Dunia adalah panggung milik bersama. Tapi hidupmu, hanya kamu yang punya.
-Hizsoxe-
Sialan, Ganesha ketiduran. Sambil meluk Cakra. Mana nyenyak lagi tidurnya semalam. Mana si Cakra udah bangun pula lebih dulu darinya. Aih! Ganesha kan gengsi!
"Tidur lagi aja, masih pagi," kata Cakra yang bersandar di head board ranjang sambil memangku laptop.
"Gak mau."
Ganesha dan kata andalannya membuat Cakra menutup laptop menyudahi kegiatannya.
"Ya udah, kalau begitu kamu mandi. Habis itu sarapan dan minum obat."
Ganesha mencebik. Mendengar kata obat membuatnya jadi mengantuk lagi dan langsung menarik selimut bersiap terjun ke alam mimpi lagi.
"Ganesha....."
Ganesha hanya menjawab dengan gumaman sembari memejamkan mata. Lalu ia rasakan tangan Cakra singgah di kepalanya, memberikan usapan lembut yang membuat Ganesha makin mengantuk.
"Kenapa kamu gak mau berobat Ganesh? Apa kamu gak mau sembuh?"
Ganesha membuka matanya. Ia mendongak menatap Cakra begitu pun sebaliknya, Cakra menatap sang adik menanti jawaban. Namun, bukannya menjawab, Ganesha justru menepis tangan Cakra dan berbalik memunggunginya.
"Kenapa Ganesh?"
Ganesha tak menanggapi.
"Kamu bilang gak mau ninggalin kami kan? Lalu kenapa kamu bersikap seakan siap pergi kapan saja begini?"
"Berisik, Cakra."
"Panggil aku abang."
"....."
"Ganesha, aku gak sepintar itu untuk bisa tau apa yang kamu pikirkan, apa yang kamu rasakan, apa yang kamu inginkan, tanpa kamu mau bicara padaku. Aku gak sehebat itu, Ganesha. Jadi tolong, katakan apa yang menjadi resah dan gelisah mu. Jangan aku merasa jadi manusia yang paling tidak berguna begini Ganesha."
Ganesha diam. Matanya menatap lurus pada lampu nakas yang belum sempat dipadamkan. Ia menarik selimut sedikit lagi hingga sempurna menutupi seluruh tubuhnya. Bersiap untuk tidur lebih lama lagi.
"Aku udah pernah bilang kan, gak ada alasan yang mengharuskan aku untuk bicara."
Dan Cakra memilih keluar dari kamar itu yang terlalu sesak untuk ia tempati terlalu lama. Padahal ruangan itu sangat luas. Namun entah kenapa, Cakra merasa tercekik bila terus berlama-lama disana.
....
Seminggu belakangan Roy sempat menghilang. Katanya sih lagi dinas di negeri seberang. Tapi gak bawa oleh-oleh pas pulang. Yaiyalah, dia tuh kerja bukannya berfoya-foya.
"Kamu makin kurus, Ganesh."
Ganesha merotasikan matanya malas. Entah Roy benaran kerja seminggu ini atau pergi rukiah. Pulang-pulang bawaannya melo melulu. Liat saja sekarang, entah sudah berapa kali dia mengomentari fisik Ganesha yang katanya makin menyusut hari ke hari.
"Makan mu gak teratur ya selama daddy pergi?"
"Makan ku lebih lahap selama daddy gak ada," Sarkas Ganesha.
Bukannya sakit hati, Roy malah merangsek memeluk bungsunya yang lagi main PS itu, "Tapi kamu kurusan. Wajahmu juga pucat kelihatan capek, kamu kurang tidur juga, Nak?"
"Apasih! Sana, ah, dad!" Ganesha berusaha menjauh dari ayahnya yang bertingkah menyebalkan menurutnya. Padahal dia sedang berusaha keras untuk menang dari Leo yang main dengan khidmat. Pasalnya dia yang memulai taruhan, mau ditaruh dimana mukanya kalau dia juga yang kalah.
"Mending kamu makan ketimbang main gak jelas begini Ganesh."
"Jelas! Aku main yang jelas-jelas," Kata Ganesha sudah capek dengan bapaknya itu. Dia berusaha lebih fokus saat dirinya terpojok, "Leo bakal aku perbudak seumur hidup kalau aku memang."
Mendengar itu, Roy menjauh dari Ganesha membiarkan anak itu bermain dengan maksimal. Dia, sebagai bapak pilih kasih berdedikasi tinggi, mendekati Leo dan membisikkan sesuatu yang membuat Leo tremor seketika. Dan disanalah kemenangan menjadi milik Ganesha.
Ganesha melakukan selebrasi andalannya yaitu menebar tisu kesana kemari hingga memenuhi setiap sudut kamarnya. Sementara Leo tidak peduli lagi dengan menang kalahnya dia. Si sulung itu menatap horor ayahnya yang hanya menaikkan sebelah alis pertanda bertanya.
"Daddy tau darimana?"
Kegiatan Ganesha membuang-buang tisu terhenti. Ia menatap kedua orang yang masih duduk pandang-pandangan di lantai. Heran, pada naksir apa gimana?
"Tau apa?" Tanya anak itu berjongkok diantara Roy dan Leo. Tapi dirinya malah diabaikan.
"Jujur, daddy kecewa sama kamu. Tapi, kamu sudah dewasa, dan daddy yakin kamu bisa memikirkan konsekuensi dari keputusan yang kamu buat."
Ganesha menatap bergantian kedua orang itu, "Leo buat salah, dad?"
"Bang Leo. Panggil saya abang, berapa kali harus dibilang Ganesha."
Ganesha mengedikkan bahu acuh, dan menatap ayahnya lagi, "Leo kenapa, dad?"
Roy beranjak bangkit dan menarik Ganesha untuk ikut bersamanya, "Nanti juga kamu tau. Sekarang lebih baik makan dulu."
"Pengen kelapa muda, dad."
"Nanti daddy belikan."
"Yang di taman belakang kan ada. Suruh Leo manjat. Dia kalah taruhan."
"Iya, nanti Leo yang ambil."
Leo hanya terduduk diam di tempatnya mendengar percakapan Ayah dan adiknya yang semakin menjauh dan tak terdengar lagi di telinganya. Dia kembali memikirkan kata-kata yang Roy bisikkan padanya tadi dengan mata menatap kosong.
'Jadi, kapan kamu akan membawa menantu dan cucu daddy pulang?'
.
.
"Gimana pas main ke rumah Oma kemaren?"
Hm.... Ada apa nih nanya begini. Ganesha jadi curiga Roy mendengar sesuatu tentang dirinya dari seseorang. Untuk itu Ganesha memutar pandangannya kepada Cakra yang duduk si sebelahnya.
"Apa?" Tanya Cakra yang lagi asik nyemil kuaci.
"Yang ngomong sama kamu disini, kenapa malah nengok kesana?"
Ganesha menoleh lagi pada si bapak duda anak tiga yang makin hari makin nyebelin aja tingkahnya, "Daddy tuh beneran pergi dinas bukan sih kemarin ini?"
Roy mengernyit, "Lho, benaran dong. Kenapa nanya begitu?"
"Aneh banget soalnya, kayak bukan daddy aja."
"Tapi ini daddy???"
"Tapi aneh!"
Dahlah. Roy pasrah aja mau dikatain apa sama anaknya itu. Asal dia senang aja.
"Ikut yok besok," Ajaknya guna mengalihkan topik.
Ganesha memungut kuacinya yang jatuh ke lantai, "Kemana?" Tanyanya.
"Jorok banget kamu, Ganesh," Komentar Cakra mencegah Ganesha memakan kuaci yang ia pungut barusan.
"Belum lima menit."
Cakra mencebik. Sementara Roy mencolek lengan anak bungsunya itu agar fokus padanya lagi, "Ke tempat Oma mu, mau ada barbequean besok katanya."
"Siapa?" Tanya Ganesha sambil turun di sofa dan lesehan di lantai. Cakra jadi heran sendiri dengan adiknya yang tak bisa diam ini.
"Apanya?" Roy balas bertanya bingung.
"Yang ikut siapa aja?"
"Kamu sama daddy aja. Leo dan Cakra sibuk, Regan juga sama. Devan dan Selia harus sekolah."
Cakra menatap hina ayahnya itu. Sekate-kate bener ngatain dia sibuk disaat dia udah ngajuin surat cuti ke kantor.
"Aku kan juga sekolah, dad."
"Izin dulu aja. Izin check up, besok kita sekalian konsultasi ke dokter."
Ganesha berdecak dan merebahkan dirinya di lantai. Ia memandang langit-langit ruang keluarga yang berwarna silver-gray.
"Aku mau sekolah aja...."
"Libur dulu, Ganesh. Kamu ikut kata daddy aja," Kata Cakra yang telah selesai memikirkan harus sibuk dengan apa besok. Dia memilih untuk menghasilkan cuan lagi dan batal ambil cuti.
"Kenapa sih kalian suka ngatur-ngatur aku belakangan ini?" Gumam Ganesha. Matanya fokus memandang langit-langit.
"Ini demi kebaikan kamu juga," Ujar Roy duduk di lantai dekat Ganesha berbaring dan memberikan bantal sofa untuk menyangga kepala anak itu.
"Baik bagi kalian, belum tentu baik juga bagiku."
Roy menghela nafas mendengar gumaman Ganesha. Sementara itu Cakra sudah beranjak pergi setelah menerima panggilan telepon entah dari siapa.
"Ganesha...." Panggil Roy sembari mengusap kepala anak itu yang sudah memejamkan mata. Roy menunduk, menatap wajah pucat yang tampak berkeringat itu, "Kamu bilang gak mau ninggalin kami, kan? Kalau begitu boleh daddy memohon satu hal sama kamu?"
Ganesha diam.
"Tolong, jangan membantah hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan kamu. Tolong turuti semua yang dokter katakan. Tolong, katakan kalau kamu memang berniat untuk sembuh. Tolong, Ganesh. Daddy mohon sama kamu."
..........
"Ganesh katanya lagi sakit."
Agnea menoleh pada Kiel yang tengah mencabuti rumput yang tumbuh di atas gundukan tanah kecil itu. Dimana di bawahnya telah bersemayam tulang arwana Haris yang berakhir tewas akibat dipancing oleh Kiel dan dijadikan menu makan malam mereka.
"Kok biasa aja sih mukanya. Kaget, dong. Khawatir gitu. Gebetan lo sakit, nyoh!"
Agnea mendengus, ia menyeka bulir keringat di pelipis Kiel dengan tangannya, "Lo kalau mau cemburu, minimal pinter bohong dikit lah."
Kiel menepis tangan cewek itu, "Kata Mama Lena, bohong itu dosa."
"Tapi lo bohongin Ganesha."
Kiel terdiam. Ia meletakkan kerikil kecil di sekeliling makam mini itu. Selang satu menit dia bicara lagi dengan lirih.
"Mau gimana lagi, kan. Salahin aja hati gue yang baperan."
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments