Pagi yang bertajuk embun menyemangati gadis yang irit bicara ini menyapa harinya. Ia sudah siap dengan pakaian putih-abu yang sudah melekat ditubuh jangkungnya.
"Aku pergi dulu ya, Bu" pamitnya pada Bu Arumi, wanita paruh baya yang sudah sepuluh tahun ini membesarkan Dhyanda, anak majikannya yang sebatang kara.
"Iya, sayang. Kamu hati-hati ya!!" ucap Arumi seraya mengecup kening Dhyanda.
Setelah Dhyanda pergi, Arumi pun kembali menyelesaikan pekerjaan rumahnya karena sebentar lagi ia harus membuka toko perabotan rumah tangga miliknya didekat pasar.
"Tumben baru buka tokonya, Bu Arum" sapa seseorang saat Arumi membuka kunci rolling door tokonya.
"Ah, Iya pak Danu" sahut Arum tersenyum kecil, "Maklum kalau pagi-pagi repot ngurusin keperluan dirumah" sambung Arumi lagi.
"Iya, Bu Arum. Saya mengerti kok. Ngomong-ngomong anak ibu yang bule itu sudah kelas berapa sekarang?" Tanya Ibu Danu ikutan nimbrung. Sepasang suami-istri itu adalah pemilik toko mebel yang berada tepat disebelah toko perabotan Arumi. Mereka memang sering bertegur sapa dan menjalin hubungan baik sebagai tetangga ditempat usahanya masing-masing.
"Dhyanda sudah kelas sebelas, Bu Danu" sahut Arumi ramah.
"Wah, udah gadis saja anak itu. Gak kerasa ya, sebentar lagi naik kelas dua belas, terus lulus SMA dong, rencana mau dilanjutkan kuliah dimana nanti, Bu Arum?"
Pertanyaan Bu Danu barusan membuat tenggorokan Arumi tercekat. Apakah dia mampu membiayai Dhyanda kuliah? selama ini Arumi hanya mampu menyekolahkan dia di sekolah negeri yang tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya, itu pun Arumi tetap saja harus banting tulang dengan berjualan di pasar seperti ini yang boleh dibilang omsetnya tidak banyak, hanya cukup untuk biaya hidup dirinya dan Dhyanda.
"Masih ada waktu setahun lagi, aku akan menabung untuk biaya kuliah Dhyanda nanti" Gumam Arumi dalam hati.
***
Sementara di sebuah sekolah menengah atas negeri yang ada di Jakarta Selatan, Dhyanda tengah serius mengerjakan tugas sekolahnya diperpustakaan sebelum pulang kerumah. Dia terbiasa mengerjakan tugas rumahnya di perpustakaan sekolah yang menurutnya akan lebih menghemat waktu, karena sepulang sekolah dia langsung ke pasar membantu ibu Arumi berjualan di toko perabotnya tersebut.
"Ternyata kamu disini, Nda? gue pikir lo udah pulang" seseorang datang dan duduk dikursi tepat didepan Dhyanda yang masih fokus menulis tanpa merasa terganggu oleh kedatangan Gio, sang ketua OSIS yang memang mengenal Dhyanda karena mereka dulu satu SMP.
"Bulan depan ada pentas seni antar sekolah, kau mau ikutan kan? kau kan pandai bernyanyi dan bermain gitar. Aku yakin sekolah kita akan kembali memperoleh penghargaan seperti tahun kemarin"
Dhyanda tetap bergeming, Gio merasa perkataan dirinya yang panjang lebar itu telah diabaikannya. Laki-laki itu lalu mengambil paksa pulpen yang masih menempel dijemari Dhyanda yang masih menulis.
"Hey!!" pekik Dhyanda akhirnya buka suara.
"Kenapa harus seperti ini sih, Dhy, Lo baru mau merespon omongan gue?" ujar Dio yang sudah mengenal karakter Dhyanda sejak lama.
"Terus gue harus bilang apa?" tanya Dhyanda seraya mengambil pulpennya dari tangan Gio dengan cepat.
"Bilang dong kalau Lo setuju dan mau ikutan pentas seni itu."
"Tidak!!" tegas Dhyanda melotot.
"Kenapa? Gue tau Lo berbakat, Dhy. Lo juga punya daya tarik sendiri buat para juri nantinya" ujar Gio penuh keyakinan.
"Maksud, Lo?" Dhyanda mengernyit, dia tidak mengerti apa maksud Gio mengatakan dirinya punya daya tarik.
"Juri pentas seni taun ini sebagian katanya dari kakak-kakak mahasiswa institut seni, Lo kan cantik Dhy, pasti banyak yang suka dan terpesona melihat performa Lo diatas panggung" ujar Gio dan langsung mendapatkan jitakan dikepalanya oleh Dhyanda, "Aww..."
"Sialan, Lo pikir ini kontes kecantikan" sahut Dhyanda. Ia bergegas memasukan alat tulisnya ke dalam tas dan pergi dari ruang perpustakaan dengan masih dibuntuti oleh Gio.
"Dhy, tunggu!!" Gio melangkahkan kakinya lebar untuk mengejar Dhyanda yang sudah beberapa langkah didepannya, "oke fix, gue anggap sikap diam Lo itu artinya setuju. Gue akan mendaftarkan Lo ke Pak. Rian sekarang juga"
"Apa Lo bilang?" Dhyanda langsung menghentikan langkahnya lalu menengok ke arah samping yang sudah ada Gio disana.
"Please, Dhy. cuma Lo harapan satu-satunya, sejak Leony pindah sekolah, tidak ada lagi yang pandai bernyanyi selain Lo" ujar Dio sedikit memohon, berharap Dhyanda mau mengikuti pentas seni itu.
"Pentas seni gak harus dari nyanyi dan bermain musik saja kan? sekolah kita punya ekstrakurikuler tari dan musik tradisional juga" sahut Dhyanda.
"Iya, Lo bener, Dhy. Tapi Pak Rian minta Lo ikutan juga"
"Kok Pak Rian bisa tau gue? gue kan gak pernah nyanyi dihadapan semua orang disekolah ini kecuali di pentas seni SMP dulu" ujar Dhyanda dengan sorot mata tajam penuh selidik ke arah Gio.
"Gue yang rekomendasikan Lo ke Pak Rian" jawab Gio dengan wajah datarnya.
"Wah kurang ajar Lo, Gio" Dhyanda mendengus kesal, ternyata Gio lah biang keroknya.
"Sorry, Dhy. Tapi emang suara Lo bagus kok, Lo itu berbakat tapi Lo nya aja yang gak percaya diri" ujar Gio.
"Udah muji-mujinya? Sekarang gue mau ke pasar, bantu ibu jualan" ucap Dhyanda lalu kembali melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah dan meninggalkan Gio yang masih berdiri mematung ditempatnya.
"Dhyanda!! tapi Lo mau kan membawa nama baik sekolah kita?!" teriak Gio saat Dhyanda sudah agak jauh darinya.
"Terserah Lo, Gio!!" ujar Dhyanda balas berteriak tanpa menoleh kembali ke arah Gio.
"Yes...yes!! akhirnya Lo mau, Dhy" Gio kegirangan ditempatnya saat Dhyanda akhirnya menyetujui untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pentas seni antar sekolah yang akan digelar bulan depan.
***
Sesampainya di pasar,
"Yanda, kenapa kamu tidak langsung pulang saja ke rumah?" tanya Arumi saat melihat Dyanda baru saja tiba.
"Aku mau bantu ibu jualan" sahut Dhyanda.
"Memang ujian tengah semesternya sudah selesai?" tanya Arumi serius.
Dhyanda tersenyum seraya menatap dalam Arumi yang sudah baik hati menampung serta membiayai hidupnya selama ini. Bahkan di usianya yang sudah menginjak empat puluh tahun itu, Arumi belum juga memutuskan untuk menikah. Perhatiannya hanya untuk Dhyanda seorang.
"Ujiannya sudah selesai, Bu. Tinggal menunggu hasilnya saja" sahut Dhyanda.
"Owh ya sudah, kalau begitu kamu jaga toko dulu ya, ibu ke toilet sebentar" ujar Arumi lalu berlalu ke toilet umum yang masih berada dilingkungan pasar tersebut.
Tringg!!
Sebuah panggilan chat terdengar dari ponselnya Dhyanda.
GIO :
Gue udah daftarin Lo, Dhy. Pak Rian setuju, besok sepulang sekolah Lo ditunggu di Aula sekolah untuk mulai brifing dan latihan dengan peserta lomba yang lainnya.
"Ck! ternyata Gio benar-benar serius dengan omongannya" gumam Dhyanda tersenyum miring.
Dhyanda jadi kepikiran tentang chat dari Gio itu. Aslinya ia masih belum siap ikutan lomba pentas seni tersebut. Mungkin besok Dhyanda akan mencoba menghadap Pak Rian untuk membatalkannya.
"Dek, panci yang ukuran itu berapa?"
Tiba-tiba pertanyaan itu membuyarkan lamunannya.
"Oh, panci yang mana, Bu?"
"itu tuh, yang itu!" tunjuknya pada tumpukan panci berbahan stainless dibelakang Dhyanda.
Dhyanda pun langsung mengambil salah satu panci tersebut dan diberikannya pada ibu-ibu pembeli itu. "Yang ini, Bu?"
"Iya, ini berapa?" ibu itu malah balik bertanya.
"Hmm, delapan puluh ribu" jawab Dhyanda ragu.
"Eh, yang benar saja kalau jual. Panci ukuran gini mah biasanya lima puluhan kali" protes si ibu pembeli itu seraya melotot ke arah Dhyanda.
Gadis itu jadi kikuk, apa memang dia salah menyebutkan harganya ya? tapi setahunya panci ukuran sedang itu memang seharga itu.
Duhhh... Ibu, kok lama sekali sih ke toiletnya? batin Dhyanda.
.
.
.
.
"Harganya memang segitu, Bu" ujar Dhyanda sekali menegaskan.
"Mana ibu yang biasa jualan disini? saya bertahun-tahun langganan disini, tidak mungkin harga panci ukuran seperti ini 80 ribu"
Dhyanda hanya bisa menghela nafasnya berat. Percuma saja melawan emak-emak, pikirnya hanya bisa diam bergeming.
"Kalau begitu ibu tunggu saja, ibuku kebetulan sedang ke toilet, sebentar lagi mungkin ia kembali" ujar Dhyanda kemudian.
"Memangnya kau ini anaknya?" tanya ibu itu memicingkan sebelah matanya penuh selidik.
Dhyanda mengangguk pelan.
"Masa? kok tidak mirip ya? kamu itu gak pantes jualan disini, neng. Pantesnya berjemur dipantai-pantai sana lho" sindir si ibu sambil terkekeh. Namun tak membuat Dhyanda sakit hati atau tersinggung sedikit pun. Gadis itu sudah terbiasa diperlakukan seperti ini.
Lalu seseorang datang lalu mengusap lembut punggung Dhyanda seraya tersenyum. Mengedipkan kedua matanya tanda semua baik-baik saja. Dhyanda tersenyum, ia paham apa maksud kedipan ibu Arumi barusan. Dhyanda pun mundur selangkah, membiarkan ibu Arumi kini yang ambil alih.
"Oh, maaf ibu, tadi saya tinggal sebentar dulu ke toilet. Bagaimana, ada yang bisa saya bantu?" Arumi segera menyambut hangat ibu kepo yang sudah menjadi langganan ditokonya.
Dhyanda menghela napas lega, ia sudah malas jika berhadapan dengan emak-emak seperti ibu itu.
'Emang kenapa kalau aku tidak mirip dengan ibu Arumi? memang dia bukan Mama ku, kok? tapi dia Ibu ku, ibu yang merawat dan membesarkan ku sejak aku terlahir kedunia ini,' batin Dhyanda.
***
Keesokan harinya disekolah, Dhyanda seperti biasa sering duduk menyendiri saat jam istirahat dikursi taman sekolah. Dia tengah asik mendengarkan lagu menggunakan earphone sambil menulis sesuatu dibukunya.
"Hai, Dhy..." sapa Imel, dia teman sekelas Dhyanda yang mungkin bisa dibilang dekat dengannya selain Gio.
Tidak ada respon dari Dhyanda, Imel tak segan-segan menepuk bahu temannya yang asik mendengarkan musik tanpa menyadari kedatangannya, "Whoyy!! musik Lo kekencengan tuh" tegur Imel.
"Mel?" Dhyanda sedikit terkejut melihat imel yang tiba-tiba saja sudah duduk disampingnya.
"Serius amat, nulis apaan sih? jangan bilang Lo belum ngerjain tugas rumah" tuduh Imel.
"Enak aja" gadis itu mendengus, "Gue lagi cari inspirasi lagu yang pas buat nanti pentas seni.
"Jadi ikutan, Dhy?" kedua bola mata Imel membulat sempurna.
Dhyanda menutup bukunya, lalu menurunkan earphone dan melingkarkan benda itu dilehernya, "terpaksa gue, Mell. Kalau bukan pak Rian yang minta gak bakalan mau deh" ujar Dhyanda.
"Seriously? gue jadi penasaran denger suara Lo pas nyanyi" Imel terkekeh, "semoga tidak membuat kuping gue sakit" ujarnya lagi.
"Sialan!!" Dhyanda mendengus kecil.
"Oya, Lo sudah lihat guru bantu bahasa Inggris yang menggantikan Ibu Kanaya Megan yang baru melahirkan itu?" tanya Imel seraya menyenggol bahu Dhyanda.
"Emang ada guru bantu?" gadis itu malah balik bertanya.
"Wah, emang kurang gaul Lo, Dhy. Disana anak cewe udah heboh ngomongin guru bantu yang ganteng nya bak titisan dewa itu" ujar Imel.
"Ck! titisan dewa aja gue gak tau kaya apa, Mel" sahut Dhyanda seperti tidak tertarik untuk membahasnya.
"Jadi Lo gak tau wajah ganteng titisan dewa itu kaya gimana? demi Tuhan, Dhy!" sindir Imel nada meledek sekaligus gemes dengan sikap polos sahabatnya ini.
"Whatever!" sahut Dhyanda datar.
Imel langsung memegang kepala Dhyanda, sedikit memutarnya 35 derajat ke kiri dan memaksanya untuk melihat seseorang yang sedang berjalan beriringan dengan kepala sekolah.
"Tuh! yang kaya begitu tuh rupanya titisan dewa. Ganteng kan?!" tunjuk Imel.
"Pak Johan, maksud Lo, Mel?"
"Yaelaah, Dhy. Bukan dia tapi yang disebelahnya! Pak Johan mah biasa aja kali, emang Lo naksir ya sama kepsek itu?"
"Eh, sembarangan. Udah ah gak penting banget, yuk ke kelas!!" ajak Dhyanda segera beranjak dari taman itu dan berlalu menuju ke kelas karena waktu istirahat telah habis.
Imel pun segera melangkahkan kakinya dengan cepat untuk mengejar Dhyanda yang sudah lebih dulu ke kelasnya.
*
Bell tanda berakhirnya jam sekolah pun berbunyi, semua anak-anak mulai heboh membereskan alat-alat tulisnya lalu satu persatu begiliran keluar kelas.
"Dhy, langsung ke Aula yuk!! Lo gak lupa kan kalau hari ini ada pertemuan para peserta pentas seni?" ujar Gio langsung mendekati Dhyanda yang masih terduduk dan sibuk memasukkan buku-bukunya kedalam tas.
"Iya lah, gue gak lupa kali, Gio" sahut Dhyanda tanpa mengindahkan pandangannya. "tapi Lo duluan aja lah ke Aula-nya, gue mau ke toilet dulu nih" ujar Dhyanda lalu mencangklongkan tas ransel hijau kepunggungnya dan segera berdiri dari tempat duduknya.
"Oke, tapi beneran kan Lo mau datang ke aula? jangan-jangan tar Lo langsung kabur gitu aja" sahut Dio seraya memicingkan sebelah matanya curiga.
"Ya gak lah, santuy aja kali, Yo. Gue kan udah janji sama Pak Rian, jadi gak mungkin gue ingkar. kecuali kalau janjinya sama Lo" ujar Dhyanda.
"Sialan" Dio mendengus, "Oke kalau gitu gue duluan ke aula ya, awas saja kalau Lo gak datang" ancam Gio dan hanya mendapatkan kibasan tangan dari Dhyanda tanda mengusirnya.
Imel yang masih disana pun terkekeh melihat tingkah Dhyanda dan Gio.
"Oke, Dhy. Kalau gitu gue duluan balik ya" pamit Imel kemudian.
"Lo gak mau nemenin gue, Mel?"
"Idih, ogah banget deh. Mending bobo cantik dirumah sambil nonton Drakor" ujar Imel.
"Seriously? Lo suka Drakor?" bola mata Dhyanda terbelalak.
"Iya, emang kenapa? emang emak gue doang yang doyan Drakor? gue juga kali" sahut Imel sambil berlalu pergi begitu saja meninggalkan Dhyanda.
Dhyanda tertawa seraya melepas kepergian Imel dari kelasnya itu, lalu tak berselang lama ia pun segera beranjak keluar dari kelas dan langsung menuju toilet yang berada diujung sana. Dyanda memang tidak terlalu fokus hingga akhirnya,
BRUKK!!
Gadis itu tak sengaja menubruk seseorang yang tengah berjalan sambil memainkan ponsel dari arah berlawanan.
"Eh, Maaf, maaf. Saya gak sengaja, Pak" Dhyanda segera mengambilkan ponsel dari lantai lalu memberikannya kepada sang empunya.
"Kamu kalau jalan hati-hati ya, jangan sampai merugikan orang lain. Bagaimana kalau handphone saya rusak? kamu mau menggantinya?" ujar lelaki dengan setelan kemeja berwarna biru laut dan celana katun berwarna hitam, lengkap dengan sepatu pantofelnya yang mengkilat.
'Eh, bukannya dia yang jalan gak liat-liat? mana ada jalan sambil asik main handphone. Dasar!!'
"Maaf, saya rasa saya sudah berjalan dengan semestinya. Mungkin bapak yang terlalu asik bermain handphone sehingga mengambil jalan saya" ujar Dhyanda.
Bola mata lelaki itu terbelalak, rahang tegasnya terlihat mengeras. Fix, sepertinya dia tersinggung dan pastinya gak terima.
"Pak Aldrick!! ternyata bapak masih disini? ayo kita ke aula sekarang, Pak. Anak-anak sudah berkumpul disana" ujar Pak Rian yang tiba-tiba saja datang menghampiri mereka. "Lho, Dhyanda? kok kamu masih disini ? ayo cepat ke aula!!" kata Pak Rian saat menyadari ada Dhyanda.
"Iya, pak. Saya mau ke toilet dulu" sahut Dhyanda cepat dan segera berlalu. Hufft!! selamat dah gue.
Langkah Dhyanda yang semakin menjauh itu ternyata tidak luput dari pengamatan lelaki yang ditabraknya tadi.
"Ayo, Pak Aldrick!!" ajak Rian kembali.
"Ah, iya Pak Rian"
Lelaki yang bernama Aldrick tersebut akhirnya berbalik, berjalan mengikuti Rian menuju ke Aula dengan perasaan yang sulit diartikan.
.
.
.
Setelah hampir dua jam berada di aula, akhirnya acara briefing untuk pentas seni itu pun kelar juga. Dhyanda dengan cepat keluar lebih dulu dari ruangan tersebut.
"Eitt! buru-buru bener, mau kemana?" tiba-tiba tangannya ditarik seseorang hingga langkah gadis itu terhenti.
"Ya, mau pulang lah" sahut Dhyanda enteng.
"Gue antar ya?" laki-laki itu ternyata Gio, dia mengajak Dhyanda untuk pulang bersamanya.
"Naik motor Lo yang itu?" Dhyanda mengernyit.
"Iya lah, Gue kan punyanya motor. Lo gak mau naik motor keren gue?" tanya Gio memicingkan sebelah matanya.
"Ck! motor keren apaan. Sori, Yo. Bukannya gue gak mau, tapi takut kaya waktu itu, mogok ditengah jalan terus ada preman malakin kita. Ogah gue, mending naik angkutan umum aja deh" ujar Dhyanda jadi teringat pengalamannya waktu pergi ke toko buku bersama Gio menggunakan motornya itu. Apesnya motor Gio tiba-tiba mogok tepat dihadapan para preman yang sedang berkumpul, mereka gak mau menghilangkan kesempatan untuk memalak kedua pemuda-pemudi itu. Akhirnya uang buat beli buku pun raib, ditambah Dhyanda harus membantu mendorong motor Gio yang mogok sampai ke bengkel.
"Apes... apes dah gue waktu itu" kenang Dhyanda terkekeh.
"Yah, pake diingetin itu lagi, Dhy. Sekarang mah motor gue udah beneran kali, gak pernah mogok lagi kok" bela Gio, berharap kali ini Dhyanda mau lagi diajak pulang bareng.
"Terimakasih, tapi gue gak mau, Yo. Gue pulang naik angkutan umum aja" tolak Dhyanda.
"Tapi, Dhy---"
"Lo gak usah maksa deh, atau mau gue musuhin?" ancam Dhyanda memotong kalimat Gio.
"Oke...oke, terserah Lo" sahut Gio seraya menghembuskan nafas kasarnya.
Akhirnya mereka pun berpisah didepan gerbang sekolah. Gio lebih dulu meninggalkan Dhyanda yang masih berdiri di tepi jalan untuk menunggu angkutan umum yang lewat.
Ih, kok gak ada angkutan umum yang lewat sih? gerutu Dhyanda dalam hati.
Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan sambil menunggu angkutan umum melewatinya. Saat tiba di persimpangan, Dhyanda melihat ada kedai minuman Boba Milk diseberang jalan. Tenggorokannya tercekat saat melihat minuman menyegarkan itu, Dhyanda ingin sekali membelinya, ia pun reflek menyeberangi jalan tanpa melihat kanan-kiri terlebih dulu.
CIITTT!!!
"Aaahhhgg"
BRUKK!!
tubuh Dhyanda ambruk didepan sebuah mobil sport keluaran terbaru besutan Eropa.
"Aww!!" Dhyanda meringis sambil memegangi lututnya yang terkena benturan bemper mobil mahal tersebut.
Banyak orang yang berkerumun untuk melihat kondisi gadis berseragam putih-abu itu.
"Kamu gak apa-apa, Dek?" seseorang membantunya berdiri.
"Saya gak apa-apa, terimakasih" sahut Dhyanda yang memang tidak terluka parah.
Untungnya pengemudi mobil itu tidak terlalu ngebut sehingga bisa dengan cepat menginjak rem.
