"Pulang."
Itu kata pertama yang Ganesha ucapkan ketika membuka mata setelah tak sadarkan diri hampir tiga hari lamanya. Dan ia sama sekali tak merasa perlu untuk menunggu persetujuan Roy dan kedua saudaranya yang baru bernafas lega setelah melihat ia sadarkan diri.
Ganesha membuka paksa masker oksigennya membuat Roy maju untuk menahan tangannya. Dan Ganesha seakan tidak mau tunduk sebab ia justru melepas paksa infus di tangannya yang berakibat darah mengalir dari jejak jarum dipunggung tangannya.
Roy beserta Leo dan Cakra melotot kaget melihat aksi nekat anak itu.
"Kamu gila ya?!" Bentak Leo mengambil tisu mencoba menghentikan darah ditangan Ganesha.
Sementara Cakra berlari keluar mencari dokter bertepatan dengan Dion masuk ke dalam dan melihat kekacauan disana.
"Pulang!" Seru Ganesha memberontak dari Roy yang berusaha menghentikannya dan menyuruhnya untuk tetap berbaring.
Dion yang melihat itu tercengang dan buru-buru mendekat, "Astaga Ganesh. Tenang dulu, nak. Kamu masih belum sembuh."
"Aku benci tempat ini! Aku gak mau disini!"
Ganesha terus berontak hingga saat dokter yang dibawa Cakra menyuntikkan obat penenang, barulah anak itu diam dan perlahan terlelap kembali.
Dion menatap nanar keponakannya itu, "Apa Ganesh selalu begini saat sakit?" Tanyanya.
Roy duduk di sofa mengusap kasar wajahnya, "Dia itu jarang sekali sakit. Dan sekalinya sakit biasanya Sam yang mengurusnya."
Sam itu asisten Roy yang tugasnya rangkap dua sekalian jadi pengurus Ganesha kalau diperlukan. Dion mengangguk paham. Dia cukup mengerti kalau Roy tidak terlalu mengenal putra bungsunya itu. Sebab setau Dion, kakaknya itu terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga mengabaikan eksistensi Ganesha yang notabenenya masih butuh perhatian dan kasih sayang.
Dion juga mewajarkan sikap Ganesha yang pemberontak dan sulit diatur. Sebab, sedari kecil Ganesha tumbuh tanpa campur tangan orangtuanya. Ibu anak itu meninggal setelah melahirkannya. Roy yang berduka ditinggal istri tercinta, membenamkan diri dalam pekerjaan. Kedua kakaknya, Leo dan Cakra, sudah cukup dewasa saat ditinggal ibu mereka. Hingga mereka mulai disibukkan oleh sekolah dan meniti karir. Dan tinggallah Ganesha seorang diri.
"Kenapa tidak bilang kalau Ganesha alergi seafood?" Tanya Dion.
Roy menghela nafasnya, "Aku.... Lupa."
Sebagai seorang ayah, Roy merasa hina berkata begitu. Ia melupakan hal terpenting yang bisa saja membuat nyawa anaknya melayang. Apalagi yang membuat Ganesha memakan makanan itu kemarin adalah dirinya sendiri.
"Aku kira dia baik-baik saja dengan itu.... Anak itu.... Hahh... Dia gak bilang apa-apa dan malah makan sebanyak-banyaknya."
Dion tersenyum kecut melihat kakaknya yang tampak kacau, "Ganesha memang begitu. Anak yang keras kepala dan pembangkang." Katanya.
Roy menggelengkan kepala dan terkekeh miris, "Lagipula dia anakku. Keras kepalanya juga menuruni sifatku."
"Baguslah kalau kau sadar, kak." Dion menepuk pundak Roy, sementara pria itu hanya mendengus pelan.
"Dad, apa sebaiknya Ganesh dipindahkan ke rumah saja?" Tanya Leo yang sedari tadi duduk di samping Ganesha yang terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.
"Benar dad," Cakra ikut menimpali, "Aku takut saat bangun nanti, dia akan berbuat seperti tadi lagi."
Untuk kesekian kalinya, Roy menghela nafas lagi hari ini. Ia bangkit dari duduknya, "Baiklah. Daddy akan bicara dengan dokternya dulu. Jaga adik kalian disini."
..............
"Sam?"
"Sam ada urusan lain. Sekarang kamu makan dulu."
Ganesha sudah dipindahkan ke rumah untuk rawat jalan. Dan sekarang Roy tengah menyuapi anak itu makan dengan telaten dan sabar. Namun Sang anak tak kunjung menerima suapan darinya dan terus bertanya.
"Daddy?"
Roy menurunkan lagi sendok yang semula diangkatnya menuju mulut anak itu namun tak diterima, "Daddy kenapa?"
"Gak kerja?"
"Ini hari minggu, Ganesh. Daddy gak kerja."
"Tapi kan biasanya setiap hari itu senen untuk daddy."
"Ganesha...." Roy memanggil anaknya itu lembut berharap sang anak berhenti bicara dan mau segera makan.
"Jangan begini, dad. Aku gak nyaman."
Roy meletakkan piring bersisi makanan Ganesha di nakas. "Apanya yang gak nyaman? Mau diperbaiki bantalnya?" Tanya Roy tidak mengerti arah pembicaraan Ganesha.
"Aku gak nyaman daddy disini," Ganesha berkata terus terang. "Tolong sibuk bekerja dan benci aku seperti biasanya."
"Daddy gak benci sama kamu, son."
"Terserah apapun itu. Tolong jangan pedulikan aku. Lakukan kayak biasanya seperti saat daddy diam aja ketika aku dimarahi Kakek. Ataupun ketika daddy cuek saja saat aku tawuran dan justru Kakek yang ngomel. Atau nggak seperti saat daddy gak peduli dengan raport ku dan nyuruh Sam datang ke sekolah. Oh, ya, aku bilang ke guruku kalau aku anak haram Sam yang diadopsi keluarga Tirtayasa karena guru itu menanyakan kenapa daddy tidak bisa datang."
"Ganesha...." Roy memijat pelipisnya. Ia menatap anak itu memelas, "Daddy tau daddy salah sama kamu selama ini. Daddy minta maaf sama kamu. Walau pasti maaf itu saja tidak cukup. Untuk itu, apa kamu mau memberi daddy kesempatan memperbaiki semuanya?"
Ganesha tertawa hambar, "Telat, dad. Aku udah segede gini. Terlanjur rusak. Udah gak bisa diapa-apain lagi."
Roy tanpa sadar menelan ludahnya saat kalimat anak itu rampung. Dia tidak menyangka kalau kata-kata itu akan keluar dari mulut putranya.
Untuk Leo dan Cakra mereka mungkin sudah cukup puas dengan limpahan kasih sayang yang Roy dan Istrinya berikan. Sehingga hubungannya tak terlalu renggang dengan kedua anak itu. Sedangkan Ganesha ia sama sekali tak tersentuh. Anak itu sejak kecil harus kehilangan sosok ibunya, dan ayahnya yang bodoh pun malah mengabaikan dirinya.
"Enam belas tahun aku hidup, semua baik-baik aja kayaknya. Aku masih bernafas sampai sekarang meski kalian menganggap aku seolah tak ada. Aku udah terlanjur berdamai dengan keadaan, dad. Aku terlanjur menerima akan penolakan kalian terhadap lahirnya aku di dunia ini. Jadi, dengan daddy tiba-tiba peduli begini, bukannya membuat aku senang, justru aku merasa terganggu. Jadi, kembalilah menjadi daddy yang gila kerja seperti biasanya. Dan tinggalkan aku sendiri."
..................
Setelah kurang lebih seminggu lamanya, Ganesha akhirnya bisa kembali ke aktivitas normalnya. Seperti pagi ini, dimana ia sudah bisa bersekolah kembali.
Oh ya, terkait Roy, pria itu tidak muncul lagi sejak Ganesha berbicara terus terang padanya. Entahlah mungkin dia menuruti inginnya Ganesha dan bekerja gila-gilaan lagi. Leo dan Cakra juga jarang terlihat, hanya sesekali mereka muncul melihat Ganesha, tanpa bicara dan pergi begitu saja.
Ganesha tak terlalu peduli. Toh memang begitu maunya. Lagipula ia punya Sam yang mengurusinya dengan penuh kesabaran. Itu saja sudah cukup baginya.
Iya, begitu sudah cukup..... Jangan ditambah hal merepotkan lainnya lagi seperti sekarang ini.
"Selia...." Ganesha menggeram marah begitu dengan tiba-tiba Selia muncul dan menggandengnya tanpa malu.
"Kenapa? Kamu gak suka?"
Ganesha berdecak dan menepis kasar tangan Selia darinya, "Jauh-jauh dari gue."
Selia mengepalkan tangannya melihat Ganesha yang perlahan menjauh. Selia tidak suka, ia benci saat semua berjalan tidak sesuai inginnya. Tidak ada yang pernah menolak Selia seperti ini sebelumnya.
Ganesha satu-satunya sepupunya yang acuh terhadapnya. Selia tidak suka itu. Dia mau Ganesha tunduk padanya seperti yang lain. Selia ingin Ganesha tak berkutik di depannya dan mematuhi semua inginnya.
"Ganesha!" Panggil Selia menyusul langkah lebar lelaki itu. Namun Ganesha berlagak tuli. Dia mempercepat langkahnya.
Selia kesulitan menyusulnya. Dan saat dia hampir bisa menyusul Ganesha tiba-tiba saja tangannya ditarik paksa. Selia disudutkan paksa ke dinding dan mulutnya dibekap.
"Lo gak kapok ternyata...."
Cewek yang menarik Selia tadi mengenakan hoodie dan topi dengan rambutnya yang tergerai. Dan Selia mengenalnya.
Selia menendang kaki cewek itu hingga dia mundur beberapa langkah, "Agnea, harusnya gue yang bilang begitu. Lo masih belum kapok gangguin gue? Apa masih belum cukup hukuman yang gue kasih sebelumnya?"
Agnea berdecih, "Hukuman?" Dia menyeringai dengan tatapan dingin. "Are you kidding me?"
Dan jujur, Selia selalu takut dengan bagaimana cewek itu tersenyum. Namun ia tidak boleh menunjukkan kelemahannya tersebut dan memberikan perlawanan agar Agnea tidak semakin semena-mena dengannya.
"Agnea. Kemarin baru gue yang bertindak. Kalau keluarga gue sampai tau, dipastikan lo gak akan bisa seangkuh sekarang ini."
Agnea bersedekap, "Tirtayasa gak ada apa-apanya dimata gue."
Selia melotot. Ia mengepalkan tangannya erat melihat tidak ada ketakutan sama sekali dimata cewek di depannya ini.
"Agnea. Lo akan menyesal sudah mengusik gue!"
Setelahnya Selia pergi. Agnea memandang kepergian cewek itu dengan seringai sinis. Lalu seringai itu berubah menjadi senyum manis saat Ganesha muncul dari balik tembok.
"Good girl," Puji Ganesha menepuk puncak kepala Agnea sekali. Yang membuat gadis itu menatapnya dengan mata berbinar.
"Ganesh~~~" Panggil Agnea spontan saja memeluk tubuh jangkung cowok itu. "Sepupu lo udah gila nyebelin lagi."
Ganesha terkekeh pelan, "Lo juga sama aja," Katanya menunduk mengecup singkat sudut bibir Agnea.
"Hehe... Kan gara-gara lo."
Ganesha yang gemas langsung saja menghujami wajah Agnea dengan kecupan bertubi-tubi. Sampai kemudian dia berhenti saat teringat sesuatu.
"Kalau Selia sampai melibatkan keluarga Tirtayasa gimana? Lo tau kan mereka itu protektif sekali padanya?"
Agnea mendusel-duselkan wajahnya di dada Ganesha dengan tidak peduli.
"Lo kan belum tau latar belakang gue gimana. Intinya, Tirtayasa bukan apa-apa bagi keluarga gue."
Ganesha berdecak karena Agnea selalu saja bersikap sok misterius. Sampai sekarang ia sudah melakukan berbagai cara untuk mencari tau latar belakang gadis itu, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Tapi dengan begitu, Ganesha jadi percaya, kalau Agnea berasal dari keluarga yang memiliki power dan tak bisa diremehkan.
Agnea mendongak saat Ganesha justru terdiam karena ucapannya.
"Jadi, Ganesh, jangan coba-coba pergi dari gue. Lo itu milik gue. Jangan harap bisa pindah tangan!"
Ganesha mendengus, "Lo yang milik gue, Agnea. Mine."
...............
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments