Ad meminta Anin bangun dan duduk di sofa kamar mereka. Dia menduga sesuatu tapi enggan bertanya karena takut salah prasangka. Ad akan meminta Arno-sang asisten untuk menyelidiki lebih lanjut.
"Bobok aja, Dek. Kamu capek, 'kan?" tutur Ad lembut, menggenggam jemari istrinya yang masih tertegun.
Anin mendongak, dia hampir lepas kendali lagi setelah usaha meredam emosi sebulan lalu. Sungguh sebuah ujian sabar sekaligus ketahanan mental menghadapi fluktuasi sikap sang suami. "Oke. Kakak juga," ucapnya bersiap merapikan sofa, tapi sejurus waktu, lengannya dicekal Ad.
"Di sana, sama aku," sambung Adyapi, menunjuk tempat tidur dengan dagunya.
Anin mengerjap, seketika pikiran konyol berputar di otak. Bagaimana jika tidurnya urakan, berguling ke sana sini lalu menimpa kaki Ad, atau yang lebih buruk, memeluknya.
Blush. Wajahnya merona, manik mata bulat itu bergerak cepat ke kanan-kiri.
Ad terkekeh melihat Anin salah tingkah, dia lalu menariknya pelan dan menuntun menuju sisi ranjang, memaksa Anindya berbaring di sana.
'Sekejap kasar, sebentar lembut. Kamu bukan temperamen, Bang. Sikapmu hanya refleksi dari rasa minder dan putus asa sebab kemandirianmu terjegal kursi roda, kan?'
Adyapi memutari sisi satunya lalu perlahan naik ke ranjang bergabung dengan Anin setelah mengirim pesan untuk sang asisten.
...***...
Anindya mulai bekerja seperti biasa setelah satu pekan cuti, tak ada yang tahu perihal pernikahannya kecuali Giska, sang sahabat.
Pagi ini saat tengah mengendarai sepeda motor matic miliknya, ponsel Anin tak henti berdering. Dia pun menepi ke bahu jalan, mengeluarkan gawai dari saku celana dan menggeser tombol hijau ke samping.
"Ya ayah," sapa Anin.
"Nin, gimana ini, uang ayah buat renovasi sanggar senam dan beli alat DJ Ayu minus. Kamu minta kekurangannya sama Ad, ya," ucap Agung di seberang.
Anin mengernyit, baru juga sepekan menikah, Ad belum memberikan apapun padanya selain mahar. "Minta apa, Yah?"
"Minta uang lah. Pura-pura oon! ... sanggar mama harus segera rampung, Nin. Uang dari tuan Argan nggak cukup. Lagipula, Ayu bentar lagi ujian praktek belum beli peralatan lengkap. Suamimu 'kan kaya, apa susahnya ngasih mertua!" cecar Bertha, mengambil alih ponsel suaminya.
Anin gelagapan, begitu banyak tuntutan untuknya. Dia kira, setelah menikah hidup ini akan damai dari rongrongan pasangan ibu dan adik tiri, tapi nyatanya lebih parah, dia diperas.
"Nggak bisa, Ma ... A-aku-," gagap Anin, bingung seraya menggaruk kepala dari balik hijab.
"Oh, nggak bisa, ya. Oke, jangan salahkan mama bila tuan Argan tahu kalau kamu gila!"
Tut.
"Ma! Ayah!" sebut Anindya, melihat sambungan terputus. Dia menarik napas berat sembari memasukkan lagi ponselnya ke saku celana, lalu melanjutkan perjalanan menuju Museum.
Gawai pipih itu anteng di saku rok panjangnya selama Anin bekerja. Hari ini dia memandu rombongan anak usia dini berkeliling Museum, tempatnya mengabdikan diri sebagai pecinta sejarah.
Tak seperti dulu, zaman sekarang Museum sedikit ramai dikunjungi para pelajar entah untuk meneliti sesuatu atau sekedar mengerjakan tugas.
Di tempat ini, Anin merasa dirinya dibutuhkan, didengar dan di hargai. Sesekali mendapat apresiasi dari pengunjung yang puas atas rangkaian penjelasan saat room tour, menjadikan Anindya merasa berguna sebagai manusia.
Pesan masuk dan panggilan beruntun memenuhi log aktivitas handphone kala Anin bersiap pulang. Dia membuka benda pipih itu dan mulai menggigiti bibir ketika membaca satu per satu pesan dari sang ayah, ibu serta adik tirinya.
"Gimana ini. Seratus juta 'kan banyak," gumam Anin, menggenggam erat gadget ditangan saat menuju lot parkir.
Sepanjang perjalanan pulang, otaknya memikirkan cara halus meminta pada Adyapi. Hingga dia tak memperhatikan ruas jalan dan hampir terserempet mobil pickup yang melaju dari arah berlawanan.
Tiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnn!!
"Wooyy!!!!"
Anin terkesiap, langsung menarik tuas rem. Beruntung dia sudah belok ke ruas jalan kecil, yang lumayan lengang sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun.
"Astaghfirullah." Jantungnya terasa berdentum, darah berdesir memompa cepat membuat peluhnya muncul.
Perlahan, Anindya melajukan kembali motornya. Jarak yang ditempuh sedikit lebih jauh sebab Adyapi mengajak Anin pindah ke cluster miliknya di sebuah perumahan.
Setelah berpuluh menit, Scoopy coklat itu memasuki garasi. Senyum menawan Ad, menyambut kedatangannya di teras.
"Assalamualaikum, Kak." Anin menjulurkan tangan, meminta salim pada suaminya.
"Wa alaikumussalaam, capek, ya?" balas Ad, mendapat senyum balasan lalu mengusap pucuk kepala Anindya. "Gih, mandi lalu makan sebelum Maghrib, habis itu cuma minum air putih saja sampai bada subuh," pintanya lembut diangguki Anin, lalu mengajak sang istri masuk hunian.
Suasana tenang menemani pasangan Bumandhala hingga bada isya. Ponsel Anin di nakas tak henti bergetar hingga membuat Ad terusik.
"Dek, siapa, sih?" deliknya mulai kesal, melihat Anin yang baru selesai mengaji.
Anin mendongak, ragu mendekat sebab tahu siapa pelaku pembuat rusuh malam tenang mereka. Tapi, ini adalah kesempatannya untuk mencoba.
"Ehm, ayah kayaknya." Anindya beringsut, masih mengenakan mukena, mendekati suaminya yang sedang mengerjakan sesuatu di depan laptop.
"Angkat, Dek, nggak sopan nyuekin orang tua," timpalnya tak melepas pandangan dari layar kotak di pangkuan.
"Biarin aja dulu." Anin menumpu tangan ke handle kursi roda Adyapi. "Kak, aku boleh pinjam uang, nggak?" cicitnya, melirik takut-takut.
Lelaki yang masih mengenakan koko dan sarung itu menoleh. "Untuk apa? kalau buat keperluan kamu sudah aku siapkan," ujarnya meraih dompet dari kotak kecil di bagian kiri kursi roda lalu menarik satu kartu dan menyerahkan pada Anin. "Pinnya tanggal pernikahan kita," imbuh Adyapi.
Anin menerima kartu platinum yang disodorkan Adyapi. "Ya untuk apa aja ... ini ada 100 juta enggak?" tanyanya polos meneliti benda itu.
Ad menjeda pekerjaannya dan melirik tajam ke arah wanita yang berada disamping kanan. "Mau beli apaaan sih, Dek? tas? pilih saja merk apa, nanti aku bayar ... kalau kartu ini, khusus jajan juga kebutuhan pribadi kamu," beber Adyapi mencoba meredam emosi.
"Bukan." Anin menghela napas, merasa suaminya bawel padahal dia kesulitan menjelaskan. "Ya sudahlah kalau nggak mau ngasih," balasnya lesu, seraya bangkit dari sisi Ad dan meninggalkan platinum card di atas laptop, berjalan gontai menuju tempat tidur.
Anindya melepas mukena dan meletakkan mushaf di nakas, bersisian dengan smartphone miliknya.
Menantu Argan, menelungkup di atas kasur, bayangan penyakit jantung ayahnya kambuh bila stres, menyeruak di pelupuk mata. Kenekatan Bertha pasti bakal memaksa Agung menggunakan uang kas perusahaan, tentu akan berimbas pada keberlangsungan hidup para karyawan akibat produksi es krim tersendat.
Adyapi merasa perhatian dan tanggung jawab memberi nafkah untuk Anin, tak dihargai. Dia mengepal tangan kuat lalu mengejar istrinya ke sisi ranjang.
"DEK! BISA NGGAK, HARGAI PEMBERIAN SUAMIMU?!" seru Adyapi, lantang.
Anindya menutup kepalanya dengan bantal guna meredam stres. Akhir-akhir ini dia mudah terpicu sehingga terpaksa mengkonsumsi obat lagi.
Ad makin kesal ketika Anin bangun dan bergegas menuju kamar mandi, mengunci diri di sana seperti kemarin. Dia meraup wajah kasar, merasa payah dalam mengendalikan emosi.
Tok. Tok. Tok. "Dek!" Ad mengejar istrinya ke depan kamar mandi.
Tiada sahutan, hanya gemericik air yang terdengar.
Adyapi paham akan digunakan untuk apa uang 100 juta yang diminta Anin. Dia merasa nasibnya sama dengan Anindya, dirongrong ibu dan adik tiri tapi bingung bagaimana cara mengungkapkan perasaan.
Ad juga tak serta merta mengabulkan keinginan Anin karena suatu alasan. Ingin membantunya terbebas dari kendali mereka tapi malah membuat sang istri tertekan.
Anindya meringkuk di bawah guyuran shower, menangis tanpa suara, merasa hidupnya mudah dikendalikan orang lain.
Dia ingin mendampingi Adyapi agar bangkit dari keterpurukan, akan tetapi, dirinya merasa tak sanggup terus berpura sabar di depan pria itu. Dia juga sedang sakit.
"Aku pengen pergi aja ya, Tuhan." Anin masih duduk di sana, memeluk kedua lutut sambil menggoyang-goyangkan badannya.
"Ta-tappii ... bagaimana dengan aku, terlanjur mencintaimu," ucapnya dengan bibir bergetar, sorot mata pun kosong.
Tok. Tok. "Dek! maafin aku ... buka, ya," bujuk Ad, di depan pintu.
"Aku mau pergi aja, Kak," cicitnya mulai kedinginan, mengusap kedua lengannya yang basah berharap merasa sedikit hangat. "A-aku nggak mau keluargaku manfaatin kamu dan ... jadi samsak kemarahan setiap hari." Anindya melemas.
Adyapi lamat mendengar suara dari dalam, dia kian cemas sehingga memanggil Arno untuk membantunya mendobrak pintu.
"Noooo, lekas, Noooo!"
.
.
..._________________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Martha Kharisma
wahh makin complicated nih..../Frown//Frown/
2023-12-18
1
@Ani Nur Meilan
Sama2 tertekan oleh keluarga 😞😞😞Anin terbuka aza jangan disimpan sekarang ada orang yg akan mendengar setiap keluh kesahmu..
2023-12-05
1
AlAzRa
sakitnya Anin kek bipolar itu bukan sih Moms? kehilangan kontrol gitu...
2023-12-04
1