NovelToon NovelToon

HEALING WITH TUAN LUMPUH

BAB 1. INSECURE

"Ad!" sebut Argan-sang ayah, mencoba mencegah putra sulungnya keluar ruangan. Tangan tua itu sekuat tenaga menahan laju kursi roda yang digerakkan Adyapi, dia menarik handle dari belakang dan berhasil membuatnya menjauhi pintu.

Gegas, Argan berdiri di depan ketika terlihat sedikit celah di sana. Tubuh senjanya membentur daun pintu ruangan yang tertutup, napas Argan sedikit terengah akibat aksi tarik menarik yang dilakukan mereka tadi.

"Sudahlah, Pa. Aku muak melihat wajah mereka yang menatapku iba!" Telunjuknya terangkat ke depan, napas pun ikut memburu meluapkan emosi, pandangan nyalang dia tujukan ke arah sang ayah yang berdiri di depannya. "Aku ini cacat, Pa!" geram Adyapi mengepalkan tangan lalu memukul kuat dadanya diikuti rahang yang menegas.

Argan meraup wajah kasar, anaknya berubah menjadi sangat keras kepala dan temperamental setelah duduk di kursi roda.

Kecelakaan yang menimpa Adyapi satu tahun silam, membuat sang CEO harus menghadapi kenyataan bahwa kini dirinya lumpuh. Penampilan gagah dan perlente itu tiada lagi, tatapan bangga para karyawan yang puas terhadap kinerjanya pun kini berganti rasa prihatin dan iba.

Adyapi merasa sedang diremehkan, di hancurkan reputasinya oleh orang-orang yang justru masih tetap menikmati hasil atas semua ide dan kerja keras satu tahun belakangan.

"Adyapi Bumandhala! dengerin papa dulu," ucap Argan sedikit lantang. Kali ini dia meletakkan kedua tangan di bahu Adyapi, mengguncang tubuh putranya. "Mereka nggak bermaksud begitu, Nak," imbuh Argan, memandang sendu sang pewaris Bumiland Jaya, perusahaan tambang miliknya.

Adyapi menggeleng, menepis cengkeraman sang ayah di bahunya. Dia menunduk, melihat ke kedua kaki. Sekuat tenaga mencoba menggeser lutut tapi tiada pergerakan, hanya peluh yang bermunculan di dahi.

"Lihat! diem aja 'kan?" tunjuk Adyapi pada kedua pahanya. "A-aku ini lumpuh! pria nggak guna!" kesalnya memukuli tulang kaki dengan kepalan tangan.

Argan tahu, anaknya mulai putus asa setelah satu tahun menjalani pengobatan akan tetapi tak jua menemui progres baik.

Adyapi merasa lelah, waktunya banyak terbuang mengurusi hal yang tak lagi membawa banyak dampak positif. Dia memutuskan menghentikan pengobatan dan mulai menyesuaikan diri.

Namun, tak semua mata manusia bisa melihat sisi lain seseorang kala terpuruk. Adyapi mulai terusik ketika banyak staf, kolega bahkan security yang memandang dengan rasa kasihan. Sedikit-sedikit membantunya seolah dia tak lagi mampu untuk melakukan hal-hal sederhana seperti meraih cangkir kopi atau sekedar membuka pintu.

"Aku akan kerja dari rumah aja. Malas bertemu para begundal berdasi," tutur sang CEO, mulai menekan tombol agar kursi rodanya maju. Dia menarik tuas pintu dan keluar dari sana.

Saat telah di depan lift, tangan Ad terulur tapi tiba-tiba seseorang terburu menekan panel angka seraya tersenyum padanya. Adyapi menghela napas, lagi-lagi dikasihani.

Dia bergeming, enggan berterima kasih sebab bukan keinginannya dibantu oleh pria tersebut.

Sesampainya di rumah, Adyapi langsung menuju kamar baru yang didesign khusus agar dirinya mudah beraktivitas di dalam. Paling tidak, di sini dia bebas melakukan apapun yang dimau.

Menjelang petang, salah satu maid masuk ke kamar membawa makan malam, ketika Ad baru selesai mandi. Dia hendak meraih baju koko yang terletak di rak bagian atas, tangannya berusaha menggapai tapi belum berhasil.

"Saya saja yang ambilkan, Den," ujar si asisten rumah tangga, terburu meletakkan baki di meja dan menuju lemari, menjulurkan tangan ingin menarik pakaian tuan mudanya dari rak.

"Nggak usah, aku bisa," ujar Ad, mencegah dengan merentang lengan, tak menoleh ke arah sang wanita.

"Nanti masuk angin, Den. Biar bibi bantu," imbuh wanita paruh baya, masih berdiri disamping sang majikan.

Adyapi kembali jengah, dia mendengkus sebal. "Kalau kataku jangan ya jangan, kenapa maksa, sih?! ... PERGI!" Suara lantang kembali menguar.

Wanita itu terhenyak dan berdiri mematung akibat bentakan tuan muda, lupa karena terlalu cemas melihat Adyapi kesulitan.

Melihat sumber emosinya tak lekas beranjak, malah merunduk diam di dekatnya membuat Adyapi kembali berseru, "KELUAR! ... KUBILANG PERGI YA ENYAHLAH!"

"I-iya, Den. Ma-maaff," gagap maid masih menunduk ketakutan. Mundur perlahan dari sisi tuan mudanya.

Suara gaduh dari kamar bawah membuat Argan tergopoh-gopoh menuju sumber keributan. Pintu kamar Adyapi dibuka dari dalam, tampak satu maid keluar dengan wajah pias dan bergegas kembali ke dapur. Dia bahkan tidak menutup panelnya lagi.

Argan melongok ke dalam, melihat putranya sedang memakai pakaian. Ingin membantu tapi bakal tahu kemana ujungnya. Pendiri Bumiland Jaya itu akhirnya menutup pintu kamar Adyapi pelan-pelan.

Ayah Adyapi bersandar di dinding sebelah pintu kamar. Dia berpikir akan mencarikan asisten yang dapat membantu kesehariannya, dan mengerti bagaimana cara menghadapi lonjakan emosi sang anak.

Hari-hari berikutnya, Adyapi selalu berada di dalam kamar. Hanya Arno-sang asisten yang kerap masuk dan keluar dari sana tanpa membuat kekacauan atau memancing teriakan tuan muda Bumandhala.

Bukan hanya Adyapi yang stres, tapi Argan pun demikian. Putranya menguncilkan diri. Hari ini dia memutuskan berjalan-jalan ke mall, sekedar cuci mata sebelum menuju ke tempat agency penyalur pegawai.

Sedang asik berbincang dengan seorang gadis marketing kartu kredit, tiba-tiba namanya disebut oleh seseorang.

"Argan!" sapanya sumringah, menghampiri pria sebaya di sebuah stand.

Argan menoleh ke arah kanan, melukis senyum pada seseorang yang dia kenal. "Hai, Gung!" balas pemilik Bumiland Jaya, menyongsong dan memeluk sahabat lamanya.

Kedua pria pun larut dalam canda tawa, lalu mencari sebuah tempat untuk mengobrol lebih lanjut sebab lama tak bersua dan masih disergap rindu.

Lambat laun, mereka lantas menceritakan sekelumit kisah keluarga masing-masing. Agung menyatakan keprihatinan atas apa yang menimpa Adyapi. Argan pun hanya mengangguk, menepuk lengan sang sahabat dan berterima kasih telah peduli.

Para pemilik perusahaan itu terdiam sesaat. Tak lama, melintas sebuah ide dalam otak Agung dan mungkin bisa jadi solusi masalah mereka berdua. Dia pun menyampaikan usulan pada Argan.

"Gan, dulu kita pernah janji mau jodohin anak-anak, 'kan?" ucap Agung, sorot matanya berbinar, menyenggol lengan sang sahabat.

Argan terkesiap, dia lupa. Tetapi, lelaki itu kembali antusias. "Eh, iya. Anakmu perempuan, ya?" tanyanya ikut sumringah.

Agung mengangguk, dia lalu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto si putri sulung dari galeri. Hatinya berharap Argan tergugah sehingga dia akan mengajukan syarat agar kendala yang dihadapi selesai.

Argan manggut-manggut, senyumnya terbit melihat paras sang gadis, ayu dan lugu. Dia jadi tertarik mengenalkan mereka. Jika putri Agung bersedia menjadi istri Adyapi, maka dia tak perlu lagi membayar gaji asisten. Ngirit pengeluaran.

Para pria sepakat akan membujuk anaknmasing-masing dan mengatur pertemuan lanjutan. Merasa rencananya mulai mulus, Agung pun mencoba mengajukan syarat pada Argan.

"Aku lagi kekurangan dana untuk bahagiakan istriku, gimana ya?" ujarnya, merunduk lesu berusaha menarik simpati Argan.

Argan yang sedang dibuai bahagia karena merasa langsung memiliki chemistry dengan calon menantunya setelah melihat foto tadi, mengerti maksud terselubung sang kawan lama. Dia menyengol lengan Agung.

"Cincay lah itu, aku bantu nanti. Sekarang mending pikirin gimana caranya biar mereka menikah! supaya Ad ada yang ngurusin dan semangat dia bangkit lagi," tutur Argan, tersenyum lebar seraya menaik-turunkan kedua alisnya ke arah Agung.

Dua pria paruh baya itu terkekeh dan menganggukkan kepala bersamaan. Tak lama, mereka akhirnya pisah tujuan membawa misi masing-masing.

...***...

"Pergi!" lantang sang CEO, mengusir pembantunya.

Brak! pintu kamar dibanting Adyapi. Seorang maid muda pun menangis saat keluar dari sana.

Argan baru saja tiba ketika lagi-lagi menyaksikan ledakan emosi Adyapi. Dia lalu mengetuk pelan pintu kamar putranya, mencoba mengutarakan maksud yang menurutnya baik.

"Ad! ini papa, boleh gabung, ya," ujarnya, langsung menekan tuas pintu dan masuk ke dalam.

Sang putra sulung sedang berusaha meraih kertas yang berserakan di lantai, memunggungi arah datang dirinya. Argan lantas duduk di sisi ranjang, mulai bicara serius.

"Papa bilang aja kalau malu jalan sama aku. Nggak usah pake alasan jodoh-jodohin segala." Ad menjeda kegiatannya, lalu menatap jendela kamar, membelakangi sang ayah.

"Salah paham mulu sih, Ad. Sudah waktunya menikah, biar ada teman berbagi kisah ... liat dulu aja siapa calon kamu. Kalau cocok ya lanjutkan, bila tidak mau tinggal bilang keberatan," beber Argan memandang punggung Adyapi seraya menelan ludah karena terpaksa mengingkari niatan sebenarnya.

Adyapi memutar kursi rodanya menghadap sang ayah. Dia menatap lekat manik mata sipit pria bersahaja di hadapan yang menyodorkan ponsel.

Dahi Ad mengernyit heran saat melihat sekilas foto yang Argan sodorkan, dia ingin memastikan dan menyetujui pertemuan dengannya. "Oke."

Bila Ad bersedia, lain hal dengan Anindya Basundari. Gadis cantik bermata bulat itu menolak usulan sang ayah karena dia telah memiliki tambatan hati.

Anin menangis, merasa terus menerus dikorbankan oleh ayahnya hanya untuk memenuhi ambisi seseorang. Namun, sejurus kemudian dia menghampiri Agung yang duduk lemas di sofa keluarga.

"Ayah, boleh lihat dulu nggak siapa calonku?" tanyanya malu-malu.

Agung menengadahkan wajah, seketika aura bahagia terpancar dari sorot matanya. Anin memang susah ditebak, sebentar penurut, sekejap memberontak dan tak jarang mengamuk tanpa sebab. "Boleh, boleh. Lusa kita ketemuan, ya!" ucapnya antusias.

Anindya mengangguk ragu, setengah hati menerima. Dia bukan gadis bodoh, pasti ayahnya telah menyepakati sesuatu dengan seseorang demi kebahagiaan wanita itu.

Akhirnya, waktu yang ditunggu pun tiba. Kedua keluarga bertemu di ruangan privasi sebuah restauran yang Argan pesan.

"Aku bersedia!" ucap Ad, setelah memandang lekat gadis di hadapan yang lebih banyak diam dan menunduk.

'Hai, ketemu lagi gadis Arab. Apa kamu masih ingat aku? mungkinkah kali ini kamu yang bakal mengungkap siapa pelaku sabotase mobilku?'

Anin terkesiap. Dia bingung saat ditanya sang ayah. Hatinya mencelos melihat calon suami di hadapan, tapi di sisi lain, dia terpesona oleh ketampanan Adyapi.

"Ad butuh booster biar mau lanjutin pengobatan. Dokter bilang, dia masih pu-," tutur Argan, menjeda kalimat karena ditatap sengit Adyapi. Dia lantas tertawa kecil guna menutupi kegugupan.

"Adyapi sudah oke. Kamu bagaimana?" desak Agung kembali, menatap lurus putrinya yang menunduk.

'Dia tampan meski lumpuh, kesian banget. Tapi, aku 'kan begini, nanti gimana kalau ketahuan?' Anin membatin.

.

.

BAB 2. TERNYATA KAMU

Anin memberanikan diri meminta jeda waktu dua hari untuk menjawab, entah mengapa demikian padahal tadi hatinya menggebu ingin langsung menerima karena terlampau iba.

Pertemuan pun berakhir. Sebelum melepas Agung pergi, Argan membisikan sesuatu yang membuat wajah muram sang sahabat berseri lagi. Tak lama, kedua keluarga berpisah.

Sesampainya di rumah, Anin langsung dicecar Bertharani-ibu tirinya yang berdiri di sisi sofa ruang tengah. Wanita berbadan seksi meski usia tak lagi muda itu menaikkan satu tangan di pinggang, kian menasbihkan diri bahwa dia seorang instruktur senam yang memiliki pinggang ramping.

"Heh! kamu itu beruntung kalau ada laki-laki kaya yang melirik gadis berpenampilan kuno tanpa ba-bi-bu," cibir Bertha, sambil meniup-niup kukunya yang baru terpoles kutek merah menyala.

Anin yang hendak memasuki kamar, menoleh ke arah Bertha. "Tapi dia lumpuh, Ma. Aku sudah punya pujaan hati dan yakin dia tinggal di Jakarta ... tolong, kali ini jangan menekanku," cicitnya masih berdiri di depan pintu kamar, menatap bergantian pada ayah dan ibu tiri di sofa.

Agung mendesah, merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Argan mendesaknya agar memaksa Anin karena keinginan Adyapi pantang ditolak. Dia pun berpikir harus membujuk di waktu yang tepat, saat kekerashatian Anin melemah.

"Kamu itu halu, mikirin pria nggak jelas. Paling cuma karanganmu saja," sergah Bertha, ikut duduk di sisi suaminya. "Mas, kawinkan saja! ... anakmu itu suka berubah-ubah pendirian, sebentar nurut sekejap membangkang. Kayak orang yang otaknya kurang se-ons!" ketus Bertha, melirik tajam ke arah gadis di sana lalu menyenderkan kepala di bahu Agung.

"Bertha!" sentak Agung, duduk tegak menghempas sandaran sang istri. "Kamu ngatain Anin nggak waras?" deliknya sinis.

Bertharani duduk menyamping, dia mengangkat telunjuknya ke arah Anin. "Perhatikan saja sikap Anin kalau libur kerja. Suka ketawa, nangis, teriak-teriak nggak jelas ... kata orang jaman dulu, misal kita punya anak yang kurang se-ons gitu, bakalan sembuh kalau dikawinkan. Nah, kan udah ada calon, paksa aja, lah," bebernya lagi.

Brak! Anin masuk ke kamar dan menutup pintunya kencang.

Dadanya mulai panas, peluh bercucuran dibalik hijab, menahan agar emosi tak meledak. Dia langsung mengeluarkan botol kecil dari dalam tas, menumpahkan isi sebutir dan menelannya.

Dua hari dilalui Anindya dengan tekanan, dia bahkan mendadak menebus separuh resep lagi sebelum jadwal kunjungan. Hingga pada akhirnya Anin mengangguk setuju atas pernikahan itu.

Agung menyampaikan kabar bahagia kepada Argan. Mereka lantas sepakat melangsungkan pernikahan anak-anaknya lusa mendatang. Persiapan kilat pun dilakukan atas permintaan Adyapi yang menghendaki syukuran intimate.

Anindya gugup, lebih banyak menunduk dan mere-mat kedua jemari di atas pangkuan selama keluarga Adyapi melakukan prosesi lamaran di hari yang sama, serta menyatakan kesiapan acara lusa nanti.

Pernikahan berlangsung khidmat di penghujung senja sebuah hotel, dua hari kemudian. Adyapi sumringah menyapa kolega-kolega penting Bumiland Jaya. Namun, tatapannya tak lepas dari sosok yang sedari tadi tengah gencar menarik perhatian para tamu, siapa lagi kalau bukan Arlingga, adik tirinya.

"Dia adik tiriku, kita ini sama bukan?" kata Ad, saat meraih jemari istrinya agar Anin menegakkan dagu di hadapan para tamu.

Anindya terkesiap, tangannya yang dingin seketika menghangat akibat genggaman sang suami. "Ehm, yang mana, Kak?" tanyanya malu-malu, sambil mencuri pandang ke arah Adyapi.

"Arah jam dua. Cakep sih, tapi lebih tampan aku," kekehnya. "Awas kalau kamu diam-diam bangun komunikasi sama dia!" ancam Ad, melirik tajam dengan ekor mata disertai cengkeraman kuat di jemari Anindya.

Anin menoleh ke arah yang dimaksud sekaligus meringis sebab merasakan nyeri di sela tulang buku jarinya yang kurus. "Sa-kit, Kak!" cicitnya, membuat Adyapi menoleh.

Pria itu melepas tautan jemari mereka seraya menghela napas sebab lagi-lagi gagal mengontrol emosi.

Acara pun berakhir dan pasangan Bumandhala naik ke kamar hotel untuk beristirahat. Ketika Ad tengah membersihkan diri, pintu kamar mereka diketuk seseorang, Anin yang masih duduk di sisi ranjang karena bingung harus bagaimana, memilih membuka pintu ruangan.

"Ya, Pak?" sapa Anin tersenyum kaku, saat melihat mertuanya di depan pintu.

"Biasakan panggil papa mulai sekarang ... nih, milik Ad, papa serahkan tanggungjawab ini padamu," ujarnya, memberikan benda kotak kecil berwarna putih transparan, berisi semua obat-obatan Adyapi.

Sebelum pulang, Argan mewanti menantunya itu agar tak patah arang membujuk Adyapi untuk meminum obat juga menemani jadwal terapi. Pendiri Bumiland Jaya pun lantas pergi setelah menjelaskan sekilas.

"Siapa, Dek?" tanya Ad, melongok sembari menekan tombol kursi rodanya. Tapi, dia kesulitan karena roda belakang tersangkut.

Anin tak segera menjawab, dia langsung berjongkok di hadapan kedua kaki suaminya, menarik besi depan kursi roda Ad, memundur-majukan agar roda belakang leluasa bergerak maju.

"Ish, aku bisa! minggir!" usirnya, menepis tangan yang memegangi kursi yang dia duduki, hingga Anin nyaris terjengkang.

"Masih nyangkut, Kak. Bentar," balas Anin, kembali menekuk lutut, mengindahkan cegahan suaminya.

Emosi Adyapi mulai mencuat lagi, Anin dibentaknya sekaligus diperingatkan agar tak lagi membantu apa yang dia kerjakan.

Gadis berhijab putih itu terhenyak, jantungnya berdegup kencang. Dia mengangguk cepat dan meletakkan box obat Adyapi di sembarang meja, lalu langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan diri.

Malam pertama pasangan Bumandhala dilewati saling diam, Anin memilih tidur di sofa setelah suasana hatinya tenang. Dia berusaha menahan diri tak membantu saat melihat Adyapi kesulitan menaiki ranjang.

Keesokan pagi setelah sarapan, Anindya teringat pesan Argan. Dia pun menyodorkan pinggan kecil berisi beberapa butir obat ke hadapan Adyapi yang sedang mengunyah dessert.

"Apa maksudmu?" tanya Ad, melihat Anin yang berdiri disampingnya.

"Kata papa, Kakak harus minum obat lagi biar proses penyembuhan tetap berjalan baik," ucap Anin, mengulas senyum.

Ad meraih piring berisi obat lalu melemparkannya ke dinding. Prang!

"Allahu Akbar!" seru Anin, menutup mata serta kedua telinga dengan telapak tangan.

Ad lalu menarik blus Anin hingga dia jatuh terduduk. Teriakan gadis lugu itupun terdengar. "Argh! ampun, Kak!"

"Heh! jangan coba-coba paksa aku minum apapun!" bisik Adyapi, tatapannya tajam menusuk melihat paras ayu yang memejam.

Anin gemetar, dia mengangguk cepat meski masih menutup mata dan telinga. Pantas saja, Argan memintanya jangan patah semangat, tabiat pewaris Bumiland Jaya sangat temperamental.

Pemimpin perusahaan tambang itu mendengus kesal lalu keluar dari ruangan menuju balkon. Suasana hotel pinggiran kota yang memiliki view hamparan bunga serta danau buatan, menjadikan pandangan sang CEO teduh hingga membuat Adyapi tertidur di atas kursi rodanya.

Menjelang Dzuhur, Anin berniat membangunkan suaminya untuk salat. Tapi, niatannya dia urungkan sebab tertarik melihat bagaimana rupa Adyapi saat pulas seperti ini.

Anindya duduk di bale samping kursi roda suaminya, menatap lekat wajah tampan yang memejam. Alis tebal bertengger, netra sipit berhias bulu mata terjajar rapat, disamping tegaknya tulang hidung, membuat pahatan sempurna mahluk ciptaan Tuhan.

Gadis berhijab panjang ini senyum malu-malu, ketika memandang bibir sensual Adyapi, sumber segala kata-kata cadas menguar. Dia lalu menyangga wajah dengan lengan yang menumpu di atas lutut, memeta setiap inci paras halal imamnya.

Anin lalu mengeluarkan gawai, mengabadikan momen betapa rapuh, serta teduh tampilan suaminya di saat tertidur pulas. Namun, tiba-tiba saat dia menelisik lebih jauh. Manik mata bulatnya melebar, Anindya menyadari sesuatu.

"Ka-kaam-mu? ... i-inni kamu, Bang?" lirih Anin, menutup mulut rapat dengan satu tangan. Iris coklat tua itu bergantian memandang rupa asli Ad dengan hasil jepretannya.

Seketika netra putri Agung mengembun, dia terisak lirih, merasa Tuhan sangat baik padanya meski terlambat disadari.

'Pantas saja, langsung menerimaku. Apa dia lebih dulu sadar? ya Allah, benarkah ini adalah orang yang sama? tapi, wajahnya tampak sedikit berbeda.'

Ingatan Anindya kembali ke masa saat dia tengah menempuh pendidikan di King Abdul Aziz University Jeddah beberapa tahun silam. Dia lalu mengusap jejak kesedihan dari ujung netra, terburu memperbaiki niatnya menikah dengan Adyapi.

"Bismillahirrahmanirrahim ... Bang, semoga ini 'kamu' agar aku dapat melayanimu dengan sepenuh hati. Bukan karena kewajiban semata, tapi sekalian balas budi," gumam Anin, menunduk, jantungnya langsung berdebar hebat karena sosok pria di hadapan.

Tepukan, usapan lembut Anin di lengan Adyapi membuat lelaki itu bangun, mengulas senyum samar ketika melihat Anin tersenyum padanya.

"Salat, Kak. Berjamaah, yuk," ajak Anin lembut dan diangguki Adyapi.

Malam kedua pasangan Bumandhala dilalui lebih baik dari sebelumnya. Ad mulai bertanya tentang Anindya, dimana dia bekerja juga apa yang biasa dilakukan saat luang. Keduanya pun mulai sama-sama nyaman membagi banyak hal keseharian.

Luapan emosi sang CEO teredam baik sampai mereka pulang dan tinggal di kediaman keluarga Adyapi selama satu pekan, sebelum pindah ke hunian pribadi Ad.

Namun, kedisiplinan Anin dalam mengurusi dirinya di pekan ini, nyata membuat Adyapi jengah. Dia salah paham atas sikap Anindya yang menyiapkan ini itu baginya terutama dalam hal membujuk agar melakukan fisioterapi lanjutan.

"Kamu malu punya suami cacat macam aku ini, Dek! BILANG SAJA!" teriak Ad, menunjuk wajah Anin setelah melempar gelas ke lantai.

Anindya memegangi dadanya yang berdegup. "Astaghfirullah, Kak! nggak ada pikiran kayak gitu di hati dan otakku," bantah Anin, langsung berjongkok seraya memunguti pecahan kaca yang berserakan.

"MUNAFIK!" seru Ad, berbalik badan dan menjauh dari sana.

Anindya lelah, kemarin dia memandu rombongan tur hingga petang, suaranya habis, kaki pun sakit dan kini dituduh dengan ucapan serta bentakan yang hampir sama setiap hari. Semakin ditahan dadanya kian sesak.

"HEH! KAU PIKIR SIAPA DIRIMU? AKU JUGA NGGAK SUDI ... AKU CUMA IBA!" seru Anin, amarah pun membuncah. Matanya memerah, telunjuk ikut terangkat ke arah sang suami yang membelakangi.

Sejurus kemudian, Anin terkesiap, memegangi wajahnya lalu berlari kecil menuju kamar mandi.

Brak! pintu kamar mandi dibanting keras oleh Anindya.

Adyapi memutar kursi rodanya, terjengit kaget atas sikap Anin barusan. Istrinya itu tak pernah membalas makian apapun selama satu pekan pernikahan mereka.

Dia lantas menuju pintu bathroom dan mendengar isakan dari dalam. Namun, tak lama, Ad menangkap gelagat tawa disertai umpatan entah ditujukan pada siapa. Otaknya berpikir keras.

Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Anin langsung bersimpuh di depan kaki Adyapi. "Maafin aku, Kak. Maaf. Janji nggak ngulang lagi," cicitnya dengan wajah serta sorot mata sendu.

"Kamu kenapa, Dek?" cemas Ad mengerutkan alis, lalu mengusap lembut kepalanya. Mungkinkah Anindya ....

.

.

..._______________________...

BAB 3. DIAMBANG BATAS

Ad meminta Anin bangun dan duduk di sofa kamar mereka. Dia menduga sesuatu tapi enggan bertanya karena takut salah prasangka. Ad akan meminta Arno-sang asisten untuk menyelidiki lebih lanjut.

"Bobok aja, Dek. Kamu capek, 'kan?" tutur Ad lembut, menggenggam jemari istrinya yang masih tertegun.

Anin mendongak, dia hampir lepas kendali lagi setelah usaha meredam emosi sebulan lalu. Sungguh sebuah ujian sabar sekaligus ketahanan mental menghadapi fluktuasi sikap sang suami. "Oke. Kakak juga," ucapnya bersiap merapikan sofa, tapi sejurus waktu, lengannya dicekal Ad.

"Di sana, sama aku," sambung Adyapi, menunjuk tempat tidur dengan dagunya.

Anin mengerjap, seketika pikiran konyol berputar di otak. Bagaimana jika tidurnya urakan, berguling ke sana sini lalu menimpa kaki Ad, atau yang lebih buruk, memeluknya.

Blush. Wajahnya merona, manik mata bulat itu bergerak cepat ke kanan-kiri.

Ad terkekeh melihat Anin salah tingkah, dia lalu menariknya pelan dan menuntun menuju sisi ranjang, memaksa Anindya berbaring di sana.

'Sekejap kasar, sebentar lembut. Kamu bukan temperamen, Bang. Sikapmu hanya refleksi dari rasa minder dan putus asa sebab kemandirianmu terjegal kursi roda, kan?'

Adyapi memutari sisi satunya lalu perlahan naik ke ranjang bergabung dengan Anin setelah mengirim pesan untuk sang asisten.

...***...

Anindya mulai bekerja seperti biasa setelah satu pekan cuti, tak ada yang tahu perihal pernikahannya kecuali Giska, sang sahabat.

Pagi ini saat tengah mengendarai sepeda motor matic miliknya, ponsel Anin tak henti berdering. Dia pun menepi ke bahu jalan, mengeluarkan gawai dari saku celana dan menggeser tombol hijau ke samping.

"Ya ayah," sapa Anin.

"Nin, gimana ini, uang ayah buat renovasi sanggar senam dan beli alat DJ Ayu minus. Kamu minta kekurangannya sama Ad, ya," ucap Agung di seberang.

Anin mengernyit, baru juga sepekan menikah, Ad belum memberikan apapun padanya selain mahar. "Minta apa, Yah?"

"Minta uang lah. Pura-pura oon! ... sanggar mama harus segera rampung, Nin. Uang dari tuan Argan nggak cukup. Lagipula, Ayu bentar lagi ujian praktek belum beli peralatan lengkap. Suamimu 'kan kaya, apa susahnya ngasih mertua!" cecar Bertha, mengambil alih ponsel suaminya.

Anin gelagapan, begitu banyak tuntutan untuknya. Dia kira, setelah menikah hidup ini akan damai dari rongrongan pasangan ibu dan adik tiri, tapi nyatanya lebih parah, dia diperas.

"Nggak bisa, Ma ... A-aku-," gagap Anin, bingung seraya menggaruk kepala dari balik hijab.

"Oh, nggak bisa, ya. Oke, jangan salahkan mama bila tuan Argan tahu kalau kamu gila!"

Tut.

"Ma! Ayah!" sebut Anindya, melihat sambungan terputus. Dia menarik napas berat sembari memasukkan lagi ponselnya ke saku celana, lalu melanjutkan perjalanan menuju Museum.

Gawai pipih itu anteng di saku rok panjangnya selama Anin bekerja. Hari ini dia memandu rombongan anak usia dini berkeliling Museum, tempatnya mengabdikan diri sebagai pecinta sejarah.

Tak seperti dulu, zaman sekarang Museum sedikit ramai dikunjungi para pelajar entah untuk meneliti sesuatu atau sekedar mengerjakan tugas.

Di tempat ini, Anin merasa dirinya dibutuhkan, didengar dan di hargai. Sesekali mendapat apresiasi dari pengunjung yang puas atas rangkaian penjelasan saat room tour, menjadikan Anindya merasa berguna sebagai manusia.

Pesan masuk dan panggilan beruntun memenuhi log aktivitas handphone kala Anin bersiap pulang. Dia membuka benda pipih itu dan mulai menggigiti bibir ketika membaca satu per satu pesan dari sang ayah, ibu serta adik tirinya.

"Gimana ini. Seratus juta 'kan banyak," gumam Anin, menggenggam erat gadget ditangan saat menuju lot parkir.

Sepanjang perjalanan pulang, otaknya memikirkan cara halus meminta pada Adyapi. Hingga dia tak memperhatikan ruas jalan dan hampir terserempet mobil pickup yang melaju dari arah berlawanan.

Tiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnn!!

"Wooyy!!!!"

Anin terkesiap, langsung menarik tuas rem. Beruntung dia sudah belok ke ruas jalan kecil, yang lumayan lengang sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun.

"Astaghfirullah." Jantungnya terasa berdentum, darah berdesir memompa cepat membuat peluhnya muncul.

Perlahan, Anindya melajukan kembali motornya. Jarak yang ditempuh sedikit lebih jauh sebab Adyapi mengajak Anin pindah ke cluster miliknya di sebuah perumahan.

Setelah berpuluh menit, Scoopy coklat itu memasuki garasi. Senyum menawan Ad, menyambut kedatangannya di teras.

"Assalamualaikum, Kak." Anin menjulurkan tangan, meminta salim pada suaminya.

"Wa alaikumussalaam, capek, ya?" balas Ad, mendapat senyum balasan lalu mengusap pucuk kepala Anindya. "Gih, mandi lalu makan sebelum Maghrib, habis itu cuma minum air putih saja sampai bada subuh," pintanya lembut diangguki Anin, lalu mengajak sang istri masuk hunian.

Suasana tenang menemani pasangan Bumandhala hingga bada isya. Ponsel Anin di nakas tak henti bergetar hingga membuat Ad terusik.

"Dek, siapa, sih?" deliknya mulai kesal, melihat Anin yang baru selesai mengaji.

Anin mendongak, ragu mendekat sebab tahu siapa pelaku pembuat rusuh malam tenang mereka. Tapi, ini adalah kesempatannya untuk mencoba.

"Ehm, ayah kayaknya." Anindya beringsut, masih mengenakan mukena, mendekati suaminya yang sedang mengerjakan sesuatu di depan laptop.

"Angkat, Dek, nggak sopan nyuekin orang tua," timpalnya tak melepas pandangan dari layar kotak di pangkuan.

"Biarin aja dulu." Anin menumpu tangan ke handle kursi roda Adyapi. "Kak, aku boleh pinjam uang, nggak?" cicitnya, melirik takut-takut.

Lelaki yang masih mengenakan koko dan sarung itu menoleh. "Untuk apa? kalau buat keperluan kamu sudah aku siapkan," ujarnya meraih dompet dari kotak kecil di bagian kiri kursi roda lalu menarik satu kartu dan menyerahkan pada Anin. "Pinnya tanggal pernikahan kita," imbuh Adyapi.

Anin menerima kartu platinum yang disodorkan Adyapi. "Ya untuk apa aja ... ini ada 100 juta enggak?" tanyanya polos meneliti benda itu.

Ad menjeda pekerjaannya dan melirik tajam ke arah wanita yang berada disamping kanan. "Mau beli apaaan sih, Dek? tas? pilih saja merk apa, nanti aku bayar ... kalau kartu ini, khusus jajan juga kebutuhan pribadi kamu," beber Adyapi mencoba meredam emosi.

"Bukan." Anin menghela napas, merasa suaminya bawel padahal dia kesulitan menjelaskan. "Ya sudahlah kalau nggak mau ngasih," balasnya lesu, seraya bangkit dari sisi Ad dan meninggalkan platinum card di atas laptop, berjalan gontai menuju tempat tidur.

Anindya melepas mukena dan meletakkan mushaf di nakas, bersisian dengan smartphone miliknya.

Menantu Argan, menelungkup di atas kasur, bayangan penyakit jantung ayahnya kambuh bila stres, menyeruak di pelupuk mata. Kenekatan Bertha pasti bakal memaksa Agung menggunakan uang kas perusahaan, tentu akan berimbas pada keberlangsungan hidup para karyawan akibat produksi es krim tersendat.

Adyapi merasa perhatian dan tanggung jawab memberi nafkah untuk Anin, tak dihargai. Dia mengepal tangan kuat lalu mengejar istrinya ke sisi ranjang.

"DEK! BISA NGGAK, HARGAI PEMBERIAN SUAMIMU?!" seru Adyapi, lantang.

Anindya menutup kepalanya dengan bantal guna meredam stres. Akhir-akhir ini dia mudah terpicu sehingga terpaksa mengkonsumsi obat lagi.

Ad makin kesal ketika Anin bangun dan bergegas menuju kamar mandi, mengunci diri di sana seperti kemarin. Dia meraup wajah kasar, merasa payah dalam mengendalikan emosi.

Tok. Tok. Tok. "Dek!" Ad mengejar istrinya ke depan kamar mandi.

Tiada sahutan, hanya gemericik air yang terdengar.

Adyapi paham akan digunakan untuk apa uang 100 juta yang diminta Anin. Dia merasa nasibnya sama dengan Anindya, dirongrong ibu dan adik tiri tapi bingung bagaimana cara mengungkapkan perasaan.

Ad juga tak serta merta mengabulkan keinginan Anin karena suatu alasan. Ingin membantunya terbebas dari kendali mereka tapi malah membuat sang istri tertekan.

Anindya meringkuk di bawah guyuran shower, menangis tanpa suara, merasa hidupnya mudah dikendalikan orang lain.

Dia ingin mendampingi Adyapi agar bangkit dari keterpurukan, akan tetapi, dirinya merasa tak sanggup terus berpura sabar di depan pria itu. Dia juga sedang sakit.

"Aku pengen pergi aja ya, Tuhan." Anin masih duduk di sana, memeluk kedua lutut sambil menggoyang-goyangkan badannya.

"Ta-tappii ... bagaimana dengan aku, terlanjur mencintaimu," ucapnya dengan bibir bergetar, sorot mata pun kosong.

Tok. Tok. "Dek! maafin aku ... buka, ya," bujuk Ad, di depan pintu.

"Aku mau pergi aja, Kak," cicitnya mulai kedinginan, mengusap kedua lengannya yang basah berharap merasa sedikit hangat. "A-aku nggak mau keluargaku manfaatin kamu dan ... jadi samsak kemarahan setiap hari." Anindya melemas.

Adyapi lamat mendengar suara dari dalam, dia kian cemas sehingga memanggil Arno untuk membantunya mendobrak pintu.

"Noooo, lekas, Noooo!"

.

.

..._________________________...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!