PIT 14 — Ketakutan yang Berlebih

Arsen bersorak gembira bahkan meloncat-loncat saking senangnya saat tahu akhirnya Nadira hamil. Diciuminya istrinya berkali-kali, syukur pun tak lupa ia panjatkan kepada Tuhan. Sang dokter pun turut tersenyum bahagia.

"Terimakasih, Sayang! Terimakasih!" ucapnya senang mendapat apa yang selama ini didamba. "Mulai dari sekarang, kita harus menjaga janin ini dengan baik, ya, Sayang. Kamu harus banyak istirahat dan jangan stress, ya kan, Dok?"

Sang dokter pun mengangguk. "Betul, nanti akan saya resepkan vitamin dan susu ibu hamil untuk Bu Nadira," kata sang dokter kemudian menulis obat apa saja yang perlu dikonsumsi Nadira selama kehamilan pertamanya.

Setelah memberikan secarik kertas itu dan berpesan kepada Arsen agar menebusnya Dokter Dewi pun berpamitan sebab masih ad jadwal visit pasien lain.

Berbeda dengan Arsen yang kentara bahagia hingga senyum lebar itu tak lepas dari wajahnya, Nadira justru merasa takut dan cemas. Takut karena ia teringat kejadian buruk yang menimpanya dulu, cemas karena setelah tahu dirinya hamil, Arsen pasti akan melarangnya bekerja dan juga, bagaimana dengan disertasi serta penelitiannya?

Setelah kepergian dokter Dewi, Arsen sibuk menelepon, entah siapa yang diteleponnya hingga begitu heboh. "Aku tak mau tahu, pokoknya pesta ini harus diadakan dengan meriah!" serunya kepada seseorang di seberang telepon.

"Mas," panggil Nadira pelan.

Arsen mengakhiri panggilannya lalu beralih kepada Nadira. "Ya, Sayang, kamu mau apa? Katakanlah," jawabnya cepat sambil mengambil duduk tepat di hadapan istri yang terlihat sendu.

"Kok masam? Ada apa, Sayang? Ada yang sakit, ya? Kita ke rumah sakit?" tanyanya panik. Nadira menggeleng tetapi lisannya masih terkatup rapat, ragu berkata, membuat Arsen kian bingung.

"Terus kenapa? Kamu lagi itu, ya, apa namanya kalau orang hamil mau sesuatu? Errr ... Ngadem?" cetusnya asal.

Anehnya, celetukan asal Arsen itu membuat Nadira tertawa sampai terpingkal-pingkal. "Mas, astaga, hahaha ... "

"Kok ketawa?" Arsen bingung tetapi melihat Nadira yang tertawa, ia juga ikut tertawa. Dari apa yang pernah ia baca, hormon ibu hamil kadang tak stabil. Sejenak bisa marah-marah, sedih, bahagia tanpa alasan yang jelas. Kendati begitu jugalah yang terjadi pada istrinya sekarang.

"Ngidam, Mas, N-G-I-D-A-M. Ngidam, kenapa jadi ngadem, sih?" protesnya seraya mengoreksi perkataan Arsen tadi. Pria itu hanya mengangguk polos menanggapi ketidaktahuannya. Sepertinya ia harus banyak belajar istilah-istilah kehamilan mulai dari sekarang.

"Iya, iya, maaf Mas tidak tahu. Maafkan ketidaktahuan suamimu ini, ya." Arsen menarik Nadira dan memeluknya. Nadira yang semula terbahak mendadak kikuk, merasakan debaran jantungnya yang seirama dengan detak Arsen.

"Mas, aku takut," ungkap Nadira lirih. Arsen yang sedikit mengerti ketakutan Nadira berusaha untuk menenangkannya dengan mengusap kepala dan punggung istrinya bergantian. Sesekali, meninggalkan kecup singkat di pucuk kepala istrinya.

"Aku bisa mengerti ketakutan itu, jujur saja aku pun merasa takut. Tapi, Sayang," Arsen menggantung ucapannya, menangkup kedua pipi Nadira dengan tangannya dan menatap istrinya lembut.

"Percayalah, kehadirannya bukan tanpa sebab. Tuhan mendengar doa kita, barangkali dia telah memercayai kita untuk memikul tanggung jawab sebagai orang tua. Kita lewati sama-sama, ya?"

Kata-kata yang dilayangkan Arsen seumpama hujan usai kemarau berkepanjangan yang menyirami gersang hati Nadira akan kehadiran sang buah hati. Seakan tak percaya ada janin yang tengah bertumbuh dalam rahimnya lagi, Nadira mengusap lembut perutnya yang masih rata.

"Kali ini Ibu akan menjagamu dengan baik, Sayang," gumam Nadira. Setetes embun jatuh tepat ke telapak tangannya, kemudian mengalir turun dan jatuh entah ke mana.

"Kita, kita akan menjaganya dengan baik, Sayang." Arsen memposisikan kepalanya tepat di atas kedua paha Nadira, turut mengusap perut rata itu. "Nanti perutmu pasti akan membesar, ya, Sayang?" tanyanya polos.

Nadira mengangguk-angguk, "Iya, setiap bulan akan semakin besar dan membesar, kamu mungkin akan takut dan malu melihat perutku, Mas."

"Mana mungkin? Aku mencintaimu apa adanya. Lagipula, perutmu membesar karena ada anak kita di dalamnya, bagaimana mungkin aku malu? Aku justru bangga padamu, aku tahu bahwa mengandung anak sampai 9 bulan itu tak mudah, Sayang. Jangan berkecil hati, ya? Bagiku, kamu tetap cantik."

Entah mengapa, kalimat yang dilontarkan Arsen membuat mata Nadira tiba-tiba mendung. Kedua matanya berkaca-kaca, terharu. Betapa bersyukurnya ia memiliki Arsen dalam hidupnya.

Ia tak menyangka bahwa takdir membawanya pada posisinya sekarang. Dicintai oleh orang yang tepat, dimuliakan dan diperlakukan dengan baik adalah hal terbesar yang tak pernah ia bayangkan akan ia terima.

"Mas, kenapa kamu begitu mencintaiku?" tanya Nadira dengan sendu. Arsen yang melihat pelupuk mata istrinya menggenang dengan cepat menghapus air mata itu agar tak luruh ke bawah.

"Apakah mencintaimu memerlukan alasan? Jika ditanya mengapa, aku juga tak bisa menjawabnya, Sayang." Jemari Arsen mengusap pipi Nadira lembut.

"Kehidupan kita dua tahun lalu mungkin banyak sekali duka dan luka, tetapi mendapati dirimu yang tak pernah meninggalkanku, saat itulah aku tersadar bahwa kamu layak untuk kucintai, kamu adalah cinta sejatiku," lanjutnya seraya tersenyum.

Nadira masih sesenggukan, menatap Arsen serius, ia pasang telinganya dengan baik untuk mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Arsen.

"Aku ingat pesan terakhir Kakek. Beliau mengatakan untuk belajar mencintaimu setiap hari, tak peduli apa yang terjadi. Sebab, katanya, yang mencintaiku dengan melihat kelebihan dan kekayaanku mungkin banyak, tapi yang tak pernah pergi saat tahu kekuranganku hanyalah kamu, Sayang. Hanya kamu. You and only you," jelasnya lembut.

Nadira kian berkaca-kaca dengan penuturan Arsen. Maka ketakutannya selama ini tak terbukti, ketakutan dan keraguannya sangat tak berdasar. Arsen begitu mencintainya. Ketakutannya selama ini hanyalah berupa ketakutan yang berlebih.

Kemudian, Nadira beralih memeluk Arsen erat. Sangat erat sampai Arsen rasa pelukan itu meremukkan lehernya. Tetapi, ia tak berkomentar, ia justru mengusap-usap punggung istrinya lembut.

•••

Selamat Membaca ❤️

Kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak berupa like, komentar, vote, gift atau apapun itu, ya.

Karena dukunganmu sangat berarti bagiku. ❤️

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

MaasyaaAlloh, Arse-Na....
4 CadeBay...
Gift udah..
Like udah..
Vote too???
oke deh...
Apapun itu 4 U.... 😍

2023-12-25

2

Miss_dew 𝐀⃝🥀

Miss_dew 𝐀⃝🥀

duuuhhh ngidam /Curse//Curse//Curse/

2023-12-25

1

Munji Atun

Munji Atun

Meleleh hati adek bang 😍😍
ok thor thanks upnya
tetep semangat 💪🌹

2023-12-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!