BAB 4. SESAL

Arno bergegas mendobrak pintu kamar mandi dan membukanya lebar agar Ad leluasa masuk ke dalam. Asisten pribadi itu lantas berlari keluar ruangan memanggil maid wanita agar membantu mengevakuasi majikannya.

"Dek, Adek!" seru Ad terdengar pilu, dia mencondongkan tubuhnya berusaha menggapai lengan Anindya. "Dek, kamu begini karena aku?" ucapnya, mengusap pipi Anin yang basah.

Adyapi beringsut menempelkan kursi roda ke dinding untuk mematikan kran shower dan meraih handuk dari hanging stand. Dia menurunkan kedua kaki dengan tangannya, lalu melipat pedal tumpuan agar leluasa menjangkau tubuh Anin yang bersandar di tembok. Ad pun memajukan badan meraih sela pangkal lengan Anin.

Tubuh Anin yang lemas dan menunduk ditambah posisi kakinya sangat berat untuk digeser, membuat Ad kesulitan menaikkan Anin ke atas pangkuannya.

"Saak-kiitt." Ad terengah, meringis menahan nyeri di panggul dan lutut sebab kakinya dipaksa jadi titik berat tumpuan. "Tapppii ... aku bisa!" Adyapi memejam serta mengejan saat menaikkan pinggang Anin.

"Uughhhh!" Ad kembali menggeram. "Allah ... sakiitt!" rintihnya putus asa. Dia terpaksa melepas perlahan tubuh Anindya yang hanya bergeser beberapa jengkal. Kini, netranya mulai mengembun melihat istrinya kembali luruh.

Hosh. Hosh. Deru napas terdengar terhembus kasar. Adyapi meraup wajahnya, disusul tangan yang mengepal, memukul lututnya kuat.

"Arrgghh!" serunya, frustasi.

Cemas merasakan suhu tubuh Anindya yang semakin dingin. Ad berteriak, "Mbaaaaakk, tolong!"

"Maafkan suamimu yang nggak berguna ini." Ad bergumam pilu. "Maaf," cicitnya terisak hingga bahu bergetar. Dia hanya bisa memeluk bagian tubuh Anindya yang disandarkan pada kakinya.

Dua maid wanita langsung menghambur masuk, meminta izin untuk memapah tubuh majikan mereka keluar kamar mandi.

Adyapi mengangguk dan mengikuti mereka, lalu menuju lemari mengambil baju kering untuk istri tercinta. Dia hanya mampu melakukan hal-hal kecil seperti ini.

"No, tolong panggil dokter," ucap Ad pada sang asisten menuju lawang pintu sebelum menutupnya.

"Ok, Bos." Arno secepat kilat menghilang, dia adalah kepanjangan tangan Adyapi selama ini.

Ad menunduk ketika maid meluruhkan helai demi helai pakaian basah Anin jatuh ke lantai. Dia merasa belum pantas melihat aurat makmumnya meskipun halal bagi pandangan sang imam.

Putra Argan itu meminta maid mengoles essentials oil aromatik jahe ke punggung dan bagian depan tubuh Anindya, juga telapak kaki agar istrinya merasa hangat.

Setelah semua rapi, Ad meminta mereka keluar ruangan. Dia memajukan kursi rodanya ke sisi ranjang, lalu meraih jemari yang terkulai dan menggenggamnya.

"Maaf," ulang Adyapi, rasanya begitu sesak meski telah dia ucapkan berkali. Ad pun membawa tautan tangan mereka menempeli bibir. "Jangan pergi ... jangan pergi," lirihnya seraya memejam.

Ketukan di pintu kamar menyadarkan Adyapi dari rundungan pilu. Dia mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah kanan. Tampak seorang wanita berseragam putih berdiri di sana, merunduk hormat sebelum mendekat.

Tuan muda Bumandhala mengangguk samar, menekan tombol mundur pada panel kursi roda, lalu menyilakan dokter memeriksa kondisi istrinya. Ad tak bicara, hanya isyarat telapak tangan mengarah ke ranjang, ditujukan untuk si tenaga medis.

Beberapa menit selanjutnya, dokter mengatakan bahwa tekanan darah Anin lemah. Bisa disebabkan karena stres atau kelelahan. Sebelum pamit, wanita itu lantas meresepkan vitamin, juga menyarankan pasien untuk banyak minum agar lekas segar kembali.

Adyapi mengangguk. "Terima kasih, Dok," ujarnya tersenyum samar sembari mengantar sang dokter hingga pintu lalu menyerahkan resep pada Arno yang menunggu di depan kamar.

Sepeninggal dokter, Adyapi kembali ke sisi Anindya. Dia memandang wajah ayu itu tak berkedip, seakan tengah merangkai ingatan masa silam.

"Kamu masih belum ingat? atau memang lupa sama aku?" gumam Ad, menyunggingkan senyum sebab merasa Tuhan tengah memainkan nasib keduanya.

Menantu Agung itu mendekat kembali ke sisi ranjang, merebahkan kepalanya di tepi tempat tidur menghadap paras pucat Anindya, hanya berbantal satu lengan.

Mata lelah Adyapi lalu menangkap benda pipih di atas nakas kembali bergetar. Ad pun bangun, beringsut meraih gawai milik Anindya. Sebuah nama muncul di layar, mengirimkan banyak pesan.

Pop up notifikasi menampilkan barisan kalimat tanpa susah payah membuka aplikasi chat warna hijau itu. Ad kian paham maksud Anin yang meminta uang padanya sebelum kejadian ini.

"Jadi begitu? ... pasti kamu kesulitan jelasin ke aku ya, tadi. Salahku nggak peka dan penuh prasangka," sesal Ad, melirik Anin yang masih tertidur sebelum meletakkan kembali benda itu di meja.

Adyapi merenung, memikirkan bagaimana cara melepaskan Anindya dari jeratan ibu tirinya.

"Dek ... aku janji akan patuh padamu. Berusaha penuhi segala apa yang kamu mau asal tetap di sisiku, ya! ... kamu satu-satunya yang kumiliki saat ini," kata Adyapi saat lengannya menopang kepala di tepi kasur.

Dia juga lelah, penat memikirkan sikap Argan yang seakan condong pada Arlingga, adik tirinya. Ad berusaha sekuat tenaga agar pria itu tak masuk ke jajaran top management Bumiland Jaya.

Emosi menjadi labil sejak kecelakaan itu, dia mencurigai adanya sabotase, tapi Tuhan Maha Kuasa, rencana mereka gagal sehingga dia masih hidup. Inilah yang memicu Adyapi mudah gusar, ditambah tekanan minum obat tak berkesudahan membuat dia kian jengkel.

Tak lama, Ad ikut terlelap di sisi nyonya muda Bumandhala.

Lewat tengah malam, terdengar rintihan hingga tuan muda Bumandhala terjaga. Dia melihat peluh sebesar biji gandum memenuhi kening Anindya.

Tangan kanan pun terulur, mengecek suhu tubuh istrinya. "Demam," gumam Ad. Lelaki itu celingukan, dan Ad melihat telah terdapat termos air panas, wadah kecil juga obat-obatan di atas nakas.

Dia bergegas mengompres sang istri, menunggu dengan sabar suhu tubuh Anin kembali normal meski kantuk berat menggelayuti kelopak mata, berteman racauan samar keluar dari mulut wanita ayu.

Menjelang Subuh, Anin terjaga, dahinya terasa berat. Dia menarik benda yang menempel di sana, dan melihat ke sekeliling.

"Aku demam berapa lama?" Anin melihat jam dinding di atas pintu kamar mereka. Dia lalu melirik ke sisi kanan, Adyapi masih pulas. "Kakak rawat aku sepanjang malam?" lirihnya lemas, disertai sunggingan tipis dari sudut bibirnya.

'Makasih banyak, Kak.'

Matanya masih terasa panas dan menyipit, dia memilih memejam kembali sambil mengingat awal perjumpaan mereka.

'Mungkin yang dicari-cari telah datang sendiri. Allah Maha Tahu, engkau adalah topik utama yang selalu kuperbincangkan pada semesta ... merangkai doa, melukis harapan hingga bersikukuh tak mengemis cinta selain padamu ... kuharap, dugaanku ini tak keliru.'

"Dek?" panggil Ad, perlahan bangun karena bunyi alarm ponselnya. Dia meraba dahi Anin, suhu tubuh sang istri telah kembali normal, Adyapi tampak lega. "Alhamdulillah."

"Jangan begini lagi, ya. Kita harus bicara banyak esok pagi dan ... mari lakukan segala hal bersama-sama." Dia mengusap pipi Anindya yang kembali bersemu merona sebelum meninggalkan sisi ranjang, menuju kamar mandi bersiap subuh.

.

.

...__________________________...

Terpopuler

Comments

@Ani Nur Meilan

@Ani Nur Meilan

Komunikasi dalam sebuah hubungan sangat lah penting agar dapat mengetahui apa yg terjadi pada pasangan kita..

2023-12-07

1

Siti Chotijah

Siti Chotijah

rumah tangga hrs saling jujur,berbagi,mengisi🥹ntah apa lg😍😍😍

2023-12-05

1

AlAzRa

AlAzRa

saling menguatkan dalam keterbatasan yukkkk 🤗

2023-12-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!