BAB 12. CEMBURU

"Ya Allah, Dek." Adyapi hanya memeluknya erat, melabuhkan wajah di sisi pipi Anindya yang basah.

Sepi. Hanya ada lelehan air mata masih mengucur deras tanpa suara.

Lelaki tampan itu tak lantas menyerah, apalagi larut dalam nestapa patah hati. Bila Anindya menolak cintanya, maka Ad justru bertekad akan membuat sang istri luluh dengan segala aksi nyata bahwa dia tidak sedang bercanda.

Ad mengulas senyum, meski pedih merejam hingga palung hati. "Udah ah, nggak usah sedih ... pokoknya aku cinta istriku seorang. Mau kamu nolak atau cuek ya bodo amat, Anindya cuma milik Babang Ad," kekehnya seraya menciumi pipi Anin yang basah.

"Ya Allah, buatlah istriku jelek pada pandangan pria lain ... macam uruk-hai dalam film lord of the ring," kata Ad, masih setia menghibur, dia tertawa sampai gemas dan menggigit-gigit kecil bahu Anin.

Kali ini Anindya tak dapat menahan tawa ketika suaminya tergelak, meski jejak air mata masih membasahi pipi. Dia tahu bagaimana rupa menyeramkan para mahluk kegelapan dalam film legendaris itu.

"Buruk amat," kekeh Anin, lirih sambil melihat ke arah suaminya. "Maaf ya, belum bisa jawab perasaan Abang, tapi aku bukan iba," cicit Anindya.

Tuan muda Adyapi mengangguk cepat. "Biarin ... dan nggak usah minta maaf, aku bisa bikin kamu jatuh cinta sama aku sampai klepek-klepek dah," imbuh Ad, mengeringkan satu matanya.

Pandangan syahdu Adyapi lantas membuat Anindya terlena, melebur dalam pesona sang suami. Ketika Ad berniat memagut dan melabuhkan tanda sayang, Anin tak menampiknya.

Anindya terlihat tidak konsisten dengan perasaannya sendiri tapi Ad mulai paham bahwa sang istri sedang menyangkal apa yang dia rasa. Ciri khas seorang bipolar.

Bibir berkata tidak, tapi hati telah terpaut. Dia hanya ketakutan dan dibayangi oleh rongrongan keluarga. Adyapi bertekad akan mendorong Anin agar dapat melawan sedikit demi sedikit ketika si ibu tiri menekannya.

"Jangan lagi minta pisah ya, Sayang. Kamu milikku, semua ini punya Adyapi," bisiknya saat pagutan itu terlepas. Ad lantas menghujani semua bagian paras ayu Anindya dengan kecupan.

Putri Agung hanya diam, tak mengangguk atau menyangkal. Dia pun bingung harus merespon bagaimana.

Setelah liburan singkat di akhir pekan. Pasangan Bumandhala menjalani rutinitas seperti sedia kala. Adyapi masih memilih bekerja dari rumah, streaming meeting dan lainnya. Bila sore tiba, dia akan menjemput sang ratu pulang dari Museum lalu menikmati senja bersama.

Anin akan menorehkan tinta di kertas sementara Ad, memanjakan Mbul dengan mengajak kucing ras itu bermain.

Sudah satu pekan, aktivitas pasangan ini bertambah. Anin masih sembunyi-sembunyi menjenguk Agung di sela waktu istirahat. Dia kerap menyuapi sang ayah yang kadang kesepian di kamar rumah sakit, tanpa Bertha.

"Mama kemana?" tanya Anin, suatu siang.

"Sibuk ngajar, mamamu 'kan punya tiga lisensi instruktur jadi jadwalnya padat," sanggah Agung berkata lemah.

"Ayu sibuk juga? jam kuliah dia 'kan sore harusnya nemenin Ayah kalau siang," cibir Anindya, gemas karena tega tak memedulikan Agung.

Sang ayah enggan merespon. Hanya putrinya yang setiap hari rutin menjenguk serta membawa makanan favorit, sehingga lidah lebih nyaman mencecap rasa ketimbang menu dari rumah sakit.

Basundara Agung memandang sendu saat Anindya bersiap-siap pamit, dia juga tidak berani meminta putrinya tinggal sebab Anin punya kewajiban lain, mengurus Adyapi. Toh, Bertha sesekali datang di malam hari untuk menginap sampai jadwal pulang pekan depan.

"Besok Anin ke sini lagi, sampai Ayah boleh pulang. Nanti main ke rumah kalau libur kerja. Lekas sehat, Ayah." Anindya mengusap bahu Agung lalu mendaratkan kecupan di dahi keriput orang tuanya.

Agung mengangguk, netranya selalu saja berkaca-kaca, merasa sedih ketika Anin pergi.

Sore hari setelah pulang kerja, Anin menemani Ad ke rumah sakit. Selama ini, bila sang tuan muda melakukan fisioterapi tiga kali sepekan, biasanya hanya didampingi oleh Arno atau Argan yang sesekali datang.

Dokter orthopedi yang menangani Ad sedikit terheran ketika melihat sang pasien kontrol dengan seseorang. Sikap Ad yang melembut saat berkomunikasi juga sesekali terlihat intim membuatnya tergugah untuk bertanya.

Bukan karena kepo, tapi dukungan seperti inilah yang dibutuhkan pasien agar dapat mengelola emosi, menjaga ketahanan tubuh serta semangat melakukan fisioterapi.

"Pak Ad, tumben datang bukan dengan mas Arno," ujar dokter saat menekan sendi dibagian lutut Adyapi, sembari melirik ke arah Anin.

"Arno ada kok, nunggu di luar. Mulai sekarang bakal ditemani istriku," jawab Adyapi, tersenyum bangga ketika Anin mengusap bahunya.

Leon mendongak, melihat ke arah wanita yang setia berdiri di belakang Ad. "Halo, dengan Nona?"

"Anin." Anindya menjawab sambil mengulas senyum.

"Oke, Anin, nice to meet you." Leon membalas nyonya Adyapi dengan senyum menawannya.

Adyapi berdecak, kesal melihat respon Leon. Dia sengaja berteriak saat Leon mengetuk tempurung lututnya sampai membuat dokter muda itu terhenyak.

"Abang, ish!" lirih Anin, menepuk lembut bahu kanan sang suami. Dia juga sempat kaget tadi.

"Sakit, Sayang!" rengek Ad, sengaja bernada manja.

Anindya menekuk lutut, mengusap hati-hati paha kanan yang baru saja usai di periksa oleh Leon.

Dokter muda itu lantas bertanya tentang kesibukan Anin sebab dia baru melihat sosok nyonya Bumandhala hari ini. Keduanya pun mengobrol di sela terapi Ad yang sedang dipapah suster pria menuju tiang latihan.

Tawa kecil Anindya juga senyum manisnya sangat mudah tercetak di wajah ayu saat Leon mengajak bicara. Mereka langsung akrab meski membicarakan hal sepele.

Adyapi dongkol, dia mogok belajar menggerakkan jari dan menggeser-geser tungkai sebab melihat keakraban Leon dan Anin. Suster pria itu pun menyerah sebab Ad sepenuhnya menumpukan berat badan pada si nakes membuat dia kelimpungan menahan bobot pasien.

"Ngambek gitu sih, sama aku, yuk," kata Anin, meninggalkan Leon dan menyambangi suaminya.

"Ogah, mau pulang aja!" delik Ad menekuk wajah serta memanyunkan bibirnya di hadapan Anin.

Anindya Basundari malah tertawa melihat sikap manja sang suami. Dia lantas mengangguk dan pamit pada para tenaga medis di sana petang itu.

Sepanjang perjalanan Adyapi hanya diam, bahkan menolak disentuh Anindya sampai mereka menjelang tidur. Lebih parah lagi, Mbul yang jadi sasaran, kucing itu sering mengeong kencang dan tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman Ad.

"Abang, kesian Mbulnya. Kenapa, sih?" ucap Anin lembut memeluk dari belakang dan mengusap dada Adyapi naik turun sambil membacakan Al Fatihah.

Tiada sahutan, hanya hela napas yang perlahan melembut. Anin pun lega ketika Mbul melompat turun dan langsung berlari keluar kamar dari celah pintu yang terbuka.

"Babang prabu masih panas?" kekeh Anin. Kedua lengan itu melingkari leher Ad, sementara kepalanya bersandar di bahu sang suami. "Udah ah, bobok yuk," ajak nyonya muda.

Ad melepas pelukan Anindya, dia lantas menekan tombol di panel sehingga kursi rodanya meluncur. Tangan kanan Adyapi menarik pintu dan keluar dari sana.

"Abang?" sebut Anin lemah, tak berani menahannya, dia hanya mengikuti dari belakang.

Bayang senyum menawan Anindya untuk Leon membakar dadanya. Ad lantas memanggil Arno dan masuk ke ruang kerja.

Sementara dari lawang pintu, Anin masih memperhatikan kemana sang suami pergi. Dia lega ketika Ad menuju ruang pribadi bersama sang asisten.

Di dalam ruangan ini, Adyapi lantas meminta Arno agar membantunya bangun perlahan. Dia berlatih berpindah tempat dari kursi roda ke sofa.

"Jangan dipaksain, Bos. Nanti cedera parah lagi," kata Arno.

"Harus bisa, harus! jangan sampai Anin direbut Leon!" sungutnya, mengepalkan tangan. "Dia sempurna, gampang banget bikin istriku tertawa ... lah aku, cuma bisa buat Anin nangis," kesal Ad, melanjutkan latihan-latihan ringan.

Arno paham, tuan mudanya dilanda cemburu. Dia lantas menyarankan agar Ad melatih diri secara pribadi selain fisioterapi ke rumah sakit.

"Belikan alat-alatnya, dan aku mau cari tabib akupuntur," ujar Ad lagi, meringis menahan sakit saat kakinya dipaksa menjadi penopang.

"Siap, Bos." Arno mengangguk cepat, dia berjongkok sambil menekan-nekan syaraf di ujung jari-jari kaki tuan mudanya.

Keringat bercucuran, Ad bahkan mengumpat, memukul lengan sofa ketika jemari kakinya sama sekali tidak bergerak. "Shitttttt!"

.

.

...________________________...

Terpopuler

Comments

𝐀⃝🥀ℝ𝔸 ¢нαιяα

𝐀⃝🥀ℝ𝔸 ¢нαιяα

mangat yuu bangg ad....

2023-12-19

2

@Ani Nur Meilan

@Ani Nur Meilan

Ad..Semangaaaatttt buat sembuhnya jangan menyerah.

2023-12-16

1

Siti Chotijah

Siti Chotijah

cemburu niyeeeeee🤭🤭🤭

2023-12-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!