Roy langsung terduduk lemas ketika keluar dari ruangan dokter yang menangani Ganesha. Seperti yang kalian pikirkan, penyakit Ganesha semakin mengganas. Anak itu harus ditangani lebih lanjut. Dan Roy sudah mengambil keputusan bulat-bulat, bahwa tidak peduli Ganesha menolak atau tidak dia akan membawa anak itu untuk menjalani pengobatan yang lebih memadai di luar negeri.
Roy tidak bisa menunda terlalu lama. Dia takut Ganesha akan benar-benar menghilang bila dia tak segera bertindak. Meski mungkin konsekuensi dari tindakannya membuat Ganesha akan membencinya nantinya. Roy tidak peduli. Ganesha harus sembuh. Hanya itu satu-satunya yang tertanam di otaknya untuk saat ini.
Putranya harus sembuh. Dan Roy akan melakukan berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Apapun itu, akan Roy lakukan demi melihat Ganesha tidak lagi kesakitan dan hidup dengan baik layaknya anak lainnya.
.
.
.
.
Ganesha kembali berulah. Ketika sadar dia terus-terusan minta pulang. Sampai membuat Roy berpikir agaknya ada sesuatu yang membuat Ganesha membenci rumah sakit sampai segitunya.
"Kondisi kamu masih belum membaik Ganesha."
Ganesha menggeleng pelan, "I'm okay, dad. Aku cuma mau pulang." Ujarnya lirih. Matanya memberat seiring dengan kepalanya berdenyut sakit ketika berbagai ingatan muncul di kepalanya saat membaui aroma kloroform yang pekat.
Hal yang susah payah ia lupakan malah muncul dengan sangat jelas dalam ingatannya. Ganesha menangis menarik tangan Roy, memohon untuk membawanya pergi dari neraka ini sesegera mungkin.
'Zaka.... Zia....'
.............
"Mau kemana, Ganesh?"
Ganesha menatap bingung ayahnya yang bersedekap sembari menyandar di pintu kamarnya. Sudah tau anaknya make seragam sekolah lengkap gini masih ditanyain juga mau kemana.
"Mau ngamen, dad," Sahut Ganesha enteng.
Wajah Roy langsung flat mendapati jawaban begitu dari putranya. Ia tau anaknya ini pasti mau sekolah. Ya, dia gak sebodoh itu sampai gak tau. Masalahnya, Ganesha baru keluar dari rumah sakit kemarin. Bahkan semalam dia sempat mimisan lagi. Dan sekarang seolah semua itu tak pernah terjadi, si bungsu keras kepala itu malah ingin pergi ke sekolah.
"Kamu gak perlu sekolah lagi. Hanya fokus pada kesembuhan mu saja."
Ganesha yang sedang memakaikan jam di pergelangan tangannya hanya mendengus pelan. Setelah selesai ia meraih ransel di atas kasur dan menyampirkannya di bahu.
"Daddy pernah dengar gak sih ada yang bilang gini: 'kalau kamu tidak tahan dengan lelahnya belajar, maka kamu harus tahan dengan perihnya kebodohan'. Gitu, dad. Anakmu ini mau menuntut ilmu, mohon jangan dihalang-halangi."
Pandai sekali bocah itu berkilah. Roy berdecak mendengar alasan yang terlontar dari bibir si bungsu itu, "Orang yang suka bolos dan nonjok temannya kayak kamu peduli apa sih sama yang begituan."
Ganesha mencibir omongan ayahnya, "Orang yang biasanya masa bodo dengan hidup mati anaknya peduli apasih sama apa yang aku lakukan."
Roy mendelik. Tidak menyangka bahwa anak itu masih menaruh dendam, "Kenapa diungkit lagi coba. Kan daddy udah minta maaf...." Ujarnya memelas.
Mengedikkan bahu, Ganesha memilih berlalu meninggalkan ayahnya itu. Ia turun ke meja makan yang dimana ternyata sudah ada Cakra dan Leo disana. Ganesha kontan saja berbinar melihat kehadiran Leo disana.
"Sasa???"
Leo mengedikkan bahu acuh, "Sama teteh mu di rumah."
Seketika bibir Ganesha melengkung turun. Tatapan tak bersahabat ia layangkan pada Leo, "Lagian kenapa teteh sama Sasa gak tinggal disini aja coba?! Disini kan ada aku bisa nemenin mereka, gak kayak seseorang yang sibuk keluyuran sampa lupa anak istri."
Merasa disindir, Leo mendelik pada adiknya itu, "Saya jarang pulang juga karena kerja, Ganesh. Mencetak rupiah guna memenuhi taraf hidup yang makin hari makin melejit tinggi. Lagian kamu ngapain pake seragam sekolah gini coba?"
"Yang mau sekolah lah, gitu aja nanya," Ketus Ganesha.
"Yang bilang kamu boleh sekolah siapa?" Cakra yang sedari tadi menikmati perdebatan kecil kedua saudaranya pun angkat bicara.
Ganesha memakan sarapannya dengan tak peduli. Sementara itu Roy datang dan bergabung bersama mereka. Mendapati tatapan bertanya dari Cakra dan Leo, ayah tiga anak itu hanya bisa menghela nafasnya.
"Ganesh....." Panggilnya yang dibalas deheman oleh Ganesha yang sibuk dengan makannya, "Untuk saat ini kamu gak sekolah dulu, bisa? Atau kalau kamu memang seingin itu untuk belajar, daddy akan datangkan guru ke rumah."
Kunyahan Ganesha terhenti. Perubahan raut wajahnya kentara sekali. Ia bahkan tidak lagi berminat memakan sarapannya.
"Aku menolak."
Trang!
Cakra meletakkan peralatan makannya dengan kasar, "Tolong jangan keras kepala Ganesha. Kami melakukan ini juga demi kebaikan kamu."
Leo menepuk pelan lengan adik pertamanya itu supaya bisa lebih mengontrol emosinya. Bagaimana pun, Cakra adalah orang yang melihat langsung bagaimana kesakitannya Ganesha waktu drop kemarin. Leo mewajarkan sikapnya sekarang ini. Dia tau Cakra pasti sangat khawatir dengan si bungsu yang keras kepala itu.
Sementara Roy yang melihat suasana menjadi tidak mengenakkan memijit pelipisnya pelan. Ia lalu menatap bungsunya yang mendorong pelan piringnya yang baru disentuh beberapa suap oleh anak itu. Lalu Ganesha bangkit dari duduknya berniat untuk segera pergi.
"Ganesh—"
"Bukannya kamu bilang tidak mau meninggalkan kami, Ganesh?"
Panggilan Roy dipotong oleh ucapan Cakra. Sementara Ganesha yang sudah bersiap pergi hanya menatap datar saudaranya itu. Ia menelengkan kepalanya dengan sorot mata dingin yang kentara.
"Aku hanya bilang bahwa aku takut akan meninggalkan kalian. Aku takut membuat kalian sedih."
"Lalu kenapa kamu bersikap seperti ini, Ganesha?" Cakra bertanya tergesa seolah mendesak Ganesha untuk menjawabnya.
"Seperti ini gimana?"
"Seolah kamu telah bersiap untuk pergi kapan saja."
"Aku memang bilang bahwa aku takut. Tapi.... Bukan berarti aku gak mau kan?"
.
.
"Lo tuh memang bebal, ya."
Ganesha hanya mengedikkan bahu sebagai respon dari kata-kata yang Agnea lontarkan barusan. Ia duduk di tembok pembatas rooftop sementara Agnea bersedekap di hadapannya.
"Apa lo gak marah? Benci? Gue yang awalnya kelihatan tergila-gila sama lo malah pacaran dengan sahabat lo sendiri."
Bukannya marah seperti yang Agnea harapkan, Ganesha malah terkekeh pelan, "Kenapa gue harus?"
Agnea menyugar rambut panjangnya yang diterpa angin dengan perasaan gusar, "Seberapa besar lu menyukai gue, Ganesha?"
"Cukup, Nea...." Kiel yang sedari tadi hanya menonton akhirnya menyela. Ia merasa ini harus segera dihentikan.
Namun Agnea mengangkat tangannya menghentikan Kiel yang hendak mendekat, "Diam, Kiel. Urusan gue bukan sama lo."
Dan Kiel berakhir bungkam. Ia memilih duduk di kursi yang agak jauh sembari menyesap nikotin dengan frustasi. Entah ia harus memihak siapa, Kiel benar-benar tidak tau. Walau tanpa sadar sebenarnya ia sudah memihak Agnea sedari awal. Tapi ia terus-terusan merasa bersalah tiap kali melihat binar di mata Ganesha yang meredup hari ke hari.
"Ganesha Aldean Tirtayasa."
Agnea memanggil nama itu. Dan Ganesha melunturkan senyumnya mendapati tatapan penuh benci yang tak Agnea tutup-tutupi.
"Tau kenapa gue mau mendekati lo yang bahkan selalu gue abaikan dulu?"
Dulu, ketika masih di bangku sekolah menengah pertama. Agnea cukup tau bila ada seorang anak yang menaruh perhatian padanya dan menunjukkan ketertarikan terhadap dirinya. Dirinya cukup sadar akan hal itu namun dia memilih untuk tidak peduli.
"Itu karena gue mau lo hancur, Ganesha."
Ganesha memilih turun dan berdiri di hadapan Agnea. Ia sedikit menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan cewek itu, "Dan lo berhasil lakuin itu. Jadi, apa lagi?"
Agnea tersenyum nanar, "Ini masih belum cukup, Ganesha. Gak akan pernah cukup."
"Gue harus apa, baru lo merasa puas?"
Entah kenapa, Ganesha yang sekarang terlihat berbeda di mata Agnea. Dia terlihat.... Asing. Bahkan tidak ada emosi yang terlihat di mata cowok itu. Semuanya hampa. Seolah ia adalah makhluk yang telah mati rasa.
"Gue bersumpah gak akan berhenti sampai lo merasakan apa yang dia rasakan. Mata dibalas mata, Ganesha. Dan gue pastikan lo akan menjalani kehidupan yang jauh lebih buruk dari apa yang Zia alami!"
Zia. Nama itu membuat Ganesha tertegun sesaat. Ia meneguk ludahnya memikirkan kemungkinan yang membuat Agnea harus membencinya dengan melibatkan nama itu.
"Bisa-bisanya lo tertawa dengan mudah dan menjalani hidup dengan baik setelah menghancurkan hidupnya, Ganesha. Lo benar-benar manusia brengsek yang gak punya hati!"
Setelah melempar sebuah buku lusuh pada Ganesha, Agnea berbalik pergi dengan wajah memerah menahan amarah. Yang segera disusul oleh Kiel. Di pintu rooftop, Kiel menatap Ganesha yang masih mematung sekali lagi. Ia menggeleng pelan kemudian menyusul Agnea dengan segera.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments