10.Siapa yang Harus Disalahkan?

Sudah cukup lama Ganesha mematung di depan pintu ruang kerja ayahnya. Entah apa yang anak itu lakukan. Dia hanya berdiri memandang pintu dengan segelas air di tangannya.

Sekarang sudah sangat larut. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Ganesha terbangun dan merasa tenggorokannya kering. Ia berniat mengambil minum lalu tidur kembali. Namun kini, ia justru terhenti di sana. Mendengar dengan jelas suara ayahnya yang parau dalam tangisnya.

Ganesha tidak pernah menyangka, bahwa ayah yang ia kenal dingin itu rupanya bisa menangis dengan putus asa begitu. Waktu itu juga ketika Roy mengetahui fakta tentang penyakit yang menggerogoti Ganesha, pria itu juga menangis. Kenapa pria yang ditakuti dan disegani banyak orang itu malah melemah seperti ini. Ganesha benar-benar tidak habis pikir.

"Ganesh...."

Ganesha berbalik. Ada Seli yang berdiri di undakan tangga dengan piyama tidurnya. Ya, para cecunguk Tirtayasa masih saja betah menjajah istana Ganesha ini. Mereka benar-benar menyebalkan.

Ganesha mendekati Selia, mencegah gadis itu mendekat padanya dan berakibat dia ikut mengetahui keadaan Roy yang payah itu.

"Kamu gak tidur?" Tanya Selia mendongak menatap cowok yang lebih tinggi darinya itu.

Ganesha dia. Dia menelisik Selia dari atas ke bawah hingga sepupunya itu dibuat risih sendiri, "Lo jelek banget sumpah!"

Selia nyaris berteriak kesal di wajah Ganesha. Namun ia keburu menelan kekesalannya begitu teringat bahwa hari ini sudah larut, dia bisa mengganggu penghuni lain kalau berisik. Selia masih cukup tau sopan santun untuk tidak mengumpati Ganesha saat ini juga.

Selia kesal setengah mati pada Ganesha. Tapi dengan curang Ganesha membuat kekesalannya luruh begitu saja ketika cowok itu meletakkan kepalanya di pundak Selia.

"Seli, gue harus apa?"

Ganesha terdengar lirih dan putus asa. Terakhir kali Selia lihat Ganesha begini bertahun-tahun lalu, ketika pemuda itu kehilangan sosok teman yang amat berharga baginya. Karena itu Selia tau, kalau sudah seperti ini, artinya Ganesha benar-benar terluka.

"Padahal udah gue bilang untuk gak peduli. Untuk bersikap acuh kayak biasanya. Tapi dia malah memilih berubah. Dan sekarang dia malah terluka karena keputusannya sendiri. Siapa yang harus di salahkan, Seli?"

Selia bungkam. Ia tau siapa yang Ganesha maksud. Selia tidak bodoh untuk tidak tau siapa orang itu. Orang yang membuat Ganesha turut terluka karena sedihnya. Orang itu adalah Roy, ayah anak itu.

Ganesha bersedih untuk pria itu. Karena sejatinya, separah apapun dirinya diabaikan, bagi Ganesha, ayahnya tetaplah pria luar biasa yang telah membuat dia hidup dengan baik sampai saat ini.

Ganesha menyayangi ayahnya. Begitupula sebaliknya. Namun ketakukan mereka membuat semua itu tersembunyi dan tanpa sadar membuat mereka terluka lebih dari yang seharusnya.

.

.

.

Kalian pasti bertanya-tanya, selama ini kenapa hanya si Tuan Besar Bima Tirtayasa saja yang nongol. Ah, agak kurang sedap untuk diceritakan. Sang Nyonya yang mendampingi Bima memilih membina keluarga baru ketika Roy dan Dion masih cukup kecil, waktu itu mereka masihlah anak-anak berseragam merah putih ketika menyaksikan Sang Mama melangkah keluar dari pintu utama dengan koper besarnya.

Ayunda, itu namanya. Dia adalah sosok ibu yang hangat dan penuh kasih sayang di samping itu dia adalah wanita cerdas dengan karir cemerlang. Ayunda mencintai keluarganya. Namun ia juga tak bisa melepas mimpi yang diperjuangkan mati-matian selama hidupnya.

Maka dari itu, ketika Bima membuat mimpinya tertinggal hanya angan semata, Ayunda memilih untuk pergi. Dia memilih untuk pergi dengan seseorang yang lebih bisa mengerti dan menerima semua yang ada padanya dan tidak menuntut banyak darinya.

Ayunda pergi begitu awal. Namun, dia tak sepenuhnya menghilang. Bima memutuskan untuk melepasnya dengan damai. Sehingga tidak ada dendam tersisa diantara mereka. Hubungan Roy dan Dion dengan sang ibu pun masih sama seperti dulu, mereka tak menyalahkan kepergiannya juga tidak menyalahkan Bima yang menjadi penyebab mereka harus berpisah.

Karena itu jugalah, hubungan Ayunda dan cucu-cucunya juga seperti Bima dengan mereka. Ayunda menyayangi mereka semua. Dan mereka juga sangat lengket padanya.

Namun, sedari dulu, ada satu anak yang enggan mendekat. Ketika mereka berkunjung ke rumah Ayunda, anak itu hanya duduk diam ketika saudara-saudaranya memperebutkan kukis buatan Ayunda yang menjadi favorit mereka. Anak yang banyak diam, namun sering membuat ulah. Terkadang dia membuat Selia menangis, kadang dia berselisih dengan Devan. Dan ada kalanya dia memilih menjauh seolah dia memiliki dunianya sendiri untuk ia nikmati.

Ganesha, anak itu tak tersentuh. Bagaimanapun usaha Ayunda mendekatinya, jarak mereka justru semakin membentang dengan luasnya. Dan suatu hari dibulan Desember, di tengah malam yang dingin mencekam sehabis hujan, Ayunda menemukan jawabannya.

"Aku gak mau terlalu larut dalam kebahagiaan, karena aku sudah pasti gak akan sanggup kalau itu harus hilang suatu saat nanti. Karena aku tau betapa lemahnya diriku, makanya aku memilih menjauh. Aku hanya mencoba melindungi diri ku sendiri, Nek."

Jawaban menyakitkan yang diberikan oleh anak umur 12 tahun itu, membuat Ayunda bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi hingga anak itu terlihat begitu takut akan banyak hal yang belum terjadi. Namun Ganesha tak pernah memberikan jawaban yang bisa menuntaskan tanya yang bersarang di benak Ayunda. Hingga sekarang pun Ganesha masih menolak membuka hatinya.

"Ada apa, Ganesh? Kenapa sampai begini, Nak?"

Agaknya Ayunda mempertanyakan apa yang membuat Ganesha bisa terlihat begitu putus asa. Binar di matanya redup nyaris padam, seakan tak ada lagi harapan yang anak itu miliki.

Ayunda baru kembali dari luar negeri setelah kurang lebih satu tahun dia meninggalkan tanah kelahirannya ini. Namun begitu kembali, kabar menyedihkan yang sampai di telinganya. Ganesha tidak baik-baik saja, Ayunda tau itu. Namun anak itu enggan bicara. Dia hanya memendam luka itu sendirian sampai kemudian membusuk dan melukai lebih dalam.

"Kalau kamu sakit bilang Ganesh, jangan diam saja. Kamu tidak bisa mengatasinya sendiri, kamu butuh seseorang untuk membantumu sembuh."

Ganesha justru menangis keras. Seolah benar-benar sudah tak bisa menahannya lagi.

"Aku takut, Nek. Aku takut. Aku takut meninggalkan semuanya. Aku takut bila suatu saat nanti harus pergi. Aku takut menimbulkan luka baru lagi bagi mereka. Aku sangat takut, Nek. Aku harus gimana?"

.

.

.

.

Ketika kamu lelah, istirahatlah, namun hanya sekedar singgah, bukan menetap ataupun menyerah

-Hizsoxe-

.

Sepanjang hidupnya, Cakra dikenal sebagai laki-laki yang berprinsip. Dia adalah orang yang teguh dan berpendirian, bahkan Bima yang keras kepala saja juga mengakui hal itu. Cakra selalu optimis. Dia percaya dengan setiap keputusan yang diambilnya. Dan apapun hasilnya Cakra tak pernah menyesalinya.

Namun kini, untuk pertama kalinya Cakra memiliki penyesalan dalam hidupnya. Ketika dia memilih untuk beranjak dari ranjangnya dan malah menemui suatu hal yang sukses membuatnya membeku seketika.

"Aku takut, Nek. Aku takut. Aku takut meninggalkan semuanya. Aku takut bila suatu saat nanti harus pergi. Aku takut menimbulkan luka baru lagi bagi mereka. Aku sangat takut, Nek. Aku harus gimana?"

Ganesha menangis. Meski Cakra tak melihatnya dan hanya mendengarkan dari balik dinding, Cakra mengetahuinya. Ia bahkan bisa membayangkan bagaimana wajah anak itu yang penuh air mata dan membuat sesak dadanya.

Dapat Cakra dengar suara Oma Ayunda yang mengalun lirih membisikkan kata-kata penenang. Oma berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa Ganesha tidak perlu menyimpan kekhawatiran sedikitpun tentang mereka. Bahwa sedih ini akan segera berlalu. Tapi Oma tidak mengatakan kapan hal itu akan terwujud. Sebentuk ucapan abstrak yang hanya berupa harapan semata membuat Cakra turut merasa gamang akan masa depan yang tak terbaca.

Namun Cakra tidak ingin membuat kesalahan untuk kedua kalinya. Ia tidak ingin berpura-pura tuli dan pergi begitu saja seperti 4 tahun lalu. Maka dari itu Cakra melangkahkan kakinya. Mendekati Ayunda yang duduk di sofa dengan Ganesha yang duduk di lantai membenamkan wajahnya di sepasang lutut Ayunda.

Tanpa kata, Cakra duduk di samping adiknya yang terlihat sangat rapuh. Dia memeluk anak itu, mengecup kepalanya berkali-kali.

"Tak apa Ganesh. Tak apa. Kamu akan baik-baik. Kita semua akan baik-baik saja."

Ganesha makin tergugu. Ia tak kuasa mengangkat wajahnya ketika suara Cakra yang lirih menyapa indranya. Pelukan Cakra terasa hangat. Dan itu membuat dadanya sesak tak terkira memikirkan kalau suatu hari nanti dia tidak akan pernah bisa menemui saudaranya ini lagi.

"Bang.... Maafin aku."

Cakra hampir menangis mendengar Ganesha memanggilnya abang untuk pertama kalinya. Ia semakin mengeratkan pelukannya sambil memohon kepada Tuhan untuk membiarkan adiknya tetap disisinya. Cakra memohon agar Tuhan bermurah hati membiarkan dirinya memperbaiki semuanya. Apapun yang terjadi. Ganesha harus bahagia.

...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!