BAB 20. SHOCK

Sang CEO menghela napas melihat kepergian Arlingga. Dia lalu menuju meja kerjanya dan memeriksa segala berkas penting di sana.

Tak lupa, tangan kirinya memegang dumble seberat satu kilogram dan kedua kaki Adyapi menapak di atas mesin yang memiliki kontur bagai akupunktur.

Terapi dengan tabib pun masih terus dia lakukan setiap akhir pekan. Sedikit demi sedikit syaraf kakinya mulai bisa merasakan berbagai sentuhan, membuat Adyapi makin giat dan kepercayaan dirinya perlahan pulih.

Setelah jam makan siang, Adyapi membaca pesan dari sang ayah yang memintanya datang ke rumah dengan Anindya petang nanti.

"Bisanya cuma ngadu, dasar bocah!" cibir Adyapi, sambil meletakkan gawainya di atas meja.

Tepat pukul empat, Ad mengakhiri meeting lanjutan pagi tadi. Tampak wajah lelah, kesal, dan menggerutu terlukis jelas dari ekspresi para petinggi Bumiland Jaya.

Dia menegaskan bahwa esok pagi, semua harus sudah selesai karena wisata kantor alias leha-leha telah berakhir.

Sang CEO lantas bergegas menjemput ratunya di Museum. Dalam perjalanan ke sana, Ad membeli minuman dingin berperisa coklat agar Anin siap mental ketika menghadapi Argan nanti.

"Assalamualaikum cantik," sapa Ad, tersenyum manis saat membuka pintu bagian kiri.

Anin sumringah. "Wa alaikumussalaam, Babang tamvan," ujarnya membalas sapaan Ad yang dia nilai konyol, tapi mencetak senyum di wajah Adyapi.

"Minum, Dek." Ad menyodorkan tumbler-cup ke hadapan Anin. "Kita mampir ke rumah papa dulu bentar, ya," sambungnya.

Nyonya Ad langsung menyedot es coklat itu dari tangan sang suami tanpa menyentuhnya. "Ada acara di sana?" tanya Anin.

"He em. Acara mendengar tausiah akibat pengaduan seseorang," balas Ad lalu meminta Arno untuk melajukan kendaraan.

Anin tak berkomentar, hanya menanggapi dengan kerutan di dahi diikuti anggukan darinya. Dia memilih menikmati minum es coklat dari tangan Adyapi.

Tepat azan magrib mereka tiba di kediaman Argan. Ad langsung menarik Anin masuk ke kamarnya untuk mandi dan salat lebih dulu sebelum menemui mereka.

Baru saja kedua sajadah dilipat oleh Anindya, Argan membuka pintu kamar mereka tanpa mengetuknya lebih dulu.

"Ad!" panggilnya tergesa.

"Pa!" tegur Ad sampai membelalakkan matanya sebab tak enak hati pada Anindya. Untung mereka tidak sedang ugal-ugalan di kamar.

"Apa ini? Anin sakit jiwa?" cecarnya menunjuk ke arah sang menantu sembari melempar berkas ke arah Adyapi hingga berserakan. "Gadis kurang iman!"

Anindya terkesiap, manik mata bulatnya melebar. Seketika dia beringsut ke belakang kursi roda Adyapi dan menunduk.

Ad memejam, menarik napas dan menggenggam jemari Anin agar menumpu di bahunya.

"Kalau gangguan kejiwaan Anin di sebut kurang iman, aku setuju kok, Pa. Asal penyakit lainnya juga disebut demikian ... sakit jantung, ginjal kronis, hepatitis dan apapun itu. Dan, Anin-ku undercontrol, Pa!" tegas Ad, menatap tajam sang ayah.

Argan lantas menghubungi Agung di depan mereka. Tanpa diduga oleh Ad, sang ayah memberondong mertuanya dengan tuduhan menipu.

Pendiri Bumiland itu mengumpat Agung sengaja menjebaknya, dengan memberikan gadis gila untuk Adyapi agar dia bisa memeras harta pewaris Argan Bumi.

"Ada apa ini? aku nggak paham. Anin baik saja meski kadang emosinya naik turun. Argan, aku habis operasi, loh. Kamu tega sekali!" suara Agung melemah di ujung panggilan.

"Dasar keluarga racun!" hardik Argan menutup sambungan mereka. "Awas saja kalau dia bikin malu. Jangan pernah membawanya ke publik, Ad!" sambungnya menatap nyalang sang menantu.

"Papa keterlaluan. Anindya tanggung jawabku, harusnya maki saja aku," seru Ad.

Jemari Anindya yang masih menempel di bahu Adyapi itu bergetar dan tanpa sadar mencengkeram pundak sang suami.

Ad menenangkan istrinya dengan mengeratkan genggaman di masing-masing tautan jemari mereka.

"Inikah yang kutuai dari aduan Arlingga, Pa? banggakah Papa melakukan ini pada kami, membuat aku dan Anin terluka?" lirih Ad, memandang rupa Argan yang masih memerah karena amarah.

Lelaki itu tak menjawab apapun lagi. Dia pergi begitu saja dari hadapan pasangan Bumandhala seraya membanting kencang pintu kamar mereka. Brak.

Ad menahan napas, memejam merasakan darahnya berdesir membuat denyut jantung terpompa lebih cepat.

Anindya pun jatuh luruh ke lantai, memeluk Ad dari belakang sembari menangis. Air matanya deras membanjiri pipi.

"Apakah sehina itu mengidap bipolar, Bang? benarkah berkaitan dengan i-iman? sampai nggak bo leh muncul di ha da pan ban yak o-orrrang?" lirihnya di sela isak, hati Anindya didera nyeri hebat hingga terduduk memeluk lutut.

"Ssssstttt. Kita pulang, yuk," ajak Ad. Dia memajukan kursi rodanya lalu memutar agar dapat melihat Anin dan menariknya bangkit.

Adyapi memeluk Anin, mengusap punggungnya dan mendengar semua keluhan. Namun, keintiman mereka terganggu oleh bunyi ponsel Anindya dari dalam tas.

Gadis itu langsung meraih benda tersebut, cemas karena teringat dengan kondisi Agung. Benar saja, nama Bertha terpampang di layar. Anindya buru-buru menggeser tombol on ke atas.

"Di loud, Dek." Ad menghampiri Anin dan memintanya mengaktifkan speaker.

"Ya, Ma?"

"Heh! dasar tukang buat aib, bikin malu. Ayahmu drop akibat makian dan tuduhan si tua bangka itu," cerocos Bertha dengan napas memburu.

"H-haaah? sekarang ayah gimana, Ma?" tanya Anin terbata karena menahan isak.

"Hah heh terus! sekarang ayahmu sedang menuju rumah sakit. Nggak usah jenguk lagi. Pergi jauh-jauh jika kamu nggak ada manfaatnya di dekat kami. Lagian punya suami kaya tapi pelit! ... emang nasib kamu sih, kurang waras ketemu yang begitu, cocok sama-sama abnormal!" omel Bertha berapi-api lalu mematikan sambungan.

Anindya memejamkan mata berharap rejaman kata-kata sadis itu tak mempan menghujam hatinya. Tapi, ucapan Bertha terlampau tajam dan berhasil membuat Anin membeku.

Dia mendekap ponsel di dada, menangis tanpa isakan suara bahkan air matanya sudah tak lagi menetes.

"Allahu Akbar!" lirih Adyapi meraup wajahnya gusar. "Sayang, dengar aku. Kita pulang, oke?"

Tiada sahutan, bahkan respon kontak mata dari Anindya. Hati Ad diliputi kecemasan hebat kuatir Anin masuk fase major depressive episode.

Adyapi sekuat tenaga menarik Anin hingga terduduk di atas pangkuannya. Dia lantas menekan tombol ekstra beban dan menghubungi Arno via panggilan cepat dari ponsel. Secepat mungkin keluar dari hunian durjana.

Jam 9 malam, keduanya tiba di hunian mereka. Ad langsung membawa Anin ke ruang meditasi. Selama 15 menit dalam sunyi akhirnya di sinilah, Anin bersuara kembali.

"A-abaaangg!" tangisnya pecah. Dia meraung, meracau sambil memukuli dada Adyapi yang juga ikut tersayat merasakan sakit hati.

"Jangan lagi macam-macam. Kita jauhi saja mereka. Kita hidup sendiri saja. Ayo, kita pergi!"

Ad tidak bicara, hanya memeluknya sembari mengusap punggung Anin berkali-kali. Dia juga mematikan ponsel sang istri agar tak lagi mendengar kata-kata sampah. Cutting-out toxic people.

Pimpinan Bumiland Jaya itu teringat kisah dalam surah Maryam, tentang ibunda nabi Isa yang bersedih karena gunjingan para tetangga akibat hamil tanpa disentuh pria manapun.

Atas perintah Allah, malaikat Jibril menemani dan mendengarkan keluh kesedihannya, serta memberi saran agar Maryam menutup mulut alias tak menanggapi mereka. Jibril juga menghibur beliau dengan menggoyangkan pohon kurma.

Dua jam dalam riuh rendahnya tangis, perlahan tatapan Anindya kembali fokus pada Adyapi.

"Alhamdulillah ... jalan-jalan, yuk. Kita kuliner malam," kata Ad lembut, seraya membenarkan hijab Anindya.

Adyapi tak lantas mengajak sang istri beribadah, atau mengeluarkan kata-kata nasihat karena di fase ini biasanya penderita bipolar akan sedikit menolak dan Ad tak ingin memaksa Anindya.

Putri Agung hanya pasrah, mengikuti kemana suaminya pergi. Mereka makan, minum dan nongkrong di angkringan pinggir jalan hingga Anindya rileks kembali.

"A-abang, kita belum isya, ya?" ujarnya pelan sambil menatap langit. "Mulai sekarang, hidupku antara aku dan kamu saja."

"Belum, Sayang. Sekalian witir, ya," balas Ad mengikuti arah pandang Anindya. "Ini pernyataan cinta nyonya Ad atau bagaimana?" kekehnya.

Anin tak menanggapi pertanyaan Adyapi. Dia masih asik memandang jumantara di pekatnya malam. "Enghh, Abang ... Allah lagi liatin aku. Nungguin ketemuan sama aku, face to face ... ayo, salat dulu, yuk!"

.

.

...________________________...

...Terapi mendengarkan seperti kisah dalam surah Maryam, juga dipakai oleh para terapis hypnosis, loh....

Terpopuler

Comments

Susi Lawati

Susi Lawati

wahai bapak Regan, gak ada yg salah dengan orang yg mengidap bipolar yang salah itu cara anda memandang, menilai terhadap orang tersebut, padahal belum tentu anda lebih baik dari Anin, nyesek bangeut momm...🥺

2024-01-06

1

@Ani Nur Meilan

@Ani Nur Meilan

Heiii...Ngomong tuh gampang bangettt..Ngga Sadar Situ yg Kurang Iman 😠😠😠😠

2023-12-31

1

Siti Chotijah

Siti Chotijah

😭😭😭😭😭😭😭hancur mom hatiku....,.

2023-12-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!