Ganesha

Ganesha

1.Pulang

"Ganesha!"

Plak!

Pipi Ganesha terasa panas setelah telapak tangan Roy, ayahnya, dengan ringan menamparnya. Kepala Ganesha sampai tertoleh saking kuatnya tamparan itu. Tidak hanya wajahnya, rasa sakit itu menjalar sampai ke hatinya.

Sementara itu, seorang pria tua duduk dengan angkuh di sofa single, seolah menyiratkan bahwa dialah pengusaha sebenarnya di kediaman megah bak istana itu. Bima namanya. Ayah dari dua anak laki-laki yang tak lain adalah Roy, anak pertama, dan Dion anak keduanya.

Ganesha merupakan anak bungsu di keluarganya. Namun dia bukan cucu bungsu Bima. Ganesha punya seorang sepupu satu tahun di bawahnya yang sangat dimanja seluruh orang di keluarga besar Tirtayasa, keluarga mereka. Selia namanya, cucu bungsu Bima sekaligus satu-satunya cucu perempuannya. Makanya anak bungsu Dion itu sangat disayang oleh semua orang.

Ah, Ganesha bukannya iri padanya. Ia hanya sekedar memberi tau saja. Merasa perlu menjabarkan tentang seseorang yang menjadi alasan ia dihakimi begini dihadapan keluarga besarnya.

Anak itu, Selia, entah apa yang dia katakan pada Bima sampai Ganesha orang-orang menatapnya dengan murka begitu.

Seingat Ganesha, hari ini semua keluarga Tirtayasa sedang mengadakan pertemuan bulanan yang rutin dilakukan. Ganesha tak terlalu akrab dengan sepupunya. Maupun dengan saudara-saudaranya. Makanya ia memilih menyendiri di balkon.

Namun Selia justru terus mengintili langkahnya. Gadis itu cerewet. Disuruh diam dia malah makin menjadi. Ganesha yang kesal kelepasan membentaknya yang berakibat dia menangis dan sialnya kejadian saat ia membentak Selia terlihat oleh abang pertamanya, Leo. Dan jadilah seperti sekarang ini.

Harusnya akan baik-baik saja seandainya Ganesha tidak membalas ucapan pedas Bima yang menceramahinya karena membuat Selia menangis.

"Kamu jadi semakin tidak sopan terhadap orangtua, Ganesha." Kata Bima yang masih diposisi semula, ia lalu menatap putra sulungnya, "Itu karena kamu terlalu memanjakannya, Roy. Kamu harusnya bisa lebih tegas."

Ganesha menatap lurus pada kakeknya itu. Ia menelengkan kepala, lalu perlahan sebelah sudut bibirnya terangkat, "Kakek, apa ada anak manja yang ditampar seperti aku?"

Bima menatap tajam anak itu yang ternyata masih belum kapok juga. Sementara itu Leo yang sedari tadi duduk menonton, bangkit berdiri saat melihat emosi ayahnya tersulut kembali akibat ucapan Ganesha. Leo menarik adiknya itu dengan paksa meninggalkan ruangan tersebut.

"Bisa tidak kamu diam saja kalau Opa bicara?"

Diantara semua cucu Bima memang cuma Ganesha yang memanggilnya dengan panggilan  'kakek' berbeda dari yang lainnya yang memanggil 'Opa'.

Ganesha menggeleng. Lalu merebahkan dirinya di atas kasur. Leo membawanya ke kamar lelaki itu yang ada di kediaman ini.

"Ganesh, saya masih bicara dengan kamu."

Ganesha bangkit dengan enggang. Ia duduk bersila di pinggir ranjang menghadap Leo, "Aku dengar."

Leo memijit pangkal hidungnya, "Kamu itu bisa tidak sih tidak membuat masalah sehari saja?"

Ganesha hendak menjawab. Namun pintu lebih dulu terbuka menampilkan sosok Roy disana.

"Aku boleh pulang?" Tanya Ganesha segera setelah sang Ayah menutup pintu.

Roy menatap tajam bungsunya itu yang mendahului dirinya berbicara, "Daddy rasa ingatan mu masih cukup bagus untuk mengingat apa yang harus dilakukan dihari seperti ini."

"Opa akan semakin marah kalau kamu pulang dan mengabaikan aturan keluarga." Sambung Leo.

Ya, memang dihari kumpul rutin bulanan ini, tidak ada yang boleh pulang sampai besok pagi. Mereka harus menginap dan menghabiskan waktu untuk menjaga hubungan sesama keluarga.

Tapi, selama ini Ganesha hanya selalu datang sebagai formalitas dan pergi tanpa menginap. Hal yang membuat Bima mencapnya sebagai anak pembangkang. Namun untuk hari ini, berhubung Ganesha sudah membuat masalah tadi, jika ia pergi juga maka kesalahannya akan berlipat ganda.

"Dad, Opa memanggil untuk makan malam."

Roy menoleh pada anak keduanya yang melongok kan kepala di pintu setelah mengetuk tadi. Anak itu, Cakra, masuk ke dalam dan menutup pintu lagi. Melihat adiknya yang sepertinya sedang disidang oleh Ayah dan kakaknya.

"Kapan sampai boy?" Ujar Roy memeluk sekilas Cakra yang memang terlambat datang karena sebelumnya dia berada diluar kota mengurus pekerjaan.

"Baru saja." Jawab Cakra lalu menatap Ganesha yang duduk memainkan bantal, "Buat masalah lagi dia?"

"Dia buat Selia nangis dan sekarang minta pulang," kata Leo duduk di sebelah Ganesha menarik bantal yang sarungnya hampir dilepas anak itu.

"Daddy anggap ini selesai disini. Sekarang ke ruang makan sebelum Opa kalian marah."

Leo yang baru duduk menghela nafas capek. Baru juga mau melepas penat, pikirnya. Sementara itu Ganesha malah berbaring dengan tidak peduli.

"Ganesha, jangan buat daddy marah lagi," Peringat Roy kemudian keluar dari ruangan itu diikuti oleh Leo.

Cakra yang ditinggal bersama si bungsu paham kalau tugasnya untuk menarik anak itu keluar.

"Kamu mau diseret atau jalan sendiri?" Cakra memberi pilihan dengan kedua tangan terbenam disaku celana bahannya.

Ganesha berdecak namun tak urung mengikuti langkah Cakra yang menuju ruang makan. Sampai disana, semua orang sudah berkumpul. Selia juga ada, dia duduk di samping Bima dengan mata yang bengkak dan hidung memerah. Ganesha tidak peduli dan duduk di tempat yang sudah ditentukan, yaitu di samping Devan, abang Selia yang setahun diatas Ganesha.

Makan malam di mulai dengan khidmat. Tidak ada yang berbicara, hanya terdengar dentingan piring dan sendok yang beradu. Dan disaat semua orang menikmati makanan mereka, Ganesha justru diam memainkan makanannya tanpa berniat untuk makan.

Ganesha benci menu makan malam hari ini. Dan ia lebih benci lagi Roy yang menatap tajam mengisyaratkannya untuk tidak berulah dan makan dengan benar. Ganesha membalas tatapan ayahnya dengan senyum manis dan menyuapkan satu sendok udang ke mulutnya. Lalu senyumnya luntur berganti tatapan yang seakan berkata pada ayahnya, 'Apa daddy sudah puas?!'.

Roy kembali lagi pada makanannya. Begitu pula dengan Ganesha yang makan dengan lahap tidak seperti tadi. Dia memakan menu seafood itu tanpa hambatan meski tau itu adalah pantangan terbesarnya. Ganesha itu punya alergi. Dan ia makan dengan tidak peduli seolah tak apa bila ia akan mati sehabis ini.

Sehingga sehabis acara makan malam itu, disaat seharusnya ia ikut berkumpul dengan sepupu-sepupunya di ruang keluarga, Ganesha justru berjalan tergesa menuju mobilnya.

Seperti kesetanan Ganesha membuka laci dashboard mengambil botol kecil dengan beberapa pil di dalamnya. Nafas Ganesha semakin tersendat saat ia tak kunjung menelan kaplet obat bewarna putih itu. Ia terbatuk merasa dadanya yang sesak bukan main. Tangannya gemetar dan obatnya jatuh berserakan.

Sialan!

"Hah... Uhuk! Uhuk!"

Ganesha mau mati rasanya. Ia duduk pasrah di jok belakang tanpa ada niat memungut obatnya. Disamping itu nafasnya makin tak teratur. Ganesha sampai memukul kuat dadanya demi bisa bernafas dengan baik. Namun hal itu justru membuat semuanya makin kacau.

"Ganesha!"

Cakra panik bukan main. Ia mengikuti adiknya itu karena ia pikir Ganesha akan nekat pergi. Namun ia justru menemui anak itu merintih kesakitan dengan wajah memerah berusaha meraup oksigen sebisanya.

"Kamu kenapa? Hey! Ganesh!" Panik Cakra menepuk-nepuk pipi Ganesha yang memejamkan mata dengan nafas tersendat.

Ganesha menggertakkan giginya. Ia mencengkram lengan Cakra dan membuka matanya yang berair, "Pulang."

"No! Kita harus ke rumah sakit, kamu harus diobati Ganesha. Aku akan beritahu daddy."

Ganesha merasa semakin sulit bernafas. Ia tidak melepaskan tangan Cakra dan mencengkram kuat seiring sakit yang terus menghantamnya, "Aku.. hh.. Gak peduli. Uhuk... Meski harus mati sekalipun. Aku cuma mau pulang!"

Roy yang baru saja akan mendekati kedua anaknya itu dibuat tertegun oleh ucapan Ganesha. Cakra yang menyadari kehadirannya disana lantas memanggilnya dengan panik.

"Kita ke rumah sakit sekarang!" Putus Roy setelah melihat kondisi Ganesha yang semakin melemah. Ia masuk ke balik kemudi. Dan Cakra duduk dibelakang dengan Ganesha yang tak mau melepas tangannya.

Mobil melaju meninggalkan kediaman itu dengan Roy sebagai pengemudi.

Sedang dibangku belakang, Cakra berusaha memberikan obat pada adiknya sebagai penanganan pertama. Namun Ganesha terus saja menggeleng.

"Pulang! Aku bilang pulang Cakra!"

Ganesha menangis karena tak bisa lagi menahan rasa sakit yang membuat dadanya sesak bukan main. Sementara itu Cakra gelagapan.

"Ganesh, please, jangan begini. Minum obatmu, kita akan tiba di rumah sakit sebentar lagi."

Tangis Ganesha semakin kencang. Ia mencengkram kuat dadanya dan terbatuk, "Pulang! Aku mau pulang!"

"Dad..." Cakra yang kehabisan akal meminta pertolongan ayahnya.

Roy melirik cemas dari spion depan, "Iya, kita pulang. Tapi, minum obatmu Ganesh."

Tangis Ganesha mereda. Bukan karena sakitnya hilang ataupun anak itu menuruti kata Roy. Melainkan Dia kehilangan kesadarannya dengan deru nafas yang nyaris tak terasa.

"Dad!" Cakra berseru panik.

Dan tak ada yang bisa Roy lakukan selain menginjak pedal gas dalam-dalam, menambah kecepatannya.

.......................

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!