Leo keluar dari ruang kerja Roy dengan kondisi tubuh yang encok. Berjam-jam dia duduk mendengar ceramah ayahnya itu. Yah, Leo akui dia salah tidak membicarakan kepada keluarganya terkait pernikahannya dengan Viona. Namun semua itu ia lakukan demi kebaikan istrinya itu juga.
Begitu sampai di ruang keluarga, Leo mendapati Viona disana tengah bercengkrama dengan Ganesha yang memangku Ayudisa. Mereka terlihat asik sekali. Dan pemandangan dimana Viona bisa tertawa lepas begitu membuat Leo merasa lega.
Sebab, dua tahun yang lalu, Viona yang ditemuinya bahkan tidak tau bagaimana caranya tersenyum sedikitpun. Wanita itu bagai cangkang kosong tanpa nyawa. Ditambah lagi dengan insiden yang membuat Viona semakin drop.
Pertemuan Leo dan Viona tak bisa dibilang begitu baik. Mereka bertemu karena suatu kesalahan. Leo yang dijebak oleh cliennya yang bajingan, serta Viona yang dijual oleh keluarganya sendiri demi memperbaiki taraf hidup mereka.
Tapi, tenang saja, Leo sudah memusnahkan semua sampah yang telah membuat istrinya menderita. Memusnahkan, bukan maksudnya Leo menjadi pembunuh ya. Leo tidak segila dan seangkuh itu sampai berani menghilangkan nyawa seseorang. Namun dia menguak semua kebusukan mereka dan membuat mereka mendapat balasan yang setimpal.
Leo akui, awalnya dia tak mencintai wanita yang telah ia rusak kehormatannya itu. Namun lambat laun mereka bersama, Leo mulai nyaman dengannya. Leo dengan sabar membantu Viona untuk sembuh secara fisik dan mental.
Awalnya Viona menolak keras kehadiran Leo. Namun mau tak mau dia harus rela terikat dalam ikatan pernikahan dengan Leo. Meski waktu itu Viona tidak hamil, namun Leo bersikeras untuk bertanggungjawab. Dan Viona juga tak punya pilihan lain karena hidupnya sudah terlanjur hancur.
Leo mungkin terbilang cuek. Tapi dia orang yang peduli dan penuh kesabaran, bagi Viona. Dan lambat laun dia pun mulai menerima. Sampai buah cinta mereka, Ayudisa pun terlahir ke dunia.
Pernikahan mereka awalnya dirahasiakan karena permintaan Viona. Dia masih belum siap dan takut berhadapan dengan keluarga Leo. Meski Leo sudah berkali-kali meyakinkannya. Tapi kemudian Leo tetap menuruti keinginan istrinya. Demi menjaga perasaan Viona yang begitu rapuh saat itu.
Dan kini, ketika mereka datang ke rumah ini, Viona telah sepenuhnya siap. Leo sangat bersyukur melihat Viona diterima dengan baik oleh keluarganya. Terutama Ganesha yang sepertinya sangat antusias dengan kehadiran Ayudisa.
"Kenapa berdiri disini?"
Leo menoleh ke belakang ketika merasa pundaknya di tepuk. Dia menyahut pertanyaan Roy dengan senyum tipis dan kembali memandang ke arah ruang keluarga yang mana terdengar tawa lucu si bayi dari sana.
"Saya gak nyangka akan menjadi seorang ayah secepat ini, dad. Bahkan umur Ayudisa sudah 7 bulan, tapi rasa haru waktu dia lahir masih melekat sampai sekarang."
"Cepat apanya, umurmu udah mau kepala tiga," Kelakar Roy. Ia mengusak rambut anak sulungnya itu, "Jadilah ayah yang baik, Nak. Jangan seperti daddy."
Leo menoleh pada ayahnya itu, "Bagi saya, daddy sudah menjadi ayah yang baik. Dan apa yang terjadi pada Ganesha, bukan sepenuhnya salah daddy. Setidaknya kita sedang berusaha memperbaiki semuanya."
Roy mengela nafas, "Yah, semoga memang masih bisa diperbaiki."
.
.
.
.
Masih pagi. Baru juga nyampe gerbang sekolah, Ganesha sudah menghela nafas penuh beban. Begitu ditanya sama Sam yang mengantarnya pagi ini dia cuman ngedikin bahu aja trus jawab.
"Ya gak pa-pa. Hidup tuh kalau gak ngeluh gak lengkap aja rasanya."
Sam mah apa atuh. Sebahagia tuan mudanya aja lah. Dia pamit undur diri dan meninggalkan Ganesha yang masih menatap lamat-lamat gebang sekolahnya sampai kelakuannya itu jadi perhatian anak-anak lain yang baru datang.
"Ngapaen lo?"
"Huh?" Ganesha menatap Denis yang datang menenteng gitar, "Bakal apaan tuh gitar?"
"Buat ambil nilai praktek Senbud nanti. Lo udah nyiapin apa?"
Ganesha mendongak. Matanya menerawang langit yang tampak mendung. Kemudian dia tersenyum tabah mengingat chat Jenar yang sampai padanya semalam.
'Gak ada tugas kok. Aman. Lo nyantai aja, tinggal nyelonong masuk kelas doang besok.'
"Jenar bangsat."
.
.
.
"Lha, kapan dibilangnyeee Maliiinn!"
Ah, sepertinya Ganesha sudah salah bertanya. Ia jarang masuk akhir-akhir ini, makanya menanyakan tugas pada sang ketua kelas yang sangat bertanggungjawab itu. Harusnya Ganesha ingat lagi, betapa gak becusnya Jenar sebagai siswa. Walau dia memang berjasa soal menertibkan kelas, tapi dia tidak seteladan itu untuk peduli terhadap tugas menugas.
Lihat saja sekarang, cowok itu bahkan syok sendiri saat dibilang bakal ada pengambilan nilai praktek Seni Budaya sehabis istirahat nanti.
"Selow, Gan," Jenar cengengesan merangkul bahu Ganesha sok akrab, "Tinggal nyanyi doang palingan kelar tuh. Gampang."
Ganesha rasanya mau mencekik temannya itu, "Gampang di elo, apesh di gue. Lo enak bisa nyanyi, lha gue yang doremifasolasido dijadiin do semua ini gimane nasibnya coba?!"
Ganesha mungkin gak terlalu peduli nilainya bagus atau jelek. Tapi, jika ada tugas dia pasti akan mengerjakan dengan baik. Karena itu baginya sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai siswa. Walau kadang kalau senewennya kambuh dia benar-benar gak mau peduli samsek.
"Main gitar aja nih, pinjem punya gue. Lagian kata bapaknya gak harus nyanyi juga. Main alat musik doang juga boleh," Denis sebagai teman yang baik pun memberikan saran.
Namun Ganesha sama sekali tak merasa puas, "Gue gak bisa main gitar."
Yaahhh. Jenar dan Denis berbarengan menyuarakan kekecewaan mereka. Membuat Ganesha mencebik kesal.
Sementara Cece yang kelewat capek denger obrolan tiga orang itu dari tadi, bangkit dari kursinya. Ia mengambil pianika di lacinya lalu diberikan pada Ganesha.
"Noh, lo tinggal niup dan pencet-pencet doang. Mainin aja doremifasilasido bolak-balik udah kedengeran bermelodi juga tuh."
Ketiga laki-laki itu menatap takjub pada ide cemerlang Cece. Sementara cewek itu hanya menatap sinis dan mengeluarkan buku saktinya.
"Nah, udah beres kan. Sekarang mana uang kas kalian? Lu Jenar, udah nunggak 2 minggu ye!"
.
.
.
"Ya?"
Ganesha mati-matian mempertahankan senyumnya saat kalimat Agnea rampung diucapkan. Berpikir mungkin ia salah dengar. Ia menatap Kiel yang duduk di sebelah Agnea. Cowok itu hanya memalingkan wajah tak menatapnya sedikit pun sejak mereka sampai di kafe ini.
Agnea tersenyum manis, "Hm? Kurang kedengeran jelas ya?" Tanyanya lalu menyelipkan tangannya merangkul lengan Kiel yang menatap keluar jendela tak terusik sedikitpun. "Gue jadian sama Kiel."
Deg.
Detik itu senyum Ganesha luntur seketika. Ia diam cukup lama. Menatap lamat-lamat dua orang di depannya. Lalu setelah menelan ludah susah payah, dia tersenyum lagi sampai matanya menyipit.
"Wah! Bagus deh, selamat, ya. Akhirnya Kiel gak bertepuk sebelah tangan lagi."
Dan Kiel? Dia tertegun. Bahkan ketika Ganesha telah beranjak lebih dulu meninggalkan dirinya dan Agnea, dia masih berusaha mencerna apa yang Ganesha ucapkan barusan. Maksudnya, Ganesha sudah tau dia menyukai Agnea begitu? Sejak kapan? Dan kenapa....
"Ck!"
Kiel menoleh pada Agnea yang langsung memasang wajah datar setelah Ganesha tak terlihat lagi oleh netranya.
"Apa memang harus begini, Nea...."
"Shut up, Kiel."
"Zia juga gak bakalan senang kalau lo ngelakuin ini, Nea. Bisa kita akhiri aja dendam lo disini?"
Agnea menatap tajam Kiel, "Gue yang dari kecil sama lo atau dia yang baru lo kenal beberapa tahun? Pilih mana?"
"Tapi, Nea...."
"Gue gak akan berhenti Kiel. Sampai gue dapatkan keadilan untuk Zia. Gue gak akan biarkan kematiannya sia-sia. Nyawa saudari gue jauh lebih berharga daripada bajingan kayak dia!"
....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments