"Manggil apa?" tanya Anin malu-malu saat keduanya duduk bersandar di kepala ranjang.
Adyapi menarik Anindya menempel padanya. "Dulu manggil apa?" bisiknya lembut. "Jangan berbalik memunggungi kalau aku belum tidur, ya, Dek. Biar aku bisa liat wajah bidadari bumi," ujar Ad, mulai berselancar manis di bibir.
Anindya jadi rikuh, menunduk karena tersipu. Dia lalu mencoba mengingat saat mereka jumpa pertama kali. "A-abang, ya?" lirihnya.
Adyapi tak lantas menjawab, lengan kanannya merengkuh bahu Anin dan menempelkan kepala mereka. Sesaat setelah itu, jemari kirinya lalu meraih sesuatu dari atas nakas.
Sebuah kotak hitam panjang dibuka di depan mata, kilaunya sempat membuat Anin memicing sebelum Ad mengambil benda itu dari box-nya dan meraih pergelangan tangan kiri Anindya.
"Jangan dilepas ya, Dek. Anggap ini identitas Nyonya Bumandhala, juga simbol betapa hatiku kembali bersinar berkat kamu," tutur Adyapi manis, sambil mengecup pelipis Anindya ketika menyematkan gelang di tangan istrinya. "Aku fall in duluan, nih," sambung Ad seraya mengulas senyum.
Anin melihat pergelangan tangan kiri yang kini bercahaya akibat kilau gelang berlian yang melingkar di sana. "Maa sya Allah, simbolnya tinggi sekali. Aku mampu nggak ngejar Abang?" ucapnya ragu, tak berani melihat wajah suaminya.
"Ssstt, jangan buru-buru. Kenali perasaanmu dulu, jangan sampai tak bisa membedakan antara iba dan sayang," lirih Ad, menarik selimut hingga menutupi mereka. "Bobok, yuk."
Anindya membantu Ad menggeser tubuhnya agar nyaman lalu dia berbaring menyamping, menghadap pemilik wajah tampan yang juga menatapnya.
Adyapi tersenyum samar, jemari kirinya mengusap pipi Anin. "Laila sa'idah, Sayang," gumam Ad, perlahan menutup mata dan menggenggam tangan sang istri.
"Saidatun mubarokah, Abang," balas Anin tak kalah lembut. Dia menarik tautan jemari mereka ke samping pipi kirinya.
Keesokan pagi, Ad mengantar Anin hingga depan Museum dan membubuhkan kecupan perpisahan di dahi, membuat binar matanya ceria.
Senyum manis Anindya pagi ini menjadi bekal Ad dalam menghadapi kejenuhan bekerja dari rumah. Dia pun meminta Arno untuk bergegas pergi sebab tak ingin Anin merasa minder ketika para staf melihatnya.
Setelah mengawal tur pagi anak TK, Anin dipanggil Giska ke ruang tamu khusus staf sebab ada seseorang yang mencarinya.
Anindya bergegas menuju ke sana, dia berharap Adyapi yang berkunjung. Namun, langkahnya mendadak lemas ketika melihat sang ayah berdiri di tengah-tengah ruangan.
"Nin," sebut Agung ketika melihat putrinya berdiri di depan pintu.
Anin melangkah gontai, masuk dan duduk di sofa. "Ada apa, Yah?" tanya Anin cemas, sudah merasa tak enak hati.
"Kamu gimana, sih? masa Ad cuma ngasih 10 juta ... dia kaya tapi pelit sama mertua, pantesan banyak yang benci sampai dibikin lumpuh gitu," cibir Agung, jengkel saat ikut duduk di sofa. "Sini, ATM kamu."
"Ayah! astaghfirullah," tegur Anindya. "Aku nggak bisa maksa, sebab bukan kewajiban dia penuhi kebutuhan utama keluarga kita," imbuhnya, menatap jengah Agung.
"Kamu itu bodoh apa gimana, minta buat apa kek ke dia ... emang ya, kamu demen amat bikin ayah naik darah. Kayaknya hepi kalau orang tuamu ini mati," tandas Agung, menunjuk wajah putrinya.
Anindya menggeleng kepala, berusaha sabar agar emosinya tidak ikut terpancing. Dia lalu menyerahkan ponsel juga jam tangan yang dipakai. Dua benda berharga, dibeli dari gaji selama setahun kerja di Museum.
"Jual ini aja ke official store nya, baru kupakai dua bulan. Masih bisa dapat total dana 40 jutaan ... lumayan buat nambah renovasi. Nanti aku usahakan pinjaman lain," kata Anin, menyodorkan ponsel ke atas meja.
Agung berdecak, tapi pandangan matanya berbinar-binar ketika Anin membuka kancing pergelangan tangan hendak melepas jam. Dia melihat gelang berlian melingkar di sana.
Basundara Agung lantas dengan cepat menyambar tangan putrinya, melepas paksa benda berkilauan itu. Anindya memberontak tapi malah dicerca sebagai anak durhaka.
Agung langsung pergi ketika gelang telah di tangan, Anin menjegal langkah sang ayah tapi dia malah didorong Agung hingga jatuh terjungkal.
"Allahu Akbar," lirih Anin, mengusap dada bersamaan dengan jatuhnya air mata di pipi. Dia bangkit, meraih ponsel dari atas meja lalu kembali bekerja meski pikirannya carut marut.
Tibalah waktu bagi Adyapi menjemput istrinya, wajah ayu Anin kini tampak murung. Dia lantas bertanya saat perjalanan pulang tapi hanya gelengan lemah yang Anindya berikan.
Sebelum Maghrib, Ad menemani Anin masuk ke ruang meditasi. Sang istri berpesan jangan menunggunya sebab dia akan di sana hingga bada isya.
Ad pun mencoba mengikuti maunya, ikut diam hingga makan malam berakhir dan keduanya masuk ke kamar tidur. Lelaki yang didiamkan Anindya lantas tidak melihat gelang yang dia sematkan semalam.
"Sayang, maaf itu mana?" tutur Ad menunjuk ke arah tangan Anin seraya menatap lembut dan tersenyum. "Ehm ... cuma nanya aja, kalau hilang nggak apa, nanti beli lagi." Dia meraih dan mengusap punggung tangan Anindya.
Manik mata Anindya bergerak-gerak, dia gugup tapi berusaha mengontrol diri. "Aku a-aku lalai ... ehm, kayaknya kesang-kut kancing d-aa-an jatuh ke lubang toilet. Ma-maaff, Bang. Maa-aaff," cicitnya takut dan menunduk.
Adyapi paham bahasa tubuh bila seseorang mencoba berbohong. Dia melihat istrinya tidak nyaman, menghindari kontak mata ketika ditatap intens tanda Anin tidak terbiasa berdusta. Tapi Ad mengangguk, mengerti kemana larinya benda itu.
"Ssstt, suamimu kaya, Dek. Itu kurang dari 3 carat, cuma 75 juta doang," kekeh Adyapi. "Nanti kubelikan lagi."
Anin membola, dia kira hingga ratusan juta. Tapi hatinya bersyukur, mungkin Ad juga tahu umur gelang itu takkan lama di tangannya.
"Kukira ... eh, maaf." Anin kelepasan, dia kembali menunduk.
"Yang cakep, lagi aku pesan khusus. Itu cuma model biasa, Sayang. Untuk dipakai sehari-hari jadi kalau hilang ya nggak nyesek kamunya," jawab Ad, menepuk bantal di sebelahnya agar Anin mulai istirahat.
Belaian lembut Ad di jemarinya membuat Anin perlahan tertidur. Malam ini dia selamat padahal Adyapi tahu apa yang sedang Anindya tutupi.
Sang CEO Bumiland Jaya lantas meminta Arno mencari tahu aktivitas Anin di Museum hari ini. Dia berpura diam sebab ingin memberikan Anin kesempatan untuk belajar membuka diri.
Setelah kejadian hari itu, pekan berikutnya Agung kembali datang meminta uang seperti biasa.
"Kalau kamu nggak mau ayah pake uang kas pabrik es krim, ya bantu dong. Renov tuh butuh biaya besar, belum untuk beli alat senam!" sentak Agung saat memaksa Anin membuka hijab.
