BAB 2. TERNYATA KAMU

Anin memberanikan diri meminta jeda waktu dua hari untuk menjawab, entah mengapa demikian padahal tadi hatinya menggebu ingin langsung menerima karena terlampau iba.

Pertemuan pun berakhir. Sebelum melepas Agung pergi, Argan membisikan sesuatu yang membuat wajah muram sang sahabat berseri lagi. Tak lama, kedua keluarga berpisah.

Sesampainya di rumah, Anin langsung dicecar Bertharani-ibu tirinya yang berdiri di sisi sofa ruang tengah. Wanita berbadan seksi meski usia tak lagi muda itu menaikkan satu tangan di pinggang, kian menasbihkan diri bahwa dia seorang instruktur senam yang memiliki pinggang ramping.

"Heh! kamu itu beruntung kalau ada laki-laki kaya yang melirik gadis berpenampilan kuno tanpa ba-bi-bu," cibir Bertha, sambil meniup-niup kukunya yang baru terpoles kutek merah menyala.

Anin yang hendak memasuki kamar, menoleh ke arah Bertha. "Tapi dia lumpuh, Ma. Aku sudah punya pujaan hati dan yakin dia tinggal di Jakarta ... tolong, kali ini jangan menekanku," cicitnya masih berdiri di depan pintu kamar, menatap bergantian pada ayah dan ibu tiri di sofa.

Agung mendesah, merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Argan mendesaknya agar memaksa Anin karena keinginan Adyapi pantang ditolak. Dia pun berpikir harus membujuk di waktu yang tepat, saat kekerashatian Anin melemah.

"Kamu itu halu, mikirin pria nggak jelas. Paling cuma karanganmu saja," sergah Bertha, ikut duduk di sisi suaminya. "Mas, kawinkan saja! ... anakmu itu suka berubah-ubah pendirian, sebentar nurut sekejap membangkang. Kayak orang yang otaknya kurang se-ons!" ketus Bertha, melirik tajam ke arah gadis di sana lalu menyenderkan kepala di bahu Agung.

"Bertha!" sentak Agung, duduk tegak menghempas sandaran sang istri. "Kamu ngatain Anin nggak waras?" deliknya sinis.

Bertharani duduk menyamping, dia mengangkat telunjuknya ke arah Anin. "Perhatikan saja sikap Anin kalau libur kerja. Suka ketawa, nangis, teriak-teriak nggak jelas ... kata orang jaman dulu, misal kita punya anak yang kurang se-ons gitu, bakalan sembuh kalau dikawinkan. Nah, kan udah ada calon, paksa aja, lah," bebernya lagi.

Brak! Anin masuk ke kamar dan menutup pintunya kencang.

Dadanya mulai panas, peluh bercucuran dibalik hijab, menahan agar emosi tak meledak. Dia langsung mengeluarkan botol kecil dari dalam tas, menumpahkan isi sebutir dan menelannya.

Dua hari dilalui Anindya dengan tekanan, dia bahkan mendadak menebus separuh resep lagi sebelum jadwal kunjungan. Hingga pada akhirnya Anin mengangguk setuju atas pernikahan itu.

Agung menyampaikan kabar bahagia kepada Argan. Mereka lantas sepakat melangsungkan pernikahan anak-anaknya lusa mendatang. Persiapan kilat pun dilakukan atas permintaan Adyapi yang menghendaki syukuran intimate.

Anindya gugup, lebih banyak menunduk dan mere-mat kedua jemari di atas pangkuan selama keluarga Adyapi melakukan prosesi lamaran di hari yang sama, serta menyatakan kesiapan acara lusa nanti.

Pernikahan berlangsung khidmat di penghujung senja sebuah hotel, dua hari kemudian. Adyapi sumringah menyapa kolega-kolega penting Bumiland Jaya. Namun, tatapannya tak lepas dari sosok yang sedari tadi tengah gencar menarik perhatian para tamu, siapa lagi kalau bukan Arlingga, adik tirinya.

"Dia adik tiriku, kita ini sama bukan?" kata Ad, saat meraih jemari istrinya agar Anin menegakkan dagu di hadapan para tamu.

Anindya terkesiap, tangannya yang dingin seketika menghangat akibat genggaman sang suami. "Ehm, yang mana, Kak?" tanyanya malu-malu, sambil mencuri pandang ke arah Adyapi.

"Arah jam dua. Cakep sih, tapi lebih tampan aku," kekehnya. "Awas kalau kamu diam-diam bangun komunikasi sama dia!" ancam Ad, melirik tajam dengan ekor mata disertai cengkeraman kuat di jemari Anindya.

Anin menoleh ke arah yang dimaksud sekaligus meringis sebab merasakan nyeri di sela tulang buku jarinya yang kurus. "Sa-kit, Kak!" cicitnya, membuat Adyapi menoleh.

Pria itu melepas tautan jemari mereka seraya menghela napas sebab lagi-lagi gagal mengontrol emosi.

Acara pun berakhir dan pasangan Bumandhala naik ke kamar hotel untuk beristirahat. Ketika Ad tengah membersihkan diri, pintu kamar mereka diketuk seseorang, Anin yang masih duduk di sisi ranjang karena bingung harus bagaimana, memilih membuka pintu ruangan.

"Ya, Pak?" sapa Anin tersenyum kaku, saat melihat mertuanya di depan pintu.

"Biasakan panggil papa mulai sekarang ... nih, milik Ad, papa serahkan tanggungjawab ini padamu," ujarnya, memberikan benda kotak kecil berwarna putih transparan, berisi semua obat-obatan Adyapi.

Sebelum pulang, Argan mewanti menantunya itu agar tak patah arang membujuk Adyapi untuk meminum obat juga menemani jadwal terapi. Pendiri Bumiland Jaya pun lantas pergi setelah menjelaskan sekilas.

"Siapa, Dek?" tanya Ad, melongok sembari menekan tombol kursi rodanya. Tapi, dia kesulitan karena roda belakang tersangkut.

Anin tak segera menjawab, dia langsung berjongkok di hadapan kedua kaki suaminya, menarik besi depan kursi roda Ad, memundur-majukan agar roda belakang leluasa bergerak maju.

"Ish, aku bisa! minggir!" usirnya, menepis tangan yang memegangi kursi yang dia duduki, hingga Anin nyaris terjengkang.

"Masih nyangkut, Kak. Bentar," balas Anin, kembali menekuk lutut, mengindahkan cegahan suaminya.

Emosi Adyapi mulai mencuat lagi, Anin dibentaknya sekaligus diperingatkan agar tak lagi membantu apa yang dia kerjakan.

Gadis berhijab putih itu terhenyak, jantungnya berdegup kencang. Dia mengangguk cepat dan meletakkan box obat Adyapi di sembarang meja, lalu langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan diri.

Malam pertama pasangan Bumandhala dilewati saling diam, Anin memilih tidur di sofa setelah suasana hatinya tenang. Dia berusaha menahan diri tak membantu saat melihat Adyapi kesulitan menaiki ranjang.

Keesokan pagi setelah sarapan, Anindya teringat pesan Argan. Dia pun menyodorkan pinggan kecil berisi beberapa butir obat ke hadapan Adyapi yang sedang mengunyah dessert.

"Apa maksudmu?" tanya Ad, melihat Anin yang berdiri disampingnya.

"Kata papa, Kakak harus minum obat lagi biar proses penyembuhan tetap berjalan baik," ucap Anin, mengulas senyum.

Ad meraih piring berisi obat lalu melemparkannya ke dinding. Prang!

"Allahu Akbar!" seru Anin, menutup mata serta kedua telinga dengan telapak tangan.

Ad lalu menarik blus Anin hingga dia jatuh terduduk. Teriakan gadis lugu itupun terdengar. "Argh! ampun, Kak!"

"Heh! jangan coba-coba paksa aku minum apapun!" bisik Adyapi, tatapannya tajam menusuk melihat paras ayu yang memejam.

Anin gemetar, dia mengangguk cepat meski masih menutup mata dan telinga. Pantas saja, Argan memintanya jangan patah semangat, tabiat pewaris Bumiland Jaya sangat temperamental.

Pemimpin perusahaan tambang itu mendengus kesal lalu keluar dari ruangan menuju balkon. Suasana hotel pinggiran kota yang memiliki view hamparan bunga serta danau buatan, menjadikan pandangan sang CEO teduh hingga membuat Adyapi tertidur di atas kursi rodanya.

Menjelang Dzuhur, Anin berniat membangunkan suaminya untuk salat. Tapi, niatannya dia urungkan sebab tertarik melihat bagaimana rupa Adyapi saat pulas seperti ini.

Anindya duduk di bale samping kursi roda suaminya, menatap lekat wajah tampan yang memejam. Alis tebal bertengger, netra sipit berhias bulu mata terjajar rapat, disamping tegaknya tulang hidung, membuat pahatan sempurna mahluk ciptaan Tuhan.

Gadis berhijab panjang ini senyum malu-malu, ketika memandang bibir sensual Adyapi, sumber segala kata-kata cadas menguar. Dia lalu menyangga wajah dengan lengan yang menumpu di atas lutut, memeta setiap inci paras halal imamnya.

Anin lalu mengeluarkan gawai, mengabadikan momen betapa rapuh, serta teduh tampilan suaminya di saat tertidur pulas. Namun, tiba-tiba saat dia menelisik lebih jauh. Manik mata bulatnya melebar, Anindya menyadari sesuatu.

"Ka-kaam-mu? ... i-inni kamu, Bang?" lirih Anin, menutup mulut rapat dengan satu tangan. Iris coklat tua itu bergantian memandang rupa asli Ad dengan hasil jepretannya.

Seketika netra putri Agung mengembun, dia terisak lirih, merasa Tuhan sangat baik padanya meski terlambat disadari.

'Pantas saja, langsung menerimaku. Apa dia lebih dulu sadar? ya Allah, benarkah ini adalah orang yang sama? tapi, wajahnya tampak sedikit berbeda.'

Ingatan Anindya kembali ke masa saat dia tengah menempuh pendidikan di King Abdul Aziz University Jeddah beberapa tahun silam. Dia lalu mengusap jejak kesedihan dari ujung netra, terburu memperbaiki niatnya menikah dengan Adyapi.

"Bismillahirrahmanirrahim ... Bang, semoga ini 'kamu' agar aku dapat melayanimu dengan sepenuh hati. Bukan karena kewajiban semata, tapi sekalian balas budi," gumam Anin, menunduk, jantungnya langsung berdebar hebat karena sosok pria di hadapan.

Tepukan, usapan lembut Anin di lengan Adyapi membuat lelaki itu bangun, mengulas senyum samar ketika melihat Anin tersenyum padanya.

"Salat, Kak. Berjamaah, yuk," ajak Anin lembut dan diangguki Adyapi.

Malam kedua pasangan Bumandhala dilalui lebih baik dari sebelumnya. Ad mulai bertanya tentang Anindya, dimana dia bekerja juga apa yang biasa dilakukan saat luang. Keduanya pun mulai sama-sama nyaman membagi banyak hal keseharian.

Luapan emosi sang CEO teredam baik sampai mereka pulang dan tinggal di kediaman keluarga Adyapi selama satu pekan, sebelum pindah ke hunian pribadi Ad.

Namun, kedisiplinan Anin dalam mengurusi dirinya di pekan ini, nyata membuat Adyapi jengah. Dia salah paham atas sikap Anindya yang menyiapkan ini itu baginya terutama dalam hal membujuk agar melakukan fisioterapi lanjutan.

"Kamu malu punya suami cacat macam aku ini, Dek! BILANG SAJA!" teriak Ad, menunjuk wajah Anin setelah melempar gelas ke lantai.

Anindya memegangi dadanya yang berdegup. "Astaghfirullah, Kak! nggak ada pikiran kayak gitu di hati dan otakku," bantah Anin, langsung berjongkok seraya memunguti pecahan kaca yang berserakan.

"MUNAFIK!" seru Ad, berbalik badan dan menjauh dari sana.

Anindya lelah, kemarin dia memandu rombongan tur hingga petang, suaranya habis, kaki pun sakit dan kini dituduh dengan ucapan serta bentakan yang hampir sama setiap hari. Semakin ditahan dadanya kian sesak.

"HEH! KAU PIKIR SIAPA DIRIMU? AKU JUGA NGGAK SUDI ... AKU CUMA IBA!" seru Anin, amarah pun membuncah. Matanya memerah, telunjuk ikut terangkat ke arah sang suami yang membelakangi.

Sejurus kemudian, Anin terkesiap, memegangi wajahnya lalu berlari kecil menuju kamar mandi.

Brak! pintu kamar mandi dibanting keras oleh Anindya.

Adyapi memutar kursi rodanya, terjengit kaget atas sikap Anin barusan. Istrinya itu tak pernah membalas makian apapun selama satu pekan pernikahan mereka.

Dia lantas menuju pintu bathroom dan mendengar isakan dari dalam. Namun, tak lama, Ad menangkap gelagat tawa disertai umpatan entah ditujukan pada siapa. Otaknya berpikir keras.

Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Anin langsung bersimpuh di depan kaki Adyapi. "Maafin aku, Kak. Maaf. Janji nggak ngulang lagi," cicitnya dengan wajah serta sorot mata sendu.

"Kamu kenapa, Dek?" cemas Ad mengerutkan alis, lalu mengusap lembut kepalanya. Mungkinkah Anindya ....

.

.

..._______________________...

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

Aninnya kenapa?kok nangis trus ketawa?

2024-01-26

0

Mega Ahmad

Mega Ahmad

Alhamdulillah sang pujaan hati yang dinanti² ternyata sdh menjadi suami Anin.... cepat sembuh kalian dan saling sayang yah 😘

2023-12-03

0

𝐀⃝🥀ℝ𝔸 ¢нαιяα

𝐀⃝🥀ℝ𝔸 ¢нαιяα

apakah anin dan ad prnah bertemu🤔🤔🤔
masih menyimak .... clue nya blm terpecahkan... mangatz mom's...cusss lanjut🏃‍♀️🏃‍♀️

2023-12-02

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!