"Nin!" Giska menahan bahu Anin agar dia berhenti. "Kesian babang prabu. Jangan gegabah, bukannya kalian mulai dekat?" selidik Giska, menatap tajam wajah yang menunduk.
"Karena kesian jadi lebih baik pisah. Keluargaku nggak bakalan ricuh lagi kalau aku ngilang. Istrinya cuma jadi beban, sedangkan abang mikirin banyak hal ... ditambah, dia punya trauma, Gis!" sergah Anindya, kembali melangkah buru-buru meninggalkan Giska yang terpaku.
Giska melihat kepergian Anin dengan wajah kuatir, dia juga harus berhati-hati memilah kata agar sahabatnya itu tidak tersinggung.
Anin lantas izin pada sang manager agar dia diperbolehkan keluar sebentar karena ayahnya sakit, dan beliau menyetujui. Secepat mungkin, Anindya memesan ojek online dan gegas menuju rumah sakit yang terdekat dari kediaman mereka.
Tak lama, dia tiba di sana dan menanyakan ke meja informasi ruangan Basundara Agung. Anindya lalu menaiki lift menuju lantai tiga, tampak Ayu baru saja keluar dari kamar sang ayah membawa sesuatu.
Anin tak berani mendekat, dia hanya melihat dari kejauhan. Gawai pipih yang digenggamnya menjadi cara alternatif untuk tersambung dengan sang ayah. Anin menekan satu angka dan mulai berkaca-kaca ketika mendengar suara parau Agung.
"A-ayah?" sebutnya dengan hati pilu.
"Nin, doain ayah ya, supaya operasinya lancar. Ayah pinjem dulu gelang kamu ... nanti diganti," ucap Agung lirih. Tiada sesiapa di kamarnya kini, hingga dia sedikit leluasa.
Air mata Anindya menetes lagi, bibirnya kelu. Beberapa pekan lalu bahkan belum lama, hati ikut mengumpat atas sikap semena kedua orangtuanya. Kini, kebencian itu musnah, berganti iba.
Anindya mengangguk, sibuk menyeka wajah yang bersimbah air mata. "I-iya, nggak apa, Yah. A-anin doain semua lancar dan jenguk a-ayah tiap pulang ke-kerja," ucapnya terbata dengan suara serak.
"Ehm, anak baik."
Panggilan singkat diputus Agung, membuat dada Anindya sesak. Dia luruh jatuh menyandari tembok tak jauh dari kamar sang ayah seraya mendekap ponsel di dada.
Beberapa menit terpuruk, sang tur guide Museum pun perlahan bangkit, menghapus wajahnya yang basah lalu menaiki lift turun dan kembali ke tempat kerja.
Ketika Adyapi menjemputnya, Anin banyak diam. Dia seolah tengah berada di tempat lain. Berkali-kali melihat jam tangan sebab Bertha mengabarkan operasi Agung dilakukan setelah Maghrib.
Jika biasanya sepulang kerja mereka duduk di teras menyongsong lembayung, hari ini Anindya langsung mandi kemudian menggelar sajadah dan beberapa kali salat sunah.
Terdengar samar isakan yang coba Anindya tutupi. Adyapi lantas mendekat, mengusap lembut bahu istrinya dari permukaan mukena. "Pelan-pelan minta doanya, Dek," ucap Ad seraya tersenyum.
Anindya mendongak, membalas senyuman Ad meski hatinya getir. "Maaf ya, Abang ... hari ini nggak liat senja sama-sama," tutur Anin, menatap sendu sang suami.
"Nggak apa. Besok in sya Allah panjang umur bisa liat bareng-bareng lagi. Lanjutin ya, Dek. Aku siap-siap maghriban juga," sambung Ad, lantas menekan tombol kursi rodanya menuju kamar mandi.
Bada isya, Adyapi melihat Anin membereskan semua perlengkapan hingga menyiapkan makan malam baginya. Dia tak melihat gelang yang disematkan semalam tapi justru tersenyum diam-diam.
Rupanya, sumber kegelisahan serta kesedihan Anindya adalah benda itu. Ad pun kembali bertanya. "Dek, hilang lagi?" kata Adyapi, mengusap pergelangan tangan sang istri dan mengecupnya.
Anin menunduk, sedikit memalingkan wajah seraya menjawab, "Enghh, disimpan. Takut hilang."
'Disimpan sama mama, Bang, alias dijual. Tapi, kata ayah nanti diganti,' batin Anin.
Dia terpaksa berbohong lagi demi menutupi borok keluarganya. Juga enggan membagi tahu jika Agung masuk rumah sakit, agar Ad tidak menjenguk sehingga Bertha tak bisa memanfaatkan kesempatan tersebut.
Adyapi mengangguk, segan membahas lebih lanjut karena dia melihat istrinya seolah tertekan. Saat Anin menyodorkan obat, tiba-tiba muncul ide dalam benak.
"Dek, akhir pekan ini kita liburan tipis-tipis ke pinggiran Jakarta, yuk. Aku butuh booster sebelum meeting pekan depan dengan papa dan Arlingga," kata Ad, menahan tangan Anin agar melihatnya.
"Kemana?" tanya Anindya, mengerjap dua kali.
"Bogor atau kepulauan seribu?" balas Ad. Dia menarik Anin agar duduk di pangkuan, lalu memberikan tablet miliknya. "Kamu yang pilih," kata sang CEO.
Binar mata bulat dengan bulu mata lentik itu memancar. Anindya memilih daerah puncak agar Adyapi bisa beraktivitas dengan mudah sebab jika ke pantai, khawatir kursi roda canggihnya rusak akibat terlalu berat ketika meluncur di permukaan pasir.
Pimpinan Bumiland Jaya itu lalu memanggil Arno agar mengatur liburan mereka lusa nanti, juga memberikan isyarat khusus pada sang asisten untuk menyiapkan sebuah kejutan bagi istrinya.
Nurani Anindya bimbang, di saat Agung terbaring sakit, dia malah jalan-jalan. Tapi mau bagaimana lagi, ini pilihan akibat merahasiakan kondisi sang ayah pada suaminya.
Keesokan hari, Anin menyempatkan diri menjenguk Agung saat jam istirahat sebelum dia pergi liburan besok. Ayahnya masih di ruang ICU pasca operasi membuat dia tak bisa terlalu lama berada di sana.
Saat Anin keluar dari ruang steril itu, dia berpapasan dengan Bertharani. Tidak ada tegur sapa layaknya ibu dan anak. Mereka saling acuh seakan tak mengenal satu sama lain.
...***...
Pasangan Bumandhala tiba di puncak menjelang siang. Hotel dengan fasilitas kamar bungalow menjadi pilihan Anin, lengkap dengan view indah di bawah sana.
"Jalan yuk," ajak Adyapi, menunjuk ke arah taman bunga tak jauh dari sana.
Anindya menggenggam jemari Ad, saat kursi roda itu meluncur pelan secara otomatis. Mereka menikmati pemandangan sambil mengobrol ringan seputar hobi baru Anin.
Karena mendung tiba-tiba datang, pasangan Bumandhala bergegas kembali ke bungalow. Hingga malam merangsek pun, hujan tak reda mengguyur daerah puncak sampai Ad harus rela menunda kejutan untuk istrinya itu.
Untunglah pagi ini matahari muncul meski masih malu-malu bersembunyi dibalik awan. Adyapi bergegas meminta Arno agar menyiapkan kejutan yang tertunda, mumpung Anin masih tidur setelah mereka duha tadi.
Tiga puluh menit kemudian, mata bulat itu mulai sedikit terbuka. Dia meraba sisi ranjang berharap Ad masih tidur, tapi tempat itu malah kosong membuat Anin terjengit bangun, kuatir sang suami membutuhkannya.
"Abaaanng?" sebut Anin, menurunkan pelan kakinya dari bale dan mulai menapaki lantai kayu menuju pintu depan. "Nggak ada, mana gerimis pula," gumam Anin saat melihat rintik tetes air di permukaan dedaunan.
"Abang dimana?" ulangnya lagi mulai cemas dan gegas menuju kamar mandi. "Abang jangan becanda ah, nggak lucu!" imbuh Anin melihat semua ruangan kosong. Dia lalu menyibak tirai, dan membuka pintu belakang.
Pandangannya lurus ke depan, sorot manik mata coklat tua itu berbinar-binar melihat hamparan bunga di bawah sana. Anin melangkah pelan melewati pintu dan tiba-tiba.
"Aaarghh!" pekik Anin karena terkejut, Ad menariknya hingga terjatuh di pangkuan.
"Cinta kamu, Anindya Basundari, istriku."
Adyapi memeluk raga wanita yang dia cintai belum lama ini sembari mendaratkan kecupan di pipi Anindya yang merona.
"Ini?" lirih Anin, tak mampu melihat manik mata suaminya yang terpancar bahagia.
"Kek abege, tapi nembak yang sudah halal," kekeh Adyapi, mulai menyandari bahu Anindya. "Sisa stempel doang, nih," bisiknya mesra.
Hening. Anindya diam dan malah menunduk.
"Dek? ... nggak sesuai ekspektasi, ya?" tanya Ad lirih.
Anin menggeleng. "Jangan jatuh cinta sama aku. Abang pantesnya punya istri yang lebih dariku," cicit Anindya sendu.
Adyapi menghela napas. Dia makin mengeratkan pelukan. "Nggak mau pisah, pokoknya cuma kamu," tegasnya. "Tapi, beri aku alasan," sambung Ad.
"Aku nggak mau Abang dijauhi keluarga lalu di copot dari jabatan karena istrinya kurang waras ... bipolar itu sulit sembuh dan bisa menurun ke anak-anak nanti," ucap Anin pilu.
"Kalau nurun emangnya kenapa? anak-anak 'kan punya kita berdua, Dek ... lagipula, papa nggak mungkin nyopot aku, kalau disingkirkan ya bisa jadi. Tapi aku ogah nyerah," kata Adyapi.
Dia lalu mengambil ponsel dari saku kemejanya, dan menunjukkan jadwal terapi selama satu bulan mendatang ke hadapan Anindya.
"Lihat! aku sudah punya jadwal terapi mulai lusa nanti. Kan janji mau dengerin kamu, nurut sama istriku karena ingin sembuh ... aku nggak akan lepasin kamu apapun risikonya."
Anindya membeku, hanya bisa menangisi nasib. Qalbu mengatakan bahwa dia telah jatuh hati sejak pertemuan pertama, tak dapat tersampaikan sebab lidah mendadak kelu. Anin ingin yang terbaik untuk Ad sementara latar belakang dirinya terlalu rumit. Dia ragu, apakah bisa menjadi sumber bahagia bagi sang pria pujaan.
"Sayang, jawab aku," bisik Ad, masih menyadarkan dagunya di bahu Anindya. "Apakah aku salah mengartikan semua sikap manismu? ... mungkinkah itu han-nya i-iba?" lirih Adyapi, susah payah mengeluarkan kata yang dia benci.
Anindya mendongak, perlahan menoleh ke arah sang suami. Dua pasang manik mata itu bersitatap tapi Anin menyerah, dia menutup kelopak matanya seiring tetes bening yang meluncur turun dari pangkal netra.
"Ya Allah ...."
.
.
..._______________________...
...Healing itu makna sejatinya adalah penyembuhan jiwa, perasaan, batin, maupun pikiran....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Susi Lawati
nah kan bapak Agung yang terhormat tetep yg tulus sayang itu anak kamu sendiri
2024-01-06
1
AlAzRa
boleh g sih nawar minta sedekah up lagi.....🤭
2023-12-16
0
𝐀⃝🥀ℝ𝔸 ¢нαιяα
😥😥😥 sejahat apapun orangtua mereka ttaplah orangtua kita yang sudah membesarkan kita dengan cinta dan kasih sayang.. kita gk akan seperti ini jika tanpa kasih sayang mereka bahkan jika itu hanya secuil... tetaplah mnjadi anak yang berbakti yaa nin... 🥺🥺
bangg ad udah mungungkapkan perasaannya... smoga kamupun juga yaa nin... jan bohongi perasaanmu hanya karna keluargamu...
love you mom's❤❤💖💖😘😘
2023-12-16
1