PIT 19 — Self Esteem

Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Arsen jatuh termenung dalam pemikirannya sendiri. Sesaat melupakan keinginan istrinya untuk membeli Ducati Panigale. Kegelisahan yang terlukis diwajah Arsen tercetak jelas, membuat Nadira turut gusar.

"Mas? Kenapa? Siapa yang telepon tadi? Kok wajahmu ditekuk kayak kanebo kering gitu, sih?" tanyanya disertai candaan ringan. Satu tangannya bahkan mengusap lembut bahu Arsen.

Pria itu tersentak, sedikit terkejut dengan Nadira yang tetiba berada di belakangnya. Arsen tersenyum dan menggeleng pelan. "Eh ... gak ada apa-apa, kok, Sayang. Oh, ya, tadi kamu mau Ducati, ya? Sebentar, biar aku —"

"Mas!" sentak Nadira. Arsen menoleh dan sebelah alisnya terangkat ke atas. "Ada masalah, kan? Ada masalah yang terjadi, kan? Tell me, don't hide anything!" katanya menuntut di akhir kalimat.

Sejenak, Arsen meragu. Aku tidak mungkin memberitahunya tentang masalah Bara yang dibebaskan dari penjara. Tapi ... jika tidak diberitahu, Arsen berubah gamang.

"Mas ... " panggilnya lagi seolah menuntut Arsen untuk segera memberitahunya.

"Ah, ya ... memang ada masalah, kita ke ruang kerja, ya?" katanya pada akhirnya. Nadira menyetujuinya.

"Jadi, ada masalah apa?" tanya Nadira begitu mereka memasuki ruang kerja. Arsen tersenyum dan mengambil laptopnya yang berada di meja.

Sesaat, Arsen berpikir sebelum kembali menghadap Nadira. Ia tak ingin berbohong tapi juga tak ingin membuat istrinya khawatir. Apa yang harus kulakukan? Aku tak mungkin memberitahunya. Terlebih lagi saat ini ia sedang hamil, ia tak boleh sampai merasa stress, pikirnya panjang..

"Mas, cari apa, sih? Kok lama?" panggil Nadira lagi. Arsen tersenyum dan mengambil laptop juga berkas kebakaran gudang itu dalam genggaman.

"Maaf, ya, Sayang. Ini, kamu bisa baca dulu. Aku ragu-ragu mengatakannya padamu, aku takut kamu jadi stress karena gudang perusahaanmu terbakar," kata Arsen berbohong.

"Apa? Terbakar? Kok bisa, Mas?" tanyanya penuh keterkejutan, ia cepat-cepat membuka berkas itu dan membacanya. "Kamu kok gak kasih tahu aku, sih kalau terjadi kebakaran? Kapan terjadinya? Astaga!"

"Sayang, tenang, ya. Don't panic, okay? Masalahnya sudah ditangani."

"Astaga! Kerugian yang harus kutanggung banyak sekali, Mas?"

"Sayang, it's okay. Calm, calm down. Percayalah, kerugian itu tak seberapa."

"Bagaimana dengan korban? Ada karyawan yang terluka tidak?" tanya Nadira panik kendati ia berusaha menutupinya sekalipun, Arsen tetap tahu bahwa istrinya tengah gusar.

Arsen tersenyum. "Syukurnya tidak ada, saat kejadian itu terjadi, semua karyawan sudah pulang, hanya satpam dan beberapa orang yang lembur. Tidak ada korban, tidak ada yang terluka."

Penjelasan Arsen cukup membuat Nadira menghela napas lega. "Syukurlah ... terus, Mas, sudah diselidiki belum apa penyebab kebakaran itu?" tanya Nadira kemudian meletakkan berkas itu di meja.

Arsen mengedikkan bahu, "Perusahaan sudah mengajukan laporan tapi mereka masih belum menemukan pelakunya, tapi kamu jangan khawatir, Sayang, aku sudah memerintahkan Galen untuk melakukan penyelidikan dengan tim khusus," jelasnya panjang lebar.

Alis Nadira sedikit terangkat "Tim khusus? Tim khusus apa, Mas?"

Ah, sial! Aku keceplosan

"Err, itu, maksudnya tim investigasi khusus, Sayang," kilah Arsen. Nadira pun hanya mengangguk dan sedikit membentuk mulutnya seperti huruf 'O'

Suara ketukan di pintu mengalihkan mereka untuk seketika. Arsen sedikit meninggikan suaranya, meminta siapapun yang berada di balik pintu untuk masuk.

"Galen? Kau ada di sini?" Nadira yang lebih dulu bertanya.

Galen mengulas sedikit senyumnya dan menunduk memberi hormat. "Ya, Nyonya, ada yang perlu saya bicarakan dengan Tuan," kata Galen sopan.

Nadira melihat Arsen, "Baiklah, aku akan istirahat, selamat kembali bekerja," katanya dan berlalu dari ruang kerja setelah menyapa Galen selama beberapa detik.

"Ya, hati-hati saat berjalan, ya."

Setelah memastikan punggung Nadira tak terlihat di balik pintu, Arsen langsung meminta Galen untuk mendekat ke mejanya.

"Apa hasilnya?" tanya Arsen tanpa berbasa-basi. Galen tampak mengeluarkan tab-nya dan menunjukkan foto berupa bukti-bukti, rekaman dan foto-foto tersangka yang ia dapat dari Zack.

Arsen mengambil tab tersebut dengan sedikit bergumam lalu melihat dengan baik-baik wajah yang sudah diidentifikasi itu. "Seperti preman?" tanya Arsen seakan tak percaya.

"Benar, Tuan. Mereka bisa disebut seperti itu. Yang dapat kami temukan hanya mereka, tetapi Zack menduga mereka hanyalah seorang anak buah, sedangkan Boss mereka, sedang dalam pencarian," terang Galen dengan lugas. Ia harap, atasannya itu cukup puas dengan hasil penyelidikan yang mereka dapatkan.

"Well, kerja bagus. Lalu, tentang Bara yang kau katakan di telepon itu, bagaimana?" Arsen merubah duduknya menjadi tegak dan meletakkan tab itu di meja.

"Lapor, Tuan. Menurut penjelasan dari Kepala Polisi, Bara dibebaskan dengan tebusan oleh seseorang," jawab Galen berusaha setenang mungkin.

"Seseorang? Kau tahu bukan jawaban seperti itu yang kuinginkan, Galen." Arsen mendesah panjang, ada goresan kecewa dalam ucapannya. Tetapi kemudian, ia mengibaskan tangannya, secara tak langsung meminta Galen untuk pergi dari hadapannya.

"Maaf, Tuan. Saya akan melakukan yang terbaik, permisi." Tanpa berkata-kata lagi, ia langsung mundur secara teratur dan keluar dari ruang kerja Arsen sambil menghela napas panjang.

Sepeninggal Galen, Arsen memilih melanjutkan pekerjaannya. Jujur saja, Arsen merasa lelah, Lelah dengan masalah yang seperti tiada habisnya. Tetapi, jiwa lelakinya menuntut dirinya untuk tetap kuat dan pantang menyerah.

Jiwa kelelakiannya mengatakan untuk terus bertahan, jika bukan demi dirinya sendiri. Maka ia akan bertahan demi Nadira, demi kebahagiaan istrinya, demi calon anak mereka. Saat masalah mendera dirinya, Nadira-lah yang membuatnya tetap berdiri kokoh.

Jiwanya sebagai seorang suami seolah membisikinya untuk terus bekerja dan menghasilkan uang sekalipun uang adalah hal yang mudah ia dapatkan. Bukan karena ia menggilai harta, melainkan harga diri seorang lelaki terletak pada pekerjaannya. Sebab tanggung jawab suami tidaklah mudah, maka lelaki tak boleh menganggap enteng sebuah pekerjaan, begitu petuah kakeknya dahulu.

Arsen baru selesai bekerja saat bulan menampakkan diri. Langit telah sempurna gelap saat Arsen mengalihkan pandangannya pada jendela. Tirai melambai-lambai, seolah meminta siapapun untuk menutup jendela.

Angin terasa dingin saat wajah Arsen secara sengaja menatap ke luar. Langit tampak berbeda, sepertinya hujan akan turun malam ini. Cepat-cepat ia tutup jendela dengan rapat.

"Astaga, aku hampir lupa!" serunya langsung berlari ke luar ruang kerja dan menutup pintunya dengan sedikit membanting.

***

Hallo, My dearest readers!

Apa kabar? Semoga tetap dalam keadaan sehat dan bahagia, ya.

Maaf banget kalau lama update, huhu.

Selamat Membaca ~

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Jujur saja, Author suka loh baca-baca komentarmu.

Oh, ya, jangan lupa juga klik "minta update" di bawah setelah baca, ya. Kirim gift dan rate cerita ini juga boleh banget, lho. Author akan sangat menghargai apapun dukunganmu, hihi.

With Love,

— HK

Terpopuler

Comments

Munji Atun

Munji Atun

Please thor jgn bikin Nadirs sedih) celaka ya kasian kan lg hamil
ok thanks upnya semangat terus
ditunggu nextnya jgn lama" 💪💖🌹🥰

2024-01-09

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!