PIT 07 — Make A Decision

Suasana restoran bintang lima malam itu cukup hening, Arsen telah mereservasi sebuah ruangan khusus untuk mereka makan malam itu. Sederhana tapi cukup mewah bagi Nadira.

Harus ia akui bahwa Arsen mengingat permintaannya terakhir kali untuk tidak mengajaknya makan ataupun makan malam di restoran mewah.

Alasannya sederhana, Nadira tak puas dengan sajiannya yang cenderung sedikit itu. Saat mendengar alasan istrinya, Arsen hanya tertawa.

Bagi Arsen, Nadira tak bisa dibandingkan dengan perempuan mana pun. Tak peduli betapa cerewetnya Nadira, pria itu telah berjanji untuk selalu mencintainya.

Menurut Arsen, menikah artinya belajar untuk menerima.

Menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangan.

Menerima jatuh dan bangunnya.

Menerima salah dan benarnya.

Menerima pasangan dengan segala hal yang ada padanya.

"Kenapa kamu pilih VIP room, sih, Mas? Kita kan bisa makan di — "

"Karena aku tak mau ada laki-laki yang menatapmu," kata Arsen cepat memotong ucapan Nadira. Perempuan itu terdiam sesaat kemudian terkekeh.

"Yes, I'm so jealous. Aku benar-benar cemburu ketika ada laki-laki yang dekat denganmu apalagi menatapmu lama-lama," ujar Arsen. Seolah tahu apa yang tengah di pikirkan istrinya itu.

Nadira tersenyum kemudian mengusap punggung tangan Arsen yang bebas di atas meja. "Mas, kamu pernah dengar gak? Hati itu ibarat arah. Saat ke barat, tak mungkin ia menghadap ke timur. Saat ke utara tak mungkin ia menghadap ke selatan."

Arsen terdiam mendengarkan, Nadira melanjutkan ucapannya. "Dan aku telah mengarahkan hatiku hanya padamu dan ia tak mungkin berpaling ke arah selainmu." Pria itu tertegun. Dari mana Nadira belajar itu? Ah, Arsen lupa, Nadira memang penuh kejutan.

"Too bad we're in public now," timpal Arsen yang membuat Nadira terkekeh. Malam itu jadi malam di mana keduanya kembali mengingat momen-momen menyenangkan mereka.

"Mas," panggil Nadira kemudian setelah mereka menyelesaikan makan malamnya. Arsen mengusap bibirnya kemudian menengadah menatap Nadira.

"Ya, Sayang?"

Nadira tampak menghela napas dan terdiam sesaat sebelum bicara, Arsen menunggu dengan sabar. "Aku ingin minta izin," kata Nadira kemudian dengan lirih.

"Izin apa, Sayang? Katakanlah, aku akan mengizinkan apapun kehendakmu," jawab Arsen senang. Ia harap Nadira tak menyembunyikan apapun darinya.

"Aku ... aku ingin minta izin ke Paris selama beberapa waktu," ucapnya sedikit gugup. Nadira takut Arsen tak mengizinkannya pergi.

"Paris?" alis Arsen sedikit terangkat ke atas. "Boleh aku tahu apa tujuanmu ke sana? Kamu ingin berlibur, Sayang?"

Mendengar nada bicara Arsen, Nadira jadi gugup sendiri. "Eh, bukan, bukan Mas."

"Lalu apa?"

Nadira kemudian memutuskan untuk menceritakan pertemuannya dengan Prof. Karl tadi siang. Arsen mendengarkan semuanya dengan baik sambil sesekali mengangguk kecil.

"Kenapa kamu tidak mengatakannya saat kita di jalan tadi?"

"Maaf, aku ragu mengatakannya, Mas. Aku takut kamu tidak akan mengizinkan aku pergi," jujur Nadira.

Demi mendengar pengakuan Nadira itu Arsen menghela napas beberapa kali. "Well, jika itu memang menyangkut urusan disertasimu, maka pergilah. Selesaikan dulu pendidikanmu, Sayang."

"Sungguh?" Arsen mengangguk dan tersenyum. Nadira tampak senang, terbukti dari senyumnya yang begitu berseri hingga menampakkan deretan giginya yang rapi.

Arsen merasa malam itu adalah malam yang membahagiakan baginya karena setelah sekian lama terkungkung dalam duka, ia akhirnya bisa kembali melihat tawa Nadira yang lepas.

"Tapi ... " ucapan Nadira bagai tertahan di kerongkongan.

"Pekerjaan?" tebak Arsen benar. Ia tahu bahwa Nadira tengah menerima satu project yang besar.

"Make a decision, Honey. Mana yang lebih penting bagimu, utamakan itu," ucap Arsen memberi saran.

"Dua-duanya penting bagiku, Mas. Di satu sisi, aku ingin segera menyelesaikan disertasiku, di sisi yang lain proyek itu juga penting dan tidak bisa dialihkan begitu saja, aku bahkan baru merekrut designer kondang."

Arsen menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "Kita pikirkan itu nanti, sekarang tutup matamu dulu, aku masih punya satu kejutan untukmu."

"Ada lagi?"

Arsen tak menjawab pertanyaan Nadira itu, ia langsung berdiri dan mengambil sapu tangan miliknya untuk digunakan menutup penglihatan Nadira. Perempuan itu hanya bisa mengikuti kemauan Arsen.

Setelah itu, Arsen memapah Nadira menuju sebuah kolam yang terletak di belakang restoran itu. Arsen telah mempersiapkan segalanya dengan baik. Kolam itu telah disulap menjadi kolam penuh bunga. Lilin-lilin menghiasi pinggirannya dengan indah.

Musik mengalun merdu, mengiringi langkah Nadira dan Arsen ke tepian kolam. Bulan membayang di atasnya. Perlahan, Arsen membuka penutup mata Nadira. Perempuan itu tampak mengerjapkan matanya beberapa kali.

Kelap-kelip lampu berpendar indah, membentuk sebuah refleksi cahaya yang memukau. Nadira terpaku di tempat. Di belakangnya, Arsen sengaja meletakkan kedua tangannya tepat di atas perut Nadira.

Dengan sukarela, Nadira menyandarkan kepalanya di atas dada Arsen. "Bagaimana?"

Nadira mendongak. "Apa?" tanyanya bingung. Ia kembali menatap kolam penuh bunga di hadapannya. Musik masih mengalun merdu, mengiringi kehangatan keduanya.

"Kamu suka tidak dengan kejutan ini?" tanya Arsen setelah beberapa kali mengecup pucuk kepala Nadira mesra. Dalam sandarnya, Nadira mengangguk dan tersenyum bahagia.

"Sangat suka. Everything is perfect," jawab Nadira lirih. Ia memilih memejamkan mata dan menikmati setiap detik momen itu. Seolah setiap detiknya begitu berharga, yang mana jika sedetik saja ia lewatkan maka tak akan pernah terjadi lagi.

Andai waktu bisa berhenti, aku ingin merengkuhmu dalam pelukku setiap waktu, Mas.

"I want you tonight," bisik Arsen tepat di telinga Nadira. Perempuan yang semula bersandar tenang itu seketika memutar tubuhnya menghadap Arsen.

Seulas senyuman kecil terbentuk pada bibir Arsen. "Please," mohonnya lagi. Nadira hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya.

Meskipun Arsen tak langsung mengatakannya, tapi Nadira jelas tahu apa yang pria itu inginkan. Tepatnya, apa yang mereka inginkan.

Nadira kemudian mengangguk dan mengerling. "Sure, Mr. Harrington."

Kedua tangan Arsen berpindah menangkup kedua pipi Nadira dan mengusapnya lembut. Nadira menaikkan pandangannya dan tatapan mereka bertemu. Selama beberapa saat, keduanya hanya bertukar pandang. Menyelami rahasia mata dibalik tatapan mata itu.

Wajah Nadira kembali merona. Ditatap begitu intens oleh Arsen kembali memunculkan gelora dalam dirinya. Setelah sekian lama merasa kosong, akhirnya ia bisa merasa kembali menemukan apa yang seharusnya mereka cecap.

Nadira akan menganggap bahwa momen itu adalah awal bagi mereka untuk meratakan dinding yang kerap membatasi mereka.

"Sebaiknya kita pulang sekarang," ajak Arsen dengan sedikit serak. Nadira mengangguk menyetujui. Ia tahu betul apa yang tengah dirasakan Arsen. Pria itu tengah menahan sekuat hatinya.

Beranjak dari sana, keduanya kembali pulang dengan membawa serta euforia romansa mereka. Dengan senyuman terukir di bibir, Nadira melingkarkan sebelah tangannya pada siku Arsen. Berjalan pulang dengan hati membuncah bahagia.

•••

Selamat Membaca ❤️

Kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak berupa like, komentar, vote, gift atau apapun itu, ya.

Karena dukunganmu sangat berarti bagiku. ❤️

Terpopuler

Comments

Fidia K.R ✨

Fidia K.R ✨

Pulang dan annu annu yang annu... /Proud/

2023-12-09

2

Fidia K.R ✨

Fidia K.R ✨

Hayooo arsen, mau langsung nyerang ini kalo di kamar /Facepalm//Joyful/

2023-12-08

1

Fidia K.R ✨

Fidia K.R ✨

/Plusone//Plusone/ Fans Arsen angkat tangan /Smirk/

2023-12-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!