"Tapi adek tetap harus di periksa ke rumah sakit, takutnya ada luka dalam dikakinya" ujar orang itu lagi.
"Betul itu, penabraknya harus tanggungjawab tuh" sahut salah satu dari masa lain yang berkerumun itu melingkari Dhyanda.
"Iya benar, ayo keluar!"
"Gak berani keluar ya?!"
BUK! BUK! seseorang memukul-mukul kap mesin mobil tersebut.
"keluar dong!! tanggung jawab nih" ujarnya.
Tak lama kemudian sang pengendara mobil berwarna putih itu pun keluar.
"Mana? memangnya dia terluka parah?"
Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan kedua mata yang masih terbalut kacamata hitam itu langsung masuk kedalam kerumunan untuk melihat korban yang barusan ditabraknya.
"Mau terluka parah atau tidak, anda harus tetap tanggung jawab dong" sahut seseorang yang tadi menolong Dhyanda.
"Kamu?" rupanya si penabrak itu mengenali Dhyanda.
Dhyanda sendiri kaget, ternyata yang menabraknya itu orang yang sama dengan yang menubruk dirinya disekolah tadi.
Sial! kenapa harus dia lagi sih? umpat Dhyanda dalam hati.
"Bawa dia kerumah sakit, Mas!! takutnya ada luka dalam, kasihan kan" ujar orang yang masih menahan tubuh Dhyanda.
"Oke, tolong bantu dia ke mobil ku!!" pintanya.
"Tidak usah! saya tidak apa-apa, kok" sahut Dhyanda cepat.
"Jangan gitu, Dek. sebaiknya tetap diperiksakan dulu ke rumah sakit, mumpung yang nabraknya masih ada dan mau tanggung jawab. Kalau nantinya ada apa-apa bagaimana, iya kan?"
Bener juga ya apa kata orang ini, kalau ternyata ada luka dalam di kaki gue bagaimana? tapi gue kan takut disuntik, pikir Dhyanda malah bingung sendiri.
Akhirnya Dhyanda pun mengikuti saran dari orang-orang yang berkerumun disana. Dia ikut bersama laki-laki yang menabraknya tadi.
"Awas, Mas. Jangan macam-macam ya sama anak itu!" celetuk seseorang kepada si penabrak.
"Maaf, maksud anda apa ya?" laki-laki itu nampaknya tersinggung dengan ucapan barusan, "Kalian perlu tau, gadis itu murid saya. Kalau tidak percaya kalian bisa cek data saya disekolah yang ada diujung jalan sana. Nama saya Aldrick, saya guru bahasa Inggris di SMAN 305"
Mendengar penjelasan dari seorang Aldrick itu, akhirnya semuanya diam. Satu persatu orang-orang disana membubarkan diri.
"Saya turun disini aja, pak. Gak usah ke rumah sakit, saya gak apa-apa kok" ucap Dhyanda ragu, saat mobil lelaki bernama Aldrick itu sudah meluncur menuju rumah sakit terdekat.
"Tidak. Saya tetap akan bawa kamu ke rumah sakit" sahut Aldrick tanpa memindahkan pandangannya tetap fokus menyetir.
"Tapi, Pak---"
"Cukup! jangan banyak bicara lagi! hari ini kamu sukses sudah membuat saya sial, Dhyanda" ujarnya lagi.
"Lho? Bapak tau nama saya?" tanya Dhyanda begitu terkesiap.
Laki-laki itu tak menjawab pertanyaan Dhyanda, dia malah sibuk menghubungi seseorang melalui sambungan bluetooth di mobilnya.
"Mama, bisa bantu aku sekarang? tadi aku menabrak seseorang, ini lagi perjalanan menuju rumah sakit. Mama temani aku ya!!" ujar laki-laki seperti berbicara sendiri, "Oke, Ma. aku tunggu disana, bye"
Waduuh, kok jadi ribet gini sih? batin Dhyanda jadi merasa membebani orang lain.
