PIT 20 — What Matters Most

Nadira tengah merebahkan diri dan membaca buku saat Arsen tergesa kembali ke kamar mereka. Dengan langkah perlahan dan senyum mengembang sempurna, Arsen mendekati Nadira yang tampaknya masih fokus dengan buku yang dibacanya.

Satu, dua, tiga langkah. Arsen berdiri tepat di tepi kasur, menunduk lalu menggelitik Nadira hingga perempuan itu berbalik dan tertawa geli.

"Kok belum tidur?" tanya Arsen setelah Nadira berhasil meredakan tawanya.

"Iya, nanggung, tadi lagi baca buku sambil nunggu Mas selesai." Nadira menunjukkan buku yang dibacanya pada Arsen lalu meletakkannya di atas nakas.

"Mas udah selesai?" tanyanya lagi seraya membenarkan posisi tubuhnya menjadi duduk bersandar. Arsen mengangguk lalu merebahkan kepalanya di atas kedua paha Nadira.

Satu tangannya yang kosong ia gunakan untuk mengusap-usap kening Arsen pelan. Jelas sekali bahwa prianya itu kelelahan. Kadangkala, Nadira bertanya-tanya, beban seberat apa yang dipikul Arsen sampai saat tertidur pun, keningnya tampak mengerut dalam.

Atau juga, pernah di suatu malam, Arsen terbangun dan duduk di sofa, termenung lama. Entah apa yang dipikirkannya saat itu, tapi Nadira yakin bahwa seorang Arsen tengah memikul tanggung jawab dan sesuatu beban yang sangat berat. Hanya saja, Nadira tak tahu hal yang mengganjal pikiran suaminya.

Selama ini, banyak hal yang terjadi di antara mereka. Peristiwa-peristiwa yang menyesakkan dada hingga pergulatan emosi yang membakar jiwa keduanya. Mulai dari keterpaksaan hingga saling belajar untuk menerima.

"Sayang, aku rindu Kakek," ucap Arsen berikutnya. Nadira menghentikan usapannya, pria itu beralih menatap Nadira. Wajahnya sendu, di matanya terukir rindu. Dan Nadira tahu jelas kepada siapa rindu itu tertuju.

"Mas mau kita ke makam Kakek lagi?" tanyanya. Arsen menggeleng, lalu menegakkan punggungnya, posisinya menjadi berhadapan dengan Nadira.

"Kalau kita mengunjungi pemakaman, aku akan terus larut dalam kesedihan, Sayang. Dan aku tak mau. Aku hanya sedang teringat Kakek, karena usapan tanganmu tadi," jawabnya sedikit memaksakan senyum.

Arsen kembali merebahkan kepalanya dan meminta Nadira untuk kembali mengusap lembut keningnya. Kemudian ia bercerita tentang betapa seringnya Arsen bersimpuh di lutut sang kakek dan pabila ia sedang gundah, sang kakek akan mengusap kepalanya seraya berpetuah lembut.

"Sayang ... " panggil Arsen pelan. Nadira menjawab dengan gumaman kecil. "I just have you now, don't leave me alone," ujar Arsen berikutnya.

Selama beberapa saat, Nadira terdiam sebelum akhirnya mengulas senyum. "No, I never leave you alone, no matter what happening on future, I'll stay by your side. You're my world, my anything," katanya mencoba memenangkan Arsen yang sepertinya tengah dilanda kerinduan.

"If I made a big mistakes, do you leave me, hm?" tanya Arsen lagi. Membuat Nadira sedikit kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Nadira merasa, dalam pertanyaan-pertanyaan Arsen itu tersimpan ragu yang mengusik.

"Jika kamu melakukan kesalahan, aku akan memaafkanmu. Dan apabila kesalahanmu begitu besar, aku akan mencoba melapangkan hatiku untuk memberimu semua maaf yang kumiliki," jawab Nadira serius.

Arsen tampak termenung, kemudian menatap Nadira intens. "Ternyata kamu memang benar istriku," ujarnya penuh kepolosan. Nadira sampai tak habis pikir dengan cara pikir suaminya itu.

"Uhm, aku hanya ingin memastikan sesuatu itu, Sayang."

"Memastikan apa?"

"Memastikan bahwa kamu masih mencintaiku."

"Apakah itu perlu ditanyakan, Mas?"

"Uhm, menurutku itu perlu. Kamu tahu, kan pesan Kakek?"

"Pesan yang mana?"

"Pesan bahwa dalam pernikahan, cinta harus terus dipupuk agar bisa bermekaran dengan indah."

"Dan begitu caramu memupuk cinta dalam pernikahan, Mas?"

"Itu salah satunya, Sayang. Memastikan kamu masih mencintaiku kemarin, hari ini, besok dan seterusnya. Karena bagiku, kamu yang lebih penting. Jika suatu hari tak kudapati cinta itu dalam perkataanmu, maka aku pasti akan langsung tiada," kata Arsen seraya memeragakan dirinya yang tak berdaya.

Hal itu justru membuat Nadira gemas dan mencubit pinggang Arsen, pria itu berjingkat dan mengaduh. "Sakit tahu, Sayang."

Nadira memalingkan wajah, kemudian bergerak merebahkan diri. Malam kian larut, dan kantuk menyergapnya. Begitu pula dengan Arsen, setelah beberapa kali mengusik Nadira yang hendak tidur tetapi berujung pada pengusiran, ia bergegas membersihkan diri dan turut masuk ke dalam selimut. Membawa serta Nadira dalam mimpinya.

***

Sedangkan di suatu tempat, Jeana tengah meliuk-liukkan tubuhnya di hadapan seorang pria yang tampak acuh tak acuh melihatnya. Jika boleh jujur, pria itu justru merasa jengah dengan sikap Jeana yang menurutnya terlalu genit.

Pria itu berdeham dan memalingkan wajah, Jeana menghentikan gerakan tariannya dan berjalan mendekati sang pria. Tak ayal wajahnya berubah kesal saat sang pria menepis tangannya dengan kasar.

"Jangan ganggu aku!" sentak pria itu seraya mengibaskan tangannya agar Jeana menjauhinya. Jeana berdecak kesal sebab rayuannya tak berhasil, padahal Garong begitu mudah dirayu.

Jeana mencoba memutar otak agar pria di hadapannya ini tertarik dan mengikuti kemauannya. Susah payah ia mencari tahu tentang pria yang katanya baru dibebaskan dari penjara itu.

Ia berbalik ke meja tempat di mana ia meletakkan tas tangannya, mengambil sebuah map yang telah ia persiapkan dan kembali mendekati sang pria, kali ini, Jeana mencoba bersikap lebih tenang. Ia berdeham, pria itu kembali menoleh. Sebelah alisnya terangkat melihat Jeana tak kunjung pergi.

"Jangan terburu-buru memintaku pergi, Tuan. Karena kau ingin tahu sesuatu tentangnya," kata Jeana sambil menunjukkan foto Nadira.

Kedua mata Bara membola sempurna saat melihat foto Nadira berada di tangan Jeana. Bahkan gelas wine yang dipegangnya ia letakkan secara sembarang demi bisa meraih foto itu.

"Berikan padaku!" pintanya dengan memaksa setelah beberapa saat dipermainkan Jeana.

"Tidak semudah itu, Tuan. Aku bisa memberimu lebih banyak foto bahkan orangnya juga bisa kau dapatkan selama kau mau mengikuti perintahku," kata Jeana dengan seringai liciknya.

Bara balas menatapnya tajam. Keduanya saling beradu pandang. Bara kemudian mengalah, "Oke, katakan."

Jeana tersenyum penuh kemenangan. Otaknya penuh dengan muslihat. Entah Bara akan termakan tipu dayanya atau tidak. Keduanya tampak serius berbicara dibalik hingar bingar suara musik.

***

Hallo, My dearest readers!

Apa kabar? Semoga tetap dalam keadaan sehat dan bahagia, ya.

Maaf banget kalau lama update, huhu. Author lagi banyak kesibukan akhir-akhir ini. 😣

Selamat Membaca ~

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Jujur saja, Author suka loh baca-baca komentarmu.

Oh, ya, jangan lupa juga klik "minta update" di bawah setelah baca, ya. Kirim gift dan rate cerita ini juga boleh banget, lho. Author akan sangat menghargai apapun dukunganmu, hihi.

With Love,

— HK

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

kan..
kan...
si Bara baru bebas, dah nak berulah lg..

gmn ini, Sen???? 😭

2024-01-20

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!