Aksi tarik menarik terjadi, salah seorang staf pria mencegah sikap Agung tapi lelaki itu mengancam dengan sangar hingga teman Anin tak dapat berbuat banyak.
Agung mengunci ruang tamu itu lantas mengejar Anin yang menghindar. Dia berusaha membuka s-lot kunci tapi sang ayah melempar vas bunga ke arah pintu membuat Anin terhenyak dan sontak berhenti. Lelaki paruh baya itu mendekat lalu menyeret Anin ke arah sofa.
"Lepasin, Yah. Abang nggak ngasih kalung, hanya gelang saja!" Anin berontak tapi tenaganya kalah kuat. Pashmina itu lolos dari kepala dan dia jatuh terduduk.
Agung lantas berjongkok, meneleng kepala Anindya lalu melepas anting-anting. Cegahan tangan Anin membuat rambutnya dijambak sang ayah dan cuping kuping ikut lecet.
Anindya menangis. "Jahat! itu dari ibu! dari ibu! ... kembalikan ibuku ... kembalikan!" seru Anin ketika Agung membuka pintu. Dia berusaha bangkit dan segera mengejar tapi bertabrakan dengan Giska yang menyongsongnya cemas.
"Nin!" cegah Giska, mendekap sekuat tenaga.
"Ibuuuuu! ibuuuuuu!!" teriak Anin. Giska menahannya sebab aurat Anindya terbuka.
Anin luruh, jatuh terduduk dari pelukan Giska. Dia menekuk tubuhnya menempeli lutut sambil menangis histeris. "Ibuuuuuu!"
Giska membiarkan sahabatnya meluapkan emosi, dia bergegas mengambil pashmina Anindya yang teronggok di dalam lalu memakaikan asal sebab Anin masih menangis bersimpuh.
Gadis kuncir kuda itu hanya mengusap punggung, mendekapnya erat sampai tangisan Anin reda.
Panggilan sang manager dari pengeras suara membuat kedua gadis itu terpaksa bangun dan merapikan diri.
"Biar aku yang nemenin tur mahasiswa ilmu budaya," kata Giska, mengusap lengan sahabatnya.
"Nggak apa, aku bisa." Anin menarik napas, mengusap jejak tangis dan kembali menegakkan kepalanya meski sesekali masih tersedu.
Giska mengangguk, mengepalkan tangan ke udara. "Markonahh! mari kobarkan semangahhh!"
Anindya melihat datar ke arah Giska, lalu melangkah menuju ruang utama Museum dimana sang manager menunggu. Mereka pun lantas berpisah, melaksanakan tugas masing-masing.
Menjelang jam pulang, Giska berkeliling mencari Anindya. Harusnya dia sudah absen di loker tapi kartu aksesnya belum tergantung di sana. Giska lantas menyusuri ruang diorama.
Benar saja, Anin sedang berdiri di sana, memandang sebuah meja perundingan kosong di sudut ruangan. Giska lantas masuk, lalu menyerahkan satu paket benda ke tangan Anin.
"Nin, masalah menjadikan kita dewasa maka nggak heran kita ini orang yang banyak masalah, biar lekas dewasa," kekehnya ikut berdiri disamping Anindya.
Hening.
"Bahu kakang prabu belum datang? tenang, masih ada bahu jalan buat nyandar," imbuh Giska, terdengar kekehan Anin meski lirih.
"Ini apa?" tanya Anindya melihat benda ditangannya.
"Alat lukis ... buatlah karya, jangan pendam masalah, emang tanaman, dipendam?! ... salurkan kecemasanmu ke situ, lalu jual kali aja laku," kata Giska, tertawa sambil menarik Anindya keluar dari sana.
.
.
...________________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Susi Lawati
dasar Agung gak ingat masa tua, kayak hidup bakal sehat selamnya aja, kalau kamu sakit atau ada apa apa dengan kamu, pasti anak mu yg akan peduli sama kamu...geregeut da
2024-01-06
1
Sutri Empik
jahat sekali ayahnya Anin,,,
2024-01-04
1
Mega Ahmad
Nama Agung harusnya meng agungkan putrinya 😭
yg sabar Nin... ingat Abang sllu ada buat kamu jd terbuka dirilah untuknya 😍
2023-12-14
1