Tau Ganesha sekarang ada dimana? Coba tebak hayooo.... Clue nya tempat ini adalah tempat menyebalkan yang Ganesha benci setengah mati.
Yup, rumah sakit. Ingat saat Ganesha di rawat karena alerginya waktu itu? Yang dia ngamuk-ngamuk minta pulang sampai nekat nyopot inpus yang bikin punggung tangannya bolong? Dan kejadian itu terulang kembali.
Rasanya saya mau nyanyiin penggalan lirik lagunya noah yang separuh aku, yang liriknya tuh begini: 'Dan terjadi lagi~~~'
"Aku mau pulang!!!" sentak Ganesha menepis tangan Roy yang berusaha membuatnya diam.
"Iya, tapi nanti, ya." bujuk Roy yang extra sabar menghadapi si bungsu.
"SEKARANG!"
Duh, pada bingung ya? Padahal di chap sebelumnya Ganesha masih asik adu bacot dengan anak kelasnya. Lah kok tiba-tiba masuk rumah sakit lagi??? Jadi gini, singkatnya, sehabis upacara Ganesha sempat mimisan. Teman-temannya udah nyuruh istirahat di UKS aja. Tapi dianya gak mau. Alhasil, pada jam isitirahat siang, Ganesha mimisan lagi, darahnya gak mau berenti dia juga sempat gak sadarkan diri sampai harus dilarikan ke rumah sakit.
Dan disinilah kita sekarang. Roy yang khawatir dengan seringnya Ganesha sakit belakangan ini memutuskan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Tapi anaknya nolak. Ngamuk minta pulang terus.
"Ganesh, kamu tenang dulu," kata Roy yang kewalahan memegang kedua tangan anaknya itu agar tak terus bertingkah. Bagaimana pun Ganesha itu bukan anak kecil lagi, dia remaja 16 tahun yang tenaganya tidak bisa dianggap enteng.
"AKU MAU PULANG!"
Cakra yang baru masuk tersentak kaget mendengar adiknya berteriak. Dan melihat Roy yang mencoba menahan anak itu, dia jadi paham apa yang terjadi. Oh, here we go, again.
"Kamu dengar daddy dulu," Roy berusaha membujuk, "Kita akan pulang."
Ganesha mulai tenang dan duduk dengan baik di brankarnya.
"Tapi setelah kamu diperiksa oleh Sean, bagaimana?"
Ganesha menggeleng kuat, "Gak mau!"
"Kenapa sih kamu segakbetah ini di rumah sakit. Tempat ini salah apa coba?" ujar Cakra yang berdiri di samping brankar mengelus-elus kepala Ganesha.
Ganesha itu anaknya keras kepala. Kalau dilarang dia bukannya berhenti malah makin menjadi. Kalau dikerasin dia akan lebih keras lagi. Yah, Roy cukup menyesali kenapa sifat buruknya malah diwarisi dengan baik oleh si bungsu. Meski begitu ia bersedia mengalah, menekan egonya untuk mencoba lebih mengerti anak yang telah ia abaikan sekian tahun lamanya.
Sebenarnya Roy tak sepenuhnya mengabaikan Ganesha. Dia juga tak membenci hadirnya anak itu yang dibayar dengan nyawa istrinya. Roy mencintai istrinya, begitupun anak mereka yang lahir dari rahim wanita itu. Dia melimpahkan kasih sayang kepada Leo dan Cakra sehingga mereka bisa tumbuh dengan begitu baik dan tetap tegak saat Ibu mereka pergi begitu cepat.
Namun Roy menjadi tidak adil dengan membiarkan Ganesha memenuhi rasa penasarannya terhadap kehidupan seorang diri. Dia tidak membenci anak itu, sungguh, demi Tuhan Roy sangat menyayangi si bungsu yang menjadi harta terakhir yang dititipkan istirnya tercinta.
Roy hanya merasa takut. Ia takut akan menjadi lemah bila terus memandang wajah yang mirip dengan mendiang istrinya itu setiap harinya. Dia takut bila suatu saat anak itu bertanya dimana ibunya. Roy takut bila ia harus menceritakan luka terbesar yang menghantui keluarga mereka dihari kelahiran anak itu dan malah membuatnya lebih terluka dari sebelumnya.
Roy mempunyai banyak ketakutan tentang anak malang itu. Sekian lama ia bersembunyi seperti pengecut. Hingga kemudian dia menyadari, bahwa semua itu tak ada artinya dibandingkan rasa sakit dimana ia harus kehilangan lagi untuk kesekian kali.
.
.
.
.
.
.
Roy berjalan tertatih di lorong rumah sakit. Sampai akhirnya ia tak sanggup lagi menopang tubuhnya untuk tetap berdiri tegak. Roy terduduk di salah satu kursi di sana. Ia menunduk, dengan tangan gemetar memegang selembar kertas yang membuat dunianya hancur tak terkira.
Leukimia. Siapa sangka tragedi yang pernah menimpa istrinya itu kini terulang kembali pada si bungsu. Roy pernah nyaris kehilangan wanita yang amat dicintainya akibat penyakit itu. Dan sekarang ia harus mengalami ketakutan yang sama saat hal itu menimpa salah satu putranya.
Roy bahkan tidak sanggup untuk berdiri lagi, seluruh energinya seakan tersedot habis saat kabar itu sampai padanya.
Roy rasanya tak sanggup menghadapi putranya nanti. Ia tidak memiliki cukup kekuatan untuk menyampaikan kabar menyakitkan ini.
Mengetahui dirinya amat tak berdaya, air mata Roy tak tertahankan lagi.
"Dad...."
Roy tersentak begitu Leo menepuk pundaknya.
"You, okay?"
Roy menggeleng dan mengusap kasar matanya, "Ganesh, gimana?"
Melihat ayahnya yang kacau, perasaan Leo jadi tak enak, "Masih tidur." Jawabnya melirik kertas yang nyaris remuk di genggaman Roy, "Gimana hasilnya?"
Rasanya Roy tak sanggup bicara untuk menjawab tanya si sulung. Lidahnya terasa kelu. Tak ada kata terucap. Dia hanya menunduk putus asa menyodorkan kertas ditangannya pada Leo.
Sama seperti Roy, Leo merasa dunianya hancur saat itu juga setelah membaca apa yang tertera disana.
......
"Maaf...."
Ganesha diam saja membiarkan Roy yang menggumamkan maaf berulang kali sembari memeluknya.
"Maaf. Maaf. Maafkan daddy mu yang tak becus ini. Maaf."
Pria itu menangis. Ganesha tau itu. Ia menatap orang-orang yang berada di ruang rawatnya. Wajah mereka terlihat suram seakan kemalangan besar telah menimpa kemilau Tirtayasa.
Ganesha tertawa hambar, "Kan udah ku bilang. Aku mau pulang. Tapi dipaksa terus untuk tetap disini. Kalau udah begini salah siapa coba."
Cakra menatap nanar adiknya itu, "Kamu.... Jangan bilang kamu udah tau?"
Roy melepas pelukannya menatap anaknya itu dengan tatapan menuntut penjelasan.
"Sejak kapan?"
Ganesha mengalihkan pandangannya dari sang ayah, "Hm.... Lupa." Gumamnya pelan.
"Jadi benaran kamu sudah tau?" Bima yang sedari tadi diam disofa pun bersuara.
Ganesha tidak menjawab. Namun diamnya anak itu mengandung arti iya bagi orang-orang disana.
"Dan kamu diam saja? Why Ganesh?" Tuntut Leo membutuhkan jawaban.
Ganesha tertawa pelan. Matanya ikut tersenyum saat bibirnya melengkung naik, "Aku merasa gak ada alasan yang mengharuskan aku untuk bicara."
.
.
.
.
Setelah sekian banyak drama, akhirnya keinginan Ganesha untuk pulang terpenuhi. Ia membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan langsung menghambur ke atas kasur begitu sampai.
Hawa dingin di permukaan kasur yang sekian lama ia tinggalkan (padahal mah cuman sehari doang), angin sepoi-sepoi dari balkon, serta wangi pengharum ruangan kesukaan Ganesha yang beraroma Citrus.
Aahhh... ini surga. Ganesha rela mati asal disini tempatnya.
Bungsunya Roy itu memejamkan mata dengan wajah menyunggingkan senyum. Ia tampak menikmati kebersamaannya bersama perabot-perabot penunjang kemalasannya. Ganesha menggerakkan kaki dan tangannya merentang dan merapat. Sementara senyum itu tak terlepas dari wajahnya.
"Ganesh, makan dulu."
"Emoh Cakra."
Cakra berkacak pinggang menatap tajam sang adik. Sementara adiknya itu malah tergelak mengingat fyp yang lewat di beranda youtube nya yang berisi kan parodi kartun Frozen dan salah satu adegannya seperti yang ia tirukan tadi.
"Ayo makan. Setelah itu minum obat," Kata Cakra lagi berjalan mendekati Ganesha.
Ganesha membuka matanya dan melongok menatap saudaranya itu, "Obat apa? Aku gak mau."
Baru dengar kata 'gak mau' dari Ganesha saja Cakra sudah menyerah. Dia spontan berbalik memijit pangkal hidungnya sembari melenggang pergi.
"DAD! BUNGSU MU TIDAK MAU MINUM OBAT KATANYA!"
"HEH! JANGAN TERIAK!"
Dasar Ganesha! Nyuruh orang buat gak teriak sementara dia sendiri malah berbuat begitu.
Cakra masa bodoh saja dan melenggang pergi. Ia mau merecoki Sam yang kalau gak salah lagi ngurus tupai piaran Ganesha. Pokoknya Cakra mau belajar ilmu sabar penakhluk Ganesha langsung dari ahlinya.
Btw soal tupai, Ganesha nemu tadi di taman rumah sakit sebelum mereka pulang. Tupai nya gembul dan kiyowo. Ganesha mau ngadopsi katanya. Dan setelah bosan main dengan anak angkatnya itu, Ganesha memberikan begitu saja tupai malang tersebut untuk di urus oleh Sam.
Sam be like: apasih yang enggak buat tuan muda. Asal gajinya dobel aja🙃
Oh ya, lupakan tentang Cakra dan Sam maupun si mbul kiyowo anak angkat Ganesha.
Leo datang membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih hangat, "Makan dulu Ganesh."
"Gak mau," Mulutnya sih berucap begitu, tapi badannya malah duduk dengan semangat di tengah ranjang mengambil mangkuk bubur yang dibawa Leo.
Leo mendengus. Dia tau bocah itu tak akan menolak bubur apapun itu, karena itu makanan kesukaannya. Leo gak tau kenapa Ganesha se cinta itu dengan bubur, bahkan bubur rumah sakit yang hambar saja dimakannya dengan lahap. Tapi ia senang selama Ganesha mau makan dengan lahap begitu.
Tidak tau saja si sulung itu, kalau satu-satunya alasan Ganesha menyukai bubur ialah agar dia gak capek-capek ngunyah. Tinggal masukin mulut trus telan. Beres.
"Btw, mataku sakit."
Leo yang sedari tadi merapikan buku-buku yang berantakan di meja belajar Ganesha berbalik menuju adiknya itu.
"Sakit kenapa?"
"Sakit liat muka jaka tua yang gak laku-laku kayak kamu, Leo."
Wajah Leo langsung flat mendengar ucapan adiknya itu. Namun yang lebih mengesalkan adalah bagian dimana Ganesha memanggil langsung namanya.
"Panggil saya abang, Ganesh," Ujar Leo memperbanyak sabar, sembari mengelus puncak kepala Ganesha. Semakin sering menghadapi Ganesha, semakin Leo paham sifat anak itu.
Ganesha akan melunak kalau kita juga bersikap lunak padanya. Anak itu tidak bisa dikerasin sedikit saja. Kalau dikasarin, Ganesha bisa lebih kasar lagi. Makanya untuk menghadapi bocah tengik itu, satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah.... Sabar....
Tarik nafas.... Buang.... Lapangkan dadamu untuk menampung caci maki yang nyangkut ditenggorokan dan tertelan kembali. Begitulah jalan ninja Sam mengadapi Ganesha sehingga dia bisa menangani iblis berwajah malaikat itu dengan sangat baik.
Ganesha baik kan? Dia mengajari mereka indahnya sabar dan berlapang hati. Hoho... Harusnya para Tirtayasa itu sungkem padanya mengucapkan beribu terimakasih.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments