Pewaris Itu Suamiku

Pewaris Itu Suamiku

PIT 01 — Pewaris Itu Suamiku

Nadira tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar laptop di hadapannya. Grafik-grafik saham itu membuatnya pusing. Ditambah lagi dengan beban penelitian yang ditimpakan padanya akhir-akhir ini membuat seorang istri dari pewaris dan pebisnis ternama itu kian sibuk.

Dering panggilan di ruangannya saling bersahutan, seolah meminta untuk segera diangkat. Nadira berdecak kecil sebelum akhirnya beranjak dan mengangkat panggilan itu. Suara seseorang yang sangat ia kenal yang pertama kali berujar.

Nadira menggumam dan mengangguk kecil, seolah pria di seberang bisa melihat gerakan spontannya itu. "Iya, aku gak akan lupa. Iya, sampai ketemu di sana," jawab Nadira mengakhiri panggilan teleponnya.

Menghela napas panjang, Nadira bergegas meraih tas dan kunci mobilnya dan pergi keluar ruangannya. "May, tolong cancel jadwalku hari ini, aku ada urusan penting!" titahnya pada sang asisten dan langsung berlalu tanpa menunggu jawabannya lebih dulu.

Merutuki macetnya Ibukota, Nadira berdecak kecil seraya memukul kemudinya pelan. Melihat barisan mobil yang mengular di depan benar-benar membuatnya pusing. Dan ia tak bisa membayangkan akan semasam apa wajah Arsen saat tahu dirinya harus menunggu dirinya.

Sesampainya di sana, benar saja bahwa Arsen sudah terjongkok di depan sebuah nisan. Nadira melangkah mendekat dengan sangat pelan, siang itu cuaca tak terlalu terik melainkan mendung abu-abu. Persis seperti suasana hati mereka yang kelabu.

Nadira mengusap bahu Arsen pelan, pria itu menoleh dan mendapati sosok istrinya di samping. "Maaf, Mas. Aku terjebak macet," kata Nadira merasa bersalah.

Arsen tersenyum singkat seraya mengusap pucuk kepala istrinya pelan. "It's okay, Sayang. Aku juga baru sampai, yuk berdoa dulu," jawabnya yang kemudian justru membuat Nadira kian dilingkupi rasa bersalah.

Keduanya menengadahkan tangan, melangitkan doa-doa bersama dengan harapan yang mereka sendiri tak tahu kapan akan terwujud. Lisan Nadira lirih ucap tasbih. Hatinya merintih. Begitu pula Arsen. Pria itu nampak tertunduk dan Nadira tahu bahwa pria itu tengah menahan tangisnya sendiri.

Dua tahun, setiap kali mereka mengunjungi pemakaman, kesedihan itu selalu memeluk mereka dengan rasa kehilangan yang teramat. Meski lidah berkata ikhlas, tapi tiap kali jemari keduanya meraba nisan, air mata itu tumpah jadi tangis.

Setelah itu, keduanya menaburkan bunga di atas makam tiga nisan itu secara bergantian. Usai menabur bunga, keduanya terdiam di sisi nisan Almarhum Sang Kakek, Areef Harrington.

"Mas," panggil Nadira pelan hampir terdengar seperti sebuah bisikan. Pria itu langsung menoleh.

"Please don't hide your sadness, itu membuatku sedih," tutur Nadira tertunduk.

Arsenio tersenyum memaksa. "Okay. Kamu sudah makan siang? Kalau belum, makan siang dulu, yuk!" ajak Arsen yang langsung diangguki Nadira.

Kemudian, keduanya menuju sebuah restoran bintang lima yang cukup terkenal. Nadira cukup senang karena pada akhirnya mereka bisa menghabiskan waktu makan siang berdua lagi setelah beberapa waktu lalu saling sibuk.

"Kamu mau pesan apa, Mas?" tanya Nadira saat seorang pramusaji datang dan menanyai pesanan mereka. Nadira terlihat sibuk membaca menu sedangkan Arsen tampak sibuk dengan ponselnya.

"Mas?" panggil Nadira meminta atensi Arsen. Pria itu menoleh dan memberi Nadira isyarat untuk memesan apapun yang ia ingin. Mendapati isyarat singkat itu, Nadira hanya menghela napas lalu memesan makanan.

Ia terpekur dalam duduknya seraya menopang dagunya dengan tangan kanan, hal yang kadang ia lakukan pabila sedang ingin memandangi suaminya. Arsen masih sibuk dengan panggilan telepon yang Nadira rasa semakin banyak dibanding terakhir kali. Prianya itu kian sibuk dengan ekspansi bisnisnya.

Sejak kematian Areef Harrington. Arsenio memangku lebih banyak tanggung jawab di pundaknya. Semua aset dan kekayaan termasuk tanggung jawab Sang Kakek secara otomatis dilimpahkan kepada cucu satu-satunya, Arsenio. Sang Pewaris Tunggal, begitu ia dijuluki oleh media dan rekan bisnisnya.

Tak ayal, dari sana namanya semakin melejit. Bukan karena gelarnya sebagai pewaris utama keluarga Harrington tetapi juga karena kecakapan bisnis yang dikuasainya membuat dunia bisnis seakan bertekuk lutut di hadapannya.

Hal itu, tentu saja membuat Nadira merasa kagum tapi sekaligus hampa, sebab semakin terkenalnya seorang Arsenio, semakin Nadira merasa berada jauh dalam jangkauannya. Seperti ada kaca tipis yang menghalangi mereka untuk saling merengkuh dan mendekap erat kebersamaan seperti dulu.

Nadira mengembangkan senyumnya kian lebar saat Arsen terlihat meletakkan ponselnya di meja dan beralih menatapnya. "Kamu sudah pesan?" tanya pria itu yang dijawab anggukan kecil Nadira.

Baru saja Nadira hendak berujar, secara tiba-tiba dan tak terduga dua orang pria berpakaian rapi menghampiri keduanya. Lebih tepatnya, kedua orang itu menyapa Arsen. "Permisi, Presdir Harrington?" tanyanya seolah memastikan identitas Arsen. Pria yang ditanyai itu mengangguk singkat.

Kedua pria itu tampak senang, "Maaf mengganggu waktu Tuan dan Nyonya, tapi bolehkah kami memintan sign di sini? Kami sangat mengagumi Anda!" ujar salah seorang dari mereka. Nadira hanya melihat kedua pria itu dari mejanya, sesekali mencuri pandang pada Arsen yang menurutnya lebih berwibawa sekarang.

Arsen tersenyum singkat lalu mengangguk. Keduanya tampak senang dan kemudian menyodorkan dua buah buku yang Nadira tangkap sebagai buku mata kuliah jurusan bisnis. Arsen menandatanganinya. Setelah itu, kedua pria yang Nadira duga sebagai mahasiswa berjalan menjauhi meja mereka seraya mengangkat tinggi buku di tangannya.

Bukan hanya sekali atau dua kali Nadira mendapat gangguan seperti itu saat makan berdua di luar dengan Arsen. Tetapi kini, pria itu bahkan selalu diikuti media saat bekerja dan ada saja orang yang mengenalinya.

Nadira kian kagum. "You're so famous, Mr. Harrington," ucapnya memuji.

Arsen yang semula menunduk jadi terpaksa mengangkat kepalanya dan menatap wajah Nadira yang kini tersenyum penuh arti padanya.

Arsen terkekeh kecil. "Itu hal yang sering terjadi, sudah biasa, Sayang," sanggah Arsen malu. Keduanya saling melempar senyum.

Tak lama dari itu, pesanan keduanya datang. Pramusaji menata makanan mereka dengan rapi.

Sebelum membuka mulutnya untuk makan, Nadira menyempatkan diri untuk menatap Arsen sekali lagi. "Aku bangga sekali padamu. Dan dengan penuh percaya diri aku akan mengatakan kepada orang-orang bahwa Pewaris itu Suamiku!"

•••

Selamat Membaca ❤️

Kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak berupa like, komentar, vote, gift atau apapun itu, ya.

Karena dukunganmu sangat berarti bagiku. ❤️

Terpopuler

Comments

Riyanti

Riyanti

Kehidupan orkay seperti Nadira dan Arsen, seperti burung dlm sangkar emas 🥲. Senasib dengan Ayana dan Sindy. Jln2 bersama suami tp harus sembunyi2 🙄.

2024-04-27

0

Riyanti

Riyanti

Nyesek banget kak😭

2024-04-27

0

Atang Priatna

Atang Priatna

semau gue ini aithor kapan tamatnya thor jangan cuma iseng2 leather gantung baca thor

2024-02-01

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!