Adyapi tersenyum simpul masih menatap manik mata sang istri. Dia pun mengangguk. "Iya, hambanya Allah. Abdullah."
Kaki Anin melemas, tangannya menggapai-gapai sesuatu tapi tak jua jemari berlabuh pada satu benda, hingga genggaman Adyapi menariknya jatuh terduduk di pangkuan.
"Baru ingat?" bisik Ad, menempelkan dagu di bahu Anin, sementara lengan melingkari pinggang istrinya.
Anindya masih membeku, dia memang telah menduga saat mengambil foto ketika Ad tertidur. Tapi, mendapat pengakuan langsung dari suaminya tetap saja membuat Anin shock. (bab awal)
Netra bulat itu mengembun, mengingat betapa penat bahkan hampir putus asa mencari keberadaan penolongnya dulu. "Kakak selama ini ngumpet dimana? aku nyari kemana-mana nggak juga ketemu," suara Anin terdengar berat dan serak.
Adyapi kian erat memeluknya. "Aku pun mencarimu kemana-mana. Tapi nggak kepikiran ke Museum ... padahal gadis yang membawa surbanku adalah mahasiswi Humaniora penerima beasiswa IDB," balas Ad lirih.
Adyapi menelusuri alamat Anindya lewat kampus tapi keluarga Agung telah pindah hunian. Dia hendak melanjutkan pencarian akan tetapi justru tertimpa kemalangan sehingga membuat segala rencana berantakan dan tertunda.
Air mata Anindya jatuh, dia menangis tanpa suara saking bahagianya. Ternyata, dalam satu tahun terakhir, mereka saling mencari.
~
Empat tahun silam, ketika jeda waktu sebelum pasca sarjananya berakhir, Adyapi Bumandhala mengikuti program pertukaran dosen muda yang diselenggarakan pihak swasta. Dia memilih King Abdul Aziz University menjadi tempat bertukar pengalaman selama sepekan kala itu.
Hari terakhir Ad di Jeddah harus berurusan dengan polisi untuk melaporkan warga lokal karena melakukan tindakan kriminal terhadap dua orang gadis.
Menjelang jam malam beroperasi, dia dan dua orang kawan seprofesi pulang dari kampus melewati jalan pintas menuju flat mereka. Tanpa sengaja menolong mahasiswi semester dua dan sahabatnya dari percobaan rudapaksa yang dilakukan oleh empat pemuda setempat. Anin dalam kondisi ketakutan saat itu, panik histeris saat tahu sebagian auratnya tersingkap.
(Di beberapa negara, pemberlakuan jam malam itu mulai jam 9, biasanya sudah dilarang keluar rumah/flat untuk menghindari kejahatan)
Ad melepas surban penutup wajah yang melindunginya dari debu serta jaket kulit sebatas pinggang, untuk Anindya kenakan karena hijab dan gamisnya robek.
Kejadian malam itu begitu cepat, kasus Anin lalu dilimpahkan ke Kedubes di sana. Ad sempat menjenguk Anin sebelum terbang ke Indonesia.
"Kamu sudah baikan?" tanya Ad saat menemuinya di bangsal kesehatan Kedubes RI di sana.
Anindya mengangguk takut-takut, tapi dia ingin berterima kasih. "Syukran," jawabnya lirih, merunduk malu karena rambut, leher, dan sebagian bahunya telah dilihat pria itu.
Ad tahu arti sikap sang gadis yang masih shock tapi Adyapi ingin memastikan bahwa dia baik saja setelah pulang ke Indonesia nanti. "Kembalikan jaket dan surbanku jika telah sampai di Jakarta. Kamu mahasiswi Humaniora prodi komunikasi, kan?" tegasnya.
Gadis yang masih didampingi psikolog itu mengangguk lagi. Anin menengadah, memeta jelas wajah sang penolong agar tak salah mengenali. "S-siapa na-nama A-bang?" gagapnya masih trauma. "Ngembaliinnya kemana?"
"Abdullah. Aku sesekali ke Untar-Universitas Tarumanagara."
~
Ad hanya memeluk Anin, berharap luapan emosinya tersalurkan berkat menangis.
"Aku cari Kakak ke Untar tapi nggak ada yang kenal, aku bahkan sewa jasa pelukis buat gambar wajah Kakak sesuai yang aku ingat."
"Tapi, mungkin pensil yang dipakai pelukis itu bukan pake merk faberkastil jadi hasilnya kurang mirip ... malah wajah Kakak aneh dan aku jadi bahan tertawaan," ucap Anin, mengenang masa pencariannya.
Adyapi tertawa kecil mendengar curhatan Anindya. Dia lantas menanyakan dua benda yang ditinggalkannya.
Anindya mulai gusar, badannya bergerak-gerak tidak tenang sehingga Ad melepaskan dekapan dan membiarkan Anin bangun dari duduk di atas pangkuan, berdiri disampingnya.
"Sssttt, kalau sudah nggak ada, biarlah. Aku cuma iseng minta kamu simpan biar kita ketemu lagi," ujar Ad, meraih jemari Anin yang saling mere-mat.
Manik mata Anin mulai tak fokus, dia takut-takut bicara, " Dibakar ayah. Katanya biar aku nggak halu parah karena nyari Kakak saban hari selama setahun ini ... bahkan Ayu pernah bilang kalau aku gila!" jujur Anindya.
Ad terperangah, benar kata dokter Listy, mungkin fase inilah yang membuat emosinya tidak stabil. Mendapat tekanan, cibiran keluarga terhadap peristiwa yang memicu trauma, padahal itu adalah momen besar bagi Anin. Keinginan kuat bertemu dengan penolongnya, usaha tanpa batas hampir membuat dia putus asa.
Tuan muda Bumandhala lalu meminta Arno untuk mengemas satu lukisan kota Jeddah dari penjual di sana. Dia akan mengajak Anin jalan ke taman masjid sebelum pulang.
Pimpinan Bumiland Jaya itu lantas meminta Anin duduk di salah satu bangku taman sementara dia memposisikan kursi roda di depan sang istri. Ad, meraih jemari Anin dan menggenggamnya erat.
"Pada akhirnya kita bertemu lagi, dengan banyak kesamaan nasib." Ad menatap lekat paras istrinya yang sendu.
"Tapi, maaf ya ... ketemunya dalam kondisi seperti ini. Penolongmu itu tak lagi sempurna, Dek," lirih Ad, nada suaranya berat dan parau. Dia pun ikut berkaca-kaca.
Anin menggeleng. Air matanya luruh kembali. "Aku sekarang sakit, Kak." Tangis begitu lancar keluar kini. "Aku takut Kakak malu punya istri setengah waras makanya mau pergi aja," ucap putri Agung, tersedu.
"Ibu meninggal saat aku sedang ujian dan tidak bisa pulang ... tak lama, ayah langsung menikah lagi, katanya biar ada teman," cicit Anindya, tergugu hingga bahunya berguncang. "Aku sempat nggak dikirim uang, karena beliau sibuk bulan madu," imbuhnya mengingat betapa dia pernah terlunta di negeri orang.
Jelas sudah segala pencetus ketidakmampuan mengendalikan emosi. Hidup di rantau, hampir menjadi korban pelecehan, dikecewakan keluarga hingga tidak adanya kepercayaan serta keterbukaan antar sesama, terutama sang ayah, menjadikan Anindya muda limbung tanpa sandaran.
Ad hanya mendengar semua keluhan yang lancar keluar dari mulut istrinya. Adyapi lantas mengusap jejak kesedihan dari pipi Anindya, mengangkat dagunya agar tatapan mereka beradu.
"Dek, kita healing sama-sama, yuk. Temani aku fisioterapi dan aku dampingi kamu ngobrol sama dokter ... gimana?" tanya Ad, antusias.
"Kakak tahu a-aku ... ke dokter?" balas Anin, sedikit melongo.
Adyapi mengangguk sambil tersenyum. "Banyak yang harus dilakukan dan siapkan di rumah ... mungkin, Allah mempertemukan kita lagi supaya bisa saling menopang. Aku butuh kamu, Dek."
"Aku mau ... aku mau, Kak," sambung Anin mulai berkaca-kaca, dia lalu menengadah kepala menatap langit, seakan melihat RabbNya tengah tersenyum melihat kedua hamba yang terpisah, baru saling jujur membuka hati. "Ya Allah, Engkau Maha Baik." Lagi-lagi butir beningnya luruh.
Keduanya saling memeluk, tak memedulikan tatapan orang-orang di sekitar. Toh, cincin yang melingkar di jari pasangan Bumandhala bisa menjadi bukti bahwa mereka adalah pasangan halal.
Lukisan Jeddah itu dipasang di dinding ruang keluarga hunian Bumandhala. Sebagai pengingat masing-masing bahwa salah satu dari mereka pernah menerima kepahitan, tapi di sisi lain ada bahagia yang tertunda dari sana. Jodoh dan juga cinta.
Adyapi lalu menunjukkan satu ruangan untuk Anindya belajar meditasi. Bukan ala-ala bertapa, melainkan hanya terdapat hamparan karpet, sajadah juga tasbih di sana.
"Ajak aku ke sini kalau kamu capek. Aku akan nunggu di depan pintu ini sampai kamu lega," ucap Adyapi ketika membuka ruangan yang diapit oleh kamar dan tempat kerja sang CEO.
"Ini kucingku, Mbul ... dia bagai squezze untuk meredam emosiku. Bantu aku ya, Sayang," Ad menunjuk hewan peliharaannya, diikuti tatapan serta anggukan manis dari Anindya.
Arno membawa kandang kucing besar dan menyiapkan satu sudut di dapur untuk binatang berbulu milik majikannya.
Anindya Basundari menghempas sesak ke udara. Beban berat terangkat sudah. Banyak orang antipati pada penderita bipolar, jarang pula bersedia berkawan. Tapi kini ada sang suami, teman berbagi suka duka, satu-satunya yang dia miliki.
"Makasih banyak, Kak!" Lagi-lagi Anin trenyuh, tak henti mengusap pipi yang sembab. "Bismillah, healing sama-sama," ucap Anindya, bersimpuh di depan kaki Ad, tersenyum memandang sayu suaminya.
"Healing dengan tuan lumpuh ya, Sayang." Adyapi terkekeh diikuti Anin, seraya membelai lembut pipi sang istri. Dia teringat judul bacaan di platform online.
Pasangan Bumandhala lalu masuk ke kamar, salat sunah dua rakaat sebagai pelebur segala khilaf, terutama guna memperbaiki tentang prasangka terhadap Sang Kuasa.
Adyapi lalu meminta Anin agar merubah panggilan untuknya, seperti ketika masa perjumpaan awal mereka empat tahun lalu.
.
.
..._____________________...
...🥹🥹🥹 banyak bersyukur bila ada yang menemani dalam sikon terpuruk....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Susi Lawati
maasyaa Allah, BAB melting ini, gak apa apa nin walaupun kamu di anggap remeh oleh keluarga mu, tapi banyak kelebihan yg kamu miliki tapi tak di miliki orang lain, kalian akan jadi pasangan yg luar biasa, bisa saling menguatkan...
2024-01-06
1
@Ani Nur Meilan
Dukungan orang terdekat sangat diperlukan saat kita sedang terpuruk namun yg dialami Anin sangat buruk justru dia malah tidak dianggap,dilupakan
DenganDengan Ada nya Ad,Anin akan sembuh karena sekarang ada yg nemperhatikan,menyayangi dan akan melindungi nya
2023-12-10
0
𝐀⃝🥀ℝ𝔸 ¢нαιяα
tentunya mom.... 🥺🥺🥺
perasaanku jadi campur aduk yaa... berasa nyata bngt🥺🥺
mangats ya buat kalian berdua... 😍😍😍😍
2023-12-10
1