HEALING WITH TUAN LUMPUH

HEALING WITH TUAN LUMPUH

BAB 1. INSECURE

"Ad!" sebut Argan-sang ayah, mencoba mencegah putra sulungnya keluar ruangan. Tangan tua itu sekuat tenaga menahan laju kursi roda yang digerakkan Adyapi, dia menarik handle dari belakang dan berhasil membuatnya menjauhi pintu.

Gegas, Argan berdiri di depan ketika terlihat sedikit celah di sana. Tubuh senjanya membentur daun pintu ruangan yang tertutup, napas Argan sedikit terengah akibat aksi tarik menarik yang dilakukan mereka tadi.

"Sudahlah, Pa. Aku muak melihat wajah mereka yang menatapku iba!" Telunjuknya terangkat ke depan, napas pun ikut memburu meluapkan emosi, pandangan nyalang dia tujukan ke arah sang ayah yang berdiri di depannya. "Aku ini cacat, Pa!" geram Adyapi mengepalkan tangan lalu memukul kuat dadanya diikuti rahang yang menegas.

Argan meraup wajah kasar, anaknya berubah menjadi sangat keras kepala dan temperamental setelah duduk di kursi roda.

Kecelakaan yang menimpa Adyapi satu tahun silam, membuat sang CEO harus menghadapi kenyataan bahwa kini dirinya lumpuh. Penampilan gagah dan perlente itu tiada lagi, tatapan bangga para karyawan yang puas terhadap kinerjanya pun kini berganti rasa prihatin dan iba.

Adyapi merasa sedang diremehkan, di hancurkan reputasinya oleh orang-orang yang justru masih tetap menikmati hasil atas semua ide dan kerja keras satu tahun belakangan.

"Adyapi Bumandhala! dengerin papa dulu," ucap Argan sedikit lantang. Kali ini dia meletakkan kedua tangan di bahu Adyapi, mengguncang tubuh putranya. "Mereka nggak bermaksud begitu, Nak," imbuh Argan, memandang sendu sang pewaris Bumiland Jaya, perusahaan tambang miliknya.

Adyapi menggeleng, menepis cengkeraman sang ayah di bahunya. Dia menunduk, melihat ke kedua kaki. Sekuat tenaga mencoba menggeser lutut tapi tiada pergerakan, hanya peluh yang bermunculan di dahi.

"Lihat! diem aja 'kan?" tunjuk Adyapi pada kedua pahanya. "A-aku ini lumpuh! pria nggak guna!" kesalnya memukuli tulang kaki dengan kepalan tangan.

Argan tahu, anaknya mulai putus asa setelah satu tahun menjalani pengobatan akan tetapi tak jua menemui progres baik.

Adyapi merasa lelah, waktunya banyak terbuang mengurusi hal yang tak lagi membawa banyak dampak positif. Dia memutuskan menghentikan pengobatan dan mulai menyesuaikan diri.

Namun, tak semua mata manusia bisa melihat sisi lain seseorang kala terpuruk. Adyapi mulai terusik ketika banyak staf, kolega bahkan security yang memandang dengan rasa kasihan. Sedikit-sedikit membantunya seolah dia tak lagi mampu untuk melakukan hal-hal sederhana seperti meraih cangkir kopi atau sekedar membuka pintu.

"Aku akan kerja dari rumah aja. Malas bertemu para begundal berdasi," tutur sang CEO, mulai menekan tombol agar kursi rodanya maju. Dia menarik tuas pintu dan keluar dari sana.

Saat telah di depan lift, tangan Ad terulur tapi tiba-tiba seseorang terburu menekan panel angka seraya tersenyum padanya. Adyapi menghela napas, lagi-lagi dikasihani.

Dia bergeming, enggan berterima kasih sebab bukan keinginannya dibantu oleh pria tersebut.

Sesampainya di rumah, Adyapi langsung menuju kamar baru yang didesign khusus agar dirinya mudah beraktivitas di dalam. Paling tidak, di sini dia bebas melakukan apapun yang dimau.

Menjelang petang, salah satu maid masuk ke kamar membawa makan malam, ketika Ad baru selesai mandi. Dia hendak meraih baju koko yang terletak di rak bagian atas, tangannya berusaha menggapai tapi belum berhasil.

"Saya saja yang ambilkan, Den," ujar si asisten rumah tangga, terburu meletakkan baki di meja dan menuju lemari, menjulurkan tangan ingin menarik pakaian tuan mudanya dari rak.

"Nggak usah, aku bisa," ujar Ad, mencegah dengan merentang lengan, tak menoleh ke arah sang wanita.

"Nanti masuk angin, Den. Biar bibi bantu," imbuh wanita paruh baya, masih berdiri disamping sang majikan.

Adyapi kembali jengah, dia mendengkus sebal. "Kalau kataku jangan ya jangan, kenapa maksa, sih?! ... PERGI!" Suara lantang kembali menguar.

Wanita itu terhenyak dan berdiri mematung akibat bentakan tuan muda, lupa karena terlalu cemas melihat Adyapi kesulitan.

Melihat sumber emosinya tak lekas beranjak, malah merunduk diam di dekatnya membuat Adyapi kembali berseru, "KELUAR! ... KUBILANG PERGI YA ENYAHLAH!"

"I-iya, Den. Ma-maaff," gagap maid masih menunduk ketakutan. Mundur perlahan dari sisi tuan mudanya.

Suara gaduh dari kamar bawah membuat Argan tergopoh-gopoh menuju sumber keributan. Pintu kamar Adyapi dibuka dari dalam, tampak satu maid keluar dengan wajah pias dan bergegas kembali ke dapur. Dia bahkan tidak menutup panelnya lagi.

Argan melongok ke dalam, melihat putranya sedang memakai pakaian. Ingin membantu tapi bakal tahu kemana ujungnya. Pendiri Bumiland Jaya itu akhirnya menutup pintu kamar Adyapi pelan-pelan.

Ayah Adyapi bersandar di dinding sebelah pintu kamar. Dia berpikir akan mencarikan asisten yang dapat membantu kesehariannya, dan mengerti bagaimana cara menghadapi lonjakan emosi sang anak.

Hari-hari berikutnya, Adyapi selalu berada di dalam kamar. Hanya Arno-sang asisten yang kerap masuk dan keluar dari sana tanpa membuat kekacauan atau memancing teriakan tuan muda Bumandhala.

Bukan hanya Adyapi yang stres, tapi Argan pun demikian. Putranya menguncilkan diri. Hari ini dia memutuskan berjalan-jalan ke mall, sekedar cuci mata sebelum menuju ke tempat agency penyalur pegawai.

Sedang asik berbincang dengan seorang gadis marketing kartu kredit, tiba-tiba namanya disebut oleh seseorang.

"Argan!" sapanya sumringah, menghampiri pria sebaya di sebuah stand.

Argan menoleh ke arah kanan, melukis senyum pada seseorang yang dia kenal. "Hai, Gung!" balas pemilik Bumiland Jaya, menyongsong dan memeluk sahabat lamanya.

Kedua pria pun larut dalam canda tawa, lalu mencari sebuah tempat untuk mengobrol lebih lanjut sebab lama tak bersua dan masih disergap rindu.

Lambat laun, mereka lantas menceritakan sekelumit kisah keluarga masing-masing. Agung menyatakan keprihatinan atas apa yang menimpa Adyapi. Argan pun hanya mengangguk, menepuk lengan sang sahabat dan berterima kasih telah peduli.

Para pemilik perusahaan itu terdiam sesaat. Tak lama, melintas sebuah ide dalam otak Agung dan mungkin bisa jadi solusi masalah mereka berdua. Dia pun menyampaikan usulan pada Argan.

"Gan, dulu kita pernah janji mau jodohin anak-anak, 'kan?" ucap Agung, sorot matanya berbinar, menyenggol lengan sang sahabat.

Argan terkesiap, dia lupa. Tetapi, lelaki itu kembali antusias. "Eh, iya. Anakmu perempuan, ya?" tanyanya ikut sumringah.

Agung mengangguk, dia lalu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto si putri sulung dari galeri. Hatinya berharap Argan tergugah sehingga dia akan mengajukan syarat agar kendala yang dihadapi selesai.

Argan manggut-manggut, senyumnya terbit melihat paras sang gadis, ayu dan lugu. Dia jadi tertarik mengenalkan mereka. Jika putri Agung bersedia menjadi istri Adyapi, maka dia tak perlu lagi membayar gaji asisten. Ngirit pengeluaran.

Para pria sepakat akan membujuk anaknmasing-masing dan mengatur pertemuan lanjutan. Merasa rencananya mulai mulus, Agung pun mencoba mengajukan syarat pada Argan.

"Aku lagi kekurangan dana untuk bahagiakan istriku, gimana ya?" ujarnya, merunduk lesu berusaha menarik simpati Argan.

Argan yang sedang dibuai bahagia karena merasa langsung memiliki chemistry dengan calon menantunya setelah melihat foto tadi, mengerti maksud terselubung sang kawan lama. Dia menyengol lengan Agung.

"Cincay lah itu, aku bantu nanti. Sekarang mending pikirin gimana caranya biar mereka menikah! supaya Ad ada yang ngurusin dan semangat dia bangkit lagi," tutur Argan, tersenyum lebar seraya menaik-turunkan kedua alisnya ke arah Agung.

Dua pria paruh baya itu terkekeh dan menganggukkan kepala bersamaan. Tak lama, mereka akhirnya pisah tujuan membawa misi masing-masing.

...***...

"Pergi!" lantang sang CEO, mengusir pembantunya.

Brak! pintu kamar dibanting Adyapi. Seorang maid muda pun menangis saat keluar dari sana.

Argan baru saja tiba ketika lagi-lagi menyaksikan ledakan emosi Adyapi. Dia lalu mengetuk pelan pintu kamar putranya, mencoba mengutarakan maksud yang menurutnya baik.

"Ad! ini papa, boleh gabung, ya," ujarnya, langsung menekan tuas pintu dan masuk ke dalam.

Sang putra sulung sedang berusaha meraih kertas yang berserakan di lantai, memunggungi arah datang dirinya. Argan lantas duduk di sisi ranjang, mulai bicara serius.

"Papa bilang aja kalau malu jalan sama aku. Nggak usah pake alasan jodoh-jodohin segala." Ad menjeda kegiatannya, lalu menatap jendela kamar, membelakangi sang ayah.

"Salah paham mulu sih, Ad. Sudah waktunya menikah, biar ada teman berbagi kisah ... liat dulu aja siapa calon kamu. Kalau cocok ya lanjutkan, bila tidak mau tinggal bilang keberatan," beber Argan memandang punggung Adyapi seraya menelan ludah karena terpaksa mengingkari niatan sebenarnya.

Adyapi memutar kursi rodanya menghadap sang ayah. Dia menatap lekat manik mata sipit pria bersahaja di hadapan yang menyodorkan ponsel.

Dahi Ad mengernyit heran saat melihat sekilas foto yang Argan sodorkan, dia ingin memastikan dan menyetujui pertemuan dengannya. "Oke."

Bila Ad bersedia, lain hal dengan Anindya Basundari. Gadis cantik bermata bulat itu menolak usulan sang ayah karena dia telah memiliki tambatan hati.

Anin menangis, merasa terus menerus dikorbankan oleh ayahnya hanya untuk memenuhi ambisi seseorang. Namun, sejurus kemudian dia menghampiri Agung yang duduk lemas di sofa keluarga.

"Ayah, boleh lihat dulu nggak siapa calonku?" tanyanya malu-malu.

Agung menengadahkan wajah, seketika aura bahagia terpancar dari sorot matanya. Anin memang susah ditebak, sebentar penurut, sekejap memberontak dan tak jarang mengamuk tanpa sebab. "Boleh, boleh. Lusa kita ketemuan, ya!" ucapnya antusias.

Anindya mengangguk ragu, setengah hati menerima. Dia bukan gadis bodoh, pasti ayahnya telah menyepakati sesuatu dengan seseorang demi kebahagiaan wanita itu.

Akhirnya, waktu yang ditunggu pun tiba. Kedua keluarga bertemu di ruangan privasi sebuah restauran yang Argan pesan.

"Aku bersedia!" ucap Ad, setelah memandang lekat gadis di hadapan yang lebih banyak diam dan menunduk.

'Hai, ketemu lagi gadis Arab. Apa kamu masih ingat aku? mungkinkah kali ini kamu yang bakal mengungkap siapa pelaku sabotase mobilku?'

Anin terkesiap. Dia bingung saat ditanya sang ayah. Hatinya mencelos melihat calon suami di hadapan, tapi di sisi lain, dia terpesona oleh ketampanan Adyapi.

"Ad butuh booster biar mau lanjutin pengobatan. Dokter bilang, dia masih pu-," tutur Argan, menjeda kalimat karena ditatap sengit Adyapi. Dia lantas tertawa kecil guna menutupi kegugupan.

"Adyapi sudah oke. Kamu bagaimana?" desak Agung kembali, menatap lurus putrinya yang menunduk.

'Dia tampan meski lumpuh, kesian banget. Tapi, aku 'kan begini, nanti gimana kalau ketahuan?' Anin membatin.

.

.

Terpopuler

Comments

Martha Kharisma

Martha Kharisma

wahh menarik kisahnya .. lanjut ahh

2023-12-18

0

Mega Ahmad

Mega Ahmad

mangats mantor 💪

2023-12-03

0

AlAzRa

AlAzRa

hadir Moms 🤗

2023-12-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!