Penantian DHYANDA
Pagi yang bertajuk embun menyemangati gadis yang irit bicara ini menyapa harinya. Ia sudah siap dengan pakaian putih-abu yang sudah melekat ditubuh jangkungnya.
"Aku pergi dulu ya, Bu" pamitnya pada Bu Arumi, wanita paruh baya yang sudah sepuluh tahun ini membesarkan Dhyanda, anak majikannya yang sebatang kara.
"Iya, sayang. Kamu hati-hati ya!!" ucap Arumi seraya mengecup kening Dhyanda.
Setelah Dhyanda pergi, Arumi pun kembali menyelesaikan pekerjaan rumahnya karena sebentar lagi ia harus membuka toko perabotan rumah tangga miliknya didekat pasar.
"Tumben baru buka tokonya, Bu Arum" sapa seseorang saat Arumi membuka kunci rolling door tokonya.
"Ah, Iya pak Danu" sahut Arum tersenyum kecil, "Maklum kalau pagi-pagi repot ngurusin keperluan dirumah" sambung Arumi lagi.
"Iya, Bu Arum. Saya mengerti kok. Ngomong-ngomong anak ibu yang bule itu sudah kelas berapa sekarang?" Tanya Ibu Danu ikutan nimbrung. Sepasang suami-istri itu adalah pemilik toko mebel yang berada tepat disebelah toko perabotan Arumi. Mereka memang sering bertegur sapa dan menjalin hubungan baik sebagai tetangga ditempat usahanya masing-masing.
"Dhyanda sudah kelas sebelas, Bu Danu" sahut Arumi ramah.
"Wah, udah gadis saja anak itu. Gak kerasa ya, sebentar lagi naik kelas dua belas, terus lulus SMA dong, rencana mau dilanjutkan kuliah dimana nanti, Bu Arum?"
Pertanyaan Bu Danu barusan membuat tenggorokan Arumi tercekat. Apakah dia mampu membiayai Dhyanda kuliah? selama ini Arumi hanya mampu menyekolahkan dia di sekolah negeri yang tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya, itu pun Arumi tetap saja harus banting tulang dengan berjualan di pasar seperti ini yang boleh dibilang omsetnya tidak banyak, hanya cukup untuk biaya hidup dirinya dan Dhyanda.
"Masih ada waktu setahun lagi, aku akan menabung untuk biaya kuliah Dhyanda nanti" Gumam Arumi dalam hati.
***
Sementara di sebuah sekolah menengah atas negeri yang ada di Jakarta Selatan, Dhyanda tengah serius mengerjakan tugas sekolahnya diperpustakaan sebelum pulang kerumah. Dia terbiasa mengerjakan tugas rumahnya di perpustakaan sekolah yang menurutnya akan lebih menghemat waktu, karena sepulang sekolah dia langsung ke pasar membantu ibu Arumi berjualan di toko perabotnya tersebut.
"Ternyata kamu disini, Nda? gue pikir lo udah pulang" seseorang datang dan duduk dikursi tepat didepan Dhyanda yang masih fokus menulis tanpa merasa terganggu oleh kedatangan Gio, sang ketua OSIS yang memang mengenal Dhyanda karena mereka dulu satu SMP.
"Bulan depan ada pentas seni antar sekolah, kau mau ikutan kan? kau kan pandai bernyanyi dan bermain gitar. Aku yakin sekolah kita akan kembali memperoleh penghargaan seperti tahun kemarin"
Dhyanda tetap bergeming, Gio merasa perkataan dirinya yang panjang lebar itu telah diabaikannya. Laki-laki itu lalu mengambil paksa pulpen yang masih menempel dijemari Dhyanda yang masih menulis.
"Hey!!" pekik Dhyanda akhirnya buka suara.
"Kenapa harus seperti ini sih, Dhy, Lo baru mau merespon omongan gue?" ujar Dio yang sudah mengenal karakter Dhyanda sejak lama.
"Terus gue harus bilang apa?" tanya Dhyanda seraya mengambil pulpennya dari tangan Gio dengan cepat.
"Bilang dong kalau Lo setuju dan mau ikutan pentas seni itu."
"Tidak!!" tegas Dhyanda melotot.
"Kenapa? Gue tau Lo berbakat, Dhy. Lo juga punya daya tarik sendiri buat para juri nantinya" ujar Gio penuh keyakinan.
"Maksud, Lo?" Dhyanda mengernyit, dia tidak mengerti apa maksud Gio mengatakan dirinya punya daya tarik.
"Juri pentas seni taun ini sebagian katanya dari kakak-kakak mahasiswa institut seni, Lo kan cantik Dhy, pasti banyak yang suka dan terpesona melihat performa Lo diatas panggung" ujar Gio dan langsung mendapatkan jitakan dikepalanya oleh Dhyanda, "Aww..."
"Sialan, Lo pikir ini kontes kecantikan" sahut Dhyanda. Ia bergegas memasukan alat tulisnya ke dalam tas dan pergi dari ruang perpustakaan dengan masih dibuntuti oleh Gio.
"Dhy, tunggu!!" Gio melangkahkan kakinya lebar untuk mengejar Dhyanda yang sudah beberapa langkah didepannya, "oke fix, gue anggap sikap diam Lo itu artinya setuju. Gue akan mendaftarkan Lo ke Pak. Rian sekarang juga"
"Apa Lo bilang?" Dhyanda langsung menghentikan langkahnya lalu menengok ke arah samping yang sudah ada Gio disana.
"Please, Dhy. cuma Lo harapan satu-satunya, sejak Leony pindah sekolah, tidak ada lagi yang pandai bernyanyi selain Lo" ujar Dio sedikit memohon, berharap Dhyanda mau mengikuti pentas seni itu.
"Pentas seni gak harus dari nyanyi dan bermain musik saja kan? sekolah kita punya ekstrakurikuler tari dan musik tradisional juga" sahut Dhyanda.
"Iya, Lo bener, Dhy. Tapi Pak Rian minta Lo ikutan juga"
"Kok Pak Rian bisa tau gue? gue kan gak pernah nyanyi dihadapan semua orang disekolah ini kecuali di pentas seni SMP dulu" ujar Dhyanda dengan sorot mata tajam penuh selidik ke arah Gio.
"Gue yang rekomendasikan Lo ke Pak Rian" jawab Gio dengan wajah datarnya.
"Wah kurang ajar Lo, Gio" Dhyanda mendengus kesal, ternyata Gio lah biang keroknya.
"Sorry, Dhy. Tapi emang suara Lo bagus kok, Lo itu berbakat tapi Lo nya aja yang gak percaya diri" ujar Gio.
"Udah muji-mujinya? Sekarang gue mau ke pasar, bantu ibu jualan" ucap Dhyanda lalu kembali melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah dan meninggalkan Gio yang masih berdiri mematung ditempatnya.
"Dhyanda!! tapi Lo mau kan membawa nama baik sekolah kita?!" teriak Gio saat Dhyanda sudah agak jauh darinya.
"Terserah Lo, Gio!!" ujar Dhyanda balas berteriak tanpa menoleh kembali ke arah Gio.
"Yes...yes!! akhirnya Lo mau, Dhy" Gio kegirangan ditempatnya saat Dhyanda akhirnya menyetujui untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pentas seni antar sekolah yang akan digelar bulan depan.
***
Sesampainya di pasar,
"Yanda, kenapa kamu tidak langsung pulang saja ke rumah?" tanya Arumi saat melihat Dyanda baru saja tiba.
"Aku mau bantu ibu jualan" sahut Dhyanda.
"Memang ujian tengah semesternya sudah selesai?" tanya Arumi serius.
Dhyanda tersenyum seraya menatap dalam Arumi yang sudah baik hati menampung serta membiayai hidupnya selama ini. Bahkan di usianya yang sudah menginjak empat puluh tahun itu, Arumi belum juga memutuskan untuk menikah. Perhatiannya hanya untuk Dhyanda seorang.
"Ujiannya sudah selesai, Bu. Tinggal menunggu hasilnya saja" sahut Dhyanda.
"Owh ya sudah, kalau begitu kamu jaga toko dulu ya, ibu ke toilet sebentar" ujar Arumi lalu berlalu ke toilet umum yang masih berada dilingkungan pasar tersebut.
Tringg!!
Sebuah panggilan chat terdengar dari ponselnya Dhyanda.
GIO :
Gue udah daftarin Lo, Dhy. Pak Rian setuju, besok sepulang sekolah Lo ditunggu di Aula sekolah untuk mulai brifing dan latihan dengan peserta lomba yang lainnya.
"Ck! ternyata Gio benar-benar serius dengan omongannya" gumam Dhyanda tersenyum miring.
Dhyanda jadi kepikiran tentang chat dari Gio itu. Aslinya ia masih belum siap ikutan lomba pentas seni tersebut. Mungkin besok Dhyanda akan mencoba menghadap Pak Rian untuk membatalkannya.
"Dek, panci yang ukuran itu berapa?"
Tiba-tiba pertanyaan itu membuyarkan lamunannya.
"Oh, panci yang mana, Bu?"
"itu tuh, yang itu!" tunjuknya pada tumpukan panci berbahan stainless dibelakang Dhyanda.
Dhyanda pun langsung mengambil salah satu panci tersebut dan diberikannya pada ibu-ibu pembeli itu. "Yang ini, Bu?"
"Iya, ini berapa?" ibu itu malah balik bertanya.
"Hmm, delapan puluh ribu" jawab Dhyanda ragu.
"Eh, yang benar saja kalau jual. Panci ukuran gini mah biasanya lima puluhan kali" protes si ibu pembeli itu seraya melotot ke arah Dhyanda.
Gadis itu jadi kikuk, apa memang dia salah menyebutkan harganya ya? tapi setahunya panci ukuran sedang itu memang seharga itu.
Duhhh... Ibu, kok lama sekali sih ke toiletnya? batin Dhyanda.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Fitriani
nyimak dulu....
2021-03-29
1
zahra
mampir ah
2020-10-30
1
เลือดสีน้ำเงิน
permisi Thor penduduk bunian mampir 😇 fav and like 👍
2020-10-29
0