***
Sesampainya dirumah sakit, Dhyanda langsung dibawa ke UGD untuk diperiksa sisa luka dan lebam dikakinya. Sementara Laki-laki bernama Aldrick menunggunya diluar ruang periksa. Ia duduk disalah satu kursi yang berderet panjang, lalu terlihat seseorang datang menghampirinya.
"Bagaimana keadaannya? dia tidak terluka parah kan? kok bisa sih kamu sampai menabrak orang, Al?” cerca perempuan cantik berambut panjang itu nampak khawatir sekaligus kecewa dengan kejadian yang menimpaku putranya itu. Sorot mata teduh menatap Aldrick sambil mengunci tangannya didepan dada.
“Dia baik-baik saja, Ma. Aku hanya ingin memastikan dia memang baik-baik saja, agar jika suatu hari nanti gadis itu menuntut ku, kita punya rekam medisnya” ucap lelaki yang memiliki mata hazel itu.
“Ah, syukurlah kalau memang dia tidak kenapa-kenapa” ucap sang Mama lega seraya mengusap dadanya, "tapi tunggu! kau bilang dia seorang gadis?" perempuan itu kembali berpaling melihat sorot mata putranya.
"Ya, dia salah satu siswa disekolah tempat aku mengajar, Ma"
"What?? jadi dia murid kamu, Al?" Bola mata perempuan itu nampak membulat sempurna.
Laki-laki itu hanya merespon pertanyaan sang Mama dengan anggukan, dan sang Mama pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tak lama kemudian Dhyanda keluar dengan seorang dokter praktek yang menanganinya. Aldrick langsung berdiri menyambutnya.
"Bagaimana, Dok, tidak ada luka yang serius kan?" tanyanya tak sabaran.
"Tidak ada, Mas. Adiknya baik-baik saja kok. Memar di lututnya cukup dikasih salep saja dan obat anti nyeri yang sudah saya resepkan ke apotek" ucap dokter itu ramah.
CK!! Adik? dipikirnya dia adikku, batin lelaki itu jengah.
Melihat putranya yang hanya diam saja, akhirnya sang Mama yang maju seraya menyenggol bahu Aldrick.
"Oh iya, Dok, Syukurlah kalau tidak ada hal serius. Kalau begitu dia boleh langsung pulang kan?"
"Tentu saja, Bu" ucap sang dokter tersenyum, setelah itu pamit masuk keruangan periksa lagi untuk merawat pasien yang lain.
Tak lama kemudian Mama dari Aldrick itu menyuruh anaknya untuk menebus obat dan salep yang sudah di resepkan dokter tadi. Sementara ia dan Dhyanda menunggu sambil duduk-duduk dan mengobrol sejenak.
"Kamu beneran tidak apa-apa kan, Nak?" tanya Mamanya lelaki itu menyapa Dhyanda.
"Saya tidak apa-apa kok, Tante" sahut Dhyanda tersenyum samar. Ia sudah bisa menebaknya kalau perempuan dihadapannya kini pasti ibu dari lelaki itu.
"Syukurlah, Oya nama kamu siapa, Nak?"
"Dhyanda Genovefa, Tante" sahutnya.
"Nama mu bagus sekali, Nak. Oya kenalkan, saya Kinara, Mamanya Aldrick" ucap perempuan itu seraya menatap hangat pada manik mata Dhyanda.
Dhyanda merasa rasa sakit di lututnya tiba-tiba saja berangsur sembuh ketika ia menatap mata perempuan bernama Kinara yang bening, sebening air yang bisa meluluhkan hatinya seketika.
Susah diucapkan, sesak tak diucapkan. Menjadi pilu jika aku tak mengatakannya, aku sangat merindukan sosok Mama yang sesungguhnya. Mama kandungku yang tak akan pernah bisa aku lihat, aku peluk, aku cium. Tapi aku percaya suatu saat nanti kita akan bersama kembali di surgaNya.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!