"Ganesha!"
Plak!
Pipi Ganesha terasa panas setelah telapak tangan Roy, ayahnya, dengan ringan menamparnya. Kepala Ganesha sampai tertoleh saking kuatnya tamparan itu. Tidak hanya wajahnya, rasa sakit itu menjalar sampai ke hatinya.
Sementara itu, seorang pria tua duduk dengan angkuh di sofa single, seolah menyiratkan bahwa dialah pengusaha sebenarnya di kediaman megah bak istana itu. Bima namanya. Ayah dari dua anak laki-laki yang tak lain adalah Roy, anak pertama, dan Dion anak keduanya.
Ganesha merupakan anak bungsu di keluarganya. Namun dia bukan cucu bungsu Bima. Ganesha punya seorang sepupu satu tahun di bawahnya yang sangat dimanja seluruh orang di keluarga besar Tirtayasa, keluarga mereka. Selia namanya, cucu bungsu Bima sekaligus satu-satunya cucu perempuannya. Makanya anak bungsu Dion itu sangat disayang oleh semua orang.
Ah, Ganesha bukannya iri padanya. Ia hanya sekedar memberi tau saja. Merasa perlu menjabarkan tentang seseorang yang menjadi alasan ia dihakimi begini dihadapan keluarga besarnya.
Anak itu, Selia, entah apa yang dia katakan pada Bima sampai Ganesha orang-orang menatapnya dengan murka begitu.
Seingat Ganesha, hari ini semua keluarga Tirtayasa sedang mengadakan pertemuan bulanan yang rutin dilakukan. Ganesha tak terlalu akrab dengan sepupunya. Maupun dengan saudara-saudaranya. Makanya ia memilih menyendiri di balkon.
Namun Selia justru terus mengintili langkahnya. Gadis itu cerewet. Disuruh diam dia malah makin menjadi. Ganesha yang kesal kelepasan membentaknya yang berakibat dia menangis dan sialnya kejadian saat ia membentak Selia terlihat oleh abang pertamanya, Leo. Dan jadilah seperti sekarang ini.
Harusnya akan baik-baik saja seandainya Ganesha tidak membalas ucapan pedas Bima yang menceramahinya karena membuat Selia menangis.
"Kamu jadi semakin tidak sopan terhadap orangtua, Ganesha." Kata Bima yang masih diposisi semula, ia lalu menatap putra sulungnya, "Itu karena kamu terlalu memanjakannya, Roy. Kamu harusnya bisa lebih tegas."
Ganesha menatap lurus pada kakeknya itu. Ia menelengkan kepala, lalu perlahan sebelah sudut bibirnya terangkat, "Kakek, apa ada anak manja yang ditampar seperti aku?"
Bima menatap tajam anak itu yang ternyata masih belum kapok juga. Sementara itu Leo yang sedari tadi duduk menonton, bangkit berdiri saat melihat emosi ayahnya tersulut kembali akibat ucapan Ganesha. Leo menarik adiknya itu dengan paksa meninggalkan ruangan tersebut.
"Bisa tidak kamu diam saja kalau Opa bicara?"
Diantara semua cucu Bima memang cuma Ganesha yang memanggilnya dengan panggilan 'kakek' berbeda dari yang lainnya yang memanggil 'Opa'.
Ganesha menggeleng. Lalu merebahkan dirinya di atas kasur. Leo membawanya ke kamar lelaki itu yang ada di kediaman ini.
"Ganesh, saya masih bicara dengan kamu."
Ganesha bangkit dengan enggang. Ia duduk bersila di pinggir ranjang menghadap Leo, "Aku dengar."
Leo memijit pangkal hidungnya, "Kamu itu bisa tidak sih tidak membuat masalah sehari saja?"
Ganesha hendak menjawab. Namun pintu lebih dulu terbuka menampilkan sosok Roy disana.
"Aku boleh pulang?" Tanya Ganesha segera setelah sang Ayah menutup pintu.
Roy menatap tajam bungsunya itu yang mendahului dirinya berbicara, "Daddy rasa ingatan mu masih cukup bagus untuk mengingat apa yang harus dilakukan dihari seperti ini."
"Opa akan semakin marah kalau kamu pulang dan mengabaikan aturan keluarga." Sambung Leo.
Ya, memang dihari kumpul rutin bulanan ini, tidak ada yang boleh pulang sampai besok pagi. Mereka harus menginap dan menghabiskan waktu untuk menjaga hubungan sesama keluarga.
