“Kenapa semalam kamu nggak menemui saya setelah 30 menit ?” omel Adam saat keduanya melanjutkan perjalanan ke kampus usai mengantar Lusia ke sekolah.
Pagi ini sengaja Adam membawa mobil sendiri karena tidak ingin sopir mendengar pembicaraannya dengan Eve.
“Ketiduran,” sahut Eve asal sambil menatap ke jendela samping.
“Ternyata dari dulu sampai sekarang kamu memang pintar berbohong dan mempermainkan perasaan orang.”
“Siapa yang bohong ? Siapa yang suka main-main dengan perasaan orang lain ? Mas Adam lagi bikin pengakuan ?” sahut Eve dengan nada kesal.
“Apa maksud kamu ?”
Eve memutar bola matanya. Sebetulnya ia malas memulai hari dengan pertengkaran, tapi situasi yang dihadapinya bersama Adam sejak dulu tidak pernah tuntas karena mereka sama-sama menghindari keributan.
“Kenapa Mas Adam tidak pernah mau menjawab pertanyaan saya 5 tahun yang lalu sebelum Mas Adam menikah dengan Mbak Erina ?”
“Karena kamu lebih mengenal aku lebih dari siapapun Eve jadi kamu pasti tahu jawabannya !” suara Adam mulai meninggi, meluapkan emosi yang ditahannya sejak semalam.
“Mas Adam hanya menjiplak ucapan saya,” desis Eve.
“Faktanya memang begitu ! Kamu sudah lama mengenalku Eve dan jauh lebih baik daripada Erina !”
Suara Adam yang semakin tinggi cenderung berteriak membuat Eve mulai takut sampai menutup kedua telinganya. Adam menghela nafas dan memukul setir dengan kepalan tangannya.
“Kalau saya tahu jawabannya, malam itu saya tidak akan menunggu Mas Adam sampai mau menemui saya dan menjelaskan semuanya.”
“Apa malam itu kamu berniat membatalkan pernikahanku dengan Erina ?” tanya Adam dengan suara berat namun tidak lagi berteriak seperti tadi.
“Bukan itu tujuan saya. Mana mungkin saya memisahkan Mas Adam dan Mbak Erina yang sudah hamil Lusia.”
“Jadi kamu tahu kalau Erina sudah hamil saat kami menikah ?”
“Saya tidak sengaja mendengarnya waktu Mbak Erina membahasnya bersama papa dan mama sebelum keluarga Mas Adam datang melamar. Rasanya sakit dan sedih karena sampai hari pernikahan kalian, tidak ada seorang pun yang bersedia memberitahu saya terus terang tentang kehamilan Mbak Erina termasuk Mas Adam.”
“Jadi malam itu kamu berniat mendengar masalah itu langsung dari mulutku karena di rumah tidak ada seorang pun yang bersedia memberitahumu ?”
“Malam itu saya hanya ingin mendengar alasan Mas Adam membenci saya sekalian ingin menyampaikan doa supaya pernikahan Mas Adam dan Mbak Erina bisa langgeng dan bahagia.”
Eve menoleh ke samping karena matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ingatan kejadian malam itu disambung dengan kecelakaan yang menghilangkan nyawa orang-orang yang dikasihinya membuat Eve tidak bisa menahan air mata.
Suasana mendadak hening bahkan Adam tidak menyalakan audio. Dari bayangan kaca jendela, Adam tahu kalau Eve sedang menangis namun ia hanya menghela nafas panjang, tidak tahu harus bicara apa untuk menghibur Eve.
“Terima kasih. Saya tidak akan lama dengan Prof Yusak.”
Adam tidak menyahut, kedua tangannya masih memegang setir padahal mesih mobil sudah mati dan parkir di area kampus.
“Tunggu !”
Eve menoleh sementara tangannya sudah membuka pintu. Dilihatnya Adam menyodorkan saputangan miliknya.
“Bersihkan wajahmu sebelum bertemu dosen.”
“Terima kasih.”
Eve menerimanya lalu turun dari mobil tanpa menunggu Adam.
***
“Eve, kok ke kampus nggak bilang-bilang ?” sapa Lisa saat mereka berpapasan di koridor.
Eve yang sudah selesai bertemu Prof Yusak langsung turun ke bawah dan menunggu Adam di kantin.
“Soalnya gue nggak bisa lama-lama, habis dari sini mau jemput Lusi terus ke kantor Mas Adam.”
Mata Lisa dan Hani membola sambil menatap satu sama lain.
“Mas Adam ?” ledek Hani
“Cie cie, udah saling cinta nih ceritanya ?” timpal Lisa sambil mengerjapkan matanya.
“Kenapa ? Kalian iri ?” cibir Eve melirik kedua sahabatnya.
“Nasib Josh gimana ?” bisik Lisa dengan wajah keponya.
“Gue udah kasih tahu kondisi yang sebenarnya dan hubungan kita berdua udah berakhir. The End.”
Eve tersenyum lebar, berusaha menutupi rasa sakit dan kesedihannya saat membahas soal Josh.
“Eve, jangan pura-pura sok tegar kalau di depan kita berdua,” bisik Hani sambil merangkul sahabatnya.
“Nggak pura-pura, hanya belajar menerima takdir dan melupakan cinta yang tak tergapai,” sahut Eve sambil tertawa getir.
“Memangnya elo tetap bisa mencintai Pak Adam sekalipun sampai bertahun-tahun dia masih aja membenci elo ?”
“Kata-kata bijak bilang batu karang yang besar dan kuat sekalipun bisa terkikis kalau dialiri air terus menerus jadi gue percaya kalau suatu hari nanti Pak Adam minimal bisa memberitahu gue alasan sikapnya yang tiba-tiba berubah dan kalau gue beruntung di saat itu Pak Adam mulai mencintai gue juga.”
“Ingat Eve, elo nggak pernah sendirian. Kalau suatu hari nanti elo udah nggak sanggup menunggu Pak Adam terkikis hatinya, kita berdua akan selalu ada buat elo.”
“Maacih my besties,” ujar Eve tertawa dan merangkul kedua sahabatnya.
Lisa dan Hani ikut tertawa dan sama-sama merangkul pinggang Eve.
“Jadi ingat masa-masa SMA,” ujar Hani.
“Cepat banget ya waktu berlalu. Habis lulus ini kita nggak akan lagi ketemu tiap hari karena sibuk kerja terus pacaran dan akhirnya nikah kayak Eve,” timpal Lisa.
“Yang penting jangan sampai putus hubungan aja,” ujar Eve.
Langkah ketiganya terhenti dan tangan mereka saling terlepas saat sosok Josh menunggu di ujung koridor.
“Hai Eve.”
“Hai juga Josh,” balas Eve sambil tersenyum. Matanya fokus pada dus sepatu yang dipegang oleh Josh.
“Punya kamu, Eve. Ketinggalan di kamar kost dan dititipin ke aku sama ibu kostmu.”
“Kok nggak menghubungi aku langsung ?”
“Waktu itu aku lagi antar anak temannya mami cari tempat kost. Karena sudah cukup kenal dengan lingkungan di situ, aku langsung ajak dia ke sana dan nggak sengaja ketemu ibu kost kamu.”
“Makasih Josh. Isinya memang kayak nggak penting tapi sangat berharga buat aku.”
Eve tersenyum namun wajahnya terlihat sendu saat menerima dus bekas sepatu miliknya.
“Kok kamu tahu Eve lagi di kampus ?” tanya Lisa dengan mata menyipit.
“Tadi nggak sengaja lihat Eve baru turun di parkiran mobil makanya gue langsung bawa tiitpannya dan nunggu di sini. Kalian masih ada keperluan ? Mau nongki sebentar di kafe ?”
“Kalian atau Eve doang ?” ledek Lisa sambil cekikikan.
“Suara gue apa kurang jelas ? Kalian bukan Eve doang,” sahut Josh sambil tertawa.
“Sorry Josh gue nggak bisa, udah janji mau jemput Lusia.”
“Sama Pak Adam ?” Eve mengangguk. Wajah Josh langsung berubah sedih.
“Josh, gue dan Hani nggak nolak ditraktir kok.”
Lisa sengaja mendekati pria yang mendadak melow itu dan merangkul lengannya.
“Boleh aja tapi bisa tunggu sebentar, gue mau ngomong sama Eve. Berdua aja.”
“Soal apa Josh ? Nggak bisa ngomong di sini aja ?” tanya Eve sedikit tidak nyaman karena tahu Adam sedang di kampus dan pria itu mulai membuat aturan suami istri.
“Hanya 5 menit Eve, nggak akan lebih,” pinta Josh sambil memegang bahu Eve.
“Aku…”
“Eve !”
Eve, Lisa dan Hani langsung menatap Adam yang berdiri di belakang Josh sedangkan pria itu langsung menghela nafas, tanpa menoleh Josh tahu siapa yang memanggil Eve.
“Sudah selesai ? Kita masih harus menjemput Lusi.”
“Sudah,” sahut Eve sambil manggut-manggut.
“Terima kasih untuk titipannya Josh,” Eve tersenyum sambil mengangkat dus bekas sepatunya.
“Gue balik dulu besties.”
“Sampai ketemu lagi Eve,” sahut Lisa melambaikann tangannya.
Josh membalikkan badan, berdiri di samping Lisa dan Hani yang sudah mendekat. Hatinya terasa sakit saat melihat Adam menggandeng Eve tanpa mempedulikan tatapan dan kasak kusuk mahasiswa yang mereka lewati.
“Mas Adam,” desis Eve yang terkejut saat jemarinya digenggam erat oleh Adam.
“Leo sudah mengirimkan bukti laporan pernikahan kita ke kantor catatan sipil.”
Apa keinginan membuat sah pernikahan kita murni dari hati Mas Adam atau sekedar demi status untuk Lusia ?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Lilik Juhariah
aku pinisirin Thor why why
2023-12-22
0
Tri Handayani
yg baca aja pd penasaran'apa yg membuat adam membenci eve,,apalagi eve'
2023-12-10
3
Luh Kertiasih
mantap...lnjut Thor..👍
2023-12-10
1