Sepanjang perjalanan pulang, pasangan Bumandhala saling diam. Ad hanya menggenggam seraya mengecupi tautan jemari mereka. Sementara Anin merebahkan kepalanya di pundak sang suami.
"Mau jajan atau ngeteh dulu, Dek?" tanya Ad, mengusap kepala istrinya sebelum mereka tiba di rumah.
"Pulang aja, aku capek," gumam Anin, kini memejamkan mata menghindari pertanyaan lanjutan Adyapi.
Tuan muda Ad, membuka lengan kiri agar Anin nyaman bersandar. Dia tak dapat melakukan banyak hal sebab sang istri masih belum betul-betul merasa nyaman untuk bercerita dengannya.
Sesampainya di rumah, Anindya langsung masuk ke kamar meditasi. Ad pun menyusul dan menemani hingga dia keluar dari sana menjelang Maghrib.
"Sini," kata Ad, mengulas senyum seraya membentangkan kedua lengan agar istrinya masuk ke pelukan.
Anindya memeluk sang suami. Merasakan betapa hangat dan lembut usapan di punggung yang seharusnya dia dapat dari Agung. "Makasih, Abang."
"Jangan sungkan mengajak kupingku ini mendengar 20 ribu kata yang harus kamu keluarkan setiap hari, Dek," bisik Adyapi saat Anin melepas pelukannya. "Di dalam sana bikin apa?" tanya tuan muda Bumandhala melihat tangan Anin menenteng sesuatu.
Anin menunjukkan sebuah gambar abstrak dengan variasi garis tebal mendominasi. Warna-warna gelap dipakai untuk coretan kali ini.
Sorot mata mulai berkaca-kaca, kesal, sesak dan benci bahwa dirinya tak mampu melawan kekasaran sikap Agung membuat Anindya meluapkan amarah di atas kertas.
Meskipun bukan seniman, tapi Ad paham apa maksud dari sketsa yang Anin buat. Dia mengangguk lalu mengangkat jempol di hadapan Anindya.
"Keren! kamu hebat banget ya, punya banyak bakat," pujinya seraya tersenyum. "Lega, nggak?" tanya Ad, masih menatap manik mata istrinya. Dia juga melihat sesuatu di bagian kiri sisi kepala Anin.
'Darah? luka kah?'
Anindya tersipu, bagai anak TK mendapat apresiasi dari guru idola. Dia mengangguk cepat. "He em, mayan," jawabnya seraya tersenyum getir.
Azan magrib terdengar, Ad mengajak Anin siap-siap ibadah. Dia tak melepaskan tautan jemari hingga mereka berpisah di depan kamar mandi.
Melihat cara Anin meredam rasa, Adyapi lantas mengirim pesan pada dokter Listy. Dia bertanya tentang apa saja kegiatan positif yang dapat Anindya lakukan bila di rumah, termasuk menunjukkan hasil coretan sang istri.
Dokter Listy lantas menjelaskan bahwa ketika melukis, hal tersebut membantu mengekspresikan diri, sehingga mengurangi kecemasan. Tubuh menjadi lebih rileks karena rasa cemas berpindah dari pikiran ke kertas di mana Anindya menuangkan emosinya. Melukis juga bisa menjadi latihan untuk menenangkan rasa takut dan kewaspadaan.
Melukis dapat membuat Anin menyadari perasaan sendiri tanpa resah berlebihan karena emosi stres tadi. Bahkan, ketika dia melihat kembali hasil lukisan tersebut di masa mendatang, bakal membantu Anindya memahami perasaan saat dia membuatnya sekaligus menyelesaikan masalah yang sama.
["Oh, jadi melatih istriku mengenali pemicunya, begitu, Dok?] Adyapi masih melanjutkan konsultasi via pesan.
["Betul, Pak Ad. Melukis atau terapi seni adalah bentuk lain dari perawatan diri. Kadang-kadang, karena semua tanggung jawab dalam kehidupan, kita lupa kalau jiwa layak untuk rehat ... mencurahkan segenap emosi melalui hobi seni dapat membuat beliau lebih menghargai dirinya.] Tulis Listy panjang membalas pesan wali pasiennya.
Setelah itu, dia mencari tahu guru seni rupa yang mumpuni di sekitar kediaman. Ad ingin Anindya betul-betul menyalurkan emosi sekaligus menghasilkan karya agar kepercayaan dirinya meningkat.
Bada isya, Anin naik ke ranjang lebih dulu. Dia merasa tak enak badan sementara Ad masih membelai kucing. Sesekali si Mbul mengeong hendak kabur, mungkin karena cengkeraman Ad terlalu kuat mere-mas bulunya.
"Abang," panggil Anin, bangkit lalu menghampiri Adyapi yang masih duduk di dekat sofa. Lelaki itu sedang belajar meredam emosinya seorang diri. "Hari ini berat?" tanya Anindya, ikut membelai Mbul meski kepala terasa pening.
Ad menoleh, tersadar kalau menyakiti Mbul. "Eh, maaf Mbul, sakit, ya?" tanya Ad, kini membelai lembut kepala si kucing ras Exo shorthair itu. "Mayan," jawabnya melihat ke arah Anin yang duduk di sebelah kaki kanan.
Adyapi menarik napas panjang, ingin membagi kisahnya mumpung Anin dalam kondisi stabil.
"Dek, orang tuaku cerai. Setiap hari mereka selalu meninggikan suara, entah apa masalahnya ... aku jadi ketularan, ya?" tanya Ad.
Anindya masih diam, ingin mendengar lebih banyak, maka dia menyandarkan dagunya di paha Adyapi sembari sesekali melihat wajah tampan suaminya.
"Liatinnya gitu amat," kekeh Ad, menowel pipi istrinya, diikuti senyum manis Anin.
"Lanjutin cerita Abang, aku dengerin," balas Anin, masih sesekali ikut membelai Mbul yang melingkari lengan kiri Ad.
Tuan muda Adyapi mengisahkan kisruh antara Argan dan Amanda, ibunya. Sang mama seorang suster senior yang sangat disiplin serta mempunyai jam kerja bertolak belakang dengan Argan. Ad rasa itulah pemicu utama keduanya, tiada waktu luang untuk sekedar duduk lebih lama membicarakan hal sepele.
Bayang perbedaan antara dua profesi, keributan, tidak adanya kekompakan dalam pola asuh, membuat Ad mandiri sejak belia, tapi sekaligus membentuk mindset dalam otaknya bahwa kepala keluarga, wajib didengar.
"Itu yang aku tangkap. Besar di Aussy karena ikut mama, habbit etos kerja di sana yang independen membuat aku lupa kearifan pria Indonesia," kekeh Ad. "Amnesia sama isi kajian mabadiul fiqiyah dan kawan-kawannya," imbuh putra Argan menguar tawa.
Anindya hanya ikut tertawa kecil. "Kawan-kawannya itu loh, aku jadi curiga," sambung Anin, di sela kekehan.
"Aku belajar lagi, dan langsung praktek sebab sudah ada bahan," sambung Ad, kini senyumnya kian lebar, apalagi melihat wajah Anin merona.
Dia lalu memanggil Arno untuk mengembalikan Mbul. Emosinya teredam berkat Anindya. Ad lantas mengajak Anin bangun menuju ranjang dan memintanya duduk di sisi. Dia menarik laci nakas dan mengeluarkan dua buah box dari sana.
Saat memeluk Anin setelah keluar dari ruang meditasi, Adyapi melihat setitik noda darah di pashmina Anin. Dia lalu minta izin untuk melihat kepala yang selama ini tertutup hijab meski di kamar.
"Boleh liat, Dek?" tanya Ad malu-malu, mengarahkan telunjuk ke kepalanya. Selama ini dia masih segan untuk meminta Anin membuka hijab bila di kamar.
Anindya terkesiap, lagi-lagi dia tersipu merunduk meski kepalanya mengangguk. "Ehm, hak Abang." Jemari lentik itu perlahan menarik bergo yang dikenakan.
Sejenak Ad terpaku, rambut Anindya hitam legam dengan panjang melewati bahu. Terikat rapi meski anak rambut memenuhi dahinya. Sangat cantik.
"Maa sya Allah." Adyapi mengangkat dagu Anindya agar mata bulat itu melihatnya. Dia lalu memalingkan wajah sang istri dan menemukan sumber luka di bagian telinga. "Ini kenapa, Dek?"
Anindya gelagapan, dia menepis tangan Ad yang memegang kepala dan langsung meraih hijab untuk dikenakan lagi. Namun, Adyapi menahannya.
"Cuma nanya, Sayang. Maaf ya kalau bikin kamu nggak nyaman," ucap Ad, sembari meraih satu kotak panjang dari atas ranjang.
Ad menarik tangan kiri Anindya dan kembali menyematkan gelang dengan model lain di sana. "Kalau hilang lagi, nggak apa. Jangan cemasin hal kecil begini, anggap sedekah yang dipaksakan ... kudunya sekalian aku pasangin anting juga kalung ya, Dek. Tapi telinga kamu lecet kayaknya ... malam ini gagal jadi oppa oppa manis kek di Drakor," kekeh pimpinan Bumiland Jaya.
Anindya hanya diam, sungkan dan malu tapi hatinya begitu trenyuh. Adyapi juga sedang berusaha keluar dari trauma suasana pernikahan orang tuanya dulu. Namun, usaha serta aksi sang suami begitu nyata untuk berubah.
"Abang kuat banget, ya. Punya luka tapi masih bisa hibur aku ... lah aku, ngurus diri sendiri aja nggak mampu," lirih Anindya dengan suara parau.
"Kata siapa, ini karena ada kamu, loh. Bukan 'ada kami'," jawab Ad, mulai nyeleneh.
Anin jadi gagal sedih, dia ikut tertawa. "Pinjol dong," sambungnya, memandang syahdu rupa pria halal di hadapan.
Mereka lantas bersiap istirahat. Berusaha melepas beban seharian sebelum naik ke peraduan, apapun harus dibicarakan, menjadi janji pasangan Bumandhala.
Satu pekan dalam suasana tenang, Ad dan Anin sedikit demi sedikit membangun ikatan dengan menghabiskan waktu senja bersama setiap hari di teras cluster Ad yang simpel minimalis.
Suatu siang, setelah salat duhur, salah seorang staf memanggil Anindya sebab ada yang mencarinya. Kali ini, Giska menemani sang sahabat.
Bertha mendatangi tempat kerja Anin dan mengatakan bahwa Agung masuk rumah sakit dan harus segera melakukan operasi pemasangan ring jantung. Asuransi tidak mengcover penuh biaya jenis alat yang akan dipasang pada tubuh pasien sehingga dia kelimpungan mencari dana tambahan.
"Mama nggak punya tabungan lagi, gelang pun sudah dijual. Mintalah pada Ad, Nin!" tukas sang ibu tiri, sembari duduk di bangku ruang tunggu staf.
"Anin nggak berani." Anindya menatap Bertha takut-takut. "Jadi kondisi ayah bagaimana?"
"Anak durhaka! pengen ayahmu mati, ya!" sentak Bertha, mencubit lengan kanan Anindya yang berdiri disampingnya. "Hiiiiihhhhhh!"
"Sakit, Ma, sakiiittt!" cicit Anin, menepis cubitan Bertha lalu menggeser posisi sambil tangan kiri mengusap lengan yang nyeri.
Giska naik pitam, ingin mengoceh tapi dicegah sang sahabat. Dia pun hanya menjadi penonton bar-bar.
Usapan tangan kiri yang naik turun tanpa sengaja membuat lengan kemeja Anin tertarik ke atas sehingga gelang berlian itu terlihat oleh Bertha.
"Sini kamu!" sang ibu tiri langsung mendekati Anin.
Putri Agung itu menghindar tapi juntai pashmina ditarik Bertha hingga kepala Anin menengadah sebab lehernya tercekat. "Jangan, Ma. Jangan!"
"Woy, nenek lampir!" Giska tak terima, dia menarik bahu Bertha tapi kekuatan wanita itu tak tergoyahkan.
Cekalan Bertha beralih ke tangan Anin, dia menarik paksa gelang itu hingga patah, lalu mendorong Anin dan Giska menjauh. Secepat kilat, Bertha hengkang dari sana.
"Hoyy!" teriak Giska, mengejar Bertha diikuti Anin, tapi rupanya dia datang dengan Ayu yang menunggu di atas motor, ibu dan anak itu langsung kabur keluar dari Museum. Teriakan Giska agar satpam mencegah pun percuma, jarak mereka terlalu jauh.
Anindya terengah, dia lalu membungkuk memegang kedua lutut guna mengatur napas. Sejurus itu, Anin menegakkan tubuh ketika Giska kembali ke sisinya.
"Gis, aku mau minta cerai ajalah," ucapnya tersenggal-senggal. "Kesian Abang diperas keluargaku." Anindya berbalik badan, melangkah gontai kembali ke dalam.
"H-haaah? ... Nin!"
.
.
..._______________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
@Ani Nur Meilan
Mak Lampir yg menjelma jadi tukang Jambret 😠😠😠😠
2023-12-15
1
𝐀⃝🥀ℝ𝔸 ¢нαιяα
astaghfirullah mak lampir emang kejam yaaa😤😤
sabar ya nin.... dan jangan ngomong begitu bang ad pasti memaafkanmu soal gelang itu..bang ad pasti tau kok km itu sllu di peras ama ibu tirimu...
hadeuhhh jadi ikutan esmoni ini🤦♀️🤦♀️
2023-12-15
1
Siti Chotijah
😭😭😭😭😭😭😭😭
2023-12-15
1