Nadira tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar laptop di hadapannya. Grafik-grafik saham itu membuatnya pusing. Ditambah lagi dengan beban penelitian yang ditimpakan padanya akhir-akhir ini membuat seorang istri dari pewaris dan pebisnis ternama itu kian sibuk.
Dering panggilan di ruangannya saling bersahutan, seolah meminta untuk segera diangkat. Nadira berdecak kecil sebelum akhirnya beranjak dan mengangkat panggilan itu. Suara seseorang yang sangat ia kenal yang pertama kali berujar.
Nadira menggumam dan mengangguk kecil, seolah pria di seberang bisa melihat gerakan spontannya itu. "Iya, aku gak akan lupa. Iya, sampai ketemu di sana," jawab Nadira mengakhiri panggilan teleponnya.
Menghela napas panjang, Nadira bergegas meraih tas dan kunci mobilnya dan pergi keluar ruangannya. "May, tolong cancel jadwalku hari ini, aku ada urusan penting!" titahnya pada sang asisten dan langsung berlalu tanpa menunggu jawabannya lebih dulu.
Merutuki macetnya Ibukota, Nadira berdecak kecil seraya memukul kemudinya pelan. Melihat barisan mobil yang mengular di depan benar-benar membuatnya pusing. Dan ia tak bisa membayangkan akan semasam apa wajah Arsen saat tahu dirinya harus menunggu dirinya.
Sesampainya di sana, benar saja bahwa Arsen sudah terjongkok di depan sebuah nisan. Nadira melangkah mendekat dengan sangat pelan, siang itu cuaca tak terlalu terik melainkan mendung abu-abu. Persis seperti suasana hati mereka yang kelabu.
Nadira mengusap bahu Arsen pelan, pria itu menoleh dan mendapati sosok istrinya di samping. "Maaf, Mas. Aku terjebak macet," kata Nadira merasa bersalah.
Arsen tersenyum singkat seraya mengusap pucuk kepala istrinya pelan. "It's okay, Sayang. Aku juga baru sampai, yuk berdoa dulu," jawabnya yang kemudian justru membuat Nadira kian dilingkupi rasa bersalah.
Keduanya menengadahkan tangan, melangitkan doa-doa bersama dengan harapan yang mereka sendiri tak tahu kapan akan terwujud. Lisan Nadira lirih ucap tasbih. Hatinya merintih. Begitu pula Arsen. Pria itu nampak tertunduk dan Nadira tahu bahwa pria itu tengah menahan tangisnya sendiri.
Dua tahun, setiap kali mereka mengunjungi pemakaman, kesedihan itu selalu memeluk mereka dengan rasa kehilangan yang teramat. Meski lidah berkata ikhlas, tapi tiap kali jemari keduanya meraba nisan, air mata itu tumpah jadi tangis.
Setelah itu, keduanya menaburkan bunga di atas makam tiga nisan itu secara bergantian. Usai menabur bunga, keduanya terdiam di sisi nisan Almarhum Sang Kakek, Areef Harrington.
"Mas," panggil Nadira pelan hampir terdengar seperti sebuah bisikan. Pria itu langsung menoleh.
"Please don't hide your sadness, itu membuatku sedih," tutur Nadira tertunduk.
Arsenio tersenyum memaksa. "Okay. Kamu sudah makan siang? Kalau belum, makan siang dulu, yuk!" ajak Arsen yang langsung diangguki Nadira.
Kemudian, keduanya menuju sebuah restoran bintang lima yang cukup terkenal. Nadira cukup senang karena pada akhirnya mereka bisa menghabiskan waktu makan siang berdua lagi setelah beberapa waktu lalu saling sibuk.
"Kamu mau pesan apa, Mas?" tanya Nadira saat seorang pramusaji datang dan menanyai pesanan mereka. Nadira terlihat sibuk membaca menu sedangkan Arsen tampak sibuk dengan ponselnya.
"Mas?" panggil Nadira meminta atensi Arsen. Pria itu menoleh dan memberi Nadira isyarat untuk memesan apapun yang ia ingin. Mendapati isyarat singkat itu, Nadira hanya menghela napas lalu memesan makanan.
Ia terpekur dalam duduknya seraya menopang dagunya dengan tangan kanan, hal yang kadang ia lakukan pabila sedang ingin memandangi suaminya. Arsen masih sibuk dengan panggilan telepon yang Nadira rasa semakin banyak dibanding terakhir kali. Prianya itu kian sibuk dengan ekspansi bisnisnya.
Sejak kematian Areef Harrington. Arsenio memangku lebih banyak tanggung jawab di pundaknya. Semua aset dan kekayaan termasuk tanggung jawab Sang Kakek secara otomatis dilimpahkan kepada cucu satu-satunya, Arsenio. Sang Pewaris Tunggal, begitu ia dijuluki oleh media dan rekan bisnisnya.
Tak ayal, dari sana namanya semakin melejit. Bukan karena gelarnya sebagai pewaris utama keluarga Harrington tetapi juga karena kecakapan bisnis yang dikuasainya membuat dunia bisnis seakan bertekuk lutut di hadapannya.
Hal itu, tentu saja membuat Nadira merasa kagum tapi sekaligus hampa, sebab semakin terkenalnya seorang Arsenio, semakin Nadira merasa berada jauh dalam jangkauannya. Seperti ada kaca tipis yang menghalangi mereka untuk saling merengkuh dan mendekap erat kebersamaan seperti dulu.
Nadira mengembangkan senyumnya kian lebar saat Arsen terlihat meletakkan ponselnya di meja dan beralih menatapnya. "Kamu sudah pesan?" tanya pria itu yang dijawab anggukan kecil Nadira.
Baru saja Nadira hendak berujar, secara tiba-tiba dan tak terduga dua orang pria berpakaian rapi menghampiri keduanya. Lebih tepatnya, kedua orang itu menyapa Arsen. "Permisi, Presdir Harrington?" tanyanya seolah memastikan identitas Arsen. Pria yang ditanyai itu mengangguk singkat.
Kedua pria itu tampak senang, "Maaf mengganggu waktu Tuan dan Nyonya, tapi bolehkah kami memintan sign di sini? Kami sangat mengagumi Anda!" ujar salah seorang dari mereka. Nadira hanya melihat kedua pria itu dari mejanya, sesekali mencuri pandang pada Arsen yang menurutnya lebih berwibawa sekarang.
Arsen tersenyum singkat lalu mengangguk. Keduanya tampak senang dan kemudian menyodorkan dua buah buku yang Nadira tangkap sebagai buku mata kuliah jurusan bisnis. Arsen menandatanganinya. Setelah itu, kedua pria yang Nadira duga sebagai mahasiswa berjalan menjauhi meja mereka seraya mengangkat tinggi buku di tangannya.
Bukan hanya sekali atau dua kali Nadira mendapat gangguan seperti itu saat makan berdua di luar dengan Arsen. Tetapi kini, pria itu bahkan selalu diikuti media saat bekerja dan ada saja orang yang mengenalinya.
Nadira kian kagum. "You're so famous, Mr. Harrington," ucapnya memuji.
Arsen yang semula menunduk jadi terpaksa mengangkat kepalanya dan menatap wajah Nadira yang kini tersenyum penuh arti padanya.
Arsen terkekeh kecil. "Itu hal yang sering terjadi, sudah biasa, Sayang," sanggah Arsen malu. Keduanya saling melempar senyum.
Tak lama dari itu, pesanan keduanya datang. Pramusaji menata makanan mereka dengan rapi.
Sebelum membuka mulutnya untuk makan, Nadira menyempatkan diri untuk menatap Arsen sekali lagi. "Aku bangga sekali padamu. Dan dengan penuh percaya diri aku akan mengatakan kepada orang-orang bahwa Pewaris itu Suamiku!"
•••
Selamat Membaca ❤️
Kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak berupa like, komentar, vote, gift atau apapun itu, ya.
Karena dukunganmu sangat berarti bagiku. ❤️
Cukup lama Nadira terduduk di ruang kerjanya, penelitian disertasi yang semula hendak ia kerjakan terabaikan begitu saja. Pikirannya kacau, hatinya gundah lantaran Arsen tak lagi bisa pulang ke rumah.
Satu jam yang lalu, pria itu mengabarkan pada dirinya hendak ke luar kota untuk mengurus rencana pembangunan sebuah hunian mewah, hasil kerja sama terbarunya.
Nadira hanya bisa menghela napas panjang padahal sebelumnya ia mengira setelah makan siang mereka hari itu, keduanya bisa kembali merajut benang-benang cinta yang bagi Nadira mulai terabaikan.
Nadira mesti menelan pil pahit kekecewaan saat Arsen mengabarkan padanya akan pergi selama beberapa hari. Dan ia tak bisa apa-apa selain berkata iya.
Selama setahun terakhir, begitulah hubungan keduanya berjalan. Tak lebih dari hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
Kesepian adalah hal yang sering Nadira alami dua tahun terakhir, meskipun tak bisa dipungkiri bahwa keduanya masih mesra dan Arsen pun tak melupakan kewajibannya, tetapi Nadira merasa seperti ada tembok tak kasat mata yang menghalanginya untuk bersama pria itu.
Dan tembok itu adalah sesuatu yang tak bisa ia hancurkan. Bagai bangunan kokoh yang tidak mungkin untuk dirobohkan, mereka terjebak di sisi yang berlainan. Dan barangkali, untuk mencapai titik temu, keduanya harus saling beranjak. Tapi bagaimana?
Nadira menutup laptopnya, niatnya untuk menyusun disertasinya lenyap sudah, berganti dengan rasa sepi yang mendera hatinya. Malam kian larut saat Nadira membuka tirai jendela, malam bertabur bintang, bulan tampak menggantung di langit laksana lampu yang menerangi ruangan.
Nadira termangu di tepi jendela, memandangi pekatnya malam dengan latar ibukota yang gemerlap. "Wahai angin, kabarkanlah rinduku padanya," cicitnya pada angin yang tak sengaja berembus. Semilir angin malam menyapu wajahnya yang temaram bak rembulan. Mengibarkan berkas-berkas cahaya mata yang sayu akan rindu.
Pada saat itu, ponselnya bergetar, membuyarkan lamunan panjangnya tentang Arsen. Membaca nama di layar ponselnya, ia langsung menarik tombol hijau di layar itu ke atas. "Halo, May? Ada apa?" tanyanya begitu telepon tersambung.
"Maaf, Bu mengganggu waktunya. Saya ingin mengabarkan jadwal Ibu untuk besok. Kita harus menemui designer Ny. Anya, Bu, karena beliau meminta kita untuk menemuinya langsung di kotanya," kata May, sang asisten, dari seberang telepon.
Nadira tampak berpikir sejenak, "Kenapa harus kita yang ke luar kota, May? Bukannya sebelumnya kita sudah sepakat untuk meeting outdoor di Kafe dekat kantor?" tanya Nadira penasaran.
"Iya, Bu. Sekretarisnya mengatakan kalau beliau berhalangan hadir karena ternyata jadwalnya berbentrokan dengan acara lain di Royal Hotel."
Kening Nadira terangkat sedikit, rasanya ia sedikit familiar dengan nama hotel itu. "Oh, baiklah kalau begitu. Jam berapa kita berangkat, May? Kamu sudah siapkan semuanya, ya?" tanyanya memastikan.
"Jam delapan pagi, Bu. Semuanya sudah siap, besok supir akan menjemput Ibu di kediaman utama." Nadira mengangguk mengerti lalu menutup teleponnya.
***
Di lain tempat, Arsen masih sibuk melakukan rapat terkait rencana pembangunan hunian mewah hasil kerja sama dengan beberapa rekan bisnisnya. Malam kian larut tapi mereka masih saja sibuk meributkan masalah pendanaan.
Arsen memijit tulang di antara kedua alisnya, merasa pusing dengan urusan yang menurutnya sangat sepele ini. Kepalanya sudah berdenyut-denyut sakit, sudah beberapa hari tubuhnya dipaksa terjaga yang hasilnya membuatnya kelelahan.
"Berikan aku kopi," pintanya pada Galen. Pria itu langsung mengangguk dan berjalan keluar. Arsen kemudian tampak membenarkan posisi duduknya.
"Pembangunan ini terkendala oleh batas jalan, pasti akan lebih banyak memakan dana, kecuali jika bentuk bangunannya sedikit diubah."
"Tidak bisa begitu saja diganti, model bangunannya sudah disepakati. Terkait dana pembangunan yang memakan jalan bukankah masih bisa dicari solusinya?"
"Itu benar! Justru jika mengajukan ulang bentuk bangunan akan memakan waktu lebih lama sedangkan pembangunan ini harus segera diselesaikan dalam jangka waktu 1 tahun."
Arsen kian gemas. Ia berdeham dan mengundang perhatian semua orang yang berada di ruang rapat itu. "Rapat kita akhiri sampai sini, kita lanjutkan besok. Selamat beristirahat!" kata Arsen tegas.
Semua orang yang berada di sana hanya terdiam saat Arsen berbicara. Riuh yang semula mereka ributkan seolah lenyap begitu saja. Arsen berjalan ke luar dari ruangan rapat itu.
Baru beberapa menit ia merebahkan diri di kamarnya, suara ketukan di pintu terdengar mengganggu istirahatnya. Galen terlihat masuk membawakan Arsen secangkir kopi pesanannya tadi.
"Letakkan saja di sana, Galen. Dan pergilah! Jangan ganggu waktu istirahatku," perintahnya masih dalam posisi telentangnya.
Galen menggangguk paham, "Baik, Presdir." Pria itu berlalu dari sana setelah menundukkan kepalanya sedikit memberi hormat.
"Mengingatkan Anda kembali, Presdir, besok Anda masih ada rapat dengan walikota setempat jam sembilan pagi di aula utama Royal Hotel," katanya sebelum benar-benar menutup pintu.
Arsen hanya menggumam pelan lalu memberi isyarat pada Galen untuk cepat-cepat keluar dari kamarnya. Ia sangat lelah dan ingin meraih ketenangan.
Setelah kepergian asisten setianya itu, Arsen beralih menatap langit-langit kamar hotel yang serba putih, selain lampu sebagai penerang, Arsen tak dapat melihat apapun lagi selain kekosongan.
Seperti yang sering dirasakannya akhir-akhir ini. Kosong dan hampa, bagai ruang yang tak terisi. Ia jelas menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dari pernikahannya dan Nadira, namun Arsen tak tahu pasti hal apakah yang hilang itu.
Ia telah meraba-raba hatinya, barangkali kesedihan dan alasan wafatnya sang kakek adalah alasan terbesar. Atau barangkali juga rasa kehilangan yang memeluk jiwa membuatnya sulit meraba perasaan lain yang muncul.
Arsen jadi gamang sendiri. Di sudut hatinya yang lain, ia merindukan Nadira. Tetapi akalnya berkata untuk jangan mengganggu perempuan yang sekarang menjadi jauh lebih sibuk itu. Arsen bahkan bisa menghitung berapa kali mereka bertemu dalam seminggu hanya dengan hitungan jari.
Kemudian, Arsen berbalik menghadap samping, beranjak dari posisi berbaringnya, Arsen kemudian pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Kepalanya terasa berdenyut, mandi mungkin bisa sedikit menghilangkan kepenatan dan kekacauan pikirannya.
Lama Arsen membiarkan dirinya basah di bawah kucuran shower, membiarkan riak-riak air itu membasuh diri juga kepalanya. Setelah selesai, masih dengan mengenakan handuk, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Kacau mungkin lebih tepat untuk mendeskripsikan dirinya sekarang.
Usai mandi, ia memilih untuk memejamkan mata. Tadinya ia berpikir untuk menelepon istrinya tapi urung sebab Arsen berpikir, di jam selarut ini, istrinya itu pasti sudah terlelap karena kelelahan mengurus perusahaan yang baru didirikannya, belum lagi dengan urusan penelitiannya.
"Selamat malam, Sayang. Have a nice dream, I miss you so much," lirih Arsen pada foto Nadira yang terpampang di layar ponselnya.
"Kuharap aku bisa melihatmu besok," pintanya sesaat sebelum benar-benar lelap dalam kantuk.
•••
Selamat Membaca ❤️
Kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak berupa like, komentar, vote, gift atau apapun itu, ya.
Karena dukunganmu sangat berarti bagiku. ❤️
Keesokan paginya, pukul delapan pagi, Arsen sudah bersiap dengan setelan jas terbaiknya. Ia berjalan keluar dari kamarnya setelah menyantap sarapan pagi yang pasti sudah disiapkan Galen. Begitu membuka pintu, ia mendapati asistennya itu sudah berdiri di depan pintu, menunggunya sambil memegang satu berkas yang ia tahu adalah proposal kerja sama.
"Ini berkas yang Anda minta, Presdir." Galen menyerahkan berkas itu, Arsen langsung membacanya, mengangguk singkat lalu memberikan berkas itu kembali kepada Galen.
"Apakah mereka masih meributkan soal pendanaan itu?" tanya Arsen seraya melangkahkan kakinya menuji lobi utama Royal Hotel.
Galen tampak menyejajarkan langkahnya agar seirama dengan Arsen, kemudian Galen menjawab, "Ya, Presdir. Terkait dana untuk jalan itu sebenarnya juga adalah hal yang hendak dibicarakan oleh walikota."
"Oh begitu, semoga saja ada titik temu. Aku ingin urusan ini segera selesai, Galen. Aku masih harus menemui istriku dan membantu risetnya," kata Arsen seraya mempercepat langkahnya.
Arsen tiba lebih dulu di ruangan rapat itu. Bukan tanpa alasan ia datang lebih awal. Demi memahami karakter rekan bisnis dan relasinya, Arsen rela datang lebih awal hanya agar bisa melihat bagaimana para rekannya itu dalam menghargai waktu.
Apabila mereka datang tepat waktu, maka Arsen tak akan ragu-ragu untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan mereka, dan begitu juga sebaliknya. Bagi Arsen, lima menit sangatlah berharga, itu sebabnya ia tak menoleransi keterlambatan, apapun alasannya.
Mengisi waktu luangnya, Arsen memilih membuka ponselnya dan ingin menghubungi istrinya. Rindu seakan memenuhi rongga dadanya. Tetapi, tiga kali menekan hanya jawaban operator yang ia dengar. Arsen menghela napas kecewa. Sekali lagi, Arsen mendesah pasrah dan mencoba memaklumi kesibukan Nadira.
Ia kemudian membuka laptopnya dan mengecek email yang masuk di waktu yang tersisa. Tak lama dari itu, sang walikota bersama jajarannya memasuki ruangan. Arsen menyalami sang walikota dan mempersilahkannya untuk duduk. Kemudian, rapat pun dimulai dengan membahas mengenai pembangunan jalan.
***
Nadira tampak tersenyum lega saat Ny. Anya menyetujui kontrak kerjasamanya dengan Ghauthi Boutique sebagai desainer utama dalam distribusi fashion. Meski terbilang baru, Ghauthi Boutique telah menerima kerja sama dari beberapa industri permodelan.
Untuk project terbarunya, Ghauthi — perusahaan fashion yang dipimpin Nadira mendapat tantangan untuk membuat rancangan busana dengan konsep elegan namun klasik.
Pada awalnya Nadira kebingungan, sebab desainer yang bekerja untuknya ternyata tak mampu mengikuti konsep yang diusungkan mitra bisnisnya.
Beruntung lewat salah satu relasinya, Nadira mendapat rekomendasi seorang fashion designer terkenal sekelas Ny. Anya.
Dan Ny. Anya sendiri adalah seorang fashion designer yang namanya telah terkenal di manca negara. Semua desainnya pernah ditampilkan dalam peragaan busana. Namanya kian terkenal sejak saat itu.
"Senang bekerja sama dengan Anda, Ny. Anya," kata Nadira menyanjung sosok perempuan di hadapannya.
Perempuan berusia lima puluh tahunan itu mengembangkan senyumnya. "Tentu saja, meskipun baru, tapi saya yakin Ghauthi akan menjadi merek yang terkenal!" puji Ny. Anya antusias.
Keduanya tertawa, "Anda bisa saja, Nyonya."
"Ah, panggil saja Ibu! Nyonya terlalu formal bagi kita yang sama-sama muda," kelakarnya lagi.
"Baik, Bu Anya. Kami sangat menantikan kehadiran Anda di perusahaan kami pekan depan."
"Ya, tentu. Sebagai tanda perkenalan saya akan kirimkan beberapa draft design saya, siapa tahu Mbak Nadira suka dan bisa langsung membuat contoh yang diminta klien."
Nadira mengangguk senang, "Alhamdulillah! Baik, Bu Anya. Saya tunggu, ya." Kemudian keduanya bersalaman dan meninggalkan lobby utama setelah saling melempar senyum ramah.
Nadira dan May, asistennya kemudian berlalu dari sana. Tanpa mereka ketahui bahwa Arsen juga berada di tempat yang sama. Arsen baru saja keluar sesaat setelah walikota dan jajaran direksinya pergi. Merasa penat, Arsen memilih berjalan ke arah Kafetaria.
Biasanya, Galen yang akan mengurus hal-hal remeh seperti memesankan kopi, tetapi apa boleh buat, Galen sedang mengantar sang walikota dan istrinya yang juga ada keperluan. Sebelum memasuki Kafetaria, Arsen menangkap dua orang pria dan wanita yang tengah bertengkar.
Keningnya mengernyit ketika mendapati sosok perempuan itu mirip dengan istrinya. Takut sesuatu terjadi, Arsen menghampiri pasangan yang tampaknya sedang sengit itu. Sang pria tampak mengangkat tangannya hendak menampar si perempuan.
"Sial!" Arsen dengan cepat berlari dab menepis tangan sang pria sebelum sempat melukai si perempuan. Pria tinggi itu tampak terdorong beberapa langkah, sedangkan sang perempuan nampak terkejut.
"Brengsekkk!" teriak laki-laki itu marah. Rahangnya mengetat tanda ia mulai naik pitam. Arsen menatapnya tajam sedangkan si perempuan nampak bersembunyi di balik punggung Arsen. Bergetar ketakutan.
Si pria asing itu nampak maju dengan mengepalkan tinjunya kuat. Arsen dengan mudah mengelak dan meraih kepalan tangan si pria itu dan memuntirnya hingga si pria menjerit kesakitan.
"Kau tahu sakit sekarang?" cibir Arsen ketika pria itu meronta meminta dilepaskan. Kemudian, dengan sekali hentakan, Arsen melepaskan cengkeramannya hingga pria itu jatuh terduduk dengan pergelangan tangannya yang memerah.
"Jangan sesekali gunakan tanganmu untuk menyakiti perempuan! Perempuan itu seharusnya kau jaga dan lindungi. Kau yang seperti ini sama saja dengan sampah!" cebik Arsen lalu berbalik.
Perempuan yang semula bersembunyi di balik punggung Arsen tiba-tiba saja memeluknya erat seraya menumpahkan tangis. Arsen dapat mendengar perempuan itu mengucap terimakasih dengan lirih.
Arsen hendak melepasnya, ia risih sebenarnya jika ada perempuan lain yang menyentuhnya. Tetapi melihat bahu perempuan itu bergetar hebat, Arsen pun membiarkannya selama beberapa saat.
Tindakan Arsen itu mengundang perhatian dari orang-orang yang berlalu lalang di sekitar lobby Royal Hotel, termasuk Nadira dan May yang beberapa menit lalu kembali ke lobby karena ada barang yang tertinggal. Mereka berkerumun seolah melihat tontonan yang menyenangkan.
Melihat kerumunan orang-orang itu, rasa penasaran Nadira terusik. "Ada apa, sih, May di sana?" tanyanya pada May yang juga menggeleng.
"Tidak tahu, Bu, mungkin ada bazaar atau promosi," tebak May asal. "Eh, Bu Nadira, bukannya itu Presdir, ya?" tunjuknya ke arah kerumunan itu, kedua netra May tak sengaja menangkap sesosok pria tinggi tegap tengah dipeluk seorang perempuan.
Nadira mengikuti arah telunjuk May. Dan benar saja apa kata May, Nadira tak mungkin salah mengenali suaminya. "Itu benar Mas Arsen, May!" pekik Nadira.
Hati Nadira mencelos sakit ketika mendapati seorang perempuan memeluk suaminya di tempat umum. "Mas Arsen? May, perempuan itu ... " Nadira seolah kehilangan kata-katanya.
Jiwanya tergoncang, nyaris tak percaya bahwa suaminya mendua. Alih-alih menegur suaminya, Nadira memilih pergi dari sana sambil mengusap kedua pipinya yang sudah basah.
May mengikutinya dengan bingung, antara memastikan kebenaran dan mengikuti kepergian Nadira. May menyempatkan diri untuk melihat kerumunan itu sebelum kemudian mengejar langkah Nadira yang kian menjauh.
•••
Selamat Membaca ❤️
Kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak berupa like, komentar, vote, gift atau apapun itu, ya.
Karena dukunganmu sangat berarti bagiku. ❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!