“Tenanglah sayang, kita doakan yang terbaik untuk Erina,” ujar Ami sambil menggenggam jemari Adam, putra tunggalnya.
“Iya Ma,” sahut Adam sambil tersenyum tipis.
“Kalau saja Erina bisa bersabar menunggu di rumah sampai aku memberi kabar, semua ini tidak akan terjadi,” gumam Adam sambil menghela nafas.
“Hidup manusia terikat dengan takdir, Dam, jangan menyesalinya. Apa pun yang terjadi, pasrahkan pada yang di atas. Sekalipun Erina tidak pergi menyusul kalian, kalau memang takdirnya, di rumah pun ia bisa mengalami semua ini.”
“Gadis itu selalu menjadi pembawa sial dalam hidupku. Kalau saja dia bukan adik kandung Erlan dan Erina, sudah lama aku membuangnya jauh-jauh, geram Adam sambil mengepalkan kedua tangannya.
Ami dan Damian saling menatap sambil tersenyum kecut mendengar omelan putra mereka. Entah apa penyebabnya, Adam yang dulunya akrab dengan Eve mendadak jadi membenci adik bungsu Erlan, sahabat baik Adam sejak SMP.
Kehadiran Eve memang diluar rencana kedua orangtua Erlan dan Erina, namun mereka tidak menolak dan tetap membesarkam Eve sebagai putri bungsu yang ceria, aktif dan manja.
Kepribadian Eve berbanding terbalik dengan Erina, adik pertama Erlan yang cenderung pendiam dan tertutup.
Beranjak remaja, Eve yang supel itu semakin dekat dengan Adam yang sedikit pemalu bahkan pria itu menjadi tutornya saat Eve kesulitan mengikuti pelajaran fisika dan kimia saat di bangku SMP.
Bukan hanya dengan Adam, Eve juga akrab dengan kedua orangtua Adam dan beberapa kali belajar memasak pada Ami. Gadis cerewet itu menjadi kesayangan Ami yang sudah lama mendambakan kehadiran anak perempuan.
Sayangnya hubungan manis itu mendadak berubah menjadi medan perang saat Eve kelas 9. Adam mulai membanngun benteng dengan Eve bahkan ia mulai bersikap kasar pada gadis itu dan menolak memberitahu alasan perubahan sikapnya itu.
“Bagaimana keadaan Eve ?” tanya Ami yang dijawab Adam dengan gerakan mengangkat kedua bahunya dengan acuh.
“Aku berharap dia bisa menggantikan takdir Erina,” lanjut Adam dengan senyuman sinis.
“Jangan bicara seperti itu, son,” ujar Damian, ayah kandung Adam yang duduk dekat situ.
“Tadi Eve pingsan saat keluar dari kamar mandi di ruang UGD. Papa sudah minta Leo untuk mengurus kamar dan minta Eve dirawat sini.”
“Apa dokter bilang penyebab Eve pingsan, Pa ?” tanya Ami dengan wajah khawatir.
Belum sempat Damian menjawab, pintu ruang operasi terbuka dan seorang perawat memanggil mereka.
Adam bergegas bangun dan menemui dokter yang baru saja keluar dari kamar operasi. Damian dan Ami pun ikut bergabung bersama putra mereka.
“Operasi berjalan lancar namun tidak bisa memulihkan kondisi istri anda sepenuhnya. Kami akan pantau dalam 24 jam ke depan dan kita lihat bagiamana perkembangannya.”
“Apa saya bisa membesuknya sekarang, Dok ?”
“Sementara belum bisa, Pak. Dalam 24 jam ini, Nyonya Erina akan ditempatkan di ruang ICU.”
Adam menghela nafas dan menyugar rambutnya asal. Perasaannya campur aduk apalagi saat teringat dengan Lusia, putri semata wayang mereka yang masih berusia 4 tahun.
“Kami permisi.”
“Terima kasih, Dokter,” ujar Damian mewakili putranya yang sudah bersandar pada dinding dengan wajah sendu.
”Kuatkan dirimu, Dam. Masih ada Lusia yang membutuhkanmu,” ujar Damian sambil menepuk-nepuk bahu putranya.
***
Eve mengerang saat menggerakan tubuhnya yang masih terasa sakit. Sepertinya efek jatuhnya baru terasa hari ini.
Hidungnya mengendus bau yang tidak biasa membuat Eve menautkan alis sambil membuka mata pelan-pelan.
Bukan kamar kost ku, dari baunya seperti di rumah sakit. Apa aku masih di ruang UGD ?
Eve mengedarkan pandangan dalam posisi masih berbaring. Dilihatnya kantung infus tergantung di sisi kiri dengan selang infus yang ternyata menancap di tangan kirinya.
Eve menggerakan remote tempat tidur hingga posisi setengah berbaring. Ruangan kamarnya kosong, tidak ada siapapun di situ.
Eve kembali mengerutkan dahi, berusaha mengingat bagaimana ia bisa berakhir di kamar ini dan perlu diinfus segala. Seingat Eve terakhir kali ia baru saja keluar dari kamar mandi usai berganti baju pasien karena pakaian Eve kotor dan celana panjangnya digunting sampai selutut untuk memudahkan dokter melakukan pengobatan.
“Pak Adam ?”
Eve terkejut saat melihat Adam keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan wajah segar. Tidak ada suara gemericik air hingga Eve mengira ia hanya sendirian di kamar.
“Kenapa saya sampai dirawat, Pak ? Bagaimana keadaan Mbak Erina ? Apa operasinya berjalan lancar ?”
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Adam membuat Eve menghela nafas. Pria itu melangkah acuh menuju sofa, merapikan pakaian kotornya dan memasukkan peralatan mandi ke dalam tas pakaian.
“Pak Adam…”
Belum sempat Eve melanjutkan kalimatnya, pintu kamar terbuka dan terlihat 1 orang perawat dan petugas layanan makanan rumah sakit masuk bergantian.
“Sudah lebih baik, Nona Eve ?” sapa suster sambil memeriksa selang infus.
“Badan saya masih terasa sakit dan kaki kanan saya masih ngilu.”
“Hasil pemeriksaan dokter luka di tangan dan kaki Nona tidak terlalu parah meski cukup banyak. Tidak ada yang terkilir atau retak. Sakit di kaki kanan disebabkan karena luka sobek yang cukup besar persis di bagian mata kaki nona. Cukup lama sembuhnya tapi tidak berbahaya.”
“Lalu kenapa saya sampai harus dirawat, Suster ?”
“Anda pingsan di ruang UGD karena terlalu lelah dan lapar,” sahut suster sambil tersenyum lebar.
“Makan yang banyak, dokter sudah mengijinkan ada keluar dari rumah sakit hari ini juga. Saya akan kembali dan mencabut selang infus sekitar 30 menit lagi.”
“Saya boleh mandi, Suster ?”
“Boleh tapi lebih baik menunggu sampai selang unfus dicabut.”
Eve mengangguk dan meminta bantuan suster untuk membawakan nampan makanan ke meja lipat. Adam sudah tidak ada di ruangan, pria itu meninggalkan Eve tanpa berpamitan.
Satu jam kemudian, Adam kembali masuk ditemani Leo, asistennya. Eve sendiri sudah mandi dan duduk di atas kursi roda sambil menonton acara di televisi. Entah siapa yang membawakan pakaian ganti untuknya, Eve berniat menanyakannya pada Leo.
“Hai Eve, sudah baikan ?”
“Pagi Leo. Masih agak sakit tapi setidaknya hanya luka luar saja.”
Leo meletakkan satu kantong kertas di atas meja yang ada di dekat Eve.
“Titipan dari Tante Ami. Beliau tidak bisa datang pagi ini karena menemani Lusia.”
Adam yang datang bersama Leo masih dalam mode diam, tidak menyapa Eve apalagi menanyakan kondisinya. Eve sudah terbiasa. Kakak ipar sekaligus dosennya itu selalu memasang muka perang dan tidak pernah bisa bicara baik-baik pada Eve sejak pria itu berpacaran dengan Erina.
“Leo; terima kasih sudah membawakan pakaian ganti untukku,” ujar Eve tanpa bertanya lebih dulu.
“Sama-sama. Untung saja kamu punya cadangan pakaian di rumah Bu Erina hingga aku bisa membawanya sekalian dengan pakaian Pak Adam.”
Adam beranjak dari sofa saat handphonenya berbunyi dan memilih keluar dari ruangan supaya Leo dan Eve tidak bisa mendengar percakapannya.
“Leo, bisa pinjam handphonemu ? Aku mau minta tolong Lisa atau Anita mencari handphoneku dan membawakan barang-barang ke tempat kost. Kemarin karena terburu-buru, aku sampai lupa membawanya pulang.”
“Sudah aku urus dengan pihak kampus dan barang-barang milikmu akan dibawakan sore ini juga ke rumah Pak Adam.”
“Kamu memang asisten yang luar biasa,” puji Eve sambil tertawa dan memberikan 2 jempolnya pada Leo.
“Tentu saja, kalau tidak….”
“Erina sudah sadar !”
Suara Adam yang muncul dari balik pintu membuat Leo tidak jadi menyelesaikan kalimatnya.
“Leo, bisa tolong antar aku menemui Mbak Erina ?”
Leo mengangguk dan langsung mendorong kursi roda Eve meninggalkan kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Anonymous
enak yaa punya asisten macem leo, serba beress hahaha…
2024-03-30
1
Sweet Girl
Alhamdulillah...
2024-02-08
1
Sweet Girl
Sadis banget lu Dam...
Istighfar sonoooo
2024-02-08
1