PIT 02 — Lamunan Panjang

Cukup lama Nadira terduduk di ruang kerjanya, penelitian disertasi yang semula hendak ia kerjakan terabaikan begitu saja. Pikirannya kacau, hatinya gundah lantaran Arsen tak lagi bisa pulang ke rumah.

Satu jam yang lalu, pria itu mengabarkan pada dirinya hendak ke luar kota untuk mengurus rencana pembangunan sebuah hunian mewah, hasil kerja sama terbarunya.

Nadira hanya bisa menghela napas panjang padahal sebelumnya ia mengira setelah makan siang mereka hari itu, keduanya bisa kembali merajut benang-benang cinta yang bagi Nadira mulai terabaikan.

Nadira mesti menelan pil pahit kekecewaan saat Arsen mengabarkan padanya akan pergi selama beberapa hari. Dan ia tak bisa apa-apa selain berkata iya.

Selama setahun terakhir, begitulah hubungan keduanya berjalan. Tak lebih dari hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Kesepian adalah hal yang sering Nadira alami dua tahun terakhir, meskipun tak bisa dipungkiri bahwa keduanya masih mesra dan Arsen pun tak melupakan kewajibannya, tetapi Nadira merasa seperti ada tembok tak kasat mata yang menghalanginya untuk bersama pria itu.

Dan tembok itu adalah sesuatu yang tak bisa ia hancurkan. Bagai bangunan kokoh yang tidak mungkin untuk dirobohkan, mereka terjebak di sisi yang berlainan. Dan barangkali, untuk mencapai titik temu, keduanya harus saling beranjak. Tapi bagaimana?

Nadira menutup laptopnya, niatnya untuk menyusun disertasinya lenyap sudah, berganti dengan rasa sepi yang mendera hatinya. Malam kian larut saat Nadira membuka tirai jendela, malam bertabur bintang, bulan tampak menggantung di langit laksana lampu yang menerangi ruangan.

Nadira termangu di tepi jendela, memandangi pekatnya malam dengan latar ibukota yang gemerlap. "Wahai angin, kabarkanlah rinduku padanya," cicitnya pada angin yang tak sengaja berembus. Semilir angin malam menyapu wajahnya yang temaram bak rembulan. Mengibarkan berkas-berkas cahaya mata yang sayu akan rindu.

Pada saat itu, ponselnya bergetar, membuyarkan lamunan panjangnya tentang Arsen. Membaca nama di layar ponselnya, ia langsung menarik tombol hijau di layar itu ke atas. "Halo, May? Ada apa?" tanyanya begitu telepon tersambung.

"Maaf, Bu mengganggu waktunya. Saya ingin mengabarkan jadwal Ibu untuk besok. Kita harus menemui designer Ny. Anya, Bu, karena beliau meminta kita untuk menemuinya langsung di kotanya," kata May, sang asisten, dari seberang telepon.

Nadira tampak berpikir sejenak, "Kenapa harus kita yang ke luar kota, May? Bukannya sebelumnya kita sudah sepakat untuk meeting outdoor di Kafe dekat kantor?" tanya Nadira penasaran.

"Iya, Bu. Sekretarisnya mengatakan kalau beliau berhalangan hadir karena ternyata jadwalnya berbentrokan dengan acara lain di Royal Hotel."

Kening Nadira terangkat sedikit, rasanya ia sedikit familiar dengan nama hotel itu. "Oh, baiklah kalau begitu. Jam berapa kita berangkat, May? Kamu sudah siapkan semuanya, ya?" tanyanya memastikan.

"Jam delapan pagi, Bu. Semuanya sudah siap, besok supir akan menjemput Ibu di kediaman utama." Nadira mengangguk mengerti lalu menutup teleponnya.

***

Di lain tempat, Arsen masih sibuk melakukan rapat terkait rencana pembangunan hunian mewah hasil kerja sama dengan beberapa rekan bisnisnya. Malam kian larut tapi mereka masih saja sibuk meributkan masalah pendanaan.

Arsen memijit tulang di antara kedua alisnya, merasa pusing dengan urusan yang menurutnya sangat sepele ini. Kepalanya sudah berdenyut-denyut sakit, sudah beberapa hari tubuhnya dipaksa terjaga yang hasilnya membuatnya kelelahan.

"Berikan aku kopi," pintanya pada Galen. Pria itu langsung mengangguk dan berjalan keluar. Arsen kemudian tampak membenarkan posisi duduknya.

"Pembangunan ini terkendala oleh batas jalan, pasti akan lebih banyak memakan dana, kecuali jika bentuk bangunannya sedikit diubah."

"Tidak bisa begitu saja diganti, model bangunannya sudah disepakati. Terkait dana pembangunan yang memakan jalan bukankah masih bisa dicari solusinya?"

"Itu benar! Justru jika mengajukan ulang bentuk bangunan akan memakan waktu lebih lama sedangkan pembangunan ini harus segera diselesaikan dalam jangka waktu 1 tahun."

Arsen kian gemas. Ia berdeham dan mengundang perhatian semua orang yang berada di ruang rapat itu. "Rapat kita akhiri sampai sini, kita lanjutkan besok. Selamat beristirahat!" kata Arsen tegas.

Semua orang yang berada di sana hanya terdiam saat Arsen berbicara. Riuh yang semula mereka ributkan seolah lenyap begitu saja. Arsen berjalan ke luar dari ruangan rapat itu.

Baru beberapa menit ia merebahkan diri di kamarnya, suara ketukan di pintu terdengar mengganggu istirahatnya. Galen terlihat masuk membawakan Arsen secangkir kopi pesanannya tadi.

"Letakkan saja di sana, Galen. Dan pergilah! Jangan ganggu waktu istirahatku," perintahnya masih dalam posisi telentangnya.

Galen menggangguk paham, "Baik, Presdir." Pria itu berlalu dari sana setelah menundukkan kepalanya sedikit memberi hormat.

"Mengingatkan Anda kembali, Presdir, besok Anda masih ada rapat dengan walikota setempat jam sembilan pagi di aula utama Royal Hotel," katanya sebelum benar-benar menutup pintu.

Arsen hanya menggumam pelan lalu memberi isyarat pada Galen untuk cepat-cepat keluar dari kamarnya. Ia sangat lelah dan ingin meraih ketenangan.

Setelah kepergian asisten setianya itu, Arsen beralih menatap langit-langit kamar hotel yang serba putih, selain lampu sebagai penerang, Arsen tak dapat melihat apapun lagi selain kekosongan.

Seperti yang sering dirasakannya akhir-akhir ini. Kosong dan hampa, bagai ruang yang tak terisi. Ia jelas menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dari pernikahannya dan Nadira, namun Arsen tak tahu pasti hal apakah yang hilang itu.

Ia telah meraba-raba hatinya, barangkali kesedihan dan alasan wafatnya sang kakek adalah alasan terbesar. Atau barangkali juga rasa kehilangan yang memeluk jiwa membuatnya sulit meraba perasaan lain yang muncul.

Arsen jadi gamang sendiri. Di sudut hatinya yang lain, ia merindukan Nadira. Tetapi akalnya berkata untuk jangan mengganggu perempuan yang sekarang menjadi jauh lebih sibuk itu. Arsen bahkan bisa menghitung berapa kali mereka bertemu dalam seminggu hanya dengan hitungan jari.

Kemudian, Arsen berbalik menghadap samping, beranjak dari posisi berbaringnya, Arsen kemudian pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Kepalanya terasa berdenyut, mandi mungkin bisa sedikit menghilangkan kepenatan dan kekacauan pikirannya.

Lama Arsen membiarkan dirinya basah di bawah kucuran shower, membiarkan riak-riak air itu membasuh diri juga kepalanya. Setelah selesai, masih dengan mengenakan handuk, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Kacau mungkin lebih tepat untuk mendeskripsikan dirinya sekarang.

Usai mandi, ia memilih untuk memejamkan mata. Tadinya ia berpikir untuk menelepon istrinya tapi urung sebab Arsen berpikir, di jam selarut ini, istrinya itu pasti sudah terlelap karena kelelahan mengurus perusahaan yang baru didirikannya, belum lagi dengan urusan penelitiannya.

"Selamat malam, Sayang. Have a nice dream, I miss you so much," lirih Arsen pada foto Nadira yang terpampang di layar ponselnya.

"Kuharap aku bisa melihatmu besok," pintanya sesaat sebelum benar-benar lelap dalam kantuk.

•••

Selamat Membaca ❤️

Kalau suka jangan lupa tinggalkan jejak berupa like, komentar, vote, gift atau apapun itu, ya.

Karena dukunganmu sangat berarti bagiku. ❤️

Terpopuler

Comments

Ig : moon.moon9921

Ig : moon.moon9921

berat... berat... rindu memang berat, tambah sama sama tak mau saling mengganggu... /Joyful//Joyful//Joyful/

2023-11-28

3

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

jauh jauh lah thor dr pelakor.....
pebinor... ato apalah itu.....
sedih jg lht mereka begitu...
cobalah ,Sen diomongin ma istri loe
jg sebaliknya.. agr jelas jln keluarnya...
kl gini mah, mudah masuk tuh goDaan...
😫😭😭

2023-11-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!