus ikut Pak Adam sekarang.”

“Sudah beres, Dam ?”

Pak Herman, dekan fakultas ekonomi berdiri di pintu masuk tenda, menatap ke arah Adam dan ketiga mahasiswa yang ada di situ.

“Saya ijin bawa Eve pulang sekarang, Pak Herman.”

Pak Herman mengangguk dan mengalihkan tatapannya pada Bimo dan Shena.

“Shena, Bimo, tolong bantu Eve sampai ke mobilnya Pak Adam. Mereka harus pulang sekarang karena ada masalah penting.”

Bimo yang sebetulnya ingin minta waktu beberapa menit untuk mengobati Eve akhirnya urung bicara. Pak Herman sudah memberi ijin berarti urusan Eve dan Adam benar-benar mendesak.

“Hati-hati Eve. Kalau memang ke rumah sakit, jangan lupa ke UGD dan minta mereka memeriksa luka-lukanmu,” pesan Bimo.

“Terima kasih Kak,” Eve mengangguk sambil tersenyum lalu perlahan meletakkan bokongnya di kursi penumpang depan.

Bimo dan Shena sama-sama menarik nafas sambil menatap mobil Adam yang mulai menjauh.

“Semoga Eve tidak demam nanti malam,” gumam Shena.

“Ya dan semoga kondisi kakak Eve juga tidak terlalu parah di rumah sakit,” sahut Bimo.

***

“Kenapa kamu harus menghubungi Erina saat tersesat tadi ? Kamu bisa menghubungi saya atau salah satu teman kampusmu kalau memerlukan bantuan !”bentak Adam saat mobil mulai memasuki jalan raya.

“Saya tidak menghubungi siapa-siapa bahkan tidak tahu dimana handphone saya sekarang,” bantah Eve dengan alis menaut.

Adam mendengus kesal, mengambil handphone miliknya dan membuka kunci layar lalu melemparkan benda pipih itu pada Eve.

“Baca !”

Eve meringis karena handphone yang dilempar asal oleh Adam mengenai luka di tangan kanannya. Penasaran ia melihat pesan yang sudah dibuka Adam.

(ERINA)

Mas, bagaimana keadaan Eve ? Aku dapat kabar kalau Eve sedang tersesat dan belum ditemukan.

(ADAM)

Sedang dicari dan dia tidak sendirian, ada 2 mahasiswi lain bersamanya. Aku akan info perkembangannya.

(ERINA)

Tolong bantu menemukan Eve, Mas. Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku miliki.

(ADAM)

Ya

Sekitar jam 4 sore Adam mengirimkan pesan mengabarkan kalau Eve sudah ditemukan dalam keadaan baik-baik saja namun tidak ada balasan apapun dari Erina.

“Kenapa Mbak Erina bisa ada di rumah sakit, Pak ?”

“Kecelakaan dan itu gara-gara telepon si**lanmu!” bentak Adam dengan wajah memerah dan rahang yang mengeras.

Eve sampai memundurkan wajahnya menempel ke jendela karena terkejut dengan suara Adam yang menggelegar.

“Maaf,” lirih Eve.

“Dasar perempuan pembawa sial !” gerutu Adam.

“Kalau sampai terjadi sesuatu pada Erina, aku akan buat hidupmu menderita selamanya !”

Eve langsung bergedik. Meskipun Adam hanya melirik namun aura kebencian itu seperti udara yang memenuhi seluruh penjuru mobil, membuat hati Eve langsung terasa sakit.

Eve membetulkan posisi duduknya dan menyandarkan kepala ke jendela samping lalu memejamkan mata.

Tubuhnya terasa sakit dan luka-lukanya masih perih. Ia sempat terguling sekitar 2 meter saat berusaha menyelamatkan Lisa yang tergelincir.

Jantungnya juga berdegup kencang karena takut melihat Adam membawa mobil seperti orang kesetanan, tidak berhenti bermain lampu dan klakson di tengah curah hujan yang cukup lebat.

Ya Tuhan, biarkan kami selamat sampai di tujuan, doa Eve dalam hati.

***

“Bangun !”

“Aaww.”

Eve meringis sambil membuka matanya perlahan. Adam bukan hanya membentak tapi juga menggunakan gulungan koran sebagai alat bantu untuk membangunkannya.

Eve melirik dengan perasaan kesal melihat wajah Adam biasa-biasa saja, tidak merasa bersalah sedikitpun.

“Turun ! Sudah sampai.”

Tanpa bertanya apapun, Adam keluar mobil dan langsung membanting pintu, tidak peduli dengan Eve yang kesulitan turun karena kaki kanannya masih sakit untuk dipakai berjalan.

“Pak Adam !”

Adam berhenti sambil menghela nafas sebelum membalikkan badan mendengar panggilan Eve.

“Saya tidak bisa jalan sendiri, bisa tolong bantu saya.”

Adam hanya menautkan alisnya dan membuat Eve kesal karena pria itu meninggalkannya tanpa memberikan tanggapan apapun.

Sambil berpegangan pada mobil, Eve mencoba berjalan perlahan sambil menahan rasa sakitnya. Baru beberapa langkah, seorang perawat menghampirinya sambil membawa kursi roda.

“Nona Evelyn ?”

“Iya saya.”

“Kakak anda minta saya menjemput dan membawa anda ke ruang UGD.”

“Terima kasih, suster.”

Eve menarik nafas lega karena Adam masih peduli padanya meski pria itu sudah menghilang entah kemana.

Alarm kunci mobil Adam berbunyi membuat Eve menoleh ke arah pintu UGD. Ternyata Leo, asisten Adam sudah berdiri di sana dan mengarahkan remote ke mobil.

“Untunglah keadaanmu tidak parah Eve,” sapa Leo saat kursi roda Eve sudah ada di depannya.

“Bagaimana keadaan Mbak Erina ?”

“Pak Adam sedang mengurus ijin operasinya. Ada pendarahan di bagian paru dan kepalanya yang harus segera dioperasi.”

“Boleh aku membesuknya sebentar Leo ?”

“Kakakmu sudah dibawa ke ruang persiapan, kondisinya agak kritis,” ujar Leo dengan wajah sedih.

“Apa benar Mbak Erina kecelakaan karena ingin menyusulku ke Sukabumi ?”

“Sepertinya begitu, Eve. Kondisi handphonenya lumayan parah namun masih berfungsi. Aplikasi penunjuk arahnya masih aktif dan tujuannya adalah Sukabumi. Dia sempat menghubungimu selama 3 menit dan yang terakhir adalah nomor Pak Adam.”

Eve tidak mampu lagi menahan air matanya. Entah siapa yang menemukan handphonenya dan menjawab panggilan Erina hingga kakaknya tahu soal kejadian di lokasi outbond.

Bayangan kemarahan Adam saat di mobil memenuhi pikiran Eve membuatnya berharap kakaknya bisa segera sadar dan pulih kembali.

“Fokus pada luka-lukamu dulu, Eve,” Leo menyentuh bahu Eve yang masih duduk di kursi roda.

Perawat yang membawanya masuk sedang memanggil dokter sekaligus mengambil kotak obat.

“Akulah penyebab semua ini, Leo,” lirih Eve di sela-sela isak tangisnya.

“Jangan berpikiran seperti itu, Eve. Tidak ada yang berpikiran seperti itu. Sepertinya Bu Erina sibuk menelepon sambil setir padahal hujan cukup deras saat kejadian.”

Eve masih terisak saat perawat membantunya naik ke atas tempat tidur dan dokter sudah siap untuk memeriksa kondisinya.

Sadar

“Tenanglah sayang, kita doakan yang terbaik untuk Erina,” ujar Ami sambil menggenggam jemari Adam, putra tunggalnya.

“Iya Ma,” sahut Adam sambil tersenyum tipis.

“Kalau saja Erina bisa bersabar menunggu di rumah sampai aku memberi kabar, semua ini tidak akan terjadi,” gumam Adam sambil menghela nafas.

“Hidup manusia terikat dengan takdir, Dam, jangan menyesalinya. Apa pun yang terjadi, pasrahkan pada yang di atas. Sekalipun Erina tidak pergi menyusul kalian, kalau memang takdirnya, di rumah pun ia bisa mengalami semua ini.”

“Gadis itu selalu menjadi pembawa sial dalam hidupku. Kalau saja dia bukan adik kandung Erlan dan Erina, sudah lama aku membuangnya jauh-jauh, geram Adam sambil mengepalkan kedua tangannya.

Ami dan Damian saling menatap sambil tersenyum kecut mendengar omelan putra mereka. Entah apa penyebabnya, Adam yang dulunya akrab dengan Eve mendadak jadi membenci adik bungsu Erlan, sahabat baik Adam sejak SMP.

Kehadiran Eve memang diluar rencana kedua orangtua Erlan dan Erina, namun mereka tidak menolak dan tetap membesarkam Eve sebagai putri bungsu yang ceria, aktif dan manja.

Kepribadian Eve berbanding terbalik dengan Erina, adik pertama Erlan yang cenderung pendiam dan tertutup.

Beranjak remaja, Eve yang supel itu semakin dekat dengan Adam yang sedikit pemalu bahkan pria itu menjadi tutornya saat Eve kesulitan mengikuti pelajaran fisika dan kimia saat di bangku SMP.

Bukan hanya dengan Adam, Eve juga akrab dengan kedua orangtua Adam dan beberapa kali belajar memasak pada Ami. Gadis cerewet itu menjadi kesayangan Ami yang sudah lama mendambakan kehadiran anak perempuan.

Sayangnya hubungan manis itu mendadak berubah menjadi medan perang saat Eve kelas 9. Adam mulai membanngun benteng dengan Eve bahkan ia mulai bersikap kasar pada gadis itu dan menolak memberitahu alasan perubahan sikapnya itu.

“Bagaimana keadaan Eve ?” tanya Ami yang dijawab Adam dengan gerakan mengangkat kedua bahunya dengan acuh.

“Aku berharap dia bisa menggantikan takdir Erina,” lanjut Adam dengan senyuman sinis.

“Jangan bicara seperti itu, son,” ujar Damian, ayah kandung Adam yang duduk dekat situ.

“Tadi Eve pingsan saat keluar dari kamar mandi di ruang UGD. Papa sudah minta Leo untuk mengurus kamar dan minta Eve dirawat sini.”

“Apa dokter bilang penyebab Eve pingsan, Pa ?” tanya Ami dengan wajah khawatir.

Belum sempat Damian menjawab, pintu ruang operasi terbuka dan seorang perawat memanggil mereka.

Adam bergegas bangun dan menemui dokter yang baru saja keluar dari kamar operasi. Damian dan Ami pun ikut bergabung bersama putra mereka.

“Operasi berjalan lancar namun tidak bisa memulihkan kondisi istri anda sepenuhnya. Kami akan pantau dalam 24 jam ke depan dan kita lihat bagiamana perkembangannya.”

“Apa saya bisa membesuknya sekarang, Dok ?”

“Sementara belum bisa, Pak. Dalam 24 jam ini, Nyonya Erina akan ditempatkan di ruang ICU.”

Adam menghela nafas dan menyugar rambutnya asal. Perasaannya campur aduk apalagi saat teringat dengan Lusia, putri semata wayang mereka yang masih berusia 4 tahun.

“Kami permisi.”

“Terima kasih, Dokter,” ujar Damian mewakili putranya yang sudah bersandar pada dinding dengan wajah sendu.

”Kuatkan dirimu, Dam. Masih ada Lusia yang membutuhkanmu,” ujar Damian sambil menepuk-nepuk bahu putranya.

***

Eve mengerang saat menggerakan tubuhnya yang masih terasa sakit. Sepertinya efek jatuhnya baru terasa hari ini.

Hidungnya mengendus bau yang tidak biasa membuat Eve menautkan alis sambil membuka mata pelan-pelan.

Bukan kamar kost ku, dari baunya seperti di rumah sakit. Apa aku masih di ruang UGD ?

Eve mengedarkan pandangan dalam posisi masih berbaring. Dilihatnya kantung infus tergantung di sisi kiri dengan selang infus yang ternyata menancap di tangan kirinya.

Eve menggerakan remote tempat tidur hingga posisi setengah berbaring. Ruangan kamarnya kosong, tidak ada siapapun di situ.

Eve kembali mengerutkan dahi, berusaha mengingat bagaimana ia bisa berakhir di kamar ini dan perlu diinfus segala. Seingat Eve terakhir kali ia baru saja keluar dari kamar mandi usai berganti baju pasien karena pakaian Eve kotor dan celana panjangnya digunting sampai selutut untuk memudahkan dokter melakukan pengobatan.

“Pak Adam ?”

Eve terkejut saat melihat Adam keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan wajah segar. Tidak ada suara gemericik air hingga Eve mengira ia hanya sendirian di kamar.

“Kenapa saya sampai dirawat, Pak ? Bagaimana keadaan Mbak Erina ? Apa operasinya berjalan lancar ?”

Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Adam membuat Eve menghela nafas. Pria itu melangkah acuh menuju sofa, merapikan pakaian kotornya dan memasukkan peralatan mandi ke dalam tas pakaian.

“Pak Adam…”

Belum sempat Eve melanjutkan kalimatnya, pintu kamar terbuka dan terlihat 1 orang perawat dan petugas layanan makanan rumah sakit masuk bergantian.

“Sudah lebih baik, Nona Eve ?” sapa suster sambil memeriksa selang infus.

“Badan saya masih terasa sakit dan kaki kanan saya masih ngilu.”

“Hasil pemeriksaan dokter luka di tangan dan kaki Nona tidak terlalu parah meski cukup banyak. Tidak ada yang terkilir atau retak. Sakit di kaki kanan disebabkan karena luka sobek yang cukup besar persis di bagian mata kaki nona. Cukup lama sembuhnya tapi tidak berbahaya.”

“Lalu kenapa saya sampai harus dirawat, Suster ?”

“Anda pingsan di ruang UGD karena terlalu lelah dan lapar,” sahut suster sambil tersenyum lebar.

“Makan yang banyak, dokter sudah mengijinkan ada keluar dari rumah sakit hari ini juga. Saya akan kembali dan mencabut selang infus sekitar 30 menit lagi.”

“Saya boleh mandi, Suster ?”

“Boleh tapi lebih baik menunggu sampai selang unfus dicabut.”

Eve mengangguk dan meminta bantuan suster untuk membawakan nampan makanan ke meja lipat. Adam sudah tidak ada di ruangan, pria itu meninggalkan Eve tanpa berpamitan.

Satu jam kemudian, Adam kembali masuk ditemani Leo, asistennya. Eve sendiri sudah mandi dan duduk di atas kursi roda sambil menonton acara di televisi. Entah siapa yang membawakan pakaian ganti untuknya, Eve berniat menanyakannya pada Leo.

“Hai Eve, sudah baikan ?”

“Pagi Leo. Masih agak sakit tapi setidaknya hanya luka luar saja.”

Leo meletakkan satu kantong kertas di atas meja yang ada di dekat Eve.

“Titipan dari Tante Ami. Beliau tidak bisa datang pagi ini karena menemani Lusia.”

Adam yang datang bersama Leo masih dalam mode diam, tidak menyapa Eve apalagi menanyakan kondisinya. Eve sudah terbiasa. Kakak ipar sekaligus dosennya itu selalu memasang muka perang dan tidak pernah bisa bicara baik-baik pada Eve sejak pria itu berpacaran dengan Erina.

“Leo; terima kasih sudah membawakan pakaian ganti untukku,” ujar Eve tanpa bertanya lebih dulu.

“Sama-sama. Untung saja kamu punya cadangan pakaian di rumah Bu Erina hingga aku bisa membawanya sekalian dengan pakaian Pak Adam.”

Adam beranjak dari sofa saat handphonenya berbunyi dan memilih keluar dari ruangan supaya Leo dan Eve tidak bisa mendengar percakapannya.

“Leo, bisa pinjam handphonemu ? Aku mau minta tolong Lisa atau Anita mencari handphoneku dan membawakan barang-barang ke tempat kost. Kemarin karena terburu-buru, aku sampai lupa membawanya pulang.”

“Sudah aku urus dengan pihak kampus dan barang-barang milikmu akan dibawakan sore ini juga ke rumah Pak Adam.”

“Kamu memang asisten yang luar biasa,” puji Eve sambil tertawa dan memberikan 2 jempolnya pada Leo.

“Tentu saja, kalau tidak….”

“Erina sudah sadar !”

Suara Adam yang muncul dari balik pintu membuat Leo tidak jadi menyelesaikan kalimatnya.

“Leo, bisa tolong antar aku menemui Mbak Erina ?”

Leo mengangguk dan langsung mendorong kursi roda Eve meninggalkan kamar.

Permintaan Sulit

“Aku ingin minta sesuatu, Mas,” ujar Erina dengan wajah penuh harap menatap suaminya.

“Kamu mau minta apa ? Fokuslah dulu dengan kesembuhanmu. Lusia mulai rewel menanyakan keberadaanmu.”

“Mas Adam.”

“Hmmm”

Erina tidak langsung menjawab karena masih harus mengatur nafasnya yang pendek-pendek. Setelah 2 hari dirawat di ruang ICU, akhirnya dokter mengijinkan Erina dipindah ke kamar perawatan biasa namun wanita beranak satu itu belum bisa sepenuhnya lepas dari alat bantu.

Hari keempat pasca operasi, Erina baru bisa bicara namun tidak bisa mengucapkan kalimat panjang-panjang dan terlalu lama berbicara seperti layaknya orang normal.

“Mas Adam.”

“Kamu mau minta apa ? Akan aku penuhi apapun keinginanmu asalkan kamu sembuh.”

“Janji ?”

Adam langsung menarik satu sudut bibirnya mendengar ucapan istrinya sambil mengangguk.

“Ya, aku akan memenuhi apapun permintaanmu selama masih masuk akal.”

“Pinjam handphone.”

Adam menautkan alisnya karena bingung dengan permintaan Erina namun setelah istrinya mengerjapkan mata beberapa kali sebagai isyarat, Adam pun mengambil handphone miliknya dan memberikan pada Erina.

Sesudah itu Erina minta bantuan Adam untuk merubah posisi tempat tidurnya menjadi setengah berbaring.

Menikahlah dengan Eve.

“Kamu sudah gila ?” suara Adam langsung meninggi usai membaca pesan yang diketik Erina.

“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkan adikmu itu !”

Aku mohon, Mas Adam. Eve akan sebatang kara setelah aku tiada. Aku akan tenang meninggalkannya padamu dan Lusia juga menyayangi Eve, jadi tidak akan sulit baginya untuk menggantikan posisiku.

“Pikirkan saja kesembuhanmu dan jangan pernah minta yang aneh-aneh. Aku akan menyuruh dokter melakukan segala cara untuk menyembuhkanmu.”

Adam langsung menjauh karena tidak ingin berdebat dengan Erina soal permintaannya yang membuat Adam langsung naik darah.

Hanya Erina yang tahu persis alasan Adam membenci Eve namun sekarang ia malah menyuruh Adam menjadikan Eve sebagai istri keduanya dan ibu bagi Lusia.

Adam ragu-ragu untuk keluar karena tidak tega meninggalkan Erina sendirian di kamar. Papa dan mamanya belum datang karena harus mengurus Lusia yang dititip sejak Erika kecelakaan.

Saat mendengar pintu kamar diketuk dan sosok Eve muncul dari balik pintu, Adam memutuskan untuk keluar kamar untuk mencari udara segar.

Eve menganggukan kepalanya sambil teraenyum saat berpapasan dengan Adam dekat pintu. Pria itu tidak melirik sedikitpun membuat Eve yang masih menggunakan kruk hanya bisa tersenyum getir.

“Senangnya melihat Mbak Erina sudah lebih baik hari ini,” ujar Eve saat duduk di samping ranjang Erina.

“Kakimu bagaimana ?”

“Masih agak sakit kalau dipakai berjalan tapi lukanya sudah mulai menutup dan semakih kering. Untuk sementara dokter belum mengijinkan aku jalan tanpa alat bantu supaya kakiku tidak terkilir karena menahan sakit.”

“Kamu sayang Mbak ?”

Mata Eve membola mendengar pertanyaan kakaknya yang tiba-tiba.

“Tentu saja, Mbak. Aku sangat menyayangi Mbak Erina,” sahut Eve dengan mata berkaca-kaca dan kedua tangannya menggenggam jemari kiri Erina.

“Hanya Mbak yang tidak pernah menganggapku sebagai pembawa sial karena selamat dari kecelakaan yang merenggut papa, mama dan Mas Erlan. Hanya Mbak Erina satu-satunya keluarga yang aku miliki. Aku bersyukur karena memiliki kakak sebaik Mbak Erina yang selalu menyayangiku dengan tulus.”

Eve terisak, hatinya sedih sekaligus khawatir mendengar pertanyaan Erina.

“Mbak minta tolong,” lirih Erina.

“Selama aku bisa memenuhinya, apapun keinginan Mbak Erina pasti akan aku penuhi,” tegas Eve di sela-sela isaknya.

Erina melepaskan genggaman Eve dan mengambil handphone milik Adam lalu kembali mengetikkan sesuatu.

Menikahlah dengan Mas Adam dan jadilah ibu untuk Lusia. Aku memang tidak berhak menentukan dengan siapa Mas Adam akan menikah lagi saat aku tiada tapi aku tidak rela membiarkan perempuan lain menggantikan posisiku menjadi maminya Lusia.

Sama seperti Adam, Eve langsung membelalakan mata saat membaca tulisan Erina di layar handphone.

“Kakak pasti sembuh dan tetap menjadi istri Kak Adam dan maminya Lusia,” tolak Eve sambil menggelengkan kepala. Air matanya kembali mengalir.

Dokter sudah menyerah dan aku pun sudah rela jika harus pergi meninggalkan dunia ini tapi hatiku tidak tenang karena kamu akan sendirian. Aku yakin Mas Adam akan menjagamu dengan baik dan menerimamu sebagai istrinya. Kalian pernah sangat dekat jadi tidak akan sulit untuk menerima satu sama lain.

“Aku pun yakin Mbak Erina akan sembuh kembali, jadi tidak usah berpikir terlalu jauh. Mbak harus semangat karena ada Mas Adam dan Lusia yang selalu mencintai Mbak Erina.”

“Aku mohon, Eve,” pinta Erina dengan senyuman getir.

“Kalau sekedar menikah supaya Mbak tenang karena sudah ada orang yang bertanggungjawab atas hidupku, aku akan minta Josh mempercepat rencananya untuk menikahiku.”

Erina menggelengkan kepalanya dengan air mata yang mulai berderai, derik berikutnya Eve dibuat kaget saat melihat tubuh Erina mendadak kejang-kejang.

Eve yang panik langsung menekan tombol panggilan sampai berkali-kali dan memanggil nama Erina yang mulai hilang kesadarannya.

Tidak lama bukan hanya 2 orang perawat yang masuk tapi Adam dan Leo menyusul di belakangnya.

Eve menjauhi tempat tidur Erina atas permintaan perawat. Suasana berubah tegang karena bunyi-bu yian dari monitor alat bantu yang ada di samping ranjang.

“Apa yang kamu lakukan padanya ?” bentak Adam dengan suara yang cukup keras.

“Saya tidak melakukan apa-apa,” sahut Eve sambil menggelengkan kepalanya.

“Bohong ! Kondisi Erina baik-baik saja saat saya meningglkannnya bersamamu !”

“Demi Tuhan saya tidak melakukan apapun pada Mbak Erina, Pak. Dia kakak saya dan hanya tinggal Mbak Erina yang saya punya di dunia ini, jadi mana mungkin saya berniat mencelakainya.”

Adam mengepalkan kedua tangannya di samping dan rahangnya mengeras menahan emosi. Ia bergegas mendekati ranjang Erina dan mengambil handphone yang diletakkan perawat di meja kecil yang ada di samping tempat tidur.

“Maaf Pak, bisakah anda menunggu di luar ?” pinta seorang perawat yang baru saja masuk bersama 2 orang dokter.

Adam tidak menjawab namun bergerak ke arah pintu. Leo menatap Eve dengan iba dan mengajaknya keluar bersama Adam. Gadis itu masih menangis bahkan mulai terisak dan ia sempat menoleh sebelum keluar dari kamar.

Sampai di luar, Leo langsung membawa Eve untuk duduk di ruang tunggu yang ada di dekat lift sementara Adam masih bertahan di depan kamar Erina.

Tangannya menggerakan layar handphone membaca tulisan Erina yang diketik sebagai pesan wa dan dikirim ke nomor tidak bernama di handphone Adam.

Pria itu menghela nafas saat mengeja nomor yang menerima pesan wa dari Erina. Meskipun tidak tersimpan di handphonenya tapi Adam masih ingat nomor itu. Eve sudah menggunakannya sejak 8 tahun yang lalu saat Erlan membelikannya handphone sebagai hadiah kelulusan SMP.

Adam menghela nafas beberapa kali saat membaca tulisan Erina untuk adiknya. Isinya kurang lebih sama dengan kalimat yang Erina ketik untuk Adam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!