Tapi, selama ini Ganesha hanya selalu datang sebagai formalitas dan pergi tanpa menginap. Hal yang membuat Bima mencapnya sebagai anak pembangkang. Namun untuk hari ini, berhubung Ganesha sudah membuat masalah tadi, jika ia pergi juga maka kesalahannya akan berlipat ganda.
"Dad, Opa memanggil untuk makan malam."
Roy menoleh pada anak keduanya yang melongok kan kepala di pintu setelah mengetuk tadi. Anak itu, Cakra, masuk ke dalam dan menutup pintu lagi. Melihat adiknya yang sepertinya sedang disidang oleh Ayah dan kakaknya.
"Kapan sampai boy?" Ujar Roy memeluk sekilas Cakra yang memang terlambat datang karena sebelumnya dia berada diluar kota mengurus pekerjaan.
"Baru saja." Jawab Cakra lalu menatap Ganesha yang duduk memainkan bantal, "Buat masalah lagi dia?"
"Dia buat Selia nangis dan sekarang minta pulang," kata Leo duduk di sebelah Ganesha menarik bantal yang sarungnya hampir dilepas anak itu.
"Daddy anggap ini selesai disini. Sekarang ke ruang makan sebelum Opa kalian marah."
Leo yang baru duduk menghela nafas capek. Baru juga mau melepas penat, pikirnya. Sementara itu Ganesha malah berbaring dengan tidak peduli.
"Ganesha, jangan buat daddy marah lagi," Peringat Roy kemudian keluar dari ruangan itu diikuti oleh Leo.
Cakra yang ditinggal bersama si bungsu paham kalau tugasnya untuk menarik anak itu keluar.
"Kamu mau diseret atau jalan sendiri?" Cakra memberi pilihan dengan kedua tangan terbenam disaku celana bahannya.
Ganesha berdecak namun tak urung mengikuti langkah Cakra yang menuju ruang makan. Sampai disana, semua orang sudah berkumpul. Selia juga ada, dia duduk di samping Bima dengan mata yang bengkak dan hidung memerah. Ganesha tidak peduli dan duduk di tempat yang sudah ditentukan, yaitu di samping Devan, abang Selia yang setahun diatas Ganesha.
Makan malam di mulai dengan khidmat. Tidak ada yang berbicara, hanya terdengar dentingan piring dan sendok yang beradu. Dan disaat semua orang menikmati makanan mereka, Ganesha justru diam memainkan makanannya tanpa berniat untuk makan.
Ganesha benci menu makan malam hari ini. Dan ia lebih benci lagi Roy yang menatap tajam mengisyaratkannya untuk tidak berulah dan makan dengan benar. Ganesha membalas tatapan ayahnya dengan senyum manis dan menyuapkan satu sendok udang ke mulutnya. Lalu senyumnya luntur berganti tatapan yang seakan berkata pada ayahnya, 'Apa daddy sudah puas?!'.
Roy kembali lagi pada makanannya. Begitu pula dengan Ganesha yang makan dengan lahap tidak seperti tadi. Dia memakan menu seafood itu tanpa hambatan meski tau itu adalah pantangan terbesarnya. Ganesha itu punya alergi. Dan ia makan dengan tidak peduli seolah tak apa bila ia akan mati sehabis ini.
Sehingga sehabis acara makan malam itu, disaat seharusnya ia ikut berkumpul dengan sepupu-sepupunya di ruang keluarga, Ganesha justru berjalan tergesa menuju mobilnya.
Seperti kesetanan Ganesha membuka laci dashboard mengambil botol kecil dengan beberapa pil di dalamnya. Nafas Ganesha semakin tersendat saat ia tak kunjung menelan kaplet obat bewarna putih itu. Ia terbatuk merasa dadanya yang sesak bukan main. Tangannya gemetar dan obatnya jatuh berserakan.
Sialan!
"Hah... Uhuk! Uhuk!"
Ganesha mau mati rasanya. Ia duduk pasrah di jok belakang tanpa ada niat memungut obatnya. Disamping itu nafasnya makin tak teratur. Ganesha sampai memukul kuat dadanya demi bisa bernafas dengan baik. Namun hal itu justru membuat semuanya makin kacau.
"Ganesha!"
Cakra panik bukan main. Ia mengikuti adiknya itu karena ia pikir Ganesha akan nekat pergi. Namun ia justru menemui anak itu merintih kesakitan dengan wajah memerah berusaha meraup oksigen sebisanya.
"Kamu kenapa? Hey! Ganesh!" Panik Cakra menepuk-nepuk pipi Ganesha yang memejamkan mata dengan nafas tersendat.
Ganesha menggertakkan giginya. Ia mencengkram lengan Cakra dan membuka matanya yang berair, "Pulang."
"No! Kita harus ke rumah sakit, kamu harus diobati Ganesha. Aku akan beritahu daddy."
Ganesha merasa semakin sulit bernafas. Ia tidak melepaskan tangan Cakra dan mencengkram kuat seiring sakit yang terus menghantamnya, "Aku.. hh.. Gak peduli. Uhuk... Meski harus mati sekalipun. Aku cuma mau pulang!"
Roy yang baru saja akan mendekati kedua anaknya itu dibuat tertegun oleh ucapan Ganesha. Cakra yang menyadari kehadirannya disana lantas memanggilnya dengan panik.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" Putus Roy setelah melihat kondisi Ganesha yang semakin melemah. Ia masuk ke balik kemudi. Dan Cakra duduk dibelakang dengan Ganesha yang tak mau melepas tangannya.
Mobil melaju meninggalkan kediaman itu dengan Roy sebagai pengemudi.
Sedang dibangku belakang, Cakra berusaha memberikan obat pada adiknya sebagai penanganan pertama. Namun Ganesha terus saja menggeleng.
"Pulang! Aku bilang pulang Cakra!"
Ganesha menangis karena tak bisa lagi menahan rasa sakit yang membuat dadanya sesak bukan main. Sementara itu Cakra gelagapan.
"Ganesh, please, jangan begini. Minum obatmu, kita akan tiba di rumah sakit sebentar lagi."
Tangis Ganesha semakin kencang. Ia mencengkram kuat dadanya dan terbatuk, "Pulang! Aku mau pulang!"
"Dad..." Cakra yang kehabisan akal meminta pertolongan ayahnya.
Roy melirik cemas dari spion depan, "Iya, kita pulang. Tapi, minum obatmu Ganesh."
Tangis Ganesha mereda. Bukan karena sakitnya hilang ataupun anak itu menuruti kata Roy. Melainkan Dia kehilangan kesadarannya dengan deru nafas yang nyaris tak terasa.
"Dad!" Cakra berseru panik.
Dan tak ada yang bisa Roy lakukan selain menginjak pedal gas dalam-dalam, menambah kecepatannya.
.......................
"Pulang."
Itu kata pertama yang Ganesha ucapkan ketika membuka mata setelah tak sadarkan diri hampir tiga hari lamanya. Dan ia sama sekali tak merasa perlu untuk menunggu persetujuan Roy dan kedua saudaranya yang baru bernafas lega setelah melihat ia sadarkan diri.
Ganesha membuka paksa masker oksigennya membuat Roy maju untuk menahan tangannya. Dan Ganesha seakan tidak mau tunduk sebab ia justru melepas paksa infus di tangannya yang berakibat darah mengalir dari jejak jarum dipunggung tangannya.
Roy beserta Leo dan Cakra melotot kaget melihat aksi nekat anak itu.
"Kamu gila ya?!" Bentak Leo mengambil tisu mencoba menghentikan darah ditangan Ganesha.
Sementara Cakra berlari keluar mencari dokter bertepatan dengan Dion masuk ke dalam dan melihat kekacauan disana.
"Pulang!" Seru Ganesha memberontak dari Roy yang berusaha menghentikannya dan menyuruhnya untuk tetap berbaring.
Dion yang melihat itu tercengang dan buru-buru mendekat, "Astaga Ganesh. Tenang dulu, nak. Kamu masih belum sembuh."
"Aku benci tempat ini! Aku gak mau disini!"
Ganesha terus berontak hingga saat dokter yang dibawa Cakra menyuntikkan obat penenang, barulah anak itu diam dan perlahan terlelap kembali.
Dion menatap nanar keponakannya itu, "Apa Ganesh selalu begini saat sakit?" Tanyanya.
Roy duduk di sofa mengusap kasar wajahnya, "Dia itu jarang sekali sakit. Dan sekalinya sakit biasanya Sam yang mengurusnya."
Sam itu asisten Roy yang tugasnya rangkap dua sekalian jadi pengurus Ganesha kalau diperlukan. Dion mengangguk paham. Dia cukup mengerti kalau Roy tidak terlalu mengenal putra bungsunya itu. Sebab setau Dion, kakaknya itu terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga mengabaikan eksistensi Ganesha yang notabenenya masih butuh perhatian dan kasih sayang.
Dion juga mewajarkan sikap Ganesha yang pemberontak dan sulit diatur. Sebab, sedari kecil Ganesha tumbuh tanpa campur tangan orangtuanya. Ibu anak itu meninggal setelah melahirkannya. Roy yang berduka ditinggal istri tercinta, membenamkan diri dalam pekerjaan. Kedua kakaknya, Leo dan Cakra, sudah cukup dewasa saat ditinggal ibu mereka. Hingga mereka mulai disibukkan oleh sekolah dan meniti karir. Dan tinggallah Ganesha seorang diri.
"Kenapa tidak bilang kalau Ganesha alergi seafood?" Tanya Dion.
Roy menghela nafasnya, "Aku.... Lupa."
Sebagai seorang ayah, Roy merasa hina berkata begitu. Ia melupakan hal terpenting yang bisa saja membuat nyawa anaknya melayang. Apalagi yang membuat Ganesha memakan makanan itu kemarin adalah dirinya sendiri.
"Aku kira dia baik-baik saja dengan itu.... Anak itu.... Hahh... Dia gak bilang apa-apa dan malah makan sebanyak-banyaknya."
Dion tersenyum kecut melihat kakaknya yang tampak kacau, "Ganesha memang begitu. Anak yang keras kepala dan pembangkang." Katanya.
Roy menggelengkan kepala dan terkekeh miris, "Lagipula dia anakku. Keras kepalanya juga menuruni sifatku."
"Baguslah kalau kau sadar, kak." Dion menepuk pundak Roy, sementara pria itu hanya mendengus pelan.
"Dad, apa sebaiknya Ganesh dipindahkan ke rumah saja?" Tanya Leo yang sedari tadi duduk di samping Ganesha yang terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.
"Benar dad," Cakra ikut menimpali, "Aku takut saat bangun nanti, dia akan berbuat seperti tadi lagi."
Untuk kesekian kalinya, Roy menghela nafas lagi hari ini. Ia bangkit dari duduknya, "Baiklah. Daddy akan bicara dengan dokternya dulu. Jaga adik kalian disini."
..............
"Sam?"
"Sam ada urusan lain. Sekarang kamu makan dulu."
Ganesha sudah dipindahkan ke rumah untuk rawat jalan. Dan sekarang Roy tengah menyuapi anak itu makan dengan telaten dan sabar. Namun Sang anak tak kunjung menerima suapan darinya dan terus bertanya.
"Daddy?"
Roy menurunkan lagi sendok yang semula diangkatnya menuju mulut anak itu namun tak diterima, "Daddy kenapa?"
"Gak kerja?"
"Ini hari minggu, Ganesh. Daddy gak kerja."
"Tapi kan biasanya setiap hari itu senen untuk daddy."
"Ganesha...." Roy memanggil anaknya itu lembut berharap sang anak berhenti bicara dan mau segera makan.
"Jangan begini, dad. Aku gak nyaman."
Roy meletakkan piring bersisi makanan Ganesha di nakas. "Apanya yang gak nyaman? Mau diperbaiki bantalnya?" Tanya Roy tidak mengerti arah pembicaraan Ganesha.
"Aku gak nyaman daddy disini," Ganesha berkata terus terang. "Tolong sibuk bekerja dan benci aku seperti biasanya."
"Daddy gak benci sama kamu, son."
"Terserah apapun itu. Tolong jangan pedulikan aku. Lakukan kayak biasanya seperti saat daddy diam aja ketika aku dimarahi Kakek. Ataupun ketika daddy cuek saja saat aku tawuran dan justru Kakek yang ngomel. Atau nggak seperti saat daddy gak peduli dengan raport ku dan nyuruh Sam datang ke sekolah. Oh, ya, aku bilang ke guruku kalau aku anak haram Sam yang diadopsi keluarga Tirtayasa karena guru itu menanyakan kenapa daddy tidak bisa datang."
"Ganesha...." Roy memijat pelipisnya. Ia menatap anak itu memelas, "Daddy tau daddy salah sama kamu selama ini. Daddy minta maaf sama kamu. Walau pasti maaf itu saja tidak cukup. Untuk itu, apa kamu mau memberi daddy kesempatan memperbaiki semuanya?"
Ganesha tertawa hambar, "Telat, dad. Aku udah segede gini. Terlanjur rusak. Udah gak bisa diapa-apain lagi."
Roy tanpa sadar menelan ludahnya saat kalimat anak itu rampung. Dia tidak menyangka kalau kata-kata itu akan keluar dari mulut putranya.
Untuk Leo dan Cakra mereka mungkin sudah cukup puas dengan limpahan kasih sayang yang Roy dan Istrinya berikan. Sehingga hubungannya tak terlalu renggang dengan kedua anak itu. Sedangkan Ganesha ia sama sekali tak tersentuh. Anak itu sejak kecil harus kehilangan sosok ibunya, dan ayahnya yang bodoh pun malah mengabaikan dirinya.
"Enam belas tahun aku hidup, semua baik-baik aja kayaknya. Aku masih bernafas sampai sekarang meski kalian menganggap aku seolah tak ada. Aku udah terlanjur berdamai dengan keadaan, dad. Aku terlanjur menerima akan penolakan kalian terhadap lahirnya aku di dunia ini. Jadi, dengan daddy tiba-tiba peduli begini, bukannya membuat aku senang, justru aku merasa terganggu. Jadi, kembalilah menjadi daddy yang gila kerja seperti biasanya. Dan tinggalkan aku sendiri."
..................
Setelah kurang lebih seminggu lamanya, Ganesha akhirnya bisa kembali ke aktivitas normalnya. Seperti pagi ini, dimana ia sudah bisa bersekolah kembali.
Oh ya, terkait Roy, pria itu tidak muncul lagi sejak Ganesha berbicara terus terang padanya. Entahlah mungkin dia menuruti inginnya Ganesha dan bekerja gila-gilaan lagi. Leo dan Cakra juga jarang terlihat, hanya sesekali mereka muncul melihat Ganesha, tanpa bicara dan pergi begitu saja.
Ganesha tak terlalu peduli. Toh memang begitu maunya. Lagipula ia punya Sam yang mengurusinya dengan penuh kesabaran. Itu saja sudah cukup baginya.
Iya, begitu sudah cukup..... Jangan ditambah hal merepotkan lainnya lagi seperti sekarang ini.
"Selia...." Ganesha menggeram marah begitu dengan tiba-tiba Selia muncul dan menggandengnya tanpa malu.
"Kenapa? Kamu gak suka?"
Ganesha berdecak dan menepis kasar tangan Selia darinya, "Jauh-jauh dari gue."
Selia mengepalkan tangannya melihat Ganesha yang perlahan menjauh. Selia tidak suka, ia benci saat semua berjalan tidak sesuai inginnya. Tidak ada yang pernah menolak Selia seperti ini sebelumnya.
Ganesha satu-satunya sepupunya yang acuh terhadapnya. Selia tidak suka itu. Dia mau Ganesha tunduk padanya seperti yang lain. Selia ingin Ganesha tak berkutik di depannya dan mematuhi semua inginnya.
"Ganesha!" Panggil Selia menyusul langkah lebar lelaki itu. Namun Ganesha berlagak tuli. Dia mempercepat langkahnya.
Selia kesulitan menyusulnya. Dan saat dia hampir bisa menyusul Ganesha tiba-tiba saja tangannya ditarik paksa. Selia disudutkan paksa ke dinding dan mulutnya dibekap.
"Lo gak kapok ternyata...."
Cewek yang menarik Selia tadi mengenakan hoodie dan topi dengan rambutnya yang tergerai. Dan Selia mengenalnya.
Selia menendang kaki cewek itu hingga dia mundur beberapa langkah, "Agnea, harusnya gue yang bilang begitu. Lo masih belum kapok gangguin gue? Apa masih belum cukup hukuman yang gue kasih sebelumnya?"
Agnea berdecih, "Hukuman?" Dia menyeringai dengan tatapan dingin. "Are you kidding me?"
Dan jujur, Selia selalu takut dengan bagaimana cewek itu tersenyum. Namun ia tidak boleh menunjukkan kelemahannya tersebut dan memberikan perlawanan agar Agnea tidak semakin semena-mena dengannya.
"Agnea. Kemarin baru gue yang bertindak. Kalau keluarga gue sampai tau, dipastikan lo gak akan bisa seangkuh sekarang ini."
Agnea bersedekap, "Tirtayasa gak ada apa-apanya dimata gue."
Selia melotot. Ia mengepalkan tangannya erat melihat tidak ada ketakutan sama sekali dimata cewek di depannya ini.
"Agnea. Lo akan menyesal sudah mengusik gue!"
Setelahnya Selia pergi. Agnea memandang kepergian cewek itu dengan seringai sinis. Lalu seringai itu berubah menjadi senyum manis saat Ganesha muncul dari balik tembok.
"Good girl," Puji Ganesha menepuk puncak kepala Agnea sekali. Yang membuat gadis itu menatapnya dengan mata berbinar.
"Ganesh~~~" Panggil Agnea spontan saja memeluk tubuh jangkung cowok itu. "Sepupu lo udah gila nyebelin lagi."
Ganesha terkekeh pelan, "Lo juga sama aja," Katanya menunduk mengecup singkat sudut bibir Agnea.
"Hehe... Kan gara-gara lo."
Ganesha yang gemas langsung saja menghujami wajah Agnea dengan kecupan bertubi-tubi. Sampai kemudian dia berhenti saat teringat sesuatu.
"Kalau Selia sampai melibatkan keluarga Tirtayasa gimana? Lo tau kan mereka itu protektif sekali padanya?"
Agnea mendusel-duselkan wajahnya di dada Ganesha dengan tidak peduli.
"Lo kan belum tau latar belakang gue gimana. Intinya, Tirtayasa bukan apa-apa bagi keluarga gue."
Ganesha berdecak karena Agnea selalu saja bersikap sok misterius. Sampai sekarang ia sudah melakukan berbagai cara untuk mencari tau latar belakang gadis itu, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Tapi dengan begitu, Ganesha jadi percaya, kalau Agnea berasal dari keluarga yang memiliki power dan tak bisa diremehkan.
Agnea mendongak saat Ganesha justru terdiam karena ucapannya.
"Jadi, Ganesh, jangan coba-coba pergi dari gue. Lo itu milik gue. Jangan harap bisa pindah tangan!"
Ganesha mendengus, "Lo yang milik gue, Agnea. Mine."
...............
"Bang, gak ada niatan mau nikah gitu?"
Leo yang semula fokus dengan televisi menoleh pada adiknya itu yang asik melipat-lipat tisu sedari tadi.
"Kenapa memangnya?"
"Bang Leo sering di rumah akhir-akhir ini, aku gak suka." Ganesha berterus terang.
Leo melengos, "Yang punya rumah gak kamu doang."
Ganesha mengangguk, "Iya, tapi ini udah jadi teritorial ku. Kalian kan biasanya cuman mampir doang disini."
"Kalau gitu salahin takdirmu kenapa kamu gak terlahir sebagai anak tunggal kaya raya," Cakra yang baru pulang dengan setelan jas lengkap ikut nimbrung dengan obrolan kedua saudaranya. Dia duduk diujung sehingga Ganesha jadi diapit diantara kedua kakaknya itu.
Ganesha melempar tisu kesekian yang ia gumpalkan sehabis dilipat dengan cantik, "Kalau kalian mati, apa itu bakal terwujud?"
"HEH!" Leo dan Cakra berseru serempak dan menjitak kepala anak itu.
Ganesha bersungut mengelus kepalanya, "Kita kayak keluarga benaran kalau begini."
"Kan emang benar kita keluarga, Ganesh," Kata Leo kentara capek sekali dengan kelakuan adeknya itu.
"Aku gak ngerasa gitu tuh," Balas Ganesha dengan tengilnya.
"Kalau gitu aku minta daddy coret namamu di KK," Kata Cakra yang entah kapan ikutan Ganesha menggulung-gulung tisu.
"Gak pa-pa," Ganesha menyahut cuek, "Udah ada sederetan orang yang ngantri nunggu aku dibuang dari sini buat ngadopsi aku."
Baik Leo maupun Cakra saling bertukar pandang dan menatap aneh si bungsu, "Serius?" Tanya Cakra benaran penasaran.
Ganesha mengangguk, "Em."
"Siapa emang yang mau ngadopsi kamu?" Leo ikutan penasaran.
Ganesha melempar tisu yang selesai digulung nya ke lantai. Ia mengambil yang baru lagi, "Banyak. Contohnya keluarga Wardana, keluarga Nugraha, keluarga Reinhard, Keluarga.... Apa lagi ya?" Ganesha mendongakkan kepalanya menatap langit-langit sambil berfikir. "Banyak deh, pokoknya."
"Atas dasar apa mereka mau ngadopsi kamu?"
Roy entah sejak kapan sudah berdiri di belakang anak-anaknya itu. Tangannya berada di kepala putra bungsu nya itu mengarahkan anak itu untuk menatapnya.
Ganesha tidak memberontak. Dia mengedikkan bahu, "Gak tau, tuh. Katanya pengen aja aku jadi keluarganya."
"Gak ada adopsi-adopsi," Kata Roy tajam. "Kamu itu anak dari Tirtayasa, selamanya akan begitu, gak akan berubah."
"Duh, dad. Padahal aku mau tukar keluarga yang lebih kaya lagi."
Roy menunduk menduselkan hidungnya di rambut anak itu, "Daddy mu ini apa masih kurang kaya, hm?"
.........
"Kenapa dia disini?" Tanya Ganesha tajam saat melihat eksistensi Selia di ruang keluarga bersama Roy.
Roy mengusap lembut rambut Selia, "Katanya Selia mau jalan-jalan, kamu temani dia, ya?"
"No!" Ganesha menolak tegas, "Aku gak mau!"
Roy menghela nafas melihat Selia menunduk lesu mendengar jawaban Ganesha, "Perasaan daddy aja atau memang kamu memusuhi Selia?"
Ganesha berpangku tangan menatap Selia dengan menilai, "Habis wajahnya ngeselin gitu."
"Ganesh, kok kamu gitu sih sama aku?!" Selia berujar kesal sembari mendongak menatap Ganesha yang berdiri di hadapan mereka. "Aku ada salah apa sama kamu?"
Ganesha tidak peduli dan menatap Roy, "Dad, aku mau keluar sebentar." Katanya kemudian berlalu pergi. Biasanya Ganesha tidak perlu izin seperti itu untuk pergi ke manapun yang ia mau. Tapi akhir-akhir ini Roy semakin menyebalkan dan mengganggunya di luar karena dia pergi tanpa bilang-bilang.
"Mau kemana Ganesh?" Tanya Cakra yang berpapasan dengan adiknya itu.
Ganesha menghela nafas capek. Kok ya akhir-akhir ini mereka ini cerewet sekali padanya.
"Mau nyurvei calon keluarga angkat aku."
.........
Ganesha tidak bohong tentang ucapannya pada Cakra. Anak itu benar-benar sedang menyurvei keluarga mana saja yang kiranya cocok untuk dijadikan incaran. Sekedar Jaga-jaga kalau suatu waktu dia ditendang keluar dari silsilah Tirtayasa oleh Bima.
"Seriusan mau diadopsi, Gan?"
Yang bertanya barusan itu Kiel, teman SMP Ganesha yang kini bersekolah di sekolah berbeda darinya. Awalnya mereka satu sekolah, tapi Kiel terpaksa pindah sekolah karena nilainya yang jelek secara akdemik dan attitude sudah tak tertlong lagi. Tapi setau Ganesha, di sekolah barunya Kiel berhasil membangun image anak alim yang teladan dan penurut. Cih, muka dua.
"Keluarga gue masuk kategori gak?" Kiel bertanya lagi saat Ganesha tak kunjung bersuara.
Tanpa merasa perlu berfikir Gnesha menggeleng.
"Loh, kenapaaa??" tanya Kiel dengan menyebalkan bergelayut di punggung Ganesha.
"Ada lo soalnya. Awas! Lo berat."
Kiel mencebik dengan jawaban Ganesha. Ia memilih beranjak dan meninggalkan Ganesha sendirian di sana. Oh ya, saat ini mereka berada di gazebo dekat danau buatan di samping kediaman Kiel. Yang mana itu menjadi salah satu tempat tongkrongan favorit Ganesha.
"Ganeeesshh! Ada cewek lu!" teriak Kiel yang berjongkok tak jauh dari tempat Ganesha berada.
Ganesha menoleh. Kelakuan absurd Kiel yang main tanah tak ia pedulikan. Fokusnya tertuju pada seorang cewek dengan setelan serba hitam andalannya yang mendekat padanya.
"Tau dari mana gue disini?" tanya Ganesha pada Agnea yang berlari kecil menghampirinya, "Jangan lari-lari." nasihatnya sembari merentangkan tangan menyambut Agnea yang juga merentangkan tangan ingin memeluknya.
"Skinship without relationship! Huu!" Kiel bersorak dengan mencemooh sembari tangannya memegang ranting yang diacungkan tinggi-tinggi.
Ganesha menahan Agnea untuk duduk dipelukannya lalu menatap Kiel dengan senyum sombong, "Lo mau kayak begini juga gak?" tanyanya menumpukan dagu di bahu Agnea sementara cewek itu hanya balas menepuk pelan pipinya.
"Gue bilang mau pun, sama siapa anying! Ganteng doang tapi jomlo, sial banget hidup gue." Kiel sadar diri. Dengan kesal ia berbalik masuk ke rumahnya daripada sakit mata liat kelakuan dua teman sepermainannya yang akhlakless itu.
Agnea tertawa kecil, "Kiel, pfft.... So cute."
Ganesha menelengkan kepalanya menatap Agnea yang menutupi senyumnya dengan telapak tangan, "You too, Nea."
Agnea menoleh dan menunjuk dirinya sendiri, "Gue? Emang sih, kalau gak lo gak bakal mungkin kecantol, kan?"
Begitu saja Ganesha tergelak, "Iya."
Agnea mengabadikan betapa indahnya ciptaan Tuhan di hadapannya dengan ponsel. Kemudian dia menangkup wajah cowok itu dengan kedua tangan, "Ganesh.... Ganteng banget."
Kalau Agnea bakal ngiyain dengan pedenya sewaktu di puji, maka Ganesha justru menunjukkan senyum termanisnya.
"Kita pacaran aja deh."
Satu kalimat dari Agnea melunturkan senyum Ganesha, "Gak mau."
"Ditolak mulu deh gue. Jadi heran. What's wrong, hm?"
Ganesha mengeratkan pelukannya dan meneggelamkan wajahnya diperpotongan leher Agnea, "Ya gak mau aja, sih."
"Aneh. Tapi gue suka banget."
Satu kecupan dari Ganesha hinggap di leher mulus Agnea, "Gak mau bilang cinta mati gitu?" tanyanya beralih mengecupi pierching di telinga Agnea.
"Masih belum saatnya, Ganesh."
"Kapan?" tanya Genesha menurutkan hidungnya membaui aroma shampo yang menguar dari rambut hitam legam Agnea yang terurai sepunggung.
"Apanya?"
"Kapan cintanya?"
"Ya nantilah."
"Nanti kapan?"
"Kapan-kapan aja, Ganesh."
"Hm...."
Ganesha mengalah dan memilih memejamkan mata dengan menunpukan kepalanya di pundak Agnea kembali.
"Woi! Kata Om Haris kita boleh mancing arwananya!"
Atensi kedua orang itu teralih pada Kiel yang bersorak dari lantai dua melambaikan alat pancing pada mereka. Mukanya terlihat sumringah sekali jauh berbeda dengan Haris yang berdiri dengan wajah masam di belakang bocah itu?
"Benaran?!" Agnea berdiri balas berteriak.
"Iyee!!" balas Kiel, "Tunggu disitu, gue kesana! Kita gali tanah nyari cacing buat umpan!"
Kiel benaran berlari turun dengan Haris yang mengekor dengan pasrah di belakang keponakannya itu membawakan ember kecil dan sekop yang sama kecilnya. Haris kelewat capek menampung anak dari Kakaknya yang hiperaktif ini. Tapi kakaknya malah enak-enakan sama suaminya di hawai ngulang honymoon.
"Arwana emang suka cacing, Om?" tanya Ganesha yang ikut berjongkok bersama Kiel dan Agnea mengelilingi Haris yang menggali tanah dengan ogah-ogahan.
"Gak tau, Om gak nanya."
Agnea mencolek lengan Kiel, "Tanya dulu sana. Maunya cacing apa pizza."
Kiel mengangguk dan berdiri. Ia melenggang begitu saja menuju kolam di belakang rumahnya.
"Enak gak Om, arwananya?" tanya Ganesha lagi.
Haris capek jongkok dan memilih duduk bersila diatas tanah itu, "Harus enak, Ganesh. Soalnya perawatannya mahal. Belinya juga mahal."
"Kalau gak enak?" kali ini Agnea yang nanya. Dia mau ikutan Haris duduk bersila tapi dicegat sama Ganesha, 'nanti kotor' begitu kata cowok itu.
Haris berpikir sejenak, "Kalau gak enak tulangnya gak Om kubur, biar gentayangan."
Ganesha mengangguk paham, "Masuk surganya di cancel ya Om?"
Duh! Ini bocah udah pada SMA tapi kenapa masih gemesin dari waktu pertama kali Haris ketemu. Dia ingat, pertama kali kenal mereka itu 4 tahun lalu, waktu mereka masih bocah ingusan yang pake seragam biru putih.
"Kalian makin hari bukannnya makin gede malah makin kayak bocah."
Agnea menatap Ganesha lalu ia menatap Haris dan mengangguk, "Tau kok Om. Kami memang kawaii dan sedap dipandang. Gak kayak Om, yang makin bau tanah."
Haris kicep. Dia lupa kalau sedang berhadapan dengan teman Kiel yang sifatnya udah kayak anak kembar tiga dengan Kiel. Yah, setidaknya mereka kiyowo. Itu sudah cukup untuk membeli harga diri Haris yang dijatuhkan serendah-rendahnya oleh bocah-bocah itu.
.